Friday, October 06, 2006

Menapak Jejak Islam Indonesia

Islam masuk ke Indonesia dari jalur yang beragam. Karenanya, corak Islam Indonesia pun menjadi tidak tunggal.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Menjelang diskusi usai, sosok berkulit putih dan berkaca mata mengangkat tangan kanan. Rupanya dia ingin bertanya. “Silahkan Mas yang berada di belakang,” kata moderator.

Pria pemilik nama Wandy Nicodemus Tuturong itu pun berdiri, menyambar mik di atas meja, lalu mulai angkat bicara. “Hingga sessi kedua ini, saya belum menemukan jawaban, atau sedikitnya rumusan, apa itu Islam Indonesia yang menjadi tema sentral diskusi ini,” kata pria tambun berusia 34 tahun itu, “Menurut saya, Islam Indonesia itu Islam yang sesuai dengan Pancasila, betulkah demikian?”

Ups.. ternyata dia tidak hanya bertanya, tapi juga mengkritik arah pembicaraan narasumber yang tidak karuan juntrungnya. Itulah cuplikan diskusi bertajuk Reinventing Islam in Indonesia, Menemu-Ciptakan Islam Indonesia, digelar di wisma Antara, Sepetember silam. Diskusi yang digelar dalam rangka milad Syir’ah yang kelima ini, bermaksud menemukan definisi, atau paling tidak, kategori untuk menjelaskan Islam Indonesia.

Deputi Rektor Universitas Paramadia Yudi Latif, mengkritik tema yang diusung panitia. “Tema yang berbahasa Indonesia itu sudah benar, tapi tema Inggrisnya yang menurut saya kurang tepat,” tandas narasumber yang duduk ditengah berdampingan dengan KH. Ma’ruf Amin, Muslim Abdurrahman, dan Zuhairi Misrawi itu. Menurutnya, yang lebih pas adalah Reinventing Indonesianis Islam. Jadi, harus dibedakan: antara istilah “Islam di Indonesia” dan “Islam Indonesia”.

“Islam di Indonesia” berarti sesuatu yang datang dari luar, tanpa ada proses akulturasi dengan budaya lokal. Jadi bentuk Islam itu satu dan seragam, di manapun berada. Berbeda halnya dengan Islam Indonesia. “Islam Indonesia” berarti Islam khas Indonesia, Islam yang sudah kawin dengan tradisi masyarakat lokal. “Jadi Islam itu bentuknya beragam: ada Islam Indonesia, Islam Mesir, Islam Iran, Islam Amerika, dan seterusnya,” katanya. Apa iya begitu?

Bisa iya bisa tidak, sebab pencarian itu belum berujung. Jangankan menemukan karakteristik paripurna Islam Indonesia, dari sisi sejarah masuknya saja, masih debatable. Kalau diteliti dalam buku-buku sejarah masuknya Islam di Indonesia, pasti ditemukan banyak versi. Setidaknya, yang pernah mengemuka ada empat teori. (1) Teori Gujarat, seperti yang meyakini, asal muasal Islam masuk di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.(2) Teori Persia, yang menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia.

(3) Teori Arabia, yang mendasarkan teorinya pada peranan dominasi pedagang Arab dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Dan yang terakhir (4) teori Cina, yang berdasar atas bukti kesamaan mahdzab (Sunni-Syi’ah) kaum muslim Cina dengan bangsa-bangsa muslim sepanjang Jalan Sutera, termasuk Indonesia.

Manakah teori yang paling benar? “Teori itu benar semua, sebab Islam masuk tidak dari jalur tunggal, tapi dari berbagai arah,” cetus Jadul Maula. Menurut direktur Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) ini, dampak yang terpenting dari jalur yang tidak tunggal itu adalah multikultural, atau warna-warni wajah Islam di Indonesia.

Berarti, sejak dulu, keberadaan Islam Indonesia itu multikultural (majemuk), tidak mengacu pada satu tradisi tertentu, Arab atau Gujarat sentris misalnya. Apalagi kalau kita baca naskah kuno semisal Hikayat Semaun, Amir Hamzah, atau serat menak. Serat dan hikayat itu membuktikan, latar awal Islam Indonesia itu tidak langsung mengacu ke Arab, tapi campur baur dengan budaya Persia, Arab, Cina, dan yang lainnya.

Seiring perkembangan zaman, ada tiga gambaran Islam di Indonesia. Pertama, model sufistik. Ini berkembang sejak abad ke 13-15 dan arsiteknya adalah Wali Songo. Islam model ini berupaya untuk mengakomodir tradisi lokal. Waktu itu, Wali Songo sadar bahwa sebelum Islam datang, Indonesia dikuasai kerajaan Hindu dan Budha. Karenanya, mereka tahu diri, akhirnya tradisi dua kerajaan tersebut tidak digerus, tapi dikawinkan dengan ajaran Islam. Model ini banyak melahirkan organisasi-organisasi sufi yang biasa disebut tarekat: Syattariyyah, Naqsyabandiyah, Rifaiyyah, Qadiriyah dan lain-lain.

Kedua, model puritan. Model ini cenderung anti-tradisi lokal. Pemahaman Islam yang disebarkan mengacu pada alquran dan hadis secara murni, serta menolak bid’ah. Model yang berkembang pada abad ke-19 ini menamakan gerakannya dengan istilah pembaruan. Di sini, Muhammadiyah disebut-sebut sebagai motor penggerak. Di abad ini pula lahir Nahdlatul Ulama, sebagai anti-tesa Muhammadiyah.

Terakhir, model Islam radikal. Berkembang sejak 1980-an sampai sekarang. Tumbuhnya gerakan ini kebanyakan didasarkan kekecewaan politik atau diskriminasi umat Islam oleh pemerintah. Gagasan utamanya adalah menolak Pancasila dan penegakan syariat Islam. Kelompok yang ada di barisan ini antara lain Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam dan Jama’ah Tarbiyah.

Begitulah ragam Islam di Indonesia. Jelas sudah, hingga kini, warna dasar Islam Indonesia masih tetap seperti semula, majemuk dan tidak tunggal. Jika ada kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki keseragaman, maka ia sejatinya tercerabut dari akar dan jati diri Indonesia. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

Islam Indonesia Bukan untuk Memilah-milah

Belakangan ini mengemuka gagasan Islam Indonesia, yang dikampanyekan sebagai bentuk kesadaran historis masyarakat lokal Indonesia. Apa dan bagaimana sejatinya Islam Indonesia itu? Berikut ini petikan wawancara Abdullah Ubaid Matraji dengan Jadul Maula, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Islam dan Sosial, yang pernah melakukan penelitian seputar Islam Indonesia.


Berbagai seminar dan diskusi digelar untuk menelusuri Islam Indonesia, konsep apakah itu?
Ini adalah bagian dari pencarian identitas keislaman di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek geografi dan sejarah. Juga merupakan pencarian identitas untuk melawan keterasingan.

Melawan keterasingan itu maksudnya apa?
Maksudnya adalah bagaimana mengelola masalah-masalah di Indonesia, tapi tidak membuat kita tercerabut dari akar budaya. Misalnya, sekarang kita ribut-ribut soal Islam dan terorisme. Kalau kita ribut di situ, kita merasa terasing toh? Sebagai bangsa Indonesia kita tidak bisa menjawab itu. Itu adalah agenda internasional, bukan masalah bangsa Indonesia.

Berarti kita gagap, karena tidak bisa merespons globalisasi?
Bukan begitu. Tapi bagaimana kita menjawab masalah-masalah itu dengan logika kita sendiri, berdasarkan sejarah dan tradisi yang kita miliki. Kalau kita masuk wacana “terorisme” misalnya, lalu kita tidak punya satu pengertian ala Islam Indonesia, maka kita tidak punya logika sendiri, tapi justru didekte agenda luar atau kepentingan asing.

Kalau begitu, apa definisi terorisme ala Islam Indonesia?
Satu misal. Menurut kita ekspoitasi sumberdaya alam tanpa kaedah itu adalah terorisme, itu amcaman yang nyata. Jadi terorisme bukan perang antar peradaban atau perang agama seperti yang didefinisikan orang luar.

Setelah sekian lama mencari, hasil temuan Islam Indonesia itu bagaimana?
Adalah suatu spirit untuk dandani menungso, masyarakat, lan negoro (memperbaiki manusia, masyarakat, dan negara). Ini adalah komitmen paling dasar Islam Indonesia. Konsep ini juga mengembangkan ajaran keagamaan yang orientasinya bukan menaklukkan manusia dalam ajaran agama, tapi membuat manusia itu tumbuh wajar dan alami. Sehingga terciptalah masyarakat yang egaliter dan toleransi.

Secara rigid, apa definisi Islam Indonesia?
Pencarian Islam Indonesia itu tidak bermaksud mencari definisi yang baku dan kaku. Lalu dengan definisi itu digunakan untuk memilah-milah, ini bukan Islam Indonesia, ini Islam Indonesia. Bukan begitu menurut saya.

Lalu apa?
Yaitu spirit untuk mengintegrasikan (Islam dengan) Indonesia, bukan malah menserabut diri kita dari akar tradisi dan sejarah Indonesia. Sekarang ini banyak kelompok yang justru melakukan dehistorisasi, melupakan sejarah lokal. Misalnya Ahmadiyah. Pada satu sisi, saya bela dia karena didiskriminasi. Tapi, sisi lain saya tidak setuju. Karena Ahmadiyah mengasingkan orang Indonesia. Sebab orientasinya lebih ke India sentris. Begitu pula dengan Hizbut Tahrir Indonesia yang cenderung Arab Sentris. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

Potret dari Mimbar ke Mimbar

Dakwah yang seharunya berorientasi pada edukasi dan pencerahan, kini berubah menjadi sebuah komoditi, bahkan ajang menebar kebencian.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Cendekiawan muslim Indonesia Jalaluddin Rakhmat, ketika ziarah ke tanah suci Makkah, beberapa tahun lalu, bertemu seorang kiai. Kang Jalal, begitu biasa disapa, berniat memberi hadiah kitab berjudul Wasiyyah al-Nabiyy, Wasiat Nabi, kepada kiai yang juga berasal dari Indonesia itu.

“Ini pak.. kitab dapat digunakan sebagai bahan dakwah,” kata Kang Jalal. Pemberian buku tanpa diminta itu ternyata ditolak oleh Sang Kiai.

“Wah..! dakwah sekarang tidak perlu yang seperti ini, yang diperlukan adalah bagaimana membuat dagelan, kalau bisa ada nyanyian dan tarian-tariannya sedikit,” jawab kiai itu berargumen.

Kisah itu diceritakan Kang Jalal dalam tayangan program talkshow Islam Indonesia yang bertajuk Metode Dakwah Kontemporer di Metro TV, hari Kamis tanggal 21 September.

Apa yang dikisahkan Kang Jalal hanyalah sebuah ilustrasi kecenderungan sebagian para da’i sekarang yang lebih banyak menampilkan sisi lucunya. Hanya ingin membuat mad’u atau audiens senang tertawa terpingkal-pingkal, namun esensi dakwahnya kabur entah kemana.

Pembicara lain yang tampil sore itu, Khoirul Huda Basyir, itu mengamini. Menurut sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) ini, pendekatan dakwah di Indonesia memang banyak menggunakan cara-cara ala srimulat, melawak. Karena itu, mimbar dakwah masih diwarnai khitâbah, sekedar orasi atau pidato, belum sampai pada peran sebagai media dakwah, menyeru umat pada kebaikan sekaligus mencegah kemunkaran.

Bagi Kang Jalal, fenomena dakwah model ini tak ubahnya entertainment, hiburan, yang setiap hari menyapa di televisi. Tak pelak lagi, gelak tawa, sikap lucu, dan musik, adalah prasyarat wajib sebuah acara hiburan. “Ini adalah bagian dari industrialisasi dakwah,” tegas ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia ini.

Kalau bicara realistis, tambah Kang Jalal, manusia sekarang hidup di era globalisasi, berbarengan dengan itu, kapitalisme international menguasai media yang digunakan sebagai alat ideologi. Jadi, dakwah sekarang telah diwarnai kecenderungan kapitalistik, bagaimana meraup untung sebesar-besarnya dengan berdakwah. Karena itu, dakwah harus patuh pada hukum-hukum marketing atau pemasaran: dakwah akan didengar jika mengikuti selera pasar. Untuk menjaring pasar, seorang dai harus pintar packizing, mengemas pesan-pesan agama agar laku di pasaran.

Pengemasan ini, menurut Huda yang alumnus Universitas al-Azhar Mesir ini, adalah sebuah keniscayaan. Dakwah bukan berarti tidak boleh dikemas atau dimodifikasi. Kemasan itu harus, agar dapat menarik audiens. Tapi yang perlu diperhatikan adalah porsi dakwah sebagai tuntunan itu harus lebih dominan daripada sekadar sebagai tontonan.

Ini adalah satu soal. Pada sudut lain, kata Huda, pola dakwah juga masih diwarnai gaya penyampaian yang provokatif, membakar semangat massa. Misalnya dengan mengkhotbahkan, si fulan itu kafir, sesat, murtad, dan masuk neraka. Atau, kelompok anu itu tidak Islami, keluar dari jalur Islam, makanya harus diserang, dan seterusnya.

Belakangan kasus seperti ini terjadi pada seorang dai yang dalam ceramahnya mencaci-maki KH Abdurrahman Wahid di atas mimbar, saat menjadi khotib shalat Jumat di sebuah masjid di Jakarta, akhir Agustus lalu. Ia pun menuai protes dari sejumlah jamaah. Kalau sudah begini, “Dakwah yang seharusnya berpesan edukatif berbalik arah menjadi ajang justifikasi, bahkan fitnah,” terang Huda.

Sebagai akademisi yang consern di bidang komunikasi massa, Kang Jalal melihat dari sudut pandang ilmunya itu. Untuk menarik pendengar, ceramah model ini memang cespleng. Sebab, menurutnya, yang menarik perhatian publik itu ada dua, bloods (darah, adegan kekerasan) dan bras (kutang, sesuatu yang berbau porno). “Untuk kategori kedua, saya tidak akan bahas di sini,” kelakarnya yang disambut gelak tawa kru Metro TV sore itu.

Yang berdarah-darah dan provokatif itulah yang menyenangkan orang. Ia lalu memberikan tamsil. “Coba tawarkan ke televisi program pendidikan yang serius dan mencerahkan, pasti akan ditolak, karena tidak menarik, tidak ada unsur blood tadi,” papar Kang Jalal.

Agar penceramah tidak terjebak dalam gaya dakwah yang keras dan provokatif, Huda menjelaskan strategi LDNU, yaitu dengan sertifikasi dakwah. Setiap dai yang hendak terjun ke lapangan hendaknya memiliki sertfikasi standar yang diberikan LDNU. “Ini tidak dimaksudkan untuk memformalkan seorang dai. Tapi, memberikan standar kompetensi,” katanya. Sertifikasi ini tidak diberikan begitu saja. Agar standar kompetensi tercapai, seorang dai harus melewati fase-fase pendidikan dan pelatihan. Selain materi keislaman, seorang dai juga harus dibekali etika gaul dalam bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan begitu diharapkan dai yang digodok di LDNU memiliki kemampuan yang memadai. Secara garis besar, LDNU ingin mengembangkan dakwah yang sejuk dan humanis. Metode ini seperti tercermin dalam surat Thaha ayat 43 sampai 44. Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Raja Firaun, yang dikenal otoriter dan keras kepala.

Apa perintah Allah? “Faqûlâ lahû qaulan layyinan..” sampaikan dakwah itu dengan kata-kata yang lembut, supaya dia ingat atau takut. Meski menghadapai Fir’aun yang kejam dan suka menindas Musa dan Harun tetap diperintahkan untuk lemah lembut dan santun. “Saya kira, di sinilah dakwah harus ditempatkan,” tegas Huda. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

“Menyepi” dari Gemerlap Dunia

Dulu lelakon zuhud dilakukan dengan menyepi di gunung. Nampaknya tak relevan lagi. Kini, zuhud berarti menyingkirkan hati dari gejolak nafsu.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Muhammad SAW ia bertanya, “Ya Rasul, perbuatan apakah jika aku melakukannya maka Allah dan manusia akan mencintaiku?” “Zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu; dan zuhudlah engkau terhadap segala kegemaran manusia, niscaya manusia akan mencintaimu,” jawab Nabi seperti dikisahkan dalam Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah, ahli hadis kelahiran kota Qazvin, Iran (w. 273 H)

Zuhud biasa diartikan meninggalkan urusan dunia. Akar katanya dari zahada artinya tidak suka atau tidak menginginkan. Kamus Arab al-Munjid (penolong) mengartikan, zuhud adalah meninggalkan urusan duniawi guna beribadah dengan menyepi. Orang yang melakukan zuhud disebut zâhid. “Meninggalkan keluarga, menyepi di goa, mengasingkan diri, berpakaian compang-camping, lusuh, dan miskin,” demikian seorang zahid acap diidentikkan.

Kalau dulu, faktanya memang ada yang begitu. Ini setidaknya pernah dilakoni imam al-Ghazali (1058-1111 M), yang selama bertahun-tahun mengurung diri di tanah Syam atau yang sekarang disebut Syiria. Ibrahim bin Adham (seorang tokoh sufi yang wafat tahun 165 H/782 M) juga pernah melakukan. Ia meninggalkan keluarganya selama 18 tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW meninggalkan istri tercinta Khadijah guna melakukan zuhud selama berbulan-bulan dalam goa Hira, di Jabal Nur, dan akhirnya mendapatkan wahyu dari Allah.

Kenyataan ini tidak bisa ditampik. Dalam kitab hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ada riwayat lain. Alkisah, Rasulullah ditanya seseorang, “Manusia bagaimana yang paling utama, ya Rasul?” Nabi menjawab, “Lelaki yang berjuang dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” “Lelaki yang tinggal di sela-sela gunung untuk beribadah menyembah Tuhannya,” sabda Rasul.

Hadis-hadis itulah yang dijadikan landasan melakukan zuhud dengan cara menyepi, menjauh dari kehidupan masyarakat. Berzuhud model ini biasanya dijadikan alasan orang untuk takut menekuni dunia tasawuf, dan akhirnya zuhud menjadi tidak relevan lagi.

Padahal sejatinya tidak demikian. Zuhud tetap memegang peran penting. Dalam kitab al-Luma’ (Sebuah Berkas Cahaya), Abu Nashr al-Sarraj (w. 378 H) memandang, zuhud merupakan kedudukan spiritual yang mulia dan tapak kaki awal bagi orang-orang yang hendak menuju Allah azza wa jalla, Dzat yang Maha Agung dan Mulia. Jadi, sayang sekali jika zuhud dianggap model ibadah yang telah usang.

Zuhud dalam perkembangannya dijalankan dengan dua model. Model pertama, dengan memisahkan total antara perkara dunia dan akhirat. Kelompok ini memandang, dunia dan akhirat adalah sesuatu yang berbeda dan harus dipisah. Ini seperti digambarkan dalam kitab yang cukup populer di pesantren, Minah Al-Saniyyah, pemberian yang bagus, karya sufi kelahiran Mesir Abdul Wahab al-Sya’rani (898-973 H). Menurutnya, model ini efektif dijalankan dengan cara uzlah, menyepi dan menyendiri dari keramaian.

Model kedua adalah tidak semata-mata memisahkan dunia dan akhirat. Tapi, bagaimana menerapkan keduanya tanpa ada ketimpangan. Dunia dan akhirat, dalam konteks ini, dijalankan secara selaras, serasi, dan seimbang. Meski hidup dengan gelimang harta, tak secuilpun keinginan untuk menguasainya. Justru nikmat yang berupa harta itu dibagi-bagikan untuk kepentingan sosial dan kemaslahatan umum. Cara ini dinilai lebih realistis dan menjawab kebutuhan kekinian. Ini sebagaimana dipopulerkan Abu Nashr al-Sarraj dalam kitab al-Luma’.

Menurut al-Sarraj, zâhid itu terbagi menjadi tiga rangking. Pertama, orang yang tidak punya harta sepeser pun, begitu pula hatinya yang kosong dengan syahwat duniawi. Kedua, orang yang bisa melepaskan dirinya dari syahwat duniawi, padahal di sekelilingnya bergelimang harta, tahta, dan urusan dunia lain. Ketiga, bagi orang yang seandainya segala sesuatu di dunia ini menjadi miliknya dan nanti dia tidak akan dihisab di akhirat, tapi dia lebih memilih jalur zuhud: tidak mementingkan urusan dunianya, tapi memanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan kemaslahatan umum.

Untuk menjalankan zuhud model kedua ini, manusia tetap harus “menyepi”, tapi dalam pengertian lain: menyingkirkan hati dari nafsu beserta bisikan dan bujuk-rayunya. Jelas, menyepi di sini bukan menjauhkan diri dari kehidupan manusia, tapi menjauhkan diri dari nafsu. Nafsu itu kan selalu mengajak kesenangan, karena itu menyepi dari nafsu berarti tidak bersenang-senang dan terjerumus dalam gelimang dunia.

Di era sekarang, menyepi dengan mengasingkan diri adalah suatu kenaifan. Kini, “menyepi” berarti menyingkirkan hati dari nafsu. Yaitu dengan cara mengenalinya lalu berperan sebagai pemegang kendali.

Berdasarkan pemaknaan ini, salah satu imam mahdzab empat dalam fiqih Ahmad bin Hanbal menyatakan, ada 3 macam zuhud. Pertama, menjauhi perkara-perkara yang haram, zuhud seperti ini adalah zuhud ala orang awam. Kedua, menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam hal yang dihalalkan, ini merupakan zuhud ala orang-orang khusus. Ketiga, menjauhi apapun yang memalingkan hamba dari Allah, inilah model zuhud orang-orang makrifat.

Mengenali Nafsu dan Memegang kendali

Ada banyak jenis nafsu dalam al-Qur’an, antara lain: pertama, hawa nafsu. Seperti dijelaskan dalam surat al-Nâzi`at ayat 40. “..wa naha al-nafsa an al-hawâ..” jika orang-orang takut kepada Tuhan dan menahan diri dari hawa nafsu, maka surga adalah tempat tinggalnya. Hawa nafsu di sini adalah nafsu dalam pengertian umum, keinginan yang menyenangkan. Nafsu jenis ini juga sering disebut “nafsu hewani”, seperti makan, minum, syahwat, harta, kekuasaan, dan lain-lain.

Kedua, nafsu ammarah. Surat Yusuf ayat 53 mengisyaratkan, “...innâ al-nafsa laammâratun bi al-sûi..” sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan. Ammarah artinya menarik, mendorong, dan menyuruh. Berarti, nafsu yang hanya menyuruh kepada kejelekan dan kejahatan. Misal, ketika orang dikarunia harta yang melimpah, nafsu amarah memerintah menyimpannya untuk diri sendiri, atau digunakan untuk berfoya-foya.

Ketiga, nafsu musawwilah, artinya ahli mempesona atau ahli memukau. Tugasnya hanya satu, menyulap tiap-tiap yang jelek menjadi kelihatan bagus dan sesuatu yang terlarang kelihatan menjadi perintah. Misalnya, pamer, hasud, iri hati, rakus, tidak puas, sombong, mau menang sendiri, dan iri hati. Al-Qur’an mengisyaratkannya dalam surat Yusuf ayat 83, “Qâla bal sawwalat lakum anfusukum amran,” Ya’qub berkata, hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu.

Nafsu-nafsu itu tak lain laksana kuda tunggangan yang liar: kita yang akan pegang kendali, atau justru kita akan diombang-ambingkan? Jawabnya tentu ada pada diri kita masing-masing. Ingat pesan Rasulullah, “Jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu, bukan menghunus pedang di medan perang,” kata Rasul, seperti ditulis dalam Faidl al-Qadir, cucuran kekuatan, karya ahli hadis yang wafat tahun 911 H Abdurrauf al-Manawi.

Setelah kita mengenali nafsu, sekarang tinggal bagaimana cara mengendalikannya? Ada sebuah resep yang diberikan ulama untuk itu. Pertama, berbuat tanpa disertai keterikatan. Kedua, berbicara tanpa diikuti ambisi. Dan ketiga, kemuliaan tanpa adanya dominasi kekuasaan duniawi. Lebih lugas lagi, tiga resep itu berarti: berbuat tanpa pamrih, tidak mengumbar janji dan sombong, serta tidak mudah terbawa arus keduniaan.

Sikap ini tidak hanya diterapkan dalam hal ibadah, tapi juga dalam rangka mengelola pergaulan hidup di masyarakat, bahkan dalam memenej sebuah perusahaan.

Alkisah, sebut saja Joko, seorang pemimpin perusahaan di bidang media cetak. Media ini dikenal kritis dan menyuarakan kepentingan rakyat. Tapi sayang, tirasnya belum maksimal. Di tengah-tengah perjalanan, Joko mendapat tawaran menggiurkan. Ada inverstor besar yang mau membeli seluruh saham, dengan menawarkan iming-iming: kenaikan pangkat dan gaji berlipat.

Investor ini dikenal publik sebagai “pemain” politik, atau biasa disebut broker (calo politik). Joko pun memutar otak: jika inverstor sudah tidak berkepentingan, maka ia akan mencabut sahamnya, lalu perusahaan gulung tikar dan akan menambah angka pengangguran. Dan bisa jadi, media tersebut akan ditinggalkan pembacanya, sebab isi beritanya mengarah pada kepentingan si investor tadi.

Demi kelangsungan hidup karyawan dan menjaga iklim demokratisasi di Indonesia, Joko tetap pada pendirian semula, ia menolak. Dan berkat usaha kerasnya, akhirnya Joko mampu mengajak investor-investor kecil untuk bergabung di perusahannya. Beberapa tahun kemudian, Joko sukses membawa kemajuan pesat.

Ini adalah sepenggal kisah pemimpin perusahaan yang zuhud. Ia teguh berjuang demi tegaknya kedaulatan rakyat tanpa pamrih, mementingkan nasib karyawan daripada dirinya sendiri, dan tidak tergiur dengan iming-iming pangkat dan harta. []


Syir'ah/58/Oktober/2006.

Dakwah Bukan dengan Gaya Keras

Setelah lama berdakwah dengan gaya keras dan ekstrim, dai muda ini sadar bahwa dakwah bukanlah berbentuk hujatan tapi mengajak pada Islam yang damai.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Dai muda ini tinggal di Klender, Jakarta Timur. Sosoknya yang kalem dengan kacamata membuatnya terlihat adem. Sepanjang karirnya berdakwah ia masih teringat kisah yang membuatnya berubah hingga sekarang.

Waktu itu hari Sabtu malam Minggu, masjid Nahdlatul Muslimin Cakung Jakarta Timur mulai ramai dikunjungi masyarakat sekitar. Tidak jauh dari masjid itu, ada Gereja. Di tempat itu, digelar acara Tabligh Akbar dalam rangka peringatan Maulid Nabi. Nurul bertindak sebagai penceramah agama. Kira-kira pukul 11.00 Nurul mulai berkhotbah di atas mimbar. Tema yang diangkat adalah soal reaksi umat terhadap kristenisasi.

“..Kristen adalah musuh nyata umat Islam. Mereka telah memurtadkan saudara-saudara kita yang miskin. Neraka adalah tempat yang layak baginya. Karena itu, gereja harus dibakar karena menghancurkan umat Islam..” Ungkapan itu keluar dari mulut Nurul, yang masih diingatnya, seperti diceritakan kepada Syir’ah di Wisma Antara Jakarta Pusat. “Waktu itu, saya memprovokasi masa untuk menolak kehadiran gereja di sekitar masjid,” aku alumnus IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Tepat pukul 01.00 dini hari, dai kelahiran Jakarta tanggal 17 Mei 1975 itu turun dari mimbar. Hari minggu sore, ia ditelpon seseorang. “Pak ustad, sebagian teman Bapak dan pengurus masjid berada di kantor Polisi karena telah merusak greja,” kata penelpon itu dengan suara tergopoh-gopoh. Sungguh peristiwa yang tak terduga, “kok bisa sampai brutal begini?” pikir Nurul saat itu.

Waktu itu Nurul masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Al-Falah Klender Jakarta Timur. Ia sosok dai yang masih muda dan gagah. Mukanya bersih, tak satu helai rambut pun tumbuh di atas dan di bawah bibirnya. Badannya tegap, kurang lebih 170 cm. Rambutnya selalu rapi tak kelihatan kering. Ada kaca mata tipis di depan matanya.

Saat ditemui Syir’ah ia memakai lengan panjang bermotif batik kotak-kotak berwarna hitam dan kuning emas. Ia bercerita panjang lebar kejadian yang pernah menimpa dirinya itu.

Peristiwa ini terjadi tahun 1991. Paska tragedi itu ayah dari empat orang anak ini sering berfikir reflektif, “Apakah benar apa yang selama ini saya dakwahkan?” gundahnya. Akhir tahun 1993, ia mulai berani mengambil kesimpulan, “Saya harus merubah orientasi dakwah saya,” tandasnya.

Kok bisa berubah begitu? “Perubahan orientasi ini tidak asal berubah, tapi hasil dari sebuah pencarian,” akunya. Ia mengkaji kembali buku-buku sejarah Islam, tafsir alquran, sebab turunnya ayat Alquran (asbab al-nuzul), dan sebab turunnya hadis (asbab al-wurud). Setelah itu ia baru sadar, setiap kali ayat turun, itu pasti ada konteksnya. “Jadi, ini yang menarik saya,” katanya. Ia dulu memahami, Alquran turun tak ubahnya tablet yang harus ditelan bulat-bulat, dan harus diikuti oleh semua umat manusia, bagaimanapun kondisinya.

Latar belakang pendidikan Nurul Huda dijuluki temannya dengan istilah “track surga”. Bagaimana tidak, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, ia tempuh di madrasah, pondok pesantren, dan IAIN. Pesantren yang pernah disinggahi antara lain: Al-Falah Ploso Kediri Jawa Timur, Mambaul Huda Magelang Jawa Tengah, Darul Hadis Malang, dan Al-Wathaniyah Bekasi Jawa Barat.

Selain mengisi majlis taklim di beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya—masjid Baitus Salam Cakung, masjid Nurul Yakin Buaran, Musalla Alhidayah Cakung, masjid Baitul Mukminin Depok—sejak Tahun 2000, ia juga menjadi penghulu di Kantor Urusan Agama Pancoran Jakarta Selatan.

Paska perubahan orientasi itu, bukan berarti dakwah Nurul menjadi mulus. Peringatan Maulid Nabi dua tahun silam, Nurul diundang sebagai penceramah di mushalla Al-Taqwa di Klender Jakarta Timur. Waktu itu, ia mendapat giliran terakhir. Ustad pengagum Nur Cholis Madjid (alm.), budayawan Mh. Ainun Najib, dan Jalaluddin Rakhmat ini mengusung tema Islam Rahmatan lil Alamin. Sepuluh menit pertama suasana hadirin masih tenang.

Nurul mengutip surat Al-Imran ayat 159, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (orang Islam) berlaku lemah-lembut terhadap mereka (orang kafir). Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka..”

Tatakala mengupas ayat itu, tiba-tiba ada segerombolan orang masuk musholla dan meminta Sang Penceramah turun. “Dia sudah anti-islam, dia sudah anti perjuangan,” tuduh mereka kepada Nurul. Untung saja mereka segera diamankan panitia. “Jangan rusak suasana maulid ini,” himbaunya. Keesokan harinya, mereka datang ramai-ramai bersama lasykarnya ke rumah Nurul yang juga di daerah Klender.

Hanya empat orang yang masuk rumah, sementara yang lain menunggu di luar. Tapi sayang, dialog belum usai mereka pergi dengan ungkapan, “Perintah pimpinan kami tidak ada dialog dengan orang seperti Anda,” ujar salah satu dari empat orang itu. Menurut pengakuan Nurul Huda, mereka adalah kelompok Front Pembela Islam. []

Syir'ah/58/Oktober/2006.

Tidak Diundang Sudah Konsekwensi

Gaya dakwahnya yang tegas dan keras menjadi pilihannya dalam berceramah, meski harus rela tidak lagi diundang oleh jamaah

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Sosok pria ini berkulit sawo matang. Berjenggot lebat tapi tidak panjang. Tampak dari dekat ada uban tumbuh sedikit nyempil di rambut, kumis, dan jenggotnya. Kurang lebih 160 cm tinggi pria kelahiran 14 September 1948 itu.

Bakda maghrib, pertengahan September lalu, Syir’ah memencet nomor telpon pria yang berdomisili di Bandung Jawa Barat tersebut. Usai kenalan singkat dan sedikit basa-basi, Syir’ah memulai pembicaraan. “Bagaimana pak kiai merespon realitas keragaman yang ada di Inonesia ini?” tanya Syir’ah. Pelan tapi mantap, suara kiai itu terdengar nyaring di telpon.

Ia membuat ibarat antik. “Kepala ente kalau pakai peci pasnya nomer enam. Sementara peci yang ada itu nomor lima. Kalau begitu, agar peci bisa masuk, kepala ente yang dikecilkan apa pecinya yang digedein? Tentu pecinya yang harus dirubah dan disesuaikan, jangan kepalanya yang dikempesin.”

Kepala yang dimaksud adalah Alquran dan hadis, sedang peci adalah tradisi yang berkembang di masyarakat. Jadi, kalau ada pertentangan antara sumber pokok hukum Islam (al-Quran dan hadis) dengan tradisi masyarakat, maka yang harus menyesuaikan adalah tradisinya. Jangan al-Quran yang menyesuaikan dengan tradisi. “Itu logika yang terbalik,” terangnya kepada Syir’ah.

Hassanoedin Bandung, nama lengkap pria itu. Kiai yang pemikirannya menjadi rujukan masjid Cut Mutia Menteng Jakarta Pusat ini sengaja menambahkan kata Bandung di belakang namanya. Mengapa? “Karena saya lahir di Bandung, jadi saya bumbuhi Bandung di belakang Hassanoedin,” imbuhnya.

Pada kesempatan lain, beberapa hari usai wawancara via telpon, Syir’ah menemui Hassanoedin di Cut Mutia berniat mendengarkan ceramah sekaligus mengambil gambarnya.

Tidak ada surban melingkar di leher pengasuh pondok pesantren Al-Wahhab Bandung ini, hanya ada kopyah hitam melekat di kepalanya. Bagian bawah tubuh dibalut dengan celana. Dengan penampilan sederhana itu, Hassanoedin menemui Syir’ah untuk diambil gambarnya.

Sayang, kala itu, Hassanoedin urung menyampaikan ceramah, karena ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Syir’ah lalu mengarahkan pandangan di sudut masjid. Tampak sosok pria berkulit sawo matang berkopyah hitam menundukkan kepalanya.

“Assalamu’alakum Bapak..” sapa Syir’ah sembari mengajak berjabat tangan.
“Wa’alaikumussalam,” jawabnya singkat.
Perkenalan dan dialog pun terjadi. Ahmad, nama pria itu. Ia mengaku sudah tiga kali mendengarkan ceramah Hassanoedin. Ia tidak tinggal di daerah sekitar masjid, tapi bekerja di daerah sekitar situ.
“Saya di sini biasanya hanya shalat saja kok, kalau ada pengajian ya sekalian didengarkan,” katanya saat di tanya Syir’ah, apakah Bapak sengaja menghadiri pengajian kiai Hassanoedin?

Menurut pengakuannya, ia terakhir dengar ceramah Hassanoedin tentang dizikir ala Arifin Ilham dan Jaringan Islam Liberal. Apa kata kiai alumnus Institut Islam Siliwangi Bandung itu? “Keduanya adalah sesat dan menyesatkan, maka harus dibrantas, karena ini adalah bagian dari nahi munkar,” kata Hassanoedin seperti diceritakan Ahmad.

Saat dikonfirmasi Syir’ah via telpon, Hassanoedin mengiyakan. Contoh konkrit “kepala yang dikempesin” tadi adalah kelakuan Jaringan Islam Liberal (JIL). Menurutnya, JIL telah melecehkan alquran. Sebab mereka telah memaksa alquran harus menyesuaikan dengan permasalahan zaman, bukan sebaliknya. Begitu pula dengan Arifin Ilham. “Sama-sama sesat dan menyesatkan,” tegasnya.

Baginya, ibadah dzikir ala Arifin Ilham dengan mencucurkan air mata dan mengeraskan suara adalah telah keluar dari tuntunan dzikir dalam Alquran. Seperti tersurat dalam surat al-A’raf ayat 55, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut..”, dan ayat 205, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara...”. “Pemahaman Arifin Ilham harus segera diluruskan!” imbuhnya.

Sebelum dikenal sebagai dai, Hassanoedin mengasah ilmu keislamannya di pesantren Persatuan Islam (Persis) Bandung dan kuliah di Institut Islam Siliwangi Bandung. Untuk memperdalam bahasa Arab, ia tempuh di Ummul Qura Makkah, selama tiga tahun. Selain itu, pria yang sudah punya tiga cucu ini gemar melahap karya-karya pemikiran tiga serangkai tokoh pemurnian Islam di indonesia: Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah tahun 1912, Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad tahun 1916, dan Ahmad Hasan pendiri Persis tahun 1921.

Apa yang dilakoninya sekarang adalah bagian dari nahi munkar. Kebanyakan ulama hanya amar makruf, jarang yang nahi munkar. Apa resiko dakwah nahi munkar? “Resiko tidak diundang lagi karena dianggap ekstrim,” katanya, “Tapi, itu sudah konsekuensi yang harus ditanggung.”

Karena pendiriannya itu, ia tak luput dari protes jamaah. Saat lagi ramai-ramainya media mengekspos pernyataan Abdurrahman Wahid, “al-Quran kitab suci yang paling porno.” Hassanoedin mengisi pengajian rutin Kamis malam Jum’at bakda Maghrib di masjid Cut Mutia. Temanya pun seputar itu.

“Gus Dur telah keluar dari koridor al-Quran! Gus Dur hanya menafsirkan Alquran dengan akalnya sendiri! Gus Dur tidak menggunakan dalil proporsional!” Kata-kata Hassanoedin ini ternyata menyinggung salah satu pendengar. Sekejap, orang itu langsung berdiri dan bersuara lantang memprotes keras pernyataan Hassanoedin yang dianggapnya kelewat batas menghasud Gus Dur. Tak lama, akhirnya orang tersebut diamankan oleh jamaah lain. Ia pergi dan pengajian terus berlangsung.[]

Syir'ah/58/Oktober/2006.

Seni Retorika Menarik Massa

Mendengarkan ceramah layaknya menikmati makanan. Banyak menu yang disajikan. Pendengar memilih seleranya masing-masing.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Ruang lobi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta siang itu terasa sesak. Seperti biasa, saban hari Jumat ruang itu alih fungsi menjadi tempat shalat Jumat. Jamaah yang mayoritas para wakil rakyat itu menyimak khotbah dengan khusyuk. Tak seorang pun yang berbicara kecuali Yusnari Nosra, khatib siang itu, di atas mimbar.

Sang khatib itu berceramah dengan nada tinggi. “Gus Dur enggak pantas jadi pemimpin, karena telah menganggap al-Qur’an itu porno. Kalau meninggal enggak perlu dishalatkan, bahkan dzikirnya saja bersama Inul,” pekiknya kepada Jamaah.

Sontak saja, pernyataan itu menyulut protes dua orang jamaah, Mansyur Syahrozi dari Fraksi Kebangkitan Reformasi, dan Mustaman dari Fraksi PDI Perjuangan. Keduanya langsung berteriak, “Turun! Batal!”

Meski diinterupsi jamaah, pria yang juga Staf Biro Keuangan Pemda DKI Jakarta itu tetap acuh. Khatib yang berjenggot lebat itu tetap meneruskan ceramah. Usai shalat, Hasan Ishak, politisi senior PKB menyesalkan kejadian itu. “Ini bukan forumnya, khotib tidak boleh memaki-maki dan menuduh seseorang. Siapapun orangnya,” tandasnya seperti dikutip Rakyat Merdeka.

Kejadian ini belum lama, tepatnya tanggal 25 Agustus. Untung saja aparat tidak mengambil tindakan apa-apa, sebab ternyata Yusnari mengeluarkan kata itu bukan dari karangannya sendiri namun mengutip sebuah buku. Ia sendiri akhirnya meminta maaf kepada Gus Dur alias Abdurrahman Wahid atas kejadian itu.

Dalam kasus lain aparat kepolisian tak segan-segan menangkap penceramah model ini, yang menebar kebencian pada yang lain. Tiga tahun yang lalu, tulis Radio Nederland, usai memberikan khotbah Jumat di masjid daerah Masohi Maluku, polisi menangkap khotib beserta tiga rekannya yang berkebangsaan Pakistan. Saat itu, Maluku masih dalam status darurat sipil sejak September 2001 akibat pertikaian warga Islam dan Kristen yang telah menewaskan lebih 5000 orang.

Bagi praktisi dakwah, Khoirul Huda Basyir, sebagaimana ia ungkapkan dalam Talkshow Islam Indonesia yang bertajuk Metode Dakwah Kontemporer di Metro TV, keadaan ini sudah tak asing lagi. Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama ini mengamati, hingga kini ceramah-ceramah di masjid dan majlis taklim masih banyak diwarnai gaya dai yang agitatif atau provokatif.

Jika para dai penebar kebencian itu mendapat sambutan sinis dari mad’u atau audiens, lain halnya dengan para dai yang lebih berpenampilan lembut dalam isi dakwahnya. Lihat saja Abdullah Gimnastiar, yang akrab dipanggil AA Gym. Saat datang di Palu, kiai kelahiran Bandung 29 Januari 1962 itu disambut haru, dengan tetesan air mata, baik umat Muslim maupun Kristen. Tak hanya di masjid, ia juga ceramah di Gereja Poso.

Di hadapan jamaah Kristiani, Bapak dari enam anak ini berpidato. “Ibu dan Bapak sekalian, kita berbeda agama, tapi kita sama-sama manusia yang memiliki hati. Andaikata kebencian bisa menghidupkan yang mati, marilah kita saling membenci. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya... Semoga kita dikuatkan untuk bisa hidup berdampingan tanpa saling menyakiti,” katanya seperti tertuang dalam Aa Gym Apa Adanya, buku biografi yang ia tulis sendiri.

Menurut pengamatan pemimpin Ponpes Daurut Tauhid Bandung itu, penyebab terjadinya kerusuhan itu karena rakyat Indonesia masih suka menonjolkan golongannya dan menganggap golongan lain tidak benar. Untuk memahami perbedaan, Aa Gym mencontohkan bangunan beton. Materinya terdiri atas semen, besi, batu krikil, dan air. Tapi mengapa dapat berdiri kokoh? “Karena bahan-bahan yang di dalamnya tidak saling menonjolkan diri,” terangnya.

Mengapa dakwah AA Gym begitu lembut dan sederhana? Berawal dari realitas kebanyakan orang yang selalu menyalahkan orang lain, karena lupa diri. Alumnus Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan Universitas Padjajaran Bandung ini menawarkan konsep baru Syiar Islam, dengan mengajak orang untuk memahami hati atau qalbu.

Karena prinsip itu, anak tertua dari empat bersaudara ini dapat diterima hampir semua kalangan, tak pandang agama dan partainya apa. Ia tidak hanya kondang di tanah air, namanya juga berkibar di mancanegara. Sampai-sampai majalah Time edisi 11 November 2002, menjuluki kiai yang bernama asli Yan Gymnastiar ini dengan The Holy Man, manusia suci.

Tak semasyhur AA Gym, Abdullah Said sebatas kondang di Jawa Timur. Kiai andalan JTV (Jawa Timur TV) ini tayang saban hari Kamis jam 20.00-21.00. Wak Kaji Show nama program unggulan itu. Badan yang tambun dibalut baju koko, rambut putih ditutup kopyah hitam, dan sarung melambai di lantai adalah gaya kiai yang sudah berusia 63 tahun ini saat tampil di layar kaca.

Dani, manager Wak Kaji Show, bercerita kepada Syir’ah via telpon. Acara itu dilatarbelakangi kegelisahan masyarakat atas merebaknya dai-dai yang orientasi ceramahnya berkutat ihwal surga dan neraka. “Kita ingin menyajikan wacana agama yang moderat kepada masyarakat,” tandasnya.

Ketika ditanya Syir’ah, bagaimana pak kiai menanggapi keragaman di Indonesia? Ia menjawab dengan logat Suroboya yang kental. “Kullukum min adam wa adam min turab, manusia itu dari nabi Adam, dan Adam dari debu,” katanya. Jadi, hakekat manusia adalah sama, tak perlu dibeda-bedakan. Kalau memang ada yang tidak sama, imbuhnya, coba dipelajari mengapa ada perbedaan, lalu dicari titik temunya di mana.

Karena itu, ceramahnya tidak hanya digandrungi kalangan Islam saja, non-muslim juga gemar mendengarkan. Kiai yang tinggal di Bangil Jawa Timur ini memang lebih banyak bicara soal etika bermasyarakat daripada memperuncing perbedaan. Suatu ketika ada pemirsa yang bertanya kepada Said.

“Wak kaji, kalau ada orang Kristen mati apakah bisa masuk surga?”
Dengan diplomatis Kiai Said memberi jawaban. “Wong urip iku seng (orang hidup itu yang) penting berbuat baik kepada orang lain. Urusan besok masuk surga atau neraka itu urusan yang di atas (Tuhan).”

Waktu remaja, ia banyak belajar di tempat yang kulturnya berlainan. Saat nyantri di perguruan Al-Irsyad Surabaya, ia juga belajar di masjid Sunan Ampel. Kemudian secara bergiliran, Said juga menimbah ilmu di pesantren beraliran NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam. Ia belajar cara pandang semua kelompok-kelompok dalam Islam itu.

Karena itu, “Saya tidak fanatik pada satu kelompok, apalagi merasa benar sendiri,” tegas kiai yang doyan humor itu. Meski sudah tua, Humor adalah gaya khas Said. karena kebiasaannya itu belakangan ini enggan khotbah Jumat. Apa pasal? Said takut nanti jamaahnya akan ketawa saat ia berkhotbah.

Gaya humor sekarang ini memang lagi ngetren di dunia dakwah. Tengok saja para dai muda saat berceramah di televisi, suara tawa audiens tak lelah terus berkumandang. Selain humor, ada gaya lain yang disukai: gaya gaul.

“Kasihan deh lo..!” “So what gitu lo..” Celetukan itu kerap meluncur dari mulut M. Subkhi al-Bughury. Ustad gaul, begitu dia biasa disebut. Di layar kaca, ustad yang berdakwah sejak SMU ini kerap tampil di Lativi, mengisi ceramah di acara Pildacil, Pemilihan Dai Cilik.

Selain Subkhi masih banyak sederet dai muda yang berpenampilan gaul dan humoris. Sebut saja Ujay atau Ustad Jefry Al-Buchory, Ustad Ahmad Al-Habsy, dan lain sebagainya. “Kalau disampaikan dengan humor, pesan-pesan agama itu begitu mudah dicerna,” kata Budi Susanto, warga Kebon Jeruk Jakarta Pusat. Pria yang baru lulus dari Universitas Trisakti ini memang lebih suka dengan gaya dai humoris.

Berbeda dengan Munawar, warga Buncit Jakarta Selatan ini lebih memilih gaya dai yang lembut dan moderat. “Kita dengerin pengajian itu kan biar hati kita merasa sejuk dan pikiran kita tercerahkan,” ujarnya.

Kecenderungan masyarakat seperti ini ternyata tak selalu sejalan dengan para takmir masjid yang menjadi penentu dai atau mubalig mana yang dipilih untuk ceramah di masjidnya. Para takmir memiliki kriteria sendiri dalam pilihannya.

Ahmad Dahlan, Kepala Kantor Masjid Pondok Indah Jakarta Selatan, memberikan dua kriteria: ahli dalam bidang agama, dan tidak terlalu ekstrim. “Sebab yang ektrim itu biasanya membikin ricuh,” tandasnya.

Di sisi lain, ada beberapa takmir yang memilih dai atau mubaligh yang tegas. Misalnya Heri Hermawan, Ketua Pelaksana Harian Masjid Cut Mutia Menteng Jakarta Pusat ini memilih penceramah yang tegas, tapi tidak menyulut amarah. “Kalau memang ada aliran tertentu yang sesat ya harus dikatakan sesat,” tegas pria yang mengidolakan Abu Bakar Ba’asyir dan Jakfar Umar Thalib ini.

Sedang pengurus masjid Baitul Salam di kawasan Sudirman Jakarta Pusat lebih melihat jamaahnya. Permintaan jamaah yang variatif menjadi pertimbangan akan pilihan penceramah.

Mereka tak selalu menampilkan dai yang lunak, juga sering mengundang dai yang bernada keras dalam ceramahnya. Jamaah masjid Baitul Salam ternyata mewakili berbagai variasi jamaah yang ada di masyarakat. “Ya.. karena yang shalat Jumat di sini orangnya berbeda-beda. Ada yang ekstrim dan ada yang suka lembut,” kata Sudarman Ketua pelaksana Harian Majid Baitul Salam berargumen. []


Syir'ah/58/Oktober/2006.

Tuhan pun Tertawa..

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Jatmiko, bukan nama asli, adalah orang yang paling malang sedunia. Kala seluruh umat manusia telah menikmati indahnya hidup di surga, ia merana seorang diri di neraka. Tepat di depan mukanya ada jurang neraka yang menganga. Kobaran api terus-menerus membakar sekujur tubuhnya. Konon, ia adalah manusia yang terakhir masuk surga.

“Aduh... Tuhanku! Palingkan mukaku dari api neraka,” keluh Jatmiko karena tak kuat lagi menahan hidup di neraka.
Allah berfirman, “Bukankah jika aku mengabulkan permintaanmu, engkau akan meminta yang lain?”
“Tidak, aku tidak memohon yang lain,” tegas Jatmiko.
Kemudian, Allah memalingkan wajah Jatmiko dari neraka ke arah surga.

Sejenak, Jatmiko terdiam. Lalu, berseru kembali. “Ya Tuhanku, majukan aku ke gerbang surga,” pintanya.
Tuhan kembali berfirman, “Bagaimana engkau ini hai anak Adam, alangkah khianatnya dirimu. Tadi katanya tidak meminta yang lain, sekarang minta lagi.”
Karena iba, Allah pun menuruti pinta Jatmiko.

Ketika di depan gerbang surga, ia terbelalak. Ia belum pernah melihat panorama surga yang begitu indah dan memikat. Segala bentuk kebaikan dan pernak-pernik keindahan ada di situ.

Tak kuasa menahan keinginan yang menderu-deru, ia kembali memohon. “Tuhanku... masukkan aku ke dalam surga,” pintanya yang ketiga kali.
Allah yang maha Pengasih lagi-lagi berfirman, “Bukankah engkau sudah berjanji, tidak akan memohon lagi. Bagaimana engkau ini hai anak Adam, alangkah khianatnya dirimu!”

Mendengar firman itu, Jatmiko langsung merebahkan tubuh dan sujud dihadapan-Nya. Terus-menerus ia merengek-rengek kepada Allah. Melihat ulah Jatmiko, Tuhan pun tertawa terbahak-bahak. Akhirnya, Tuhan mengabulkan permintaan hamba yang malang itu.

Lho.. emang Tuhan bisa tertawa? Kita tidak tahu pasti. Tapi, begitulah cerita yang dapat kita simak dari riwayat Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad. Jangan-jangan sekarang Tuhan juga sedang tertawa geli melihat tingkah hambanya yang serba aneh: ada yang mendiskusikan-Nya, mengkritik, memuji, bahkan ada juga mengatasnamakan diri-Nya untuk mensahkan tindak kekerasan. Wallahua`lam. [aum].


Syir'ah/58/Oktober/2006.

Perang Ramadhan 1973

6 Oktober 1973

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


1.400 tank Suriah mengobrak-abrik pertahanan Israel yang hanya berkekuatan 180 tank di Dataran Tinggi Golan. Sementara di Terusan Suez tentara Israel yang berjumlah 500 orang dikeroyok 80.000 prajurit Mesir. Peperangan ini sontak membikin tentara Israel kocar-kacir.

Kali ini Israel mengalami kerugian yang lumayan besar. Secara keseluruhan, kurang lebih 2.688 tentara Israel tewas, 7.000 orang cedera, 314 tentara menjadi tawanan perang, dan puluhan lainnya dinyatakan hilang. Selain itu, Israel juga kehilangan peralatan perang: kurang lebih 102 pesawat tempur dan 800 tank lenyap tak berimba.

“Perang Ramadhan 1973” adalah nama perang ini. Disebut demikian sebab perang ini meletus pada 6 Oktober 1973 yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Pada hari itu pula bertepatan dengan hari Yom Kippur. Yaitu hari yang paling suci dalam kalender agama Yahudi. Berasal dari bahasa Ibrani, Yom Kippur artinya hari perdamaian. Hari ini ghalibnya diperingati dengan berpuasa dan berdoa secara intensif selama 25 jam. Karena itu, perang ini juga disebut “Perang Yom Kippur”.

Pertempuran ini bisa dibilang aksi balas dendam. Tahun 1967, aliansi Mesir-Suriah-Yordania dilumpuhkan Israel dalam tempo 6 hari. Orang-orang menjulukinya dengan sebutan “Perang Enam Hari”. Israel berhasil menguasai beberapa wilayah: Dataran Tinggi Golan milik Suriah (dikuasai hingga kini), Gurun Sinai milik Mesir (kini sudah dikembalikan melalui Perjanjian Camp David), Tepi Barat (wilayah Yordania) dan Jalur Gaza.

Aliansi bangsa-bangsa Arab ini kemudian mengambil pelajaran dari kekalahan yang pernah menimpanya 6 tahun silam. Mereka tidak mau mengulangi kekalahan ketika momentum Perang Ramadhan ini, Israel versus koalisi Mesir-Siria.

Mesir menyadari, armada pesawat tempurnya banyak menggunakan teknologi lama dan konvensional dibanding Israel. Maka, harus ada strategi lain. Mesir akhirnya menerapkan strategi ‘payung udara’. Strategi ini menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara, dengan cara memadukan jarak tembak. Meski mulanya berjalan efektif dan mampu membikin Israel kalang kabut, namun akhirnya strategi ini mampu dijinakkan.

Melihat pertahanan Mesir yang melemah, Uni Soviet tak tinggal diam. Ia turun tangan untuk menyokong serangan Mesir. Gara-gara Uni Soviet turut campur, Amerika Serikat tak mau ketinggalan. Ia membantu tentara Israel. Sejak saat itu, dunia tengah diancam perang besar yang melibatkan dua kekuatan super power paska-Perang Dunia II.

Iklim politik dan ekonomi dunia pun jadi tidak stabil. Hiruk-pikuk ini membuat Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi mengambil kebijakan untuk membatasi produksi minyak. Akibatnya, terjadilah krisis energi, harga minyak dunia membumbung tinggi.
Untung saja Dewan Keamanan (DK) PBB cepat tanggap. Dua minggu setelah perang dimulai, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan dan mengeluarkan resolusi 339 yang berisi anjuran gencatan senjata. [aum]

Syirah/Edisi 58/Oktober/2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes