Sunday, December 26, 2004

Refleksi Natal: Menuju Juru Bebas Manusia

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya, Natal tahun ini masih diwarnai ancaman kekerasan. Untuk antisipasi, pemerintah menghimbau agar masyarakat berhati-hati dan waspada. Tampaknya, ancaman kekerasan saat Natal ini serius, yaitu dengan ditemukannya bom rakitan di tempat-tempat umum. Apalagi, pemerintah AS dan Australia telah mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia, sekitar Natal dan Tahun Baru 2005.

Ironisnya, isu yang berkembang adalah kekerasan atas nama agama (lagi). Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam distigmakan bak sarang teroris. Islam dicitrakan seakan-akan tidak mengenal makna toleransi dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah benar demikian? Bukankah dalam Islam ada konsep ahl al-dzimmah, minoritas (non-Islam) yang harus dilindungi dan dijaga hak-haknya, bukan malah dilukai? (Syadzali, 1992:169).

Orang yang saleh beragama akan beranggapan, bahwa perbedaan dalam ritual adalah bagian dari pluralitas cara pemeluk agama dalam meniti jalan menuju Tuhan-nya. Dalam merespon keberagaman itu, Hazrat Inayat Khan mengkampanyekan gagasan “kesatuan ideal agama-agama”. Baginya, agama ibarat nada-nada. Agama yang satu dengan yang lain memainkan nada yang berbeda. Jika nada-nada tersebut bekerja sama maka terciptalah sebuah harmoni. Jika tidak, maka akan lahir musik yang sumbang (The Unity of Religious Ideals, 1949).

Ini adalah realitas yang menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama adalah keniscayaan atas agama-agama. Karena itu, menurut penulis, memusuhi agama lain bukanlah cermin dari kesalehan dalam beragama. Di samping itu, yang terpenting lagi adalah bagaimana kesalehan itu mampu beranjak dari masjid ke ranah sosial (baca: kesalehan sosial), yaitu bagaimana agama mampu menjadi “juru selamat” manusia, bukan malah menjadi “candu”.

Sikap merasa paling benar, eksklusif, fanatis, dan tidak toleran adalah sikap yang kontraproduktif dengan misi agama itu sendiri. Karena itu, tugas terberat “agamawan” saat ini adalah memberikan pemahaman dimensi kemanusiaan agama-agama, bukan malah—yang sering terjadi—mengajari fanatik terhadap satu agama atau aliran tertentu. Hal ini dikhawatirkan berakibat pada sinkretisasi terhadap agama lain. Bagaimanapun, sisi kemanusiaan harus menjadi pijakan bersama umat beragama. Sebab, pijakan inilah yang akan melahirkan benih-benih umat yang inklusif dan pluralis, bukan umat yang fanatis-parokial dan sok benar.

Dus, momentum Natal tahun ini harus mampu menegaskan bukti otentisitas toleransi antarumat beragama di Indonesia. Sikap arogan, anarkhis, dan fanatik buta dalam agama justru akan menjadikan agama sebagai “limbah sosial”. Realitas ini semakin menjauhkan dari pesan perenial agama, yaitu humanisme universal.

Agama turun bukan untuk diperebutkan kebenarannya (baca: dibela), tetapi untuk membela dan memuliakan manusia (QS. 17:70). Agama juga tidak pernah mengajarkan sikap merasa benar sendiri dan yang lain salah, tetapi bagaimana menghargai orang lain yang berbeda dengan kita (QS. 49:13, 4:1).

Menggugah Sense of Crisis

Kekerasan (agama) yang berulang-ulang setiap tahun seharusnya mendewasakan cara pandang kita dalam bermasyarakat dan beragama. Dengan kejernihan nalar, kita berusaha untuk memahami realitas sosial-beragama yang “ditunggangi”. Kita tidak bisa membiarkan bahwa agama distigmakan sebagai sumber malapetaka. Kita perlu berfikir ulang, sejauh mana agama melakukan pembelaan terhadap manusia dan penciptaan maslahah bagi manusia.

Agenda inilah yang belum membumi. Sehingga, salah satu penyebab krisis yang terjadi di negeri ini adalah pemahaman agama yang tidak berbasis kemanusiaan (teosentris an sich). Bayangkan, di negara yang berketuhanan ini, menurut data Lembaga Transparancy International (TI), orang-orangnya jago korupsi. Dari posisi keenam se-dunia di tahun 2003 menjadi rangking kelima di tahun 2004. Jika demikian, agama telah kehilangan peran sosial-kemanusiaan. Agama hanya mampu melaksanakan ritual-ritual simbolis.

Apalagi, sekarang ini, seringkali agama diseret ke wilayah konflik-sosial dan tindak kekerasan (teror). Sejak kapan agama berubah menjadi provokator kerusuhan dan peledakan bom? Ini merupakan bukti kegagalan terbesar umat beragama dalam merumuskan dan menangkap substansi agama yang selama ini diyakini mampu memberikan kesejukan, keadilan, dan kesejahteraan.

Karena itu, Natal kali ini harus mampu memberikan roh atas kehidupan masyarakat dengan menjunjung tinggi serta menghormati hak-hak asasi manusia. Corak keberagamaan para pemeluk agama juga harus dirubah, dari konflik menuju cara beragama yang lebih emansipatoris.

Selain itu, agama harus disegarkan (refresh), (1) agar menemukan elan vitalnya kembali sebagai pendobrak kejumudan dan “juru bebas” manusia, (2) agar agama tidak hanya respon atas persoalan-persoalan teologis, tetapi juga pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Berarti, agama harus mengalihkan perhatian, dari ‘persoalan langit’ menuju persoalan riil yang dihadapi manusia.

Dengan demikian, wilayah kerjanya adalah terletak pada tataran praksis. Yaitu agama tidak hanya dipahami sebagai ritual-simbolik melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan dan pembelaan atas hak asasi manusia (QS. 106:2-4).

Ingat, problem keberagamaan sekarang bukanlah problem doktrinal, melainkan problem yang bersifat praksis, yaitu problem kemanusiaan. Misalnya, konflik sosial, kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi dan lain-lain. Dalam kondisi seperti ini, agama bukan hanya untuk dijadikan ‘sesembahan’, melainkan untuk menyempurnakan moral dan mengangkat harkat mausia.

Karena itu, dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala bentuk eksploitasi serta hegemoni. Agama mesti dipaksa beranjak dan bertolak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, sehingga mampu memberikan dorongan moral untuk bebas dari segala bentuk belenggu yang menindas.

Dari Individu Menuju Kesalehan Sosial

Dalam konteks ini, ada dua hal yang dapat dijadikan tauladan saat Natal. Pertama, teologi kelahiran Isa al-Masih yang diyakini sebagai juru selamat, akan mengilhami umat beragama untuk menjadikan agama sebagai motor peruabahan sosial dan kontra ‘penindasan’. Hal tersebut senada dengan tesis Weber (1864–1920), bahwa agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia.

Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial di luarnya. Sejalan juga dengan misi profetik Nabi yang paling utama, misi pembebasan. Yaitu membebaskan umat manusia (bukan hanya Islam) dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Karena itu, Nabi dimata umatnya adalah Sang Pembebas. Proses pembebasan inilah yang akan menciptakan transformasi sosial, dari kondisi yang ‘terjajah’ menjadi ‘merdeka’.

Kedua, Perjuangan Isa yang bertubi-tubi dengan penuh kesabaran adalah cermin kekuatan (bukan fanatisme) iman dengan kesalehan sosial. Meski hidup dalam kondisi miskin, marjinal, dan penuh dengan konflik, dendam, dan permusuhan, Isa hadir dengan menebar benih-benih perdamaian.

Dengan semangat Natal, mari kita kikis konflik dan permusuhan. Niscaya hidup rukun dan damai akan terwujud. Jika demikian, maka agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam upaya kesalehan sosial ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). []


Sumber: Indo Pos, 26 Desember 2004.

Wednesday, December 22, 2004

Bom Waktu Janji 100 Hari

Oleh Abdullah Ubaid Matraji
 

Modal kepercayaan (popular mandate) yang telah diberikan rakyat kepada SBY-JK tidaklah kecil, unggul 20 persen dibanding rivalnya. Sekarang saatnya balas budi, apa yang bisa diberikan SBY-JK kepada rakyat? Perubahan apa yang bisa dirasakan oleh rakyat? Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam 100 hari, maka jangan kaget kalau rakyat akan melakukan delegitimasi bahkan menuntut agar SBY-JK mundur.

Jangan-jangan, SBY akan dilumat oleh janji-janjinya sendiri. Tidak sedikit masalah yang harus diselesaikan dalam tempo 100 hari. Apalagi, menurut penulis, SBY tekesan ingin memuaskan semua pihak. Tercermin dengan susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), yang seakan-akan SBY ingin mengakomodir semua kepentingan. Buntut dari kebijakan ini adalah orang-orang yang dari awal mendukung SBY malah ditinggalkan. Misalnya, Partai Demokrat Sulawesi Utara (pendukung setia SBY) mengibarkan bendera setengah tiang sebagai wujud ungkapan rasa kecewa, sebab ‘jago’ mereka gagal terpilih sebagai menteri dalam KIB.

Lebih parah lagi, agenda perioritas SBY-JK yaitu pemberantasan korupsi dan penegakan good governance tidak disokong oleh orang-orang yang handal dan kapabel. Tapi ternyata, pertama, SBY malah mengangkat orang-orang yang punya masa lalu gelap, terkait dengan penggelapan dana dan membagi-bagikan uang dari perusahaan kepada kolega-koleganya di DPR. Bagaimana akan menangkap para koruptor, sementara orang dalam sendiri banyak yang (bekas) koruptor.

Kedua, munculnya nama-nama pengusaha yang pernah terjerat utang milliaran dollar AS dan sampai sekarang mereka termasuk orang-orang yang ‘menyengsarakan’ rakyat. Mereka sama sekali tidak ada kepantasan untuk duduk di kursi kabinet, sebab mempunyai reputasi buruk dan gemar menunggak utang di bank-bank pemerintah. Jangankan melunasi hutang, bisa jadi pemerintahan SBY-JK malah menambah beban utang negara.

Ketiga, SBY masih membiarkan para petinggi partai bercokol di kabinetnya. Bagaimana mereka akan bekerja demi rakyat jika dalam dirinya masih tersemat baju partai yang belum bisa ditanggalkan. Dikhawatirkan nanti dalam kinerjanya masih mementingkan kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat secara luas. Karena itu, SBY harus tegas. Jika tidak demikian, alih-alih mereka memikirkan rakyat justru para kolega partainya menagih ‘jatah kesejahteraan’ melulu.

Keempat, sebagian besar dari komposisi kabinet, diisi oleh orang-orang yang tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dan sebagian besar, mereka tidak mengisi surat pemberitahuan (SPT) pajak dengan benar. Bahkan ada juga yang tidak mengisi daftar harta dan kekayaan (Kompas, 25/10). Bagaimana mereka akan memperbaiki bangsa jika mereka tidak mampu memberikan suri tauladan yang baik?

Bekal kepercayaan rakyat kepada SBY-JK sungguh berat, karena itu harus dipikul secara bersama-sama. Jika yang mikul orang-orangnya tidak solid, satu sama lain tidak ada komitmen komunal, maka tunggu saja keruntuhannya. Senada dengan kasusnya Megawati, saat belum menjadi pemimpin, ia identik dengan wong cilik, kaum marginal, dan tertindas. Tapi, saat dia memimpin, Mega tidak mampu mempertahankan identitasnya bahkan malah mengeluarkan kebijakan yang tidak pro wong cilik. Akibatnya, rakyat apatis dan tidak percaya lagi kepada Mega. Tidak menutup kemungkinan ini juga akan terjadi pada SBY-JK. Apalagi akhir-akhir ini, menurut data IFES, menunjukkan adanya gejala penurunan popularitas. Dari puncaknya sebesar 73 persen pada bulan Juli, menjadi 69 persen pada bulan Agustus, dan terakhir 60 persen pada 20 september.

Sekarang pertanyaannya adalah mampukah SBY membawa ‘angin segar’ bagi rakyat dalam waktu 100 hari? Penulis tidak yakin SBY akan mampu membereskan persoalan dalam waktu sesingkat itu. Pertama, janji 100 hari terkesan seperti ‘lampu aladin’. Kasus-kasus di Indonesia—seperti pembobolan bank BNI, peledakan bom (terorisme), keamanan di Aceh dan Papua, TKI ilegal, pengangguran, harga BBM, lemahnya supremasi hukum dan lain-lain—adalah bukan kasus yang enteng, tinggal bimsalabim langsung beres. Tetapi, butuh konsentrasi serius dan kerja team work yang handal dan profesional. Hitungan 100 hari pertama yang digembar-gemborkan SBY (jangan-jangan) hanya ikut-ikutan ala Barat, khususnya di Amerika Serikat. Biasanya, seusai pemilihan umum dan pemerintah berganti, orang suka bicara tentang: the first hundred days.

Kedua, SBY tidak diperkuat dengan kabinet yang ‘bersih’. Mungkinkah SBY akan membuat kebijakan shock therapy terutama di bidang penegakan hukum, sementara kabinetnya yang diangkatnya masih banyak yang bermasalah? Contoh lain, kemarin (27/10) Presiden memberikan pengarahan kepada Dirjen Pajak Hadi Poernomo di gedung Direktorat Pajak agar mengelolah sistem perpajakan secara profesional. Secara tidak langsung SBY telah mencoreng dirinya, sebab komposisi KIB diisi oleh orang-orang yang tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Lebih ironis lagi, menurut data yang dipaparkan oleh Komite Waspada Orde Baru (Tewas Orba), KIB pimpinan SBY-JK terdapat 34,21 persen anggota kabinet yang teridentifikasi terlibat Orba. Era ini lebih banyak menampilkan kembali tokoh-tokoh Orba jika dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur (33,33 persen) dan Megawati (31,25). Bahkan terdapat lima orang di antara KIB merupakan mantan pejabat tinggi TNI/Polri di era Orba. Mereka adalah Laksamana TNI (pur) Widodo A.S. (Menko Polkukam), Letnan (pur) M. Ma’ruf (Mendagri), Letjen (pur) Sudi Silalahi (Seskab), Brigjen (pur) Taufiq Effendi (Menpan), dan Laksamana Madya (pur) Fredy Numberi (Menteri Kelautan dan Perikanan). Bercokolnya eks Orba di pemerintahan SBY-JK ini memberikan trauma bagi rakyat Indonesia, sekaligus menimbulkan rasa pesimistis akan adanya perubahan.

Ketiga, SBY lebih akomodatif terhadap kepentingan partai politik, dari pada rakyat. Terutama tercermin pada tim ekonomi. Sampai-sampai, para ekonom menyayangkan, karena tim ekonomi KIB tidak mempunyai track record pemihakan pada rakyat. Lalu berbuntut pada respon pasar yang negatif, termasuk ikut merosotnya nilai rupiah. Ternyata, barisan menteri ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi pasar.

Saking ruwetnya, ada yang mengistilahkan KIB sebagai akronim dari Kabinet Indonesia Bingung. Dengan melihat realitas tersebut, penulis pesimis dengan janji 100 hari SBY-JK akan sukses mewujudkan ‘perubahan’, justru yang ada adalah bom waktu yang siap meledak setelah 100 hari (jika) tidak ada perubahan. []


Sumber: Duta Masyarakat, 22 Desember 2004.

Sunday, December 05, 2004

Surat untuk SBY

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Dengan ucapan basmalah dan salam perjuangan, saya awali lantunan suara hati lewat surat ini. Berkenaan dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia, sebagai elemen kecil yang tidak di(per)hitung(kan), saya sungguh tidak bermaksud menasehati, menggurui, bahkan mengkritik Bapak. Saya hanya ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan sebagai wong cilik yang biasa jagongan (ngobrol ringan) dari warung ke warung. Semua yang saya torehkan di sini adalah obrolan dan renungan ringan lagi spontan yang terjadi di warung, bukan layaknya narasumber di forum-forum seminar dengan membawa makalah dan referensi yang seabrek.

Presiden yang mulia.

Kemarin, tepatnya 2 Desember 2004, saya bermain ke kos-kosan teman lama di Jogja. Seperti biasanya, begitu perut keroncongan, saya langsung bertolak menuju angkringan (warung kecil lagi murah di Jogja). Saat itu, memang lagi hangat-hangatnya njagong terpelesetnya pesawat Lion Air. Lucunya, Ketika saya dan teman-teman lagi asyik menghitung orang-orang yang tewas dan yang luka-luka, ujug-ujug, si penjual nyeletuk:

“Mangkanya nama presiden kita mending diganti aja dengan Susilo Bambang Nyudhonyowo, bukan Yudhoyono.”
“Kok begitu Pak?”
“Lha iya toh Mas, awal-awal pemerintahan SBY inikan kan udah banyak makan nyowo (jiwa).”

Jika direnungkan, ungkapan ini memang terbukti. Sejak dilantiknya Bapak, sudah banyak korban yang berjatuhan. Orang Jawa bilang—terlepas dari benar atau tidak—ini adalah tumbal kemenangan SBY. Mulai dari kecelakaan kereta, bus, pesawat, banjir, meninggalnya Munir, sampai dengan gempa di Nabire. Ternyata, terpilihnya Bapak sebagai Presiden Republik Indonesia ini banyak menghilangkan atau mengurangi (nyudo) nyawa manusia. Sehingga tidak salah apa yang dibilang Si penjual tadi, Susilo Bambang Nyudhonyowo.

Bagi saya, tumbal atau apapun namanya itu bukanlah substansi. Yang terpenting adalah mengapa semua ini bisa terjadi? Kelalaian pemerintah kah atau ada penyebab lain? Nah, pada titik inilah yang harus dievaluasi.

Bapak Presiden yang saya hormati.

Sebelumnya saya mohon maaf, kalau ungkapan di atas terlalu lancang dan tidak patut untuk saya ungkapkan. Bukan maksud hati mengotak-atik nama Bapak yang sudah tersohor, tapi saya hanya menceritakan apa adanya. Karenanya, dengan kerendahan hati, izinkan saya untuk melanjutkan menulis.

Kali ini, tepatnya di warung kopi alun-alun kota Gresik (maaf tanggalnya saya lupa). Tak sengaja, saat itu saya satu meja dengan mahasiswa. Suara melengking yang sempat aku tangkap adalah “supremasi hukum”. Biasa, namanya juga mahasiswa ngomongnya agak ndakik-ndakik dan sok idealis. Dengan ngotot dia berkata:

“Sependek pengetahuan saya, hukum itu sejatinya tidak pandang bulu. Siapapun yang dinyatakan bersalah ya harus menerima hukuman. Jika tidak ya harus dibebaskan.”
“Idealnya memang begitu, tapi taukah kenyataan hukum di Indonesia? Nyatanya, amat berbeda dengan realitas di lapangan; sing cilik di injek-injek, sing gede dielus-elus (yang kecil diinjak-injak, yang besar dibelai-belai).” Sahut temannya.

Begitulah sepenggal obrolan yang sempat saya save. Kalau dipikir-pikir, memang benar juga. Menurut saya, jumlah maling kelas teri dengan kelas kakap sama banyak jumlahnya. Tapi mengapa yang nongol di program kriminal layar TV kebanyakan yang kelas teri? Lagi-lagi pencurian, lagi-lagi perampokan, lagi-lagi perkosaan, sampai bosan saya menontonnya. Pertanyaan saya kepada Bapak, kapankah rakyat disuguhi dengan tontonan kriminalitas maling-maling kelas kakap (untuk tidak mengatakan kelas Akbar)?

Kalau hanya menangkap maling-maling kampungan (lokal), saya juga bisa (maaf kalau agak sombong). Sebab menurut saya, Persoalannya bukan bisa atau tidak bisa, yang jadi penghambat adalah keberanian (wani opo ora?). Saya yakin, jika ada keberanian (sudah tentu beserta niat) semuanya akan mudah. Bagaimana menurut Bapak Presiden? Benar tidak?

Meski jauh dari harapan, terus terang, saya salut dengan Bapak. Tertangkapnya Abdullah Puteh adalah bukti konkrit konsistensi dan keseriusan Bapak. Saya berharap, Bapak tidak hanya berhenti sampai di titik ini, tapi bagaiamana keberhasilan Bapak ini menjadi pemicu semangat untuk mengganyang koruptor-koruptor di negeri ini.

Di lain waktu, senin 15 November 2004, tidak seperti biasanya, saat nangkring di warung kopi depan rumah selalu banyak orang yang ngobrol ngalor-ngidul. Saat itu sepi, hanya aku dan penjaga warung. Entah pada ke mana orang-orang kampung.

Bapak tahu tidak, ketika itu saya termenung begitu ngenes dan mengelus dada. Karena tahun ini, Indonesia masih terjerembab dalam the best five negara terkorup di dunia, versi lembaga Transparancy International (TI). Ditaruh di manakah moral dan agama yang tersemat apik dalam tubuh manusia Indonesia. Sungguh memalukan. Saya sebagai rakyat saja malu, masak Bapak tidak merasa?

Saya tegaskan, pemberantasan korupsi tidak dengan “deklarasi-deklarasi” tapi dengan action. Kalau boleh saya melakukan kritik, saat era Mega-Hamzah, ada dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang mendeklarasikan gerakan anti korupsi (NU dan Muhammadiyah), tapi apa hasilnya? Ternyata nihil. Maka dari itu, strategi pemberantasan korupsi harus ditata ulang. Bukan begitu Bapak?

Begitu susahnya nanganin korupsi, sampai orang-orang membuat kesimpulan, “kurupsi sudah men-tradisi.” Kenapa? Sebab dilakoni bareng-bareng; dari mulai pamong desa sampai dengan pamong negara. Saya punya usul, bagaimana kalau Bapak membangun penjara khusus korupor di tengah-tengah pasar (keramaian) dengan “model transparan”, agar penghuninya dapat disaksikan oleh semua orang yang lalu-lalang. Ini adalah bagian dari sangsi sosial yang harus diterima.

Terus terang, saya kok tidak setuju dengan ide me-nusakambangan-kan para terpidana korupsi. Menurut saya, mereka di sana itu keenakan. Mau ngapa-ngapain tidak ada yang tahu, jauh dari keramaian, dan tidak menutup kemungkinan, mereka yang berada di sana serasa di “surga”. Bagaimana tidak, menjenguk saja ada yang pake’ halikopter, betapa istimewanya napi-napi itu. Setujuhkah Bapak?

Presiden yang terhormat.

Tak terasa, sudah banyak hal yang saya ungkapkan, Bapak tidak perlu menanggapi uneg-uneg saya, pasalnya memang tidak pantas untuk ditanggapi. Ini hanyalah sebatas pepesan dan ide-ide gila ala warung-warung kampung(an), yang bukan berasal dari tempat megah serta dipenuhi oleh orang-orang yang jas-jasan dan dasian. Kendati remeh, apa yang saya ungkapkan adalah realitas yang terjadi di akar rumput, yaitu rakyat kecil (termasuk saya) yang kemarin saat pemilu adalah termasuk orang-orang yang mencoblos Bapak. Saya tidak rela jika kepentingan rakyat kecil dibuldoser oleh kepentingan “teman-teman” Bapak. Sebab, sejatinya, kita adalah satu, Indonesia.

Sungguh Bapak, saya tidak ingin persatuan dan kesatuan bangsa ini tersembelih dan tercabik-cabik oleh kepentingan oknum-oknum yang hipokrit dan tidak bertanggung jawab. Saya mengharap kepada Bapak Presiden untuk tidak menyelesaikan tumpukan PR bangsa ini dengan sendiri, karena tidak mungkin. Maka, seandainya saya jadi Bapak, pertama, saya akan merangkul dan melibatkan seluruh komponen bangsa—bukan hanya golongan saya—untuk turut serta membangun dan merestorasi Indonesia. Kedua, memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat (non-goverment) untuk melakukan “kontrol” atas pemerintah, yaitu sebagai postulat dari civil society.

Akhirnya, saya nyuwun agungipun pangapunten (mohon maaf yang sebesar-besarnya) jika saya dinilai agak lancang dan kurang andap ashor (tawadlu’). Terima kasih atas perhatiannya dan semoga apa yang Bapak lakoni tidak bertentangan dengan “hasrat” wong cilik. Itu saja. []

Sumber: Buletin AMBANG dan Arsip Blora Center, 5 Desember 2004.
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes