Wednesday, May 10, 2006

Memaknai Moral dan Solidaritas Sosial

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Prilaku sosial masyarakat Indonesia akhir-akhir ini begitu merisaukan. Rasa solidaritas sosial gampang terkikis oleh kepentingan dan egosentris pribadi. Jangankan antar agama, dalam satu agama saja, orang-orang dengan mudah mengolok-olok: ini lebih baik itu lebih buruk, ini selamat itu sesat, ini benar itu salah, dan seterusnya. Mengapa semua ini bisa terjadi? Padahal, semua agama pasti mengajarkan umatnya tentang ‘kebajikan’.

Hemat saya, solidaritas antar sesama manusia kini mengalami degradasi. Ini sangat terkait dengan rendahnya moralalitas warga negara. Perlu diketahui, moral di sini tidak hanya bicara seputar ‘disiplin tubuh’, batas-batas aurat. Tapi, ia bermakna luas dan menyeluruh, sebagaiamana yang diemban Muhammad saw. saat pertama kali ditugaskan untuk menyampaikan risalah: liutammima makarima al-akhlaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.

Pada saat-saat awal berdakwah, Rasulullah tidak langsung mengajarkan syari’at: semisal shalat, puasa, zakat, dll. Tapi, beliau mengajarkan umatnya tentang etika secara universal. Dapatkah kita memaknai akhlak atau moral dalam konteks ini hanya sebatas aturan aurat: sensual apa tidak sensual, mengundang syahwat atau tidak, menimbulkan fitnah atau tidak, dan seterusnya. Tidak sesederhana itu. Jika makna moral hanya disempitkan pada wilayah itu, maka Nabi tidak perlu lama-lama dalam menapaki lika-liku berdakwah.

Akhlak adalah prilaku sosial seseorang. Biasa juga disebut moral atau budi pekerti. Karena sifatnya yang universal, Abdullah Nashin Ulwan dalam al-takaful al-ijtima’i fi al-Islam merumuskannya dengan sebutan solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima’i). Kehadiran rumusan ini tak lain untuk menjembatani pluralitas individu dan kepentingan dalam suatu masyarakat. Agar moralitas tetap tegak dan tidak diinjak-injak, maka diperlukan pemahaman tentang solidaritas sosial.

Secara terminologi, solidaritas sosial berarti gambaran fenomena masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas. Di mana seluruh warga masyarakat—tak peduli dari agama, suku, golongan, kelas, atau identitas apapun—saling bahu membahu, tolong menolong, dan bekerjasama dalam mewujudkan hal-hal yang positif demi kemaslahatan bersama. Semangat ini sebagaimana tercermin dalam firman Tuhan yang menganjurkan: tolong meolong dalam kebaikan dan bukan dalam hal keburukan dan nista. (QS. 5: 2).

Rasulullah menggambarkan solidaritas sosial ini, sebagaimana diceritakan Imam al-Bukhari, layaknya sekelompok orang di atas kapal. Mereka akan mengundi, siapa yang berada di dek atas dan siapa yang di bawah. Setelah itu, ketika yang di bawah ingin mengambil air minum, maka ia harus melewati mereka yang di atas, bahkan tidak sekedar melewati tapi juga minta bantuannya.

Karena sering dipersulit, salah seorang di dek bawah punya usul, “Bagaimana kalau kita belah saja perahu ini menjadi dua, sehingga kami yang di bawah tidak merepotkan yang di atas?”

Nabi pun melanjutkan cerita sambil mengomentari pertanyaan di atas. Kalau keinginan mereka itu dituruti, tentu semuanya akan celaka, tenggelam. Tapi, jika mereka saling berpegang tangan dan bekerja sama, pasti mereka akan selamat.

Begitu kuatnya perumpamaan Nabi saat memaparkan kepada umatnya tentang urgensi solidaritas sosial. Meski sudah biasa terdengar, konsep ini belum tercerna dengan baik. Lazimnya, orang memaknai solidaritas sosial hanya pada lingkup sisi kehidupan tertentu saja, seperti mengulurkan tangan kepada fakir miskin, orang-orang yang terpinggirkan, dan kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan.

Bagi saya, tidak semudah itu. Mengapa? Sebab, banyak orang yang gemar memberi santunan kepada fakir miskin, korban bencana alam, anak-anak jalanan, tapi hanya untuk mencari muka dan simpatik. Sementara itu, kita dikelabuhi bahwa ‘materi’ yang mereka gunakan dalam aksi sosial itu adalah uang hasil merampok negara.

Ini senada dengan ‘teori dramaturgi’ ala sosiolog kondang abad ke-20 Erving Goffman. Yaitu sesuatu yang dipentaskan di atas panggung itu—ghalibnya—amat sangat bertolak belakang dengan kondisi di belakang panggung. Apa yang tampak dipermukaan dan ditonton oleh khalayak tak ubahnya sepenggal kisah drama atau sandiwara yang hilang begitu saja usai lakon dipentaskan.

Karena itu, solidaritas sosial harus meliputi dua hal: 1) pembentukan jati diri atau kepribadian dan 2) pembentukan prilaku sosial. Keduanya harus berjalan selaras, serasi, dan seimbang. Sebaik apapun kepribadian seseorang jika ia tidak mampu mengaktualkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak masuk kategori solidaritas sosial. Begitu pula sebaliknya. Berarti, kualitas individu dan prilaku sosial seseorang harus integral dalam satu nafas kehidupan.

Kalau begitu, bermoral sama dengan berjiwa solidaritas sosial. Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan, bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik-buruk atau berakhlak baik. Prinsip ‘baik-buruk’ tentu tidak mungkin hanya melingkupi diri seseorang secara individual, tapi cakupannya luas, antara individu dengan lingkungan. Berarti, kita dapat meraba apakah ‘si fulan’ itu bermoral atau tidak, yaitu dengan melihat kepribadiannya dan tindakan sosial di masyarakat—bukan dengan cara sekadar melihat gaya berpakaiannya.

Prinsip-prinsip solidaritas sosial yang mendasar dalam Islam adalah, pertama, ‘pemerataan harta’ untuk kepentingan sosial. Saking pentingnya, al-Quran menyebut harta dengan istilah ‘kebaikan’ (khair). Apabila seseorang di antara kamu kedatangan maut, lalu meninggalkan ‘kebaikan’, maka diwajibkan atas kamu untuk berwasiat kepada orang tua dan para kerabat. (QS. 2: 180). Pada ayat lain juga disebutkan, sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada ‘kebaikan’. (QS. 100: 8).

Makna kebaikan yang dimaksud dalam dua ayat tersebut tak lain adalah ‘harta’. Setidaknya ayat tersebut menyiratkan makna, bahwa harta akan bernilai jika: 1) diperoleh dari jalan yang baik dan 2) didermakan untuk kebaikan. Karenanya, Islam melarang keras penumpukan harta untuk memperkaya diri. Surat Al-Humazah ayat 1-4 mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang gemar harta dan tidak punya jiwa peduli sosial adalah termasuk golongan orang-orang yang culas.

Misal lain, soal relasi pengusaha dan karyawan atau buruh dan majikan, Rasulullah Muhammad saw. dengan tegas menggariskan, “Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya mengering.” (HR. al-Bukhari). Dalam hadist lain juga disebutkan, “Ada tiga kelompok manusia yang aku musuhi kelak di hari kiamat, 1) orang yang ingkar janji, 2) orang yang melakukan perdagangan manusia, 3) orang yang mengurangi atau tidak membayar upah buruh.” (HR. Ibn Majah dan Thabrani).

Kedua, menghargai orang lain. Manusia tidak mungkin mempunyai pandangan hidup atau pendapat yang sama. Perbedaan adalah suatu keniscayaan. Untuk itu, Nabi telah bersabda, ikhtilafu ummati rahmatun, perbedaan yang terjadi di antara umatku adalah rahmat. Tugas kita adalah bagaimana merajut perbedaan-perbedaan itu menjadi melodi kebersamaan yang indah dan harmonis. Al-Qur’an membahasakan dengan istilah ‘lita’arafu’, satu sama lain saling mengenal, bukan jotos-jotosan.

Maka, kita tidak dapat membenarkan tindakan kelompok-kelompok yang mudah mengumbar ‘amarah’. Apalagi, sampai memaksakan kehendaknya dengan cara-cara kekerasan, meski dengan dalih penegakan moralitas dan agama. Gregory Baum (1999) seorang teolog dari McGill University Kanada menegaskan, bahwa otentisitas agama itu justru terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris. Jika komitmen ini hilang, maka sirnalah sudah hakekat eksistensi agama.

Jadi, moralitas tidak dapat diukur dengan kaca mata batas-batas tubuh (aurat) maupun aturan fiqih an sich. Tapi, moralitas berarti juga solidaritas sosial atau maslahah secara kafah. Dari sini, kemudian timbul pertanyaan otokritik. Sudahkah kita merenung dan berkaca, apakah diri kita termasuk orang-orang yang bermoral? []

sumber: majalah Al-Mihrab, Semarang, Jawa Tengah.

Tuesday, May 02, 2006

Perempuan Lebih Terpercaya Daripada Laki-laki

Andai tidak ada Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah,
berapa banyak hadis yang akan melayang begitu saja.
Dan apa benar, potensi kejujuran perempuan lebih besar
daripada laki-laki?


Oleh : Abdullah Ubaid Matraji

Di Malam yang hening, 17 Ramadan 41 H/6 Agustus 610 M, dengan tubuh gemetar dan menggigil, Muhammad, menyusuri gurun pasir menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, Khadijah terkejut melihat kondisi suaminya yang waktu itu memang gemar menyendiri di gua Hira, sekitar 5 km sebelah utara kota Mekah.

Selimutilah aku, selimutilah aku!” pinta Muhammad kepada istrinya, Khadijah. “Ada apakah gerangan suamiku?” tanya istri Muhammad yang berasal dari kalangan bangsawan Quraisy itu, cemas.

Muhammad, putra Abdullah bin Abdul Muthalib, lalu bercerita panjang lebar tentang kejadian yang baru saja dialami di gua yang terletak di pinggiran tebing gunung Nur itu. Ia bertemu dengan sosok yang tak pernah ditemuinya yang mengaku sebagai Malaikat Jibril.

Oleh Jibril Muhammad diminta untuk membaca namun ia menampik. Jibril memegang tangannya kemudian merangkul Muhammad hingga merasa sesak dan mengulang permintaannya, kembali Muhammad menolak. “Dia memegangiku dan merangkulku ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku, lalu berkata... (ayat 1-5 surat Al-Alaq),” kata Muhammad kembali bercerita.

Muhammad mengulangi ucapan itu dengan hati bergetar. Lalu ia buru-buru pulang.

“Aku khawatir terhadap keadaan diriku ini,” kata Muhammad usai bercerita. Ia tampak sock berat.

Usai mendengar cerita itu, Khadijah dengan lembut menenangkan. “Tidak. Demi Allah. Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan dan jujur dalam kata-kata. Kau yang memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan menolong mereka yang dalam kesulitan,” katanya.

Kata-kata itu bagai air dingin yang menyejukkan hati Muhammad. Kegelisahannya berkurang.

Saat pertama Muhammad menerima wahyu memang menjadi momen yang paling berat bagi Rasulullah. Ia masih mengalami kegelisahan setelah itu. Tidak hanya berhari-hari, tapi berbulan-bulan. Namun Khadijah setia mendampingi dan menenangkannya. Bahkan, lebih dari itu, wanita yang dijuluki al-Thahiroh, wanita yang suci, ini berperan besar dalam dakwah Nabi di kemudian hari.

Tak terbayangkan kalau waktu itu tak ada Khadijah. Tapi nanti dulu, ada perempuan lain yang juga berandil besar dalam hal ini. Perempuan itu tidak lain adalah Aisyah, istri Nabi yang lain.

Mengapa? Karena dialah penutur utama hadis itu. Ia referensi paling valid terutama bagi Bukhari dan Muslim, dua Imam besar hadis dalam peristiwa ‘super penting’ mengenai wahyu pertama ini. Dibanding Abu Hurairah, sang mahaguru hadis itu, Anak perempuan Abu Bakar al-Siddiq yang dikenal sebagai wanita yang lincah dan cerdas ini hanyalah kalah banyak dalam meriwayatkan.

Aisyah tidak sendirian. Nama-nama perempuan menyebar dalam lembaran-lembaran kitab ilmu hadis dengan titel sebagai perawi. Ternyata, para ahli hadis (muhadditsin) begitu memberikan kepercayaan yang lebih kepada perempuan, dibanding para ahli fiqih (fuqaha).

Dalam kajian fiqih, menurut kritik beberapa kalangan, perempuan sering dijadikan makhluk nomor dua setelah laki-laki. Misal, dalam kasus warisan atau persaksian (menjadi saksi), perbandingan laki-laki dan perempuan adalah dua banding satu. Bahkan, menurut al-Suyuti (w. 911 H) dalam Tadrib al-Rawi (pembelajaran untuk profesi perawi), perihal penyampaian berita, ahli fikih menyaratkan harus laki-laki (dzukurah) dan merdeka (bukan budak). Perempuan tidak boleh.

Ini berbeda jauh dengan ahli hadis. Mereka tidak mengenal perbedaan antara perawi laki-laki dan perawi perempuan. Jenis kelamin tidak menjadi pertimbangan, apakah kabar itu bisa diterima atau tidak, yang terpenting adalah personalitinya: dapat dipercaya atau pembual.

Sikap ahli hadis yang cenderung moderat ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadis. Sebut saja kutub al-sittah (kitab enam), yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. Dari beberapa kitab tersebut, semuanya tak terlepas dari perawi perempuan.

Bukan hanya menyetarakan, lebih dari itu, di banding laki-laki, ahli hadis lebih mengakui perempuan dalam hal integritas dan kepercayaan (tsiqah). Hal ini bisa dibuktikan dalam kitab-kitab yang memaparkan kajian kritis tentang kualitas seorang perawi (jarah wa ta’dil).

Contoh, Al-Nasâi (w. 303 H) dalam al-Dhu’afa wa al-Matrukin (perawi-perawi yang lemah dan ditolak) berusaha untuk meneropong para perawi yang disinyalir masuk kategori dhaif (lemah) dan hadisnya ditolak. Dalam penelitiannya, ternyata, hanya ditemukan satu orang perawi perempuan yang masuk kategori dhaif. Meski dhaif, menurut Al-Nasai, hadisnya tidak masuk kategori hadis yang harus ditolak dan ditinggalkan, hanya saja penggunaannya tidak dianjurkan. Perlu diketahui, al-Nasai adalah kritikus masyhur serta dikenal jeli dan tajam dalam mengkritik.

Selain itu, kita juga dapat meneliti kitab-kitab kritik riwayat hadis yang berbicara tentang biografi para perawi yang lemah dan tertolak. Antara lain: al-Dhu’afa al-Shaghir (perawi hadis dha’if yang kecil) dan al-Du’afa al-Kabir (perawi hadis dha’if yang besar) karya al-Bukhari, al-Dhu’afa (perawi-perawi yang lemah) karya al-Uqaili (w. 323 H), Ma’rifat al-Majruhin min al-Muhadditsin (pengetahuan tentang para ahli hadis yang cacat) karya Ibnu Hibban al-Busti (w. 354 H), al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (buku lengkap tentang perawi yang lemah) karya Ibnu Adi (w. 365 H), Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal (ukuran keadilan dalam mengkritik perawi) karya al-Zahabi (w. 748 H), dan Lisan al-Mizan (penunjuk keseimbangan neraca/timbangan) karya Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H).

Di antara kitab-kitab tersebut, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal adalah lazim disebut sebagai karya terlengkap, yang mengungkap para perawi yang tergolong dhaif. Selain itu, kitab ini juga dianggap sebagai referensi paling dipercaya dalam mengungkap kelemahan dan kepercayaan para perawi. Menurut pandangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), salah seorang kritikus hadis, karya al-Zahabi ini memuat kurang lebih 11.053 biografi perawi hadis yang dianggap tidak layak.

Menariknya, dari sekian banyak biografi itu, tak ditemukan satu pun perawi perempuan yang tertuduh dusta (tidak tsiqah) dan ditinggalkan hadisnya. Kalaupun ditemukan beberapa perawi perempuan yang dikategorikan lemah, itu hanya semata-mata tidak ditemukan informasi yang jelas tentang latar belakang dan tindak-tanduk kehidupan mereka, tak lebih dari itu.

Pernyataan ini semakin jelas jika kita baca Nail al-Authar (menggapai tujuan) karya Al-Syaukani (W-1255 H). “Tak satu pun ulama yang menolak hadis yang disampaikan seorang perempuan hanya karena alasan bahwa ia adalah perempuan,” tegas Al-Syaukani. Bahkan ia juga mengatakan, betapa banyak hadis Nabi yang sampai kepada umat karena riwayat sahabat perempuan.

Jelas, seandainya ahli hadis mensyaratkan harus laki-laki dalam suatu riwayat, maka kita akan kehilangan banyak informasi. Terutama soal-soal yang menyangkut kewanitaan, hubungan suami istri, rumah tangga, dan lain-lain. Persoalan-persoalan semacam itu mayoritas dikabarkan oleh perempuan-perempuan yang dekat dengan Nabi.

Misal lain, Musnad al-Imam Ahmad (kitab Imam Ahmad) karya Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), salah seorang imam fiqih mahdzab empat. Kitab ini memuat satu volume hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan. Di antaranya adalah Aisyah. Ia meriwayatkan sebanyak 2210 hadis.

Jika dihitung keseluruhan, selain istri nabi yang dijuluki ummul mukminin (ibunya orang-orang yang beriman), ditemukan 125 sahabat perempuan dari 700 orang yang meriwayatkan hadis. Berarti, ada sekitar 18% perempuan dari jumlah perawi keseluruhan.

Hal serupa juga dapat kita tilik dalam Al-Tabaqat Al-Kubra (strata yang besar) karya Ibnu Sa’d (w. 230 H). Ia memberikan ruang satu jilid khusus untuk mengulas biografi para sahabat perempuan yang meriwayatkan hadis, berikut hadis-hadis yang berbicara seputar perempuan.

Kitab-kitab lain yang juga memuat biografi perawi adalah Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab (pemahaman tentang bagaimana mengetahui tujuan) karya Ibnu Abdil Barr al-Andalusi (w. 436 H), Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah (Mengungkap hal yang tersembunyi tentang para shahabat) karya Izzuddin Ibnul Atsir al-Jaziri (w. 630 H) dan Al-Isabah fi Ma’rifah (tujuan dalam pengetahuan) karya Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H).

Di antara kitab-kitab tersebut, yang sering dikaji adalah karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Menurut perhitungan Mahmud Atthahan (1978), dalam kitab tersebut ditemukan 1.522 perawi perempuan dari jumlah keseluruhan 12.267 orang. Lain dengan Ruth Roded (1994). Ia menemukan 1.551 perawi perempuan dari jumlah keseluruhan 12.304 orang. Terlepas dari perbedaan itu, minimal kita dapat mengukur, seberapa besar peran perempuan dalam merekam ucapan, perbuatan, dan kebijakan Rasulullah Muhammad saw.

Sayang, prestasi ini tidak berlangsung lama. Di era tabi’in, generasi setelah sahabat, terjadi penurunan jumlah perawi perempuan secara drastis. Dari 18 % di era sahabat menurun darastis menjadi 1,9 % di era tabi’in. Perhitungan ini bisa ditilik dalam al-Tsiqat (orang-orang yang terpercaya) karya Ibnu Hibban (w. 354 H). Penurunan ini kemudian ditaksir oleh beberapa kalangan sebagai kemunduran kiprah perempuan karena perempuan dibatasi perannya terutama oleh para ahli fikih. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh ahli hadis. Siapa yang salah? []

Syirah, Edisi 53, Mei 2006.

Mengenalkan Nilai, Bukan Ritual

Mendidik anak hasil pernikah bedah agama lumayan pelik. Dari kecil anak sudah dihadapkan pada pluralitas keyakinan di keluarga. Bagaimanakah lika-liku orang tua dalam mendidik si buah hati di tengah-tengah perbedaan?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Siang itu, selepas beraktifitas di SD Smart Eureka Cinere, Jakarta Selatan, Amadeus Inayat Khan, 7 tahun yang beragama Islam, mengajak temannya yang Kristen bernama Bernard, 7 tahun, untuk sekedar main-main ke rumahnya di bilangan Cinere. Bernard pun tak menolak ajakan Diyo, panggilan akrab Amadeus.

Sesampainya di rumah, teman sekelasnya itu tampak bimbang. Matanya bergerak-gerak menyisir satu per satu simbol agama-agama yang terpajang di dinding tembok rumah pasutri Wandy Nicodemus Tuturong, 34, Kristen, dan Farahdiba, 30, Islam.

“Tuhanku itu Yesus. Kalau Tuhan kamu kan Allah,” kata Bernard heran selepas memandangi ornamen-ornamen di sekelilingnya.

“Ah, enggak ah. Yesus kan Tuhan saya juga,” jawab Diyo dengan spontan.
Lalu, Diyo mengadu ke Ibunya, Farahdiba. “Mam, Tuhan Yesus itu Tuhannya Diyo juga kan?”

“Iya,” jawab wanita yang pernah menjadi aktivis Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ini.

“Tapi kata Bernard Tuhan Diyo kok Allah?” tanya Diyo diselimuti keheranan. Seketika, Sang Ibu pun menguraikan panjang lebar untuk memecah kebingungan anak pertamanya itu.

Sekilas, bagi khalayak umum, kisah di atas terkesan aneh. Tapi, tidak bagi pasangan Binyo dan Diba, panggilan akrab Wandy dan Farahdiba. Pria yang kini aktif di National Integration Movement ini, sengaja memberikan pendidikan pluralisme kepada anak-anaknya sejak dini. Di rumah, ia memperkenalkan keragaman itu melalui asesoris simbol-simbol agama yang dipajang di rumah. Ada gambar Ka’bah, patung Budha, Yesus, dan lain-lain.

“Secara formal, kedua anak saya memang beragama Islam. Tapi, sejak kecil mereka saya biasakan mengenalkan simbol agama-agama. Agar sejak dini mereka mengerti berbagai keragaman di Indonesia. Begitu dia sudah gede, terserah dia mau milih agama apa,” kata Binyo kepada Syir’ah di belakang The Best Fatmawati Jakarta.

Sedang pembelajaran di sekolah, ia sepakat dengan gagasan istrinya yang juga sebagai ketua Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) di sekolah anaknya. “Belajar agama yang baik di sekolah adalah belajar sejarahnya, bukan doktrinnya,” tegas pria berkacamata ini. Pendidikan doktrin agama yang dimaksud adalah mempelajari ritual-ritual dalam agama, semisal sembahyang, puasa, kebaktian, dan sebagainya.

Dengan belajar sejarah, lanjut Binyo, anak akan memahami alasan mengapa agama penting bagi umat manusia. Kemudian, pemahaman itu dikorelasikan dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, anak punya kemampuan untuk menangkap nilai-nilai agama dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak perlunya pendidikan agama secara doktriner di sekolah juga disuarakan Inggrid Pojoa, 52 tahun (Kristen). Bersama suaminya, Bambang Budi Utomo, 52 tahun (Islam). Ia mengidealkan pemisahan antara pengajaran agama secara vertikal, yaitu manusia dengan Tuhannya, dan horisontal, manusia dengan manusia serta lingkungannya.

Untuk pendidikan agama secara vertikal, urai Inggrid, yang bertugas untuk mengajar adalah tokoh agama, semisal pendeta, kiai, biksu, dll. Sebab mereka lebih mengerti tentang ritual agama masing-masing. Pendidikan model ini idealnya diperoleh di luar bangku sekolah, di rumah atau di lembaga-lembaga non-formal yang lain.

Sedang secara horisontal, sebaiknya diajarkan di sekolah. Jadi, sekolah bertugas untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai universal dari agama. “Misalnya, setiap agama mengajarkan ‘kasih’. Lalu, bagimana mengimplementasikan konsep kasih ini dalam kehidupan bermasyarakat? Nah, inilah yang perlu diajarkan di sekolah,” terang wanita yang juga dikenal sebagai dosen Arkeologi Universitas Indonesia ini.

Mengenai agama anaknya, Ayub Tular Kusumo Negoro yang kini sudah berumur 19 tahun dan Islam, Inggrid punya cerita. Dulu, katanya, sebelum menikah ia sudah membuat kesepakatan dengan suami, bahwa agama anak harus ikut suami. “Bukan berarti saya akan memaksa anak. Maksud saya, sejak kecil anak harus punya pegangan agama. Jika dia nanti sudah besar, tentu semua dikembalikan kepadanya. Dia mau meneruskan agama yang dipeluk sejak kecil, atau meyakini keyakinan lain,” tambahnya.

Hal ini senada dengan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. “Agama anak sebaiknya ditentukan sejak kecil, agar bisa dikondisikan sejak dini,” kata Kak Seto, panggilan akrabnya. Tapi, begitu dewasa kebebasan memilih agama dikembalikan kepada anak.

Namun, ternyata bagi pelaku nikah beda agama lain seperti Ahmad Nurcholish, 32 tahun (Islam) penentuan agama anak sejak kecil tidaklah baik. Menurut suami dari Ang Mei Yong, 27 tahun, Konghucu, kalaulah tidak ada keadaan yang memaksa orang tua tidak punya hak untuk menentukan agama anaknya, meski dia masih kecil.

Saat ini, putra semata wayangnya, Melvin Reynard Alvino, 18 bulan, dengan sangat terpaksa diberikan label agama Kristen, karena tuntutan legalitas dari negara. “Mau gimana lagi kalau kita sudah berbenturan dengan negara?” katanya dengan nada lemas. (baca juga, Syir’atuna I).

Dalam mendidik anak, Nurcholis meneladani cara Muhammad Rasulullah dalam mendidik umatnya. Di awal-awal berdakwah, Rasulullah tidak langsung
mengajarkan syariat, semisal shalat, puasa, zakat, haji, dll. Tapi, lebih dahulu beliau mengajarkan etika atau moral. “Kelak saya ingin menerapkan model pendidikan seperti itu kepada anak saya,” katanya penuh keyakinan.

Untuk mengantisipasi agar kelak anak tidak bingung, Nurcholish berstrategi. Minimal dia memperkenalkan kepada anaknya ajaran dua agama orang tuanya, Islam dan Konghucu, baik konsep keagamaan maupun ritual-ritualnya.

Selain itu, dia juga akan memantau pendidikan anaknya di sekolah, pelajaran apa saja yang telah diajarkan. Jangan-jangan gurunya mengajarkan sesuatu yang tidak kita inginkan, misalnya memuliakan agama tertentu dan merendahkan agama lain. “Karena itu, pelajaran agama di sekolah idealnya mengajarkan nilai-nilainya saja, tidak perlu syari’atnya.” Tegas alumnus pesantren Al-Faqih Purwodadi Jawa Tengah ini.

Pendidikan model ini juga diidamkan oleh Zainun Kamal, dosen pasca sarjana UIN Jakarta. Bagi alumnus Universitas Al-Azhar Mesir ini, pendidikan agama di sekolah seharusnya diajarkan secara umum, tidak diajarkan secara parsial. Yaitu meliputi nilai-nilai universal ajaran agama. Misalnya ajaran tentang kejujuran, berbakti kepada orang tua, saling menghormati, dll. Untuk yang parsial, semisal ritual-ritual, cukup diajarkan di rumah saja.

Jika yang lain masih mementingkan pelajaran agama di sekolah, berbeda halnya dengan Budi Santoso Tanuwibowo, 46 tahun, ketua umum Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin) yang beristri seorang Kristen. Ia merasa tidak perlu ada pelajaran agama—sama sekali—di sekolah, kecuali di tingkat SMA. Sebagai penggantinya, ia menawarkan pelajaran ‘budi pekerti’.

“Saya lebih setuju kalau pendidikan agama itu dijadikan satu, dan semua label-labelnya dihilangkan. Kemudian dinamakan pendidikan budi pekerti,” katanya saat dihubungi Syir’ah via telepon. Sedangkan pendidikan agama, menurut ayah dari Ayuningtyas, 16 tahun, Kristen, diserahkan sepenuhnya kepada keluarga, bukan tanggung jawab sekolah.

Pendidikan budi pekerti ini, berlangsung dari jenjang SD sampai SMP. Nah, ketika menginjak tingkat SMA, siswa baru boleh diberi materi pelajaran agama. Mereka dikenalkan dengan semua agama. Agar mereka mengerti, bahwa ia hidup di sebuah masyarakat yang plural. Mengapa harus di tingkat SMA?

“Sebab di tingkat itu mereka sudah mampu berfikir untuk membandingkan antar agama. Jika hanya dikenalkan satu agama justru saya takut, nanti kalau sudah gede dia akan menjadi orang yang fanatik dan merasa benar sendiri,” jawab suami dari Sherry Lesmana, Kristen, 45 tahun, ini.

Ide ini didasarkan atas realitas empiris yang dirasakan Budi. “Akibat pendidikan agama yang menekankan ritual, cara beragama masyarakat Indonesia menjadi lebih condong ke formalitas, tidak substansial,” jelasnya. Dia tidak mengerti, mengapa orang suka berlomba-lomba untuk membikin tempat ibadah, bahkan melebihi kebutuhan jamaah. Padahal, banyak sekolahan dan klinik yang ambruk, tapi tidak ada yang mensubsidi. “Kita harus mempertanyakan hal ini,” usul Budi dengan nada agak tinggi.

Paradoks dalam pendidikan agama ini juga menggelitik Nuryamin Aini, dosen Syariah dan Hukum di UIN Jakarta. Dia mendapati kerancuan orientasi pembelajaran toleransi di sekolah. “Seperti pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), perbedaan agama dan simbol-simbol pluralitas diperkenalkan pada anak, secara proporsional. Tapi pada pelajaran agama, anak hanya diperkenal ajaran agamanya sendiri secara mendalam,” urai alumnus Flinders University Australia ini.

Sementara itu, Gede M.N. Natih, pengamat pendidikan dan commision di Sevilla School Pulomas Jakarta Timur, sependapat dengan gagasan Budi Santoso soal pendidikan budi pekerti di sekolah. Pendidikan budi pekerti ini, bagi Gede, diharapkan mampu mengenalkan anak didik pada nilai-nilai yang terkandung pada agama-agama. “Saya pikir, nilai-nilai luhur dalam agama manapun itu sama saja,” tukas Gede sambil duduk santai di sofa bermotif lurik warna-warni.

Setidaknya, konsep ini sudah dijalankan pria berdarah Bali ini di sekolah yang dikelolanya. Dalam proses belajar mengajar, sekolah yang dihuni oleh anak-anak dari beragam latar belakang agama ini mengintegrasikan dua hal, budi pekerti dan mata pelajaran di sekolah (Baca, Syir’atuna III). “Dengan demikian, pengkotak-kotakan atas nama agama bisa dihindari, dan anak-anak pun akan merasa enjoy dengan keragaman di sekelilingnya, ” tukasnya. [Reportase: Abdullah Ubaid M. dan Maria Ulfah ]

Syir'ah, Edisi 53, Mei 2006.

17 Mei 1939, Buku Putih McDonald Diterbitkan

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Konflik Israel-Palestina adalah ibarat permusuhan kucing dan tikus. Dari dulu hingga kini masih terus berkecamuk, seakan tidak menemukan titik terang. Konflik ini juga biasa disebut permusuhan antara bangsa Arab (Islam) dan bangsa Yahudi.

Dari tahun ke tahun, era ke era, berbagai usaha dilakukan dunia international untuk mencipta perdamaian di tanah Palestina. Tapi, lagi-lagi gagal. Mungkin orang awam sering berdesas-desus: apa sih yang dipersoalkan? konflik kok tidak berujung!

Duduk perkara yang sebenarnya adalah sederhana, rebutan kota Yerussalem: ghalibnya disebut Baitulmaqdis atau al-Quds (kota suci). Bukan hanya umat Islam, kota ini juga sangat bernilai bagi orang-orang Yahudi. Menurut mitos, Yerussalem adalah tanah yang dijanjikan (the promise land) Tuhan untuk bangsa Yahudi. Lalu, lahirlah gerakan Zionis, gerakan untuk membentuk negara kedaulatan Yahudi di tanah Palestina.

Usaha untuk mendamaikan konflik Israel-Palestina pernah dilakoni Inggris, yaitu ketika Palestina masih berstatus sebagai negara jajahannya. Tanggal 17 Mei 1939, pemerintah Inggris menerbitkan Buku Putih Palestina. Buku ini juga dikenal sebagai Buku Putih MacDonald, sesuai dengan nama ketua tim penulisnya, Malcolm MacDonald, Menteri Negara Urusan Koloni Inggris.

Secara umum, buku ini mencakup tiga poin aturan: konstitusi, imigran Yahudi, dan pertanahan. Pertama, buku ini memuat kebijakan-kebijakan pemerintah Inggris untuk membentuk negara Palestina yang merdeka dan diperintah secara bersama-sama, orang-orang Islam dan Yahudi.

Kedua, buku ini menawarkan prinsip pembatasan jumlah penduduk. Lima tahun pertama, jumlah penduduk Yahudi adalah 1/3 dari penduduk Palestina, atau 75.000 imigran. Setelah itu migrasi dihentikan secara total, kecuali dapat restu dari pihak muslim. Ketiga, soal tanah, buku ini menganjurkan dan mengatur legalitas perpindahan tanah dari warga Arab ke Yahudi selama masa transisi.

Apa boleh buat, usaha Inggris tersebut berujung kegagalan. Bangsa Arab dan Yahudi sama-sama menolak. Namun, kendati ditolak, pemerintah Inggris tetap ngotot untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Karena itu, pada 28 Februari 1940 pihak kolonial Inggris mengesahkan undang-undang perubahan kepemilikan tanah.

Akhirnya, Palestina dibagi menjadi tiga wilayah bagian. Wilayah pertama, daerah yang tidak diperbolehkan memindahkan kepemilikan tanah orang Arab kepada Yahudi. Wilayah kedua, diperbolehkan memindahkan kepemilikan tanah, asal atas persetujuan dari pihak ketua delegasi Inggris. Dan wilayah ketiga, daerah yang bersifat mutlak: tidak boleh diotak-atik oleh pihak manapun. [AUM]

Syir'ah, Edisi 53, Mei 2006

Aksi Mogok Makan Semasa Nabi

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Imam Muslim pernah merekam peristiwa menarik dalam kitabnya, Shahih Muslim (1784). Perhelatan sahabat Rasulullah Muhammad Sa’ad bin Abi Waqas dan ibunya.

Layaknya direktur perusahaan yang didemo karyawan agar menaikkan upah. “Gaji dinaikkan tapi rugi atau gaji tetap tapi karyawan pada kabur.” Bak simalakama. Begitulah dilema yang pernah mendera sahabat Nabi yang jago memanah ini, tatkala awal-awal masuk Islam.

Suatu ketika, Ibu Sa’ad cemberut melihat tingkah putranya. Kerutan wajah dan mimik tak sedap merona di wajahnya. Rupa-rupanya, Sang Ibu belum bisa menerima Sa’ad sebagai seorang muslim. Ia pun menyusun rencana untuk membujuk Sa’ad.

Rencana itu, ternyata, berupa ‘aksi mogok makan’. Kalau sekarang, ini mirip demonstasi yang dilakukan para korban Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Bedanya, Ibu Sa’ad tak sampai menjahit mulut.

“Demi Allah, saya tidak akan makan, minum, dan berbicara, hingga kamu kufur: meningalkan ajaran Muhammad,” serapah Ibunya.
Lebih lanjut dia berdalih, “Kamu kan seharusnya tahu titah Tuhanmu. Sesungguhnya Allah melarang anak-anak untuk durhaka kepada kedua orang tuanya. Dan saya adalah ibumu.”

Aksi ini berlangsung sampai tiga hari, hingga pingsan. Lalu, datanglah ‘Imarah, saudara Sa’ad, untuk memberi minum ibunya. Setelah Sadar, ia berdoa agar putranya kuwalat karena membangkang.

Mendengar doa itu, Sa’ad kian bingung. Tetap pada pendirian tapi durhaka kepada orang tua atau taat kepada orang tua tapi kufur kepada Allah. Sa’ad pun mengalami kegamangan yang belum pernah dialami sebelumnya.

Untuk mengobati kebimbangan ini, Allah memberikan petunjuk melalui firmannya. Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah kewajiban, kecuali dalam perkara syirik, menyekutukan Allah (QS. 29: 8). Akhirnya, Sa’ad kian teguh memeluk Islam. Dan tahun 637 M/16 H, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, ia berhasil menaklukkan Irak. [AUM]

Syir'ah, edisi 53, Mei 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes