Thursday, April 20, 2006

Manusia tapi Bukan Sembarang Manusia

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Di negeri ini, dalam satu agama saja, ada banyak aliran. Andai Muhammad hidup kembali, mungkin ia akan tersenyum melihat umatnya yang berbeda-beda dalam mempersepsikan dan memuliakan dirinya.

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu dari corong-corong spiker. Kian dekat kian jernih. Tertebak sudah, itu lagu artis dangdut yang biasa membawakan hit-hit sendu, Evi Tamala. “Selamat malam, duhai kekasih”. Begitu syair yang mampir di telingaku. Malam itu, niat untuk berjoged ria atau bergoyang ria tak tertahan lagi. Biasalah orang kampung, dangdut adalah musik pelipur lara. Senada dengan Project Pop, dangdut is music in my country. Pas di dekat lokasi, seketika aku terhentak. Dendang itu terdengar nyaring sekali. Aku terperanjat. Suara itu bersumber dari spiker masjid. Bukan dari panggung di tengah lapangan, layaknya show dangdut. Tak disangka. Aku salah dengar. Tembang Evi Tamala itu liriknya digubah, “Ya rasulallah, salamun alaik”.

Bagi warga kampung dekat bantaran sungai Bengawan Solo di Gresik, kegiatan ini adalah salah satu contoh persenyawaan agama dengan tradisi. Pelopornya adalah kalangan santri. Karena memang daerah ini berdekatan dengan pondok-pondok pesantren. Dan kita tahu, pesantren di Jawa sangat kental dengan nilai-nilai tradisi. Apalagi, ketika peringatan muludan (maulid nabi Muhammad). Shalawat dan puji-pujian kepada Nabi mendengung di mana-mana. Tak kenal siang, tak kenal malam. Pujian-pujian itu selalu dipanjatkan. “Itu wajar terjadi karena warga NU memandang sosok Muhammad adalah tokoh utama yang patut dipuja dan dipuji.” Ujar ketua tanfidziyah PBNU Said Aqil Siraj.

Menurut tokoh NU yang tinggal di kawasan Ciganjur ini, kalangan NU percaya dengan hadis qudsi yang berbunyi, Laulaka laulaka lama khalaqtu al-aflaq, seandainya tidak karena engkau (Muhammad), saya (Allah) tidak akan menciptakan alam semesta ini. Berarti, Muhammad bukan hanya sekedar nabi terakhir yang memimpin seluruh umat manusia. Lebih dari itu. Dia adalah inspirasi Tuhan untuk menciptakan alam semesta, termasuk nabi-nabi sebelumnya. Hakikat Muhammad, sejatinya, lebih dahulu ketimbang alam ini wujud. Warga nahdliyyin, (sebutan lain warga NU), membahasakan dengan istilah ‘nur Muhammad’ (cahaya Muhammad). Sedang para ulama menyebutnya sebagai ‘wujud antara’, yang qadim (Allah) dan yang hadis (makhluk).

Untuk memperkuat gagasannya, Pak Said, begitu dia akrap dipanggil, menyitir pendapat Imam Ghazali dalam Misykat Al-Anwar. Jika Allah adalah nurul anwar (cahayanya cahaya), maka Muhammad adalah nur (cahaya). Dalam kitab tersebut, Ghazali menyitir firman Allah, Walillahi al-kholqu wa al-amru. Jadi, wujud itu ada tiga, (1) Allah (walillahi), (2) makhluk (al-kholqu), dan (3) perintah (al-amru). Perintah (al-amru) dalam konteks ini, menurut Ghazali, ya nur Muhammad. Karena itu, alam ini diwujudkan melalui nur Muhammad. “Nah, keyakinan atas wujud tiga inilah yang membedakan keyakinan NU, tentang sosok Muhammad, dengan kalangan lain.” Imbuhnya.

Karena dia adalah tokoh yang paling utama, maka menurut NU, harus pula dihormati dengan beragam cara. Antara lain, membaca pujian-pujian kepada Nabi. Kitab yang biasa digunakan adalah Al-Dibai, Al-Barzanji karya Abu Jakfar al-Barzanji, dan Al-Burdah karya al-Bushiri. Mereka menyebutnya dengan berzanjen, dibaan, dan burdahan. Soal pelaksanaan, tiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda. Ada yang malam jum’at, malam sabtu, malam senin, dan lain-lain. “Kitab-kitab itu, secara umum, memuat sejarah nabi, dari lahir sampai wafat. Baik sisi penggambaran sosoknya, akhlaknya, sifatnya, maupun perjuangannya.” Tutur Kiai jebolan Universitas Ummul Qura Makkah.

Alkisah, mulanya kitab kumpulan pujian-pujian itu diperoleh raja Samudra Pasai Sultan Malik al-Dzahir dari saudagar Arab. Yaitu dibarter dengan satu perahu besar berisi rempah-rempah. Satu bendel kitab itu isinya banyak, ada Al-Diba’i, Al-Barzanji, Al-Zahabi, al-Burdah, dan sebagainya. Tapi, sekarang sudah di pisah-pisah.

Selain itu, warga Nahdliyyin juga memuliakan nabi dengan memperingati hari lahirnya, 12 Rabiul Awal. Biasa disebut Maulid Nabi. Orang Jawa umumnya menyebut Muludan. Penghormatan ini berbeda ketika dialamatkan kepada para kiai atau orang-orang saleh. Mereka dimuliakan pada hari wafatnya. Mengapa demikian? “Karena kebajiakan kiai diketahui punya nilai setelah mati, tapi Nabi Muhammad begitu lahir sudah membawa nilai.” Kata Pak Said.

Dalam sejarahnya, maulid Nabi ini digunakan sebagai media dakwah yang efektif untuk Islamisasi. Peringatan maulid ini banyak dikawinkan dengan tradisi masyarakat lokal. Raja-raja Yogjakarta menyebutnya peringatan ‘Sekaten’, yang berasal dari kata Shahadatain, yang berarti dua kesaksian: tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Di cirebon, tradisi ini disebut ‘pelal’, dari kata fadhal, berarti malam itu adalah malam utama. Hemat Pak Said, warga nahdliyyin punya keyakinan, siapapun yang datang saat maulid nabi akan mendapatkan keutamaan atau berkah.

Ismail Yusanto, dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) punya pendapat yang agak berbeda. Bagi kalangan HTI, Muhammad diyakini sebagai nabi yang membawa misi besar. Bukan hanya kepada suatu kaum, seperti nabi-nabi sebelumnya, dia diutus membawa risalah untuk seluruh umat manusia. Jika nabi-nabi sebelumnya diturunkan untuk umat tertentu, maka Muhammad diturunkan dengan membawa risalah Islam untuk seluruh umat manusia. Sambil menyitir ayat Alquran, dia memperkuat pendapatnya, Ya ayyuhan nas inni rasulullah ilaikum jami’a. Wahai manusia, saya adalah utusan Allah untuk kalian semua.

Tidak seperti NU yang sarat pujian dan ritual, untuk memuliakan Muhammad saw., HTI punya empat cara. (1) Bershalawat kepada Nabi. Tidak pake ritual-ritual tertentu, hanya membaca shalawat biasa saja. Bisa sehabis shalat, atau kapanpun dan dimanapun. Sesuai dengan tuntunan Alquran, Inna llaha wamalaikatahu yushaollu alan nabi, ya ayyuhallladzina amanu shollu alaihi wassallimu taslima. (2) Mengimani Muhammad sebagai Nabi yang membawa risalah Islam (aqidah dan syariah). Sekaligus mengimani sebagai nabi terakhir. Sebab, kemuliaan dia itu justru terletak pada risalah dia yang terakhir dan nabi untuk seluruh umat manusia. (3) Melaksanakan ajaran-ajarannya. Melaksanakan ajaran-ajaran Nabi ini tidak hanya dalam urusan agama, juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terakhir (4), memperjuangkan misi Nabi. Ini akan dilakukan, ketika kehidupan bermasyarakat dan bernegara belum diatur sesuai dengan tuntunan nabi. “Dengan kata lain, berjuang untuk menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” Tandasnya sewaktu ditemui Syir’ah di gedung Anakida Lt. 4 depan Universitas Syahid Jakarta.

Berbeda dengan kedua tokoh di atas. Tokoh yang satu ini berhidung mancung, beralis tebal, berbadan gede dan tegap, serta sorot matanya begitu tajam. Nama belakangnya ada gelar al-aththas. Ghalibnya kita bisa menebak lewat nama belakangnya tersebut. Dia pasti keturunan nabi dari garis sayyidina Husain, cucu Rasulullah saw. Sebelum wawancara berlangsung, dia sempat marah-marah. Gara-gara tiap kali diwawancarai media, pendapatnya tak pernah dimuat. “Banyak media yang wawancara sama ana, tapi pendapat ana tidak pernah ditayangin. Masak yang keluar Habib Riziq (ketua Front Pembela Islam) melulu.” Katanya.

Kata Habib, Muhammad adalah matsal al-a’la, teladan yang paling tinggi. Allah berfirman, wama yantiqu ani al-hawa in huwa illa wahyu yuha, semua yang keluar dari mulut Muhammad adalah wahyu. Tidak seperti kita, dia adalah ma’sum (terjaga dari dosa). Karena itu, kita harus patuh, tunduk, dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat Syir’ah berulang kali menyebut nama Muhammad, Habin Fais agak geram. Menyebut Muhammad tanpa kata sayyidina (junjungan) di depannya adalah tidak sopan. “Berarti ente tidak menghormati Nabi.” Tegurnya. Ini persis kasus yang menimpa sahabat. Ketika sahabat nabi menegur Rasulullah dengan ya Muhammad, ya Muhammad (hai Muhammad), maka turun sabda Allah, la taj’alu du’a arrasul kadu’ai bainikum ba’dho. “Jadi, memanggil Nabi dengan sayyidina itu perintah Allah, bukan karena arogansi kecintaan ana.” Katanya.

Ini adalah bagian dari cara memuliakan Rasulullah. Selain itu, kalangan habaib (bentuk jamak kata habib), memuliakannya dengan memperingati hari lahirnya (maulid Nabi). Biasanya acara ini diisi dengan membaca shalawat dan ceramah agama. Shalawat yang dibaca di sini sama dengan yang dibaca warga nahdliyyin. Pada akhir pembicaraan, Habib Faiz sempat menyesali kelakuan umat Islam yang ngakunya cinta Rasulullah, suka mengagung-agungkan, tapi tidak mau menjalankan ajaran-ajarannya. Dia mengistilahkan mereka ini dengan ‘hubbul kadzib’, cintanya bohong-bohongan, atau hanya di mulut saja. Contoh, budaya korupsi, diskriminasi rakyat kecil, perdagangan perempuan, dsb. “Negara ini menganut asas kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi prakteknya malah mlenceng dari prinsip keadilan dan kesusilaan.” Tegas Habib.

Di sela-sela kesibukannya yang padat di Yogyakarta, Wawan Gunawan salah satu ketua divisi di Majlis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah, akhirnya berhasil diwawancarai Syir’ah, meski via email. Muhammadiyah memandang, Muhammad adalah Nabi terakhir yang mesti dijadikan suri tauladan. Penetapan ini harus melalui syahadatu al-risalah (pengakuan risalahnya), dengan mengucapan wa asyhadu anna muhammadan Rasulullah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

Lebih lanjut, bagi warga Muhammadiyah, Muhammad adalah satu-satunya tokoh sentral yang harus dirujuk. Persepsi ini bisa ditelusuri dari nama organisasi keislaman terbesar setelah NU ini. Yaitu Muhammad plus ya nisbah (Muhammadiyah), berarti: pengikut Muhmmad. Jadi, sentralitas Muhammad ini merasuk ke seluruh kiprah, aktifitas, dan cita-cita Muhammadiyah.

Secara khusus, Muhammadiyah tidak punya ritual untuk memuliakan Muhammad. Menurut Wawan, doktrin Muhammadiyah untuk memuliakan Nabi saw. adalah dengan merujuknya habis-habisan, baik secara tekstual (harfiyah) maupun secara kontekstual. Satu misal. Saat ini Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu organisasai besar karena amal usahanya. Yaitu dengan mendirikan sekolah TK, SD, SMP. SMA, Perguruan Tinggi, dan Rumah Sakit di seluruh Nusantara. Itulah salah satu doktrin Muhammadiyah memuji Nabi. “Ini bisa dikatakan sebagai model bershalawat kontekstual ala Muhammadiyah” Katanya.

Tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berkeyakinan, Muhammad adalah leader (pimpinan). Dia adalah pemimpin umat dan suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, klaim menjadi pengikut nabi, harus diimplementasikan mengikuti sunnah-sunnah nabi dalam seluruh aspek kehidupan. Kita tidak hanya menempatkan nabi sebagai sosok yang kita hormati dan kita puji sebagai bagian dari ibadah, tapi secara kontekstual dia hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. “Inilah maksud menjadikan muhammad sebagai qudwah (panutan) dan pemimpin.” Kata Fauzan Al-Anshari Ketua Departemen Informati dan Data MMI.

Sentralitas tokoh Muhammad adalah nomor dua setelah Allah. Dia adalah sumber hukum Islam. Kalau konteksnya sekarang ya Alquran. Dengan demikian, al-Quran berfungsi dalam kehidupan sebagai ‘rahmatan lil alamin’. Fauzan ingin menjelaskan, bahwa pengertian rahmatan lil alamin bagi MMI berbeda dengan kelompok Islam lain. Menurutnya, rahmatan lil alamin ini akan terwujud setelah kita melakukan apa yang Rasulullah lakukan. Yaitu dengan menerapkan syariat, dari pribadi, keluarga, lingkungan sampai ke negara.

Dalam memuliakan Muhammad, MMI mirip Muhammadiyah, menghidupkan sunnahnya (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi) secara total. MMI tidak punya upacara khusus. “Melakukan tindakan di luar sunnah Muhammad dianggap bid’ah (hal baru dalam urusan peribadatan). Dan semua bid’ah itu dihukumi sesat (kullu bid’ah dhalalah).” Kata pria pengagum penulis Tafsir Fi Dhilalil Quran Sayyid Qutb.

Kalangan Syi’ah, diwakili Jalaluddin Rahmat ketua dewan syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), berpendapat: Muhammad adalah utusan Tuhan yang ma’sum secara mutlak. Syi’ah menolak anggapan Ahlus Sunnah (sunni) yang memandang Rasulullah saw. hanya ma’sum dalam menyampaikan ajaran ilahi. Menurut sunni, kata kang Jalal, Rasulullah pernah beberapa kali berbuat salah dan ditegur Allah. Misalnya, nabi bermuka masam karena datang seorang buta, salah dalam urusan tawanan perang Badar, melaknat orang yang tidak patut dilaknat, dan sebagainya. Syi’ah menolak anggapan Sunni, Rasulullah berijtihad dan ijtihadnya bisa benar bisa salah. Karena itu, Syi’ah mengikuti Rasulullah baik dalam urusan agama maupun urusan dunia.

Sunni meyakini hadis, antum a’lamu bi umuri dunyakum (kamu lebih tahu dalam urusan dunia) sebagai bentuk anjuran Rasulullah kepada umatnya untuk berijtihad sendiri dalam urusan dunia. Bagi Syi’ah, seluruh prilaku Nabi harus diikuti. Tidak hanya dalam urusan agama (aqidah dan syariah), sebagaimana keyakinan Sunni. “Dia adalah Tokoh panutan tertinggi dan tak seorang pun di antara manusia yang melebihi dia. Syi’ah menolak setiap riwayat yang meletakkan siapapun di atas Nabi saw.” Jawab ketua Yayasan Muthahhari Bandung ini ketika ditanya seberapa sentral ketokohan Muhammad.

Syi’ah punya banyak kemiripan dengan NU dalam memuliakan Muhammad. Dengan meminjam istilah Gus Dur, Kang Jalal berujar, “Secara kultural NU itu Syiah.” Syiah sangat setuju dengan cara-cara pemuliaan Nabi berbasis tradisi. Semisal sekaten, muludan, membaca diba atau barjanji, dan sebagainya.

Kalau tadi ada Muhammadiyah, sekarang kita simak pandangan Ahmadiyah. Kedua lembaga ini terinspirasi dari nama nabi Muhammad (Muhammad atau Ahmad), yang sama-sama menambahkan ya nisbah dibelakangnya. Sesuai dengan namanya, kelompok Ahmadiyah ingin mengatakan, “Jika ingin melihat Islam atau akhlak Rasulullah maka lihatlah kami, meski kami juga menyadari tidak bisa mempraktekkan seratus persen.” Kata Zafrullah A. Pontoh, Koordinator Mubaligh Ahmadiyah DKI Jakarta.

Kelompok ini dijustifikasi MUI sebagai aliran sesat. Makanya, keberadaan mereka di Indonesia terlunta-lunta. Markasnya digempur, penganutnya yang tersebar di pelosok nusantara mengalami banyak intimidasi. Mulai dari teror sampai dengan pengusiran secara paksa. Tak ayal, jika mereka pun harus mencari suaka di luar negeri. Karena menurutnya, Indonesia tidak memberikan perlindungan. Begitulah kira-kira jika digambarkan keluh kesah yang dicurhatkan Zafrullah Pontoh koordinator Muballigh Ahmadiyah DKI Jakarta kepada Syir’ah di Grand Alia Cikini Jakarta.

Di temani jus jeruk dan kentang goreng, dia terus bertutur. Wujud yang paling paripurna setelah Allah SWT adalah Muhammad. Alquran mensifatinya dengan: ala khuluqin adzim (berakhlak mulia). Dibanding makhluk yang lain, Muhammad jauh lebih sempurna. Termasuk dibanding Mirza Ghulam Ahamad, yang juga dianggap sebagai Nabi setelah Muhammad. Nabi yang terlahir di India ini pernah menuturkan, “Saya ini seperti debu di kaki Nabi Muhammad.” Jadi tidak ada apa-apanya jika dibanding Rasulullah Muhammad? Inilah yang sering tidak difahami orang-orang. “Nabinya sama-sama Muhammad kok ada yang merasa paling benar, yang lain disalahkan.” Tukas penikmat cerita detektif ini.

Lebih lanjut, Zafrullah memaparkan, untuk memuliakan Muhammad, Ahmadiyah tak kenal peringatan maulid nabi. Kalangan ini menyebutnya dengan sirah nabawiyah (sejarah nabi). Tradisi ini kapanpun bisa diperingati, tidak menunggu momen tertentu. “Kalau hari lahir kan hanya bisa kita peringati setahun sekali, tapi kalau ‘sejarah hidup’ kapanpun bisa kita peringati, dan kami upayakan agar bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seperti di NU yang pake tumpeng dan lain-lain, sirah nabawiyah dilaksanakan dengan mengadakan ceramah-ceramah, untuk mengungkap pribadi beliau dari berbagai segi. []

awal aku nulis liputan lepas

Punggawa-punggawa Islam Sepeninggal Muhammad

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Ketika Rasulullah Muhammad masih hidup, masalah apapun
dan kapanpun bisa terselesaikan. Dia berperan sebagai petunjuk
jalan dan rujukan utama. Lalu, siapa yang menggantikan
ketokohan Muhammad saw., setelah dia tiada?

Ribuan manusia dari berbagai penjuru berbondong-bondong menuju Karbala, kota suci Islam Syi’ah di Irak. Memukuli diri dengan rantai, pedang, cambuk, dan benda-benda lain. Mata yang berkaca-kaca, pekik kepedihan, tetesan darah, tangis yang meraung-raung, tergambar di mana-mana. Mereka mengenang penderitaan Husein ibn Ali, cucu Rasulullah yang tewas dalam pertempuran di padang Karbala melawan pasukan Muawiyah. Tak tangung-tanggung, ritual ini dijalani selama sepuluh hari, dengan pawai berjalan kaki melintasi Karbala.

Bagi mereka, tragedi Karbala membawa bekas yang luar biasa. Meski pemerintah Irak melarang ritual ini, apa boleh buat, nyatanya peraturan itu tidak pernah digubris. “Tradisi peringatan syahidnya imam Husain di atas menjadi agenda rutin Syi’ah, termasuk di Indonesia. Hanya caranya saja yang berbeda,” kata Jalaluddin Rahmat, ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi).

Selain Muhammad, Syi’ah mempunyai tokoh-tokoh sentral. Meski mirip, sama-sama ma’sum (terbebas dari dosa), mereka hanyalah penerus perjuangan Rasulullah. Tidak menggantikan posisinya. Mereka disebut Ahlu al-Bait (keturunan nabi Muhammad) atau populer dengan sebutan Imamah (kepemimpinan). Garis imamah ini dipegang oleh orang-orang suci dari keturunan Rasulullah saw. yang berjumlah dua belas imam.

Untuk meyakinkan, Kang Jalal, begitu biasa disapa, dia mengutip firman Allah, “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlu al-Bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab:33). Dia juga menyitir sabda Nabi yang lain: “Aku tinggalkan bagi kalian dua pustaka, jika kalian berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Alquran dan Ahlul Baitku. (Shahih al-Turmudzi 5: 328).

“Untuk memuliakan imam-imam tersebut, Syi’ah mempunyai ritual-ritual khusus.” kata Kang Jalal. Biasanya digunakan untuk memperingati hari lahir, hari syahid, dan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan para imam. Antara lain, yang paling marak, mengenang syahidnya imam Husain. Diperingati pada hari syahidnya (10 Muharram), biasa disebut peringatan Karbala atau Asyura. Dan juga, pada 40 hari syahidnya, lazim disebut Arba’in Imam Husain. Momentum ini bukan saja sebagai hari duka cita, tapi juga sebagai kenangan terhadap perjuangan melawan kezaliman dan penindasan. Kisah syahidnya disebut ‘maqtal’, dan lagu duka citanya disebut ‘ma’tam’.

Selain itu, mereka juga berziarah ke makam para imam dan syuhada yang gugur dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. “Belakangan ini, peringatan Asyura dijadikan momen untuk menghidupkan semangat revolusi untuk perubahan sosial, atau dengan berkhidmat kepada fakir miskin.” Jelas cendekiawan muslin yang juga suka memuliakan Muhammad saw. dan keluarganya dengan membaca salawat, berziarah, dan membaca buku-buku yang memuat perjuangan mereka.

Dalam hal ini, NU salah satu organisasi Islam di Indonesia yang beraliran Ahlus Sunnah (sunni), sangat berbeda dengan Syi’ah. “Setelah Muhammad, warga NU tidak punya tokoh sesentral imam-imam layaknya Syi’ah,” terang KH. Said Aqil Siraj ketua tanfidziyah PBNU. Warga NU, dalam ritual ibadah keseharian, akrab dengan nama Syekh Abdul Qadir al-Jaelani (1077 M-1166 M). Posisi tokoh yang meninggal di Baghdaad ini, bagi warga NU, bukan sebagai pengganti atau penerus Nabi. “Kalangan NU meyakini tokoh ini sebagai sulthanul auliya (rajanya para wali) atau wali kutub,” kata Pak Said.

Maklumlah, lanjut Pak Said, warga nahdliyyin sangat percaya dengan tawassul atau wasilah, berdoa kepada Allah melalui perantara orang saleh atau wali. Kalau kita amati, setiap acara yang diselenggarakan NU, selalu ditutup dengan doa plus bacaan surat Al-Fatihah yang dikirim kepada arwah atau roh orang-orang yang sudah meninggal. Setelah kepada Rasulullah Muhammad saw. dan nabi-nabi yang lain, Al-Fatihah dikirim secara khusus (khusushan) kepada tokoh yang juga dikenal sebagai pendiri tarekat Qadiriyah ini.

Untuk memuliakannya, urai Pak Said, ada dua cara. (1) Membaca manaqibnya (sejarah hidupnya), yang biasa disebut ‘tradisi manakiban’. Kitab yang digunakan acuan antara lain: Al-Ghun’yah dan Futuh al-Ghaib karyanya sendiri. Tradisi ini digunakan dalam pelbagai kesempatan, antara lain acara khitanan, syukuran, pernikahan, atau tanpa ada momen-momen tertentu. (2) Memperingati hari wafatnya (haul). Tradisi ini ghalibnya diadakan pada bulan rajab.

Lain Syi’ah, lain NU, lain pula dengan Ahmadiyah. Menurut koordinator muballigh Ahmadiyah DKI Jakarta Zafrullah A. Pontoh, meski kesentralan Muhammad tak terkalahkan oleh siapapun, beliau bukanlah Nabi yang terakhir. Ahmadiyah berkeyakinan pintu kenabian itu masih terbuka lebar. Tapi ingat, yang dimaksud nabi di sini adalah nabi yang tidak membawa syariat baru, atau nabi yang tidak menggantikan sentralitas kenabian Muhammad. Nabi model ini masih bisa datang setelah Muhammad, kapanpun dan siapapun.

Tokoh Ahmadiyah yang doyan ikan laut ini memperkuat pandangannya dengan mengutip firman Allah, “Waman yuti’illaha warrasula faulaika ma’alladzina an’amallahu minan nabiyyin, wa siddiqin, wa shuhada, wa shalihin, wa hasuna ulaika rafiqa”. (QS. Al-Nisa: 69). Menurut keyakinan Ahmadiyah, siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasulnya dengan sungguh-sungguh maka ia dapat mencapai salah satu dari empat tahap tingkatan rohani: (1) orang-orang saleh (shalihin), (2) para syuhada (shuhada), (3) orang yang dapat dipercaya (sidiqqin), bahkan (4) tingkat Nabi (nabiyyin).

Nabi setelah Rasulullah Muhammad, menurut keyakinan Ahmadiyah, adalah Ghulam Ahmad (1835-1908). Dia diyakini telah sampai pada tingkat derajat kenabian. Tahun 1876, kali pertama dia mendapatkan wahyu. Dan tahun 1889, dia mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi sekaligus al-Masih. Wahyu-wahyunya dihimpun dalam kitab Tadzkirah. Kitab ini dibuat, bertahun-tahun setelah kematiannya, atas prakarsa Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, tahun 1935. Wahyu-wahyu itu diyakini benar adanya, sebagaimana firman Allah, “Ma kana libasyarin an yukallimahullahu illa wahya.” (Allah tidak mungkin bercakap-cakap dengan manusia kecuali dengan perantara wahyu).

Untuk memuliakannya, kata Zafrullah, kita memanggilnya dengan hadhrat masih mau’ud (yang mulia Isa al-Masih yang ditunggu-tunggu). Meski dia Nabi, kita tidak pernah memanggilnya dengan gelar Nabi. Selain itu, ada peringatan khusus saat pendakwaan beliau (hari masih mau’ud), 23 Maret. Lazimnya peringatan ini diisi dengan ceramah atau pengajian.

Kepercayaan ini, berbeda dengan Sunni, yang menganggap al-Masih adalah Nabi Isa. Menurut Ahmadiyah, lanjut Zafrullah, berdasarkan hadis yang kami teliti, nabi Isa wafat pada usia 120 tahun. Tapi pada sisi lain, Rasulullah Muhammad menjanjikan bahwa diakhir zaman akan datang al-Masih. Lalu siapakah dia? Karena itu, kami percaya, yang datang bukan Nabi Isa, tapi wujud lain yang punya sifat kesamaan dengan Isa, yaitu Ghulam Ahmad. Kesamaan-kesamaan itu antara lain: Pertama, keduanya sama-sama tidak membawa ajaran baru. Isa mengajarkan ajaran Musa, dan Ghulam Ahmad mengajarkan ajaran Muhammad. Kedua, keduanya sama-sama lahir setelah 14 abad dari nabi sebelumnya. Ketiga, keduanya sama-sama lahir ketika tanah kelahirannya terjajah. Isa lahir tatkala Palestina terjajah, Ghulam pun lahir ketika tanah India terjajah.

“Selain itu, kita juga memuliakan dengan mengamalkan ajaran-ajarannya. Misalnya, bagaimana sikap Ghulam Ahmad terhadap orang-orang miskin, menghadapi musuh, menegakkan keadilan, dan sebagainya.” Ujar alumnus jurusan studi Islam Universitas Ahmadiyah di Pakistan.

Hadirnya tokoh-tokoh di atas, bagi masing-masing kalangan, tentu punya makna spesial dan kedudukan tersendiri. Namun, fenomena ini tidak terjadi di HTI, MMI, maupun Muhammadiyah. Mereka tidak punya tokoh sentral selain atau setelah Muhammad, sesentral kalangan Syi’ah, NU, dan Ahmadiyah. Kalaupun toh ada, mereka menunjuk para sahabat dan khulafa arrasyidin. Atau, setidaknya, pemimpin atau pendiri organisasi masing-masing. Ini diakui oleh Ismail Yusanto (HTI), Fauzan al-Anshari (MMI), dan Wawan Gunawan (Muhammadiyah). []

Syir'ah, 52/April/2006

5 April 1964, Rezim Syah Membebaskan Khomeini

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Setelah berbulan-bulan dibui, akhirnya Imam Khomeini dibebaskan Rezim Syah Reza Pahlevi, tepatnya tanggal 5 April 1964. Pemimpin gerakan revolusi Islam Iran ini dibebaskan dari tahanan Rezim Syah Pahlevi, penguasa Iran. Khomeini ditangkap 5 Juni 1963 atas tuduhan telah melakukan tindakan menghasut massa untuk mendelegitimasi dan melawan pemerintahan Syah.

Pemerintahan Syah di Iran, kala itu, masyhur dengan tindakannya yang otoriter dan opresif (menindas dengan semena-mena). Mulanya, pada awal tahun 1960-an, terjadi krisis ekonomi dan sosial. Kondisi ini diperparah dengan fenomena aksi mogok dan demonstrasi. Syah meresponnya dengan menluncurkan program “Revolusi Putih” untuk membangunkan kembali struktur industri Iran. Ternyata, program ini hanya menguntungkan dua golongan sosial: petani kaya dan pegawai negeri. Sementara yang kena batunya adalah masyarakat kelas bawah dan menengah tradisional, yaitu para pedagang di pasar-pasar kecil.

Khomeini adalah tokoh oposisi sentral yang tampil untuk menentang rezim Syah dengan lantang. Melihat gelagat ini, Syah merasa puyeng dan gusar. Tanpa ba bi bu, Syah memerintahkan aparat untuk menagkap Khomeini. Peristiwa penangkapan ini langsung menyulut kemarahan rakyat Iran. Hampir di seluruh kawasan Iran terjadi demonstrasi besar-besaran menuntut pembebasan Khomeini.

Tindakan represif adalah satu-satunya jawaban Syah terhadap aksi para demonstan. Perlakuan ini sedikitnya merenggut 5 ribu nyawa rakyat Iran. Peristiwa ini terkenal dengan tragedi 15 Khurdad (di Qom).

Tanpa disadari, tindakan Syah itu malah semakin menyulut kemarahan rakyat. Syah kemudian agak memperlunak sikapnya. Khomeini memang masih ditahan. Tetapi, kali ini ia menjalani tahanan rumah di Teheran. Keputusan Syah ini ternyata tidak menyurutkan gelombang protes rakyat. Mereka menuntut pembebasan Khomeini secara total. Karena khawatir terhadap gerakan rakyat, Syah membebaskan Khomeini.

Gerakan revolusi ini dirintis sejak 1960-an dan baru menuai hasil pada Januari 1977, tumbangnya rezim Syah. Tentu ia tidak sendirian, gerakan ini didukung penuh oleh massa rakyat, kaum buruh, pedagang kecil, dan kelompok marginal yang lain. Khomeini meninggal di Teheran 3 Juni 1989. [AUM].

Syir'ah/52/Maret/2006.

Monday, April 17, 2006

Untung Klarifikasi, Nabi Musa pun telanjang

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tidak main-main, kisah ini berdasar keterangan kitab Sahih Al-Bukhari (vol. 4, no. 616). Konon, Nabi Musa terbilang orang yang tidak suka mengumbar bentuk tubuh, karena tergolong pemalu. Terbiasa denga pakaian yang rapi dan tertutup. Kebiasaan ini diartikan miring oleh salah seorang Israel.
“Tahu tidak, mengapa Musa tidak pernah mengekspos tubuhnya?”
“Tidak tahu, emangnya kenapa?”.
“Dia selalu menutup tubuhnya karena ada cacat dikulitnya”. Tuduhnya

Tak lama kabar ini menyebar di kalangan Israel, dan Musa menjadi buah bibir. Untungnya, Allah turun tangan untuk menjernihkan perkara ini.

Suatu ketika, Musa mandi di kali, bajunya ditanggalkan dan ditaruh di atas batu. Namun, tak disangka, ada kejadian aneh. Kala Musa selesai mandi dan bermaksud mengambil baju, atas kehendak Allah, tiba-tiba bajunya dibawa kabur oleh batu. Musa langsung mengambil tongkat dan mengejarnya sambil berteriak, “O batu, kembalikan bajuku!”

Tanpa sadar, Musa berlari sampai pada kerumunan orang-orang Israel. Mereka tercengang melihat Musa telanjang dan melihatnya dalam keadaan sempurna, tidak ada cacat secuil pun dikulitnya. Sang batu berhenti dan Musa mengambil baju lalu mengenakannya. Setelah itu, Musa memukuli batu tersebut dengan tongkatnya.

Kejadian ini mengingatkan kita atas firman Tuhan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (QS 33 : 69).

Menuduh dan memfitnah adalah perbuatan kutu busuk (nista) yang mesti dibuang jauh. Sebelum bertutur, sebaiknya kita mengerti dan memahami apa persoalan yang sesungguhnya. Jangan asbun (asal bunyi). Misalnya, ketika orang-orang menuduh, ajaran kelompok A itu sesat, yang lain ikut-ikutan berseloroh, “Benar ajaran itu sesat dan harus dibabat”.

Realitas semacam ini memang sering kita jumpai akhir-akhir ini. Secara pribadi, selain kepada korban yang tertuduh atau terfitnah, saya menaruh iba kepada masyarakat awam yang termakan isu atau fitnah. Bukankah Nabi pernah bersabda, “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.” Dengan kata lain, jika kita tidak bisa berkata baik (karena tidak tahu sebenarnya), maka diam adalah pilihan yang terbaik. []

Syir’ah, 52/April/2006.

Friday, April 07, 2006

Malu (Aku) Jadi Umat Muhammad

MALU (AKU) JADI UMAT MUHAMMAD
Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tradisi peringatan kelahiran Nabi Muhammad atau jamak disebut maulid Nabi biasa dilakukan dengan beragam cara. Orang Jawa ghalibnya menyebut muludan, di Yogyakarta disebut Sekaten, di Cirebon disebut Pelal, dan sebagainya. Tak sama tapi serupa. Kitab yang lazim dipakai untuk memuja-muja Sang Nabi adalah al-Diba’i karya Abdurrahman al-Diba’i, atau al-Barzanji karya Abu Ja’far al-Barzanji, atau al-Burdah karya al-Bushiri.

Tahun demi tahun berlalu, tradisi ini berjalan apa adanya. Tanpa ada perubahan dan semangat yang berbeda. Sayang, tradisi ini just mengenang dan memuja Nabi. Bagi saya, jika dibiarkan apa adanya seperti ini, maka tradisi ini tak berelan vital. Lain dulu, lain sekarang. Dulu, tradisi ini sangat ampuh digunakan sebagai alat ‘Islamisasi’ di Indonesia. Masyarakat Jawa, khususnya, tidak akan melirik Islam jika Islam waktu itu disajikan sangat saklek: seperti kini dicontohkan beberapa ormas Islam di Indonesia yang mengusung ‘Arabisasi’. Jawa yang dulu dihuni orang Hindu-Budha dan animisme-dinamisme tidak akan bersyahwat sedikitpun untuk melirik agama baru yang diusung Wali Songo itu. Maka, muncullah siasat untuk ‘mengawinkan’ agama dengan tradisi lokal.

Dalam kontek kekinian, hemat saya, tradisi muludan yang dianggap salah satu anak dari perkawinan tersebut telah kehilangan makna. Tiap tahun diadakan dengan makna yang kosong. Jarak yang terpental begitu jauh: dulu dengan sekarang, zaman kuda dengan zaman pesawat terbang.

Dua bulan lalu, ketika jalan-jalan di Bandung, saya dikejutkan oleh umbul-umbul di pinggir jalan. “Setiap jengkal tanah adalah Karbala dan setiap hari adalah Asyura. Mari lawan tirani dan tegakkan keadilan di muka bumi,” begitu bunyi kata-katanya. Setelah saya amati, ternyata saat itu bertepatan dengan peringatan mengenang peristiwa syahidnya Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah, yang lazim disebut peringatan Asyura atau Karbala. Belum apa-apa, hanya melihat umbul-umbulnya doang, tak terasa denyut nadi saya terpompa seakan menyadarkan kita tentang pentingnya melawan ketidakadilan.

Aura semacam ini yang belum saya temukan dalam tradisi muludan. Ketika kita baca buku-buku seputar tradisi ini, kita akan menemukan mitos-mitos (semacam barokah, kata orang NU) yang tidak mendidik dan mencerahkan. Padahal, kalau digali, kelahiran Muhammad memberikan makna yang amat progresif dan revolusioner. Kelahiran Muhammad, bagi saya, berarti kehadirannya dalam menata akhlak yang mulia (liutammima makarima al-akhlaq). Akhlak di sini jangan diartikan sempit, seperti yang kini sedang marak: akhlak hanya dibatasi dalam persoalan ‘disiplin tubuh’ (pornografi dan pornoaksi).

Dalam kamus bahasa Arab, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang berarti watak, budi pekerti, dan karakter. Jadi, tidak bisa kita dikatakan, bahwa korupsi, budaya malas, kemiskinan, kolusi, tindakan semena-mena, diskriminasi, tidak bagian dari akhlak. Justru, hal tersebut adalah bagian dari akhlak, obyek sasaran Nabi. Karena kegigihan Muhammad dalam menegakkan akhlak—dalam arti luas—Muhammad dianggap para sejarahwan sebagai tokoh revolusioner.

Muhammad hadir disaat kondisi sosial masyarakat Arab menganut sistem ‘kapitalistik-ekspoitatif’, yaitu yang kuat akan menguasai segala aspek kehidupan ekonomi-sosial-politik, sementara yang lemah terus menjadi ‘kuli’. Pada posisi ini, Muhammad diutus untuk membangun dimensi-dimensi revolusioner bagi pembebasan dan mentransformasi kondisi sosial yang tribal. Maka jangan heran jika kehadiran Islam membikin kebakaran jenggot para penggede Makkah saat itu. Sesungguhnya, kalangan kepala suku, bangsawan, dan konglomerat Mekkah tidak mempersoalkan agama yang dibawa Muhammad, toh mereka bukanlah penyembah berhala yang taat beribadah, mereka menyembah berhala hanya untuk mempertahankan pengaruh terhadap orang-orang Arab. Sebaliknya, mereka menentang dan tidak mengakui Muhammad karena dua sebab.

Pertama, implikasi ajaran yang dibawa Muhammad menyerang sistem sosial ekonomi yang tribal dan eksploitatif: menghalalkan penindasan orang kaya kepada orang miskin, yang kuat kepada yang lemah, serta menghalalkan praktik riba. Sementara Nabi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan ekonomi. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran, Islam amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua golongan, bukan untuk segelintir orang. Dan juga menentang penimbunan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang miskin tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk ini, Islam menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS. 2:219).

Kedua, mengakui kehadiran Muhammad berarti melegitimasi pengakuan politik terhadap Muhammad sebagai penguasa politik baru. Hal ini tampak dalam tradisi berdagang masyarakat Mekkah, mereka tidak pernah membiarkan seseorang untuk menguasai segala aset ekonomi-sosial-politik. Karena itu, di Mekkah tidak dikenal istilah raja, sebagai gantinya mereka membentuk Mala’a (lembaga senat yang terdiri dari masing-masing suku). Dengan adanya lembaga ini, semua suku memperoleh kesempatan politik yang sama.

Konteks historis di atas menjelaskan, kehadiran Muhammad di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang diembannya, tapi lebih dari itu beliau memobilisasi dan memimpin gerakan sosial untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan.

Nah, bagaimana kita yang mengaku-ngaku sebagai umat Muhammad? Sudahkah kita mencontoh atau melaksanakan ‘sunnahnya’ (ucapan, perbuatan, dan ketetapan)? Di negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini masih ditemukan banyak paradoks dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam, khususnya yang memiliki jabatan strategis, seharusnya memperjuangkan keadilan, kok nyatanya malah berlomba-lomba melakukan tindakan-tindakan yang amoral. Buktinya bisa kita lihat kasus-kasus di lapangan.

Menurut laporan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebesar 45 persen pada tahun 2005. Data lain menunjukkan, tahun 2005, angka kejahatan perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sungguh memilukan. Organisasi Buruh International (ILO) memaparkan, 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia adalah anak di bawah usia 18 tahun. Angka ini belum termasuk perempuan muda Indonesia yang terjebak bisnis prostitusi di luar negeri. Selain itu, lembaga Transparency International setahun lalu masih mendapuk Indonesia sebagai negara terkorup nomor wahid se-Asia, dan nomor lima sedunia.

Belum lagi bejibun persoalan lainnya, semisal angka buta huruf, pengangguran, kemiskinan, dilema pendidikan, kesenjangan sosial, kekerasan terhadap anak, neo-kolonialisasi dalam bentuk penguasaan asing atas aset-aset negara, kerusakan lingkungan dan ekosistem, dan lain-lain. Di Indonesia, umat muhammad adalah mayoritas, tapi kenapa fenomena ini terus terjadi? Ke mana orang-orang yang mengaku umat Muhammad itu? Secara pribadi, saya malu mengaku menjadi pengikut Muhammad. Dia yang begitu mulia hanya dipuja dan dipuji oleh umatnya, tapi pada abai ajarannya. Jangan-jangan, kita juga hanya ikut-ikutan, tanpa sepenuhnya mengamalkan sunnahnya. Malu dong! []

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes