Tuesday, June 17, 2003

Mahasiswa, Pemilu, dan Politik Uang

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tidak bisa dipungkiri, kekuasaan adalah makanan empuk yang selalu menjadi rebutan. Kekuasaan bukanlah teoritis semata, melainakan realitas yang terus-menerus berkembang. Untuk meraihnya, bisa dengan berbagai cara. Makanya, perlu adanya mekanisme kontrol yang seimbang (check and balance) antara rakyat dan negara (penguasa), agar tercipta nuansa politik yang fair dan terkendali.

Meski demikian, tidaklah mudah mengawasi ‘negara’. Karena, negara memiliki otoritas yang mampu untuk melegitimasi dirinya. Wajar saja, tatkala orde baru berkuasa, yang terjadi adalah negara mengontrol masyarakat (state control society), bukan sebaliknya. Lalu, di manakah letak kedaulatan rakyat?

Salah satu ring yang menjadi basis kekuatan rakyat untuk menegakkan kedaulatan adalah mahasiswa. Yang berperan sebagai penyambung ‘lidah rakyat’ dan memperjuangkan hak-hak kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa diskriminasi.

***

Momen pemilihan umum (general election) merupakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Pemilu 2004 adalah pemilu yang paling demokratis dalam sejarahnya. Presiden tidak lagi dipilih parlemen tapi langsung oleh rakyat.

Sayangnya, disinyalir banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ingin mengotori pesta rakyat tersebut. Sekarang ini, pemilu masih belum dimulai, akan tetapi kecurangan-kecerangan sudah ada di sana-sini. Misalnya, mencuri star kampanye. Sebagaimana dilakukan PDI-P dan PPP (5/4/03). Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), kegiatan PDIP yang menghadirkan Megawati Soekarno Putri serta PPP yang melibatkan Hamzah Haz secara terpisah di Bandung, serta kegiatan lain yang melibatkan publik luas dapat dikatakan sebagai kampanye terselebung.

Dalam hal ini, mahasiswa sebagai agent of social control, mempunyai amanat moral yang sangat berat. Yaitu melakukan upaya-upaya pembebasan dari hegemoni penguasa (baca: pembohongan publik dan manipulasi) terhadap rakyat. Maka, saat pemilu nanti, harus dibentuk badan-badan pengawas yang bertugas sebagai pemantau pemilu. Dengan tujuan, agar tidak terjadi praktek-praktek politik culas yang tidak diinginkan. Kalau dibiarkan begini terus-menerus, maka dapat dijadikan patokan, bahwa pemerintah tidak pernah serius menjalankan amanatnya sebagai wakil rakyat. Di sinilah letak urgensi relasi mahasiswa dan rakyat. Sebagai pendukung setia rakyat dalam melakukan proses kontrol terhadap penguasa.

Momok Politik Uang

Sulit dibayangkan, pemilu 2004 bisa bersih dari politik uang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, faktor yang menjadi momok dalam pemilu adalah money politics. Sampai sekarang, belum ada ketegasan dari pihak yang berwengan tentang pelanggaran-pelanggaran selama pemilu. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tidak dapat berbuat banyak karena hanya memiliki wewenang administratif. Sementara polisi yang diberi wewenang pidana masih enggan melakukan tindakan yang proaktif. Pengawasan yang ketat dari lembaga pengawas pemilu independen justru tidak bisa berbuat apa-apa, tindakan mereka tidak bisa membendung intensitas politik uang menjelang pemungutan suara. Contoh, panwaslu menemukan “serangan fajar” di kawasan Jabotabek, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Pertanyaaan sekarang adalah sistem manakah yang lebih berpeluang untuk dijadikan ajang politik uang? Pemilihan presiden langsung atau tak langsung?

Kalau dihitung-hitung, pemilihan presiden secara tidak langsung itu hanya melibatkan MPR saja. Tapi, jika pemilihan presiden secara langsung, jumlah pemilih lebih besar, kurang lebih 120 juta rakyat Indonesia terlibat langsung dalam pemilihan. Dari sini, bisa dilihat sistem manakah yang lebih cenderung cocok untuk memainkan politik uang?

Pengamatan politik pemerintahan, Andi Alfian Malarenggang, mengatakan bahwa dengan pemilihan presiden secara langsung otoritas MPR akan diperkecil. “Jika dengan pemilihan tak langsung, anda bisa membeli suara anggota MPR sebanyak 351 saja, lalu anda sudah bisa menjadi presiden. Namun, dengan pemilihan langsung upaya sogok atau suap bisa diperkecil, mustahil membayar 120 juta pemilih, sebab membutuhkan uang besar sekali.” Katanya.

Apapun sistemnya, tetap deperlukan adanya keseriusan dan kecermatan dalam mengahdapi pemilu 2004, agar kesalahan tahun lalu tidak terulang lagi. Salah satu problem pemilu, menurut penulis, yaitu tentang pengaturan dana kampanye pemilu. Setiap tahunnya terdapat revisi di sana-sini, tapi kenyataannya, tidak bisa lepas dari dilema money politics. Akibatnya, rakyat merasa skeptis terhadap pengaturan distibusi dana parpol di sebuah negara yang korup seperti Indonesia ini. Memang, pangaturan distribusi dana kampanye sering terjadi overlap. Maknya, di wilayah inilah sering terjadi praktik penyelewengan.

Di Indonesia, ada banyak modus dalam parktik money politics. Misalnya, operasi fajar, political sduction (bujukan politik), sumbangan kas dinas, sumbangan diskriminatif, dan ada juga yang bermotif konsolidasi dana melalui operasionalisasi bisnis partai (penggalangan dana dengan berkedok di balik nama yayasan). Sebagaimana kasus pada Yayasan Dana Karya Abadi (Dakab) yang mengumpulkan dana untuk Golkar semasa Orde Baru. Perkembangan modus seperti ini sangatlah banyak, tapi kenapa sama sekali tidak dibarengi dengan mekanisme penegakan hukuman serta sangsi tegas atas pelanggaran ketentuan pemilu. Pertanyaan kemudian, dari manakah sumber-sumber politik uang yang demikian menjamur?

Pengamat politik dari UGM, Cornelis Lay, mengklasifikasikan sumber mobilisasi dana politik demi kepentingan partai dalam tiga kelompok—berdasarkan kapasitas financing-nya di masa Orde Baru. (1) Beban Rp 1 milyar. (2) Baban Rp 500 juta. (3) Beban Rp 200 juta. Kelompok pertama biasanya memperoleh dana dari kalangan pengusaha atau konglomerat yang dibesarkan dan dilindungi oleh Suharto. Sedangkan dua kelompok terakhir biasanya perolehan dana bersumber dari pengusaha daerah.

Selain itu, Aloysius Gunadi Brata juga mengklasifikasikan sumber pembiayaaan politik uang. Pertama, berasal dari kantung pribdi. Maksudnya, uang pribadi yang diperoleh dari korupsi dan kolusi. Kedua, memanfaatkan kekayaan negara. Dan ketiga, bersumber dari pengeluaran pemerintah.

Bagaimana bisa menciptakan clean government jika saat pemilihannya banyak ditemukan kecurangan di sana-sini? Usaha untuk saling menjatuhkan memang diperbolehkan dalam berpolitik, asalkan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, sportifitas, dan fair play. Tapi, jika sudah keluar dari ketetapan, maka ia sama dengan menggadaikan moral rakyat Indonesia demi kepentingan sesaat.

Cara yang paling tepat untuk membasmi politik uang, Pertama, penegakan hukum dengan pemberlakuan sangsi secara tegas terhadap pelaku pelanggaran pemilu. Kedua, partisipasi rakyat dan semua elemen (mahasiswa, LSM, NGO, dll.) untuk bahu-membahu mengontrol jalannya agenda pemilu. Ketiga, memberikan pendidikan politik, semacam penyuluhan kepada rakyat tentang mekanisme pemilu, sekaligus rule of the game yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan dalam pemilu. Dengan demikian, paling tidak politik uang bisa diminimalisir.

Akhirnya, penulis menegaskan—meski merupakan bahaya besar—politik uang bukan “satu-satunya” kejahatan pemilu yang harus diwaspadai. Masih banyak cara dan motif bagi mereka yang berniat untuk menodai pemilu. []



Sumber: Pelita, 17 Juni 2003.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes