Sunday, January 23, 2005

Mengawasi Pemberantasan Korupsi

Oleh Abdullah Ubaid Matraji 


Penguasa yang rakus dan membiarkan perilaku korupsi adalah ibarat seseorang yang menunggang macan (Riding The Tiger, film dokumenter dari Australia yang dibuat Curtis levy dan Christine Olson). Yakni, orang yang haus dan rakus dengan korupsi akan berada di atas sebuah realitas kehidupan yang berpotensi “culas” terhadap dirinya sendiri. Jika ia turun dari macan, bisa saja ia diterkam lalu dimakan. Sebaliknya, bila ia terus, ia tak akan bisa mengendalikan lajunya sampai ia terjerembab ke dalam jurang.

Tak pelak lagi, dalam hal korupsi, Indonesia termasuk jagoan; dari posisi keenam di tahun 2003 menjadi rangking kelima di tahun 2004 (versi lembaga Transparancy International). Dengan “prestasi” tersebut, Indonesia telah disejajarkan dengan negara-negara terbelakang, seperti Georgia, Angola, Republik Demokratik Kongo, Tajikistan, Turkmenistan dan lain-lain. Saking repot dan kompleknya, banyak orang bilang, menggempur tradisi korupsi tak ubahnya mencabut pohon beringin (maaf, tidak ada hubungannya dengan Golkar) dari ujung daun. Mengapa demikian? Sebab korupsi telah mentradisi (dilakoni bareng-bareng) sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup. Dan mayoritas, modus korupsi itu disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk mengeruk keuntungan pribadi. Begitu bejatnya tatanan birokrasi pemerintahan kita ini.

Apalagi kalau kita menengok “sistem hukum” yang (di)berlaku(kan). Aparat penegak hukum di Indonesia masih saja pandang bulu. Bulunya siapa ya? Bulunya maling kampungan apa bulunya maling dasian (berdasi)? Kalau maling kampungan langsung di-pentungi, sedang maling dasian—karena banyak pertimbangan—keburu lari ke luar negeri. Orang Batak bilang, “Penegakan hukum macam apa pula ini?” Ini adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri, bahkan seringkali aparat penegak hukumnya seolah-olah kalah pamor dan wibawa dengan Sang koruptor, jelas ini adalah problem moral dan mental yang harus segera dibenahi.

Keseriusan Pemerintah

Pemberantasan kasus-kasus korupsi adalah termasuk program prioritas SBY dalam shock therapy yang didengung-dengungkan. Bahkan, SBY berjanji akan mengkomandoi langsung program ini. Sebab, hal Ini terkait dengan janji-janji politik SBY semasa kampanye yang akan memberantas kasus korupsi sampai ke akar-akarnya.

Untuk merealisasikan janjinya, pertama, SBY menyeleksi pendekar-pendekar hukum yang mampu menerobos kokohnya benteng korupsi. Penunjukan Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung, yang dikenal memiliki integritas moral bagus, memberi harapan dalam penegakan hukum pada penyidikan dan penuntutan kasus korupsi. Kedua, diterbitkannya Inpres No 5/2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang diagendakan ke dalam 66 program kerja kabinet selama 100 hari pertama. Impres tersebut merupakan implementasi UU No 31/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, Inpres tersebut memiliki payung hukum yang besar. Sehingga, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk ragu-ragu mengganyang para koruptor di negeri ini.

Memang cukup membanggakan, tak lama kemudian, pemerintahan SBY telah membongkar kasus-kasus korupsi cukup besar seperti kasus yang melibatkan Adrian Waworuntu, Nurdin Halid dan beberapa pejabat daerah. Kasus penahanan Abdullah Puteh (Gubernur NAD), Djoko Munandar (Gubernur Banten), Gubernur Sumatera Barat dan beberapa kasus korupsi lain dianggap sebagai pustulat keseriusan pemerintahan SBY dalam menuntaskan (tas.. tas.. tas..) kasus korupsi. Meskipun masih banyak kalangan yang menilai kasus-kasus tersebut masih tergolong kategori korupsi kelas teri, belum yang (se)kelas “akbar”.

Penulis menegaskan, pemberantasan korupsi tidak dengan “deklarasi-deklarasi” tapi dengan action. Sebagai contoh, saat era Mega-Hamzah, ada dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang mendeklarasikan gerakan anti korupsi, tapi apa hasilnya? Ternyata nihil. Maka, strategi pemberantasan korupsi harus ditata ulang. Dus, kita patut menggenjot keseriusan pemerintah. Apalagi sekarang ini pemerintah sedang mengalami “degradasi pamor”, akibat dari resistensi masyarakat atas kenaikan harga BBM. Pergolakan akar rumput ini agaknya menyita—sementara—perhatian pemerintah atas kasus-kasus korupsi.

Menakar Kekuatan

Sejak era Gus Dur sampai sekarang, pemberantasan korupsi tidak berjalan mulus dan tersendat-sendat, sebab—menurut penulis—tidak disokong oleh tiga hal. Pertama, nihilnya political will dan komitmen politik dari pemerintahan secara keseluruhan, baik pusat maupun daerah (manapun). Bagaimana pemerintah daerah akan menegakkan supremasi hukum jika yang pusat tetap ongkang-ongkang dan bancaan duit rakyat? Begitu pula sebaliknya.

Jelasnya, pemberantasan korupsi tidak ada artinya jika tidak ada kesinambungan gerak antara pemerintah pusat dan daerah. Sebut saja kasus Abdullah Puteh (Gubernur NAD), dia tidak akan tertangkap jika tidak ada kerjasama antara penegak hukum yang berada di pusat dan daerah. Penulis yakin, jika tidak ada kerjasama yang baik, maka Gubernur-gubernur dan pejabat-pejabat yang lain tidak akan dimejahijaukan.

Kedua, lemahnya independensi politik dan operasional para “agen penegak hukum” (bukan hanya lembaga legal yang dibentuk oleh pemerintah) untuk melakukan investigasi atas penyelewengan pemerintah. Justru realitas yang sering ditemukan di lapangan adalah teror, intimidasi, dan taruhan nyawa. Ini sudah menjadi rahasia publik dan bukti lemahnya (untuk tidak mengatakan tidak ada) back-up dari pemerintah. Kasus munir, misalnya, merupakan bukti pil pahit yang harus ditelan oleh agen penegak hukum (sisi HAM-nya, bukan korupsi). Pemerintah tidak pernah serius dalam mengusut kasus ini, malah cenderung ditutup-tutupi. Pada intinya, lika-liku penegakan hukum di Indonesia masih panjang dan butuh perjuangan yang ekstra.

Ketiga, rapuhnya “kekuatan kekuasaan” yang memadai untuk melakukan investigasi dan meminta kesaksian terhadap penyimpangan yang melibatkan pejabat publik. Realitas yang sering kita temui adalah fenomena “jalan buntu” atas kasus-kasus pejabat dan akhirnya sirna karena terhalang oleh prosedur dan intervensi.

Sekarang, pertanyaannya adalah sudahkah pemerintah SBY-JK merestorasi tiga hal di atas? Menurut saya—meski agak lumayan (dengan tertangkapnya Abdullah puteh) tapi—belum maksimal. Terutama pada titik lemahnya independensi politik agen penegak hukum dan rapuhnya kekuataan kekuasaan. Terbukti dengan, pertama, lemahnya back-up dari pemerintah atas tindakan beberapa aktivis yang membongkar kasus-kasus korupsi “raja lokal” di daerah. Mereka nekad tanpa ada jaminan keselamatan dari pemerintah. Kedua, masih banyaknya tersangka kasus korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai “kekuatan kekuasaan” untuk menjerat koruptor kelas kakap, sehingga mereka dibiarkan dengan leluasa joging dan ajojing ke negeri orang. []


Sumber: Penulislepas.com, 23 Januari 2005.

Saturday, January 22, 2005

Kurban dan Komitmen Penegakan HAM

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sayang sekali, jika Idul Adha hanya difahami sebatas ritus menyembelih hewan kurban dan nyate (makan sate) rame-rame. Tindakan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, kemudian dibarter Tuhan dengan kambing adalah bentuk metafor-simbolik tradisi kurban. Napak tilas tradisi ini berarti belajar untuk bisa menyeimbangkan dua dimensi ibadah. Dimensi pertama, membuktikan kepatuhan dan ‘dialog ketauhidan’ kepada Tuhannya. Bagaimana pertarungan dalam diri Ibrahim, antara nurani kemanusiaan (sebagai Bapak) dan kepatuhan menjalankan perintah-Nya (hamba Tuhan).

Ketauhidan yang diperankan Ibrahim sebagai bapak monoteisme agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) adalah cermin bahwa Allah merupakan sentral dan titik tuju dari seluruh aktivitas kemanuisaan. Sekaligus menggambarkan, bahwa egosentrisme, hawa nafsu, dan hasrat kepentingan sesaat harus ditanggalkan dalam rangka menghampiri Tuhan. Bagi Ali Syari’ati, tauhid mengimpulsikan menusia untuk memotret segalanya sebagai suatu kesatuan (unity), yaitu kesatuan universal. Kesatuan antara tiga elemen: Allah, manusia, dan alam. Dalam artian, ketiganya tidak terpisahkan dan terasingkan satu dengan lainnya, juga tidak saling bertentangan serta tidak terceraikan oleh bentuk-bentuk segregasi.

Dimensi kedua, menjunjung ‘etos kemanusiaan’ melampaui kepentingan dan syahwat duniawi. Artinya, manusia tidak diperbolehkan untuk mengorbankan (melecehkan) dirinya, membunuh manusia dengan ngumpet dibalik simbol-simbol Tuhan. Pasalnya, manusia terlahir dalam keadaan fitrah dengan kehormatan yang harus dijunjung tinggi serta perlindungan atas hak-haknya. Ini adalah bagian dari sisi kemanusiaan agama, yaitu sejauh mana agama mampu membela manusia, bukan sebaliknya.

Ibarat Yesus bagi umat Kristiani, menurut penulis, Ismail adalah kurban keselamatan, kurban yang membebaskan manusia dari segala bentuk pelecehan atas harkat dan martabat manusia, serta menjadi petunjuk manusia dari kegelapan (kanibalisme) menuju terangnya kehidupan (sacrificial atonement). Makanya, terkait dengan momentum hari raya kurban, kita patut mengevaluasi. Sejauh mana tingkat keseriusan pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan (baca: HAM)? Dari sini bisa diukur, berapa kadar keseriusan pemerintah dalam rangka membela dan melindungi hak-hak rakyatnya.

Selain itu, kita juga bisa tilik perjuangan Rasulullah Muhammad dalam penegakan prinsip hak-hak asasi manusia. Salah satunya adalah tercermin saat khotbah Haji Wada’. Prinsip yang diusung Muhammad adalah humanitarianisme, egalitarianisme, keadilan sosial dan ekonomi, kebajikan, serta solidaritas sosial. (Fazlur Rahman, 1979: 25). Jelas, misi kemanusiaan yang di usung oleh agama harus mampu mengilhami bangsa ini untuk semakin getol dalam melindungi hak-hak rakyatnya dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bukankah negara ini adalah negara yang berketuhanan, dan bukankah agama-agama mengajarkan prinsip yang sama tentang kemanusian?

Menurut Abu A’Ala Al-Maududi, ada dua konsep hak dalam Islam. Pertama, hak manusia (haq al-ihsan atau huquq al-ihsan al-dharuriyyah). Kedua hak Allah (huquq Allah). Hak yang pertama inilah yang tersohor dengan sebutan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dunia Islam, penegakan HAM adalah upaya menempatkan manusia sebagai makhluk yang terhormat dan mulia, sehingga merupakan tuntutan ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia, tanpa terkecuali.

Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Hal ini tercermin melalui tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan Deklarasi Cairo (Cairo Declaration). Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama kali didirikan oleh Muhammad sebagai pedoman perilaku sosial-kemasyarakatan, keagamaan, serta perlindungan semua anggota masyarakat yang hidup berdampingan. Meski banyak menuai kritik, fenomena ini menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah. Dia menyatakan, kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.

Selain Piagam Madinah, terdapat deklarasi Cairo yang memuat beberapa ketentuan HAM. Antara lain: pertama, hak persamaan dan kebebasan (QS. 17:70, 4:58, 105, 107, 135, 60:8). Hak hidup (QS. 5:45, 17:33). Hak perlindungan diri (QS. 90:12-17, 9:6). Kedua, hak kehormatan pribadi (QS. 9:6). Hak keluarga (QS. 2:221, 30:21, 4:1, 66:6). Hak keseteraan wanita dan pria (QS. 2:228, 49:13). Hak anak dari arang tua (QS. 2:233, 17:23-24). Ketiga, hak mendapatkan pendidikan (QS. 9:122, 97:1-5). Hak kebebasan beragama (QS. 109:1-6, 2:136, 18:29). Hak kebebasan mencari suaka (QS. 4:97). Hak memperoleh pekerjaan (QS. 9:105, 2:286, 67:15). Keempat, hak memperoleh perlakuan yang sama (QS. 2:275-278, 4:161, 3:130). Hak kepemilikan (QS. 2:29, 4: 29).

Sebegitu mendalam konsep HAM perspektif Islam. Tapi, mengapa pada tataran implementasi masih tergolong rendah? Buktinya, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masih banyak ditemukan kasus-kasus pelanggaran HAM. Siapakah yang salah? Menurut penulis, faktor utama adalah human error (kesalahan pada manusianya). Dari sudut kaca mata agama—dengan pertimbangan berbagai kasus—kita melihat bahwa masyarakat Indonesia kurang mampu memahami agama secara holistik. Pemahaman mereka sebatas keharusan untuk menjalankan ritual-ritual simbolik (seperti sholat, puasa, hari raya, haji, dll), tanpa dibarengi dengan pemahaman yang tersirat dibalik ritual-ritual tersebut.

Karena itu, membumikan nilai-nilai dan pesan perenial ajaran agama adalah keharusan. Yaitu dengan mengedepankan horizon kemanusiaan agama-agama. Dengan sisi kemanusiaan, kita tidak lagi tega untuk memperkosa agama untuk sebuah kepentingan, legitimasi kebohongan, manipulasi tafsir, dan sebagianya. Tapi, agama justru akan memberikan ruh atas kehidupan masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi pada penghormatan hak-hak asasi manusia. []


Sumber: Penulislepas.com, 22 Januari 2005.
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes