Thursday, September 16, 2004

Perlawanan terhadap Hegemoni

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Aksi-aksi terorisme di Indonesia umumnya dituduhkan kepada kaum fundamentalis. Deretan nama-nama seperti Imam Samudra, Amrozi, Azhari, dan Noordin Moh Top adalah bagian dari kaum fundamentalis. Sebenarnya, ada apa dengan mereka sehingga tega melakukan tindakan-tindakan terorisme yang ahumanis?

Label-label seperti terorisme, ekstremisme, radikalisme, integrisme, revivalisme, tradisionalisme, skripturalisme, dan sebagainya sering digunakan untuk mewakili gejala fundamentalisme yang ada. Begitu pula dengan label Islamisme, acap dipakai sejak Revolusi Iran meletus di tangan sekte Syi’ah (1978-1979) dan kembali dipertegas secara “fantastik” oleh runtuhnya Menara Kembar World Trade Center di New York.

Dalam hal ini, Karen Amstrong memandang fundamentalisme sebagai bentuk spiritualitas yang disajikan untuk melawan (embattled), yang muncul sebagai respon atas krisis yang dirasakan.

Dengan kata lain, yang dimaksud Karen adalah bentuk kekhawatiran bahwa modernitas akan mengikis bahkan memberangus keyakinan (religius) dan moralitas. Sedangkan Jeffrey K. Hadden dan Anson Shupe dalam Secularization and Fundamentalism Reconsidered cenderung melihat fenomena fundamentalisme sebagai pernyataan terhadap otoritas yang diklaim ulang berlandaskan tradisi suci untuk digunakan sebagai obat penangkal bagi masyarakat yang telah menyimpang dari tambatan budayanya.

Kalau begitu, benarkah tradisi suci keagamaan menuntut para pemeluknya untuk bertindak konfrontatif, bahkan ekstrem? Ataukah kelahirannya lebih distimulasi oleh faktor-faktor profan?

Banyak yang beranggapan bahwa teks (doktrin) suci agama yang dipegang secara amat ketat dengan tanpa memberikan ruang hermeneutik merupakan lahan subur tumbuhnya gerakan fundamentalis. Tetapi, benarkah demikian? Menurut Fred Haliday (Al Islam wa Khurafat al Muwajahah; Al Din wa al Siyasah fi al Syarq al Awsath: 1997) dalam tanggapannya atas revolusi sekte Syi’ah Iran, sesungguhnya faktor-faktor duniawilah (sosial-politik) yang secara dominatif lebih melandasi dan mendorong meletusnya revolusi Iran dibanding faktor (doktrin) agama.

Corak pemikiran Ayatullah Khomaeni, pimpinan revolusi dan spiritual Iran, memang fundamentalistik jika dikaitkan dengan klaim yang berakar pada teks-teks suci. Namun, jika ditinjau ulang, sesungguhnya struktur pemikiran Khomaeni justru lebih bersandar pada background sosial kontemporer dan dialektika politik modern.

Tak lain, hal itu ditengarai dengan realitas kekuatan hegemoni Barat yang sangat kuat menggenggam segala segmen kehidupan global. Negara-negara Islam -setidaknya merujuk pada mayoritas warga negara yang muslim- hampir seluruhnya hanya menyandang predikat bagian dunia ketiga. Sebuah predikat yang cukup untuk menandai keterpurukan negara-negara tersebut, baik dari segi budaya, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, maupun lebih jauh lagi, peradaban.

Sikap vis-à-vis antara fundamentalisme Islam dan dunia Barat sangat telanjang untuk dilihat. Bahkan, lebih menampar lagi, Cak Nur (Islam Kemodernan dan Keindonesiaan: 1992) memandang bahwa inti ideologi fundamentalisme Islam adalah anti-Westernisme.

Fundamentalisme bangkit dalam masyarakat-masyarakat yang dibelenggu oleh kesan-kesan kapitalisme. Itu akibat imperialisme dan perubahan hubungan-hubungan sosial yang mengiringi kebangkitan kelas kapitalis lokal yang disokong oleh kerajaan kapitalis global.

Jadi, kapitalis adalah musuh utama fundamentalis. Permusuhan itu bukan atas dasar perbedaan tafsir atau hermeneutik yang fundamental vis-à-vis liberal, tetapi lebih disebabkan konstelasi sosial dan pertarungan politik global. Teror bom di beberapa wilayah lokal—termasuk Indonesia—tak lain merupakan bagian dari skenario global. Karena itu, aksi-aksi terorisme yang dilancarkan oleh kaum fundamentalis tidak sepenuhnya dinilai negatif. Sebab, fundamentalisme mempunyai andil besar dalam membakar semangat darah juang umat untuk bangkit dari keterpurukan, serta bagian dari upaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Barat.

Bahkan, ia secara konkret telah menempati frontline perlawanan umat atas hegemoni Barat. Tetapi, yang perlu dikritisi adalah bentuk perlawanan yang mereka gunakan, yaitu jauh dari nilai-nilai humanisme. Akibatnya, gerakan resistensi tersebut malah kontraproduktif dan berbuntut kecaman.

Sekarang, yang terpenting adalah bagaimana gerakan radikalisme (pro-kekerasan) menjadikan gerakan yang berdasar atas nilai-nilai humanisme (nir-kekerasan). Ini harus dibuktikan bahwa eksistensi agama bukanlah yang seperti dipersepsikan oleh Si hantu berjenggot Karl Marx (agama adalah candu masyarakat) dan Si gila Nietzsche (Tuhan telah mati).

Untuk keluar dari stigma dan tuduhan tersebut, pertama, harus ada keseimbangan antara dua orientasi kehidupan, teosentris dan antroposentris. Sebab, selama ini, agama selalu diajarkan dan dipahami sebagai sesuatu yang melangit dengan janji-janji yang abstrak: pahala, dosa, surga, neraka dan lain-lain. Makanya, harus ada penekanan pada dimensi kemanusiaan agama-agama (antroposentris). Dengan harapan agar agama memiliki ketegasan dalam hal pembelaan manusia. Kedua, menumbuhkan semangat teologi pembebasan (theology of liberation) dengan tetap berpijak pada epistemologi humanisme. Pemahaman agama yang antroposentris—sebagaimana di atas—akan semakin memudahkan kita untuk melakukan passing over terhadap realitas ketertindasan atau keterbelengguan menuju “gerakan” untuk pembebasan (from theology to revolution). []


Sumber: INDO POS, 16 Sept 2004.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes