Wednesday, May 19, 2004

Terbebas dari Kekerasan

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Penyerbuan kampus UMI Makasar, gejolak konflik di Ambon, dan “penertiban” pendukung Abu Bakar Ba’asyir merupakan bagian dari warna-warni kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Kekerasan seakan tidak bisa terlepas dari kehidupan bangsa Indonesia yang (katanya) adil dan beradab. Tindak kekerasan tidak lagi menjadi sesuatu yang alami, tetapi timbul akibat dari tindakan yang diciptakan oleh kelompok tertentu yang menginginkan instabilitas.

Ketika ada ketidaksefahaman, maka tindak kekerasan sudah menjadi sesuatu yang tak dapat dielakkan lagi. Ini pertanda bahwa rasa kemanusiaan bangsa ini semakin hari kian rapuh. Patut kiranya kita menanyakan, ke mana spirit humanisme dalam diri manusia; cinta sesama, tolong menolong, gotong royong, dan hidup berdampingan secara harmonis dan dinamis. Pembelaan terhadap “manusia” belum pernah ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di republik ini pun hanya bisa melakukan penyuluhan, dan rekomendasi-rekomendasi saja, tidak lebih dari itu. Mereka tidak pernah diberi wewenang untuk melakukan pembelaan yang lebih tegas.

Sungguh sangat menggelisahkan. Apalagi kebanyakan peristiwa selalu dikaitkan dengan nuansa politis. Jika tidak menguntungkan dirinya secara politis, maka peristiwa itu akan ditelantarkan atau tidak digubris. Contoh, aksi kekerasan yang baru-baru ini terjadi, kenapa buntut dari isu yang muncul adalah tolak presiden dari militer? Ini adalah tanda tanya besar. Jangan-jangan kekerasan-kekerasan yang terjadi, bukanlah hal yang alamiah konflik individu/kelompok. Akan tetapi ada indikasi ke arah penciptaan setting kepentingan kelompok tertentu. Atau jangan-jangan ada hubungannnya dengan konflik elit untuk memperebutkan jabatan.

***

Begitu pula dengan komitmen kebangsaan dan budaya komunalisme yang sudah mulai mengalami degradasi. Munculnya konflik yang terjadi belakangan ini paling tidak ada dua sebab. Pertama, euforia kebebasan yang selama ini dikekang. Masyarakat Indonesia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari warga yang bebas untuk berekspresi dan mengartikulasikan jati dirinya. Prinsip kebebasan yang mereka anut adalah kebebasan dengan sebebas-bebasnya, tanpa harus memandang apakah bertentangan dengan kepentingan orang lain atau tidak. Yang menjadi masalah adalah ketika semangat untuk bebas dan merdeka ini tidak tersalurkan pada hal-hal yang positif. Tentunya, hal ini akan menggiring pada tingkah pola yang negatif dan malah kontra-produktif dari tujuan semula, tentang makna kebebasan itu sendiri, yaitu bebas dari (free from) segala bentuk keterkungkungan dan bebas untuk (free for) bersikap dan berekspresi. Kebebasan—yang berbasis kemanusiaan—merupakan bentuk perlawanan terhadap “hegemoni” kekuasaan, ideologi, kebudayaan dan agama yang hipokrit.

Kedua, ketidakpuasan pihak-pihak tertentu atas realitas politik yang terjadi. Ketidakpuasan ini muncul akibat (di)tergesernya otoritas politik oleh pihak lain (baca: rival politik). Dalam logika pertarungan, maka muncullah “dendam politik” yang selanjutnya dilampiaskan kepada rakyat awam dengan jalan memprovokasi. Sungguh ironis, dan harus cepat ditangani, sebab bangsa ini sudah merindukan dewa penolong (untuk tidak mengatakan Satrio Paningit atau Ratu Adil) yang akan menyolidkan dan merajut semangat nasionalisme yang (masih) tercecer.

Harapan di Tengah Badai

Komponen bangsa yang—bisa dibilang—masih kocar-kacir ini harus mulai dirakit kembali. Begitu pula dengan nasionalisme kebangsaan yang “sobek” harus dijahit kembali, sebab hal ini merupakan wujud dari implementasi komitmen NKRI. Lalu, dengan jalan apakah harapan ini bisa terwujud? Apakah kita masih gandrung dengan cara-cara kekerasan? Harus disadari, aksi-aksi yang berbau militeristik bukan menyelesaikan masalah, bahkan membikin keruh.

Tak ayal, badai yang menghantam perdamaian bangsa ini, salah satunya, adalah budaya kekerasan. Berbicara tetang kekerasan, penulis ingat dengan Johan Galtung (peneliti dan penulis buku-buku perdamaian), yang menegaskan bahwa kekerasan tidak hanya berupa fisik, tetapi juga psikologis. Kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental dan mengacak otak.

Selain itu, lanjut Galtung, ada kekeraasan yang sifatnya tersembunyi. Ini ibarat bara dalam sekam, yaitu tidak kelihatan namun bisa dengan mudah “meledak” kapan saja. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah (unstable equilibrium). Konsep ini terbukti saat pemerintahan Soeharto berkuasa, di situ ada kekerasan yang tersembunyi. Tampak dari luar seakan-akan stabilitas terjaga, padahal di dalamnya menyimpan kompleksitas kebobrokan bangsa yang ditutupi. Kejadian sesungguhnya adalah situasi keseimbangan yang goyah sehingga sangat mudah meletus menjadi serangkaian kasus, seperti kerusuhan Mei 98, peristiwa Tanjung Priok, Lampung, serta kasus-kasus yang lain.

Semua ini adalah tanggung jawab kita bersama, terutama para generasi muda. Sebab merekalah yang akan merancang arah bangsa ke depan. Dari paparan di atas, jelas bahwa bangsa ini sudah lelah dengan legalisasi cara-cara kekerasan dengan warna-warni apologi. Dari sini, perlu kiranya untuk membangunkan spirit humanisme (baca: rasa kemanusiaan) yang sempat mati suri. Dan juga perlu adanya “penyadaran” tentang pentingya nilai-nilai kemanusiaan dan bukan nilai-nilai primordialisme yang selama ini mereka “sembah”.

Pertama, membumikan budaya dialogis di kalangan masyarakat Indonesia. Apapun masalahnya harus ditangani dengan (oto)kritis-dialogis dan bukan konfrontatif. Cara-cara yang non-dialogis bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru membikin “kekerasan tersembunyi” sebagaimana di atas. Kedua, menyadarkan masyarakat tentang makna humanisme universal, bukan sekedar primordialisme yang sempit (lokal). Sebab cara pandang yang sempit akan menimbulkan pola pikir yang sempit pula.

Jadi, ketika budaya dialogis sudah membumi dan spirit humanisme telah tertanam, maka masyarakat Indonesia secara step by step akan terbebas dari budaya kekerasan. []


Sumber: Harian Merdeka, 19 Mei 2004.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes