Sunday, November 26, 2006

Kerjasama Antaragama, Penawar Islamphobia


Abduljalil Sajid intlektual muslim asal Pakistan, tinggal di Inggris, berdialog secara eksklusif kepada Syir’ah ihwal keadaan umat Islam di Barat. Merebak Islamphobia yang berakibat buruk bagi umat Islam di sana

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Awal bulan kemarin, Syir`ah kedatangan tamu dari Inggris. Menurut rencana, ia akan berkunjung ke kantor redaksi dan berdiskusi ihwal persoalan umat Islam di dunia. Hari kamis, tanggal 5 Oktober, pukul 16.00 WIB, pertemuan itu rencananya digelar. Sayangnya, pertemuan itu urung dilaksanakan di jalan Asem Baris Tebet Jakarta Selatan.

Sehari sebelumnya, intelektual dari negeri sepakbola itu merubah rencana awal. Pria yang juga seorang mufti di Inggris ini akhirnya mengundang Syir’ah di Wisma Syahidah Ciputat, hari Kamis pukul 09.00 WIB. Pagi itu, wartawan Syir’ah Abdullah Ubaid Matraji menunggu Sang Tamu di ruang lobi gedung yang terletak di samping kampus pasca sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Selang satu jam, muncul sosok pria berkulit bule dari lift. Badannya besar dan tegap. Hampir tiga puluh persen mukanya ditumbuhi rambut lebat. Panjang jenggotnya tak kurang dari empat senti meter. Dialah tamu yang ditunggu-tunggu itu. Nama panjangnya Imam Dr. Abduljalil Sajid.

Di Inggris, Sajid bergabung dengan jaringan kerjasama antaragama, namanya The Inter Faith Network for the United Kingdom, untuk membangun pola hidup yang harmonis antarumat beragama. Jaringan ini didirikan sejak tahun 1987, yang menghimpun lebih dari seratus organisasi dari berbagai agama dan keyakinan di Inggris. Sajid sendiri berasal dari Imam and Mosques Council, organisasi para imam dan masjid di Inggris.

Ada kesepakatan bersama yang diperjuangkan kelompok itu. Antara lain: saling menghormati kebebasan individu dalam beragama dan berkeyakinan, bekerja sama untuk mencegah konflik dan tindak kekerasan, serta menghormati tradisi masing-masing agama: dari soal pakaian, makanan, hingga etika sosial.

Sepanjang obrolan terasa keprihatinannya dengan kondisi umat Islam belakangan ini. Kian hari kian terpojokkan dan terhimpit. Di beberapa negara Barat bahkan ada yang mensahkan razia dan sweeping terhadap umat Islam. “Islam gandrung kekerasan”, “Islam agama teroris”, “Islam tidak berprikemanusiaan”, dan banyak lagi slogan miring atas Islam. Hal ini membawa rasa pedih yang mendalam bagi umat Islam, terutama kalangan minoritas muslim di Barat, seperti dirinya. Tuduhan-tuduhan itu selalu dilandaskan pada peristiwa 9/11 yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Centre di New York tahun 2001.

Jamila Sajid, istri intelektual kelahiran Pakistan itu juga tak luput dari sasaran. Ia mengaku sering mendapat telepon kaleng dan intimidasi dari orang yang tak dikenal. Begitu pula dengan masjid-masjid tempat ia beribadah di kawasan Brigton Inggris. Juga tak luput dari sasaran aksi balas dendam orang-orang non-muslim. “Kurang lebih satu bulan penuh saya takut keluar rumah,” katanya seperti diceritakan Sajid.

Paska tragedi 9/11, di Barat muncul istilah Islamphobia, ketakutan orang-orang Barat yang berlebihan terhadap Islam. “Langkah apa yang Anda lakukan melihat situasi waktu itu?” tanya Syir’ah dengan bahasa Arab.

Imam masjid yang juga Ketua Dewan Muslim untuk Keharmonisan Agama dan Rasial ini menjawab dengan bahasa Inggris. Ia menunjukkan kepada Syir’ah buku berwarna biru. Ada gambar ledakan yang menyemburkan api di covernya. Sembari menenteng buku itu, ia menerangkan.

“Untuk menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya, saya melakukan investigasi,” katanya. Sajid melihat, yang bersuara nyaring saat itu adalah media-media orang Barat yang miskin perspektif Islam. Karena itu, Islam seakan menjadi terdakwa tanpa proses pengadilan. Ia mengambil sample (contoh) 19 muslim dari negara yang berbeda-beda untuk diwawancarai soal-soal seputar terorisme. Hasil investigasi itu, ia tuangkan dalam buku berjudul Why Teror, Is There No Alternative?, seperti yang dipegang di tangannya tersebut.

Apa kata mereka? “Saya menyimpulkan bahwa mereka sepakat, terorisme adalah propaganda Barat untuk melemahkan kekuatan umat Islam,” tegas imam masjid yang juga ketua World Conference of Religion and Peace itu.

Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba pembicaraan terputus sejenak. Tangan Sajid mengambil majalah Syir’ah yang tergeletak di atas meja di depannya.
“Islam Indonesia?,” tanyanya.
“Ya, menemukan kembali Islam Indonesia,” jawab saya.

Majalah itu adalah Syir’ah edisi khusus ulang tahun bulan September 2005. Ia mengkritik istilah “Islam Indonesia” yang digunakan Syir’ah.
“Bukan Islam Indonesia. Yang benar adalah Muslim Indonesia,” kritiknya.
Lalu, Syir’ah tanya balik, “Apa beda kedua istilah itu?”

Ia menjelaskan. Islam itu satu, yang jadi rujukan juga sama: al-Quran dan hadis. Jadi, tidak ada istilah Islam Indonesia. Lain halnya dengan “muslim Indonesia”. Kalau muslim Indonesia itu baru benar. Sebab, orang muslim itu banyak ragamnya: mulai dari cara beribadah, bermuamalah (bergaul dengan sesama manusia), sampai dengan memahami ayat-ayat al-Quran.

Perbedaan-perbedaan itu, menurut Sajid, tak lepas dari kondisi ruang dan waktu masing-masing tempat. Jadi, muslim Indonesia dalam mempraktekkan ajaran agama Islam berbeda dengan muslim Lebanon, berbeda dengan muslim Amerika, dan seterusnya. “Itulah yang disebut keragaman dalam Islam,” terang mantan anggota komisi muslim Inggris dan Islam phobia itu.

Pria yang sehari-hari menggeluti multikulturalisme dan isu-isu agama itu kemudian menaruh kembali majalah Syir’ah dan melanjutkan pembicaraan yang terputus tadi. “Karena itu, umat Islam harus bersatu,” kata Sajid memfokuskan lagi pembicaraan. Bersatu bagaimana?

Ia mencontohkan kekuatan United States of Amerika (USA). USA mampu menghimpun negara-negara di benua Amerika untuk menjadi kekuatan di dunia: satu mata uang (Dollar), satu kebijakan luar negeri, dan satu militer. Begitu pula dengan negara-negara di Eropa. Mereka berhimpun dalam European, dan mengeluarkan satu mata uang (Europ), kebijakan luar negeri, dan militer. Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim belum bisa bersatu?

Sajid menyadari, menyatukan umat Islam itu tak semudah layaknya menyatukan negara-negara di Amerika atau Eropa. Umat Islam punya latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari geografi, etnis, bahasa, sampai ragam tradisi lokal yang berkembang di negara masing-masing. “Ini adalah tugas utama umat Islam yang harus kita usahakan bersama,” terang intelektual yang sudah 34 tahun membina keluarga di Inggris ini.

Untuk bisa maju dan bersatu, umat Islam tidak perlu merasa superior, merasa paling unggul dan benar sendiri. Apalagi, harus melakukan tindakan-tindakan yang destruktif, aksi-aksi kekerasan. Menurut Sajid, Umat Islam harus mampu menjaga hubungan baik dengan umat agama-agama dan kepercayaan lain. Apa maksud? Agar kesalahan persepsi “orang luar” tentang Islam tidak terjadi lagi, dan yang terpenting adalah menciptakan hubungan yang harmonis atas dasar kemanusiaan. []


Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Multikulturalisme ala Pesantren

Sebagai subkultur dari masyarakat, pesantren menyimpan banyak keunikan, terutama ketika menyapa tradisi dan merespon keragaman.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tempat mirip padepokan yang lazim terkesan adem ayem itu tiba-tiba dituding sebagai sarang teroris yang mensahkan aksi kekerasan atas nama agama. Penghuninya dicap ekslusif, jumud, kaku, dan tidak toleran. Ya, pesantren, nama tempat itu. Syak wasangka ini marak sejak tertangkapnya Imam Samudra dan Amrozi cs, tiga tahun silam, sebagai pelaku peledakan bom. Ironisnya, mereka ternyata jebolan pesantren. Wajar saja jika tudingan dialamatkan ke institusi ini.

Benarkah tudingan itu? International Center for Islamic and Pluralism (ICIP), belum lama ini, mengadakan penelitian untuk menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan?

Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI).
Tema-tema yang diteliti seputar wacana multikulturalisme, semisal toleransi, demokrasi, gender, dan syariat Islam.

Hasil penelitian menunjukkan, pemahaman sejumlah kalangan pesantren di Jawa Barat, belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan multikulturalisme. Hal ini diungkap tim peneliti ICIP dalam seminar dan workshop bertajuk “Persepsi Komunitas Pesantren di Jawa Barat terhadap Isu-isu Keagamaan dan Multikulturalisme”, bulan Januari silam, di kawasan Depok, Jawa Barat.

Kalau begitu, betul bahwa pesantren anti keragaman dan tidak toleran? Jangan bergegas ambil kesimpulan. Tim peneliti ICIP justru menemukan hal lain yang menarik. Kalangan pesantren ternyata belum familiar dengan istilah multikulturalisme. Konsep apakah ini?

Kamus besar berbahasa Inggris Webster’s New World College Dictionary mengartikan, multikulturalisme adalah sebuah paham atau sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, gender, agama ataupun yang lain. Konsep ini tidak hanya mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di ruang publik.

Merangkul Keragaman

Kaitannya dengan pesantren, multikulturalisme adalah spirit alamiah yang telah tumbuh berkembang sebelum istilah ini dikenal. Ditilik dari segi namanya saja, pesantren terkesan unik. Nama lembaga yang menjadi lokus pendidikan Islam di Indonesia ini bersumber dari bahasa Sansekerta, “sastri” artinya orang yang mendalami kitab suci.

Pesantren, dalam konteks budaya Indonesia kuno, adalah tempat pemeluk agama Hindu dan Budha mempelajari dan mendalami kitab sucinya. Istilah ini kemudian diadopsi oleh Islam. Berarti, kalangan pesantren tak gamang bergaul dengan agama lain.

Pada sisi lain, pesantren yang disebut antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz sebagai komunitas “Islam santri” itu juga tidak sungkan-sungkan berpelukan dengan kalangan “Islam abangan”, kalangan yang mengaku Islam tapi jarang melakukan syariat dan cenderung kejawen.

Ini pernah dipraktikkan Pesantren Tegalrejo. Tahun 1986, saat acara kataman, pesantren yang tergolong salafi (tradisional) ini mengadakan pesta seni dan dakwah. Perbagai kesenian rakyat diberi panggung dan dipersilahkan unjuk kebolehan. Mulai dari jatilan, wayang, ketoprak, reog, orkes dangdut sampai dengan hadrah dan samroh.

Kataman adalah pesta perpisahan para santri yang sudah lulus dan akan menduduki posisi kiai di desa masing-masing, dan juga bagi santri yang naik kelas. Acara yang dinilai nyeleneh itu mengundang tanya masyarakat, “Pesantren kok mengundang orang-orang yang biasa maksiat, nggak pernah salat?” Mendengar desas-desus itu, Muhammad, salah satu pengasuh, akhirnya menjelaskan di sebuah forum pengajian.

Menurutnya, kesombongan atau takabbur adalah sifat yang buruk. “... janganlah sekali-kali meyakini, hanya kita yang sekarang menjalankan salat lima waktu dalam sehari ditakdirkan masuk surga. Mereka yang sekarang sedang bermain jatilan mungkin saja ditakdirkan masuk surga, dan kita mungkin dilemparkan dalam neraka karena penuh kesombongan...” katanya seperti ditulis Bambang Pranowo dalam Islam Faktual, antara Tradisi dan Relasi Kuasa (1998).

Sikap Muhammad itu menunjukkan cara pandang yang egaliter, mensejajarkan antara kalangan santri dan kalangan abangan. Ia tidak merasa lebih benar dari yang lain, apalagi sampai menyalahkan. Pesantren yang berdiri sejak tahun 1944 ini didirikan kiai Chudlori, wafat tahun 1977. Sepeninggalnya, pesantren yang terletak di Magelang Jawa Tengah ini dipangku oleh kedua putranya, Abdurrahman (lahir 1942) dan Muhammad (lahir 1946).

Menjadi Subkultur Masyarakat

Abdurrahman Wahid, mantan presiden RI yang juga aktif bergelut di dunia pesantren, dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (2001) menyebut realitas pesantren dengan istilah “subkultur”. Maksudnya, keberadaan pesantren selalu berada dalam lingkup budaya tertentu.

Pesantren yang satu dengan yang lain pasti tidak sama, tergantung lokasi dan budaya masyarakat setempat. Meski begitu, bukan berarti pesantren mengidentikkan diri dengan budaya setempat. Tapi, pesantren tetap punya karakter khas hasil kreasinya sendiri yang berakar dari tradisi lokal, seperti di contohkan Pesantren Tegalrejo di atas.

Karena itu, perbedaan pendapat di dunia pesantren hal yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkan pun tidak satu mahdzab. Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi adalah menu sehari-hari santri saat kegiatan musyawarah atau bahtsul masail. Menariknya, dinamika perbedaan pendapat itu berjalan sesuai dengan logika dan koridor perdebatan masing-masing, tanpa menyalahkan satu sama lain.

Bahkan, di kalangan pesantren dikenal kaidah fiqh, al-ijtihâd lâ yunqaddu bi al-ijtihâd, ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Misal, dalam satu masalah, ada perbedaan pendapat. Maka, bukan berarti pendapat yang satu lebih benar dari yang lain karena lebih akhir ijtihadnya atau alasan lain. Santri diberikan keleluasaan untuk memilah dan memilih manakah yang sesuai untuk dijalankan.

Dulu, pendiri dua pesantren besar di Jombang Jawa Timur pernah beda pendapat, Kiai Bisri Syamsuri (Pengasuh Pesantren Denanyar) dan Abdul Wahab Hasbullah (pengasuh Pesantren Tambak Beras) dalam menyikapi hukum drumband. Waktu itu, santri-santri putri di beberapa pesantren di Jombang berkeinginan untuk membentuk grup drumband. Gelagat ini tak lama tercium oleh Bisri. Sontak saja dia naik pitam, “Perempuan tidak boleh main drumband. Dikhawatirkan nanti auratnya kelihatan,” tegas pendiri Pesantren Denanyar Jombang itu.

Larangan Bisri itu lantas dilaporkan para santri ke Wahab. Mendengar laporan para santri, ia bergegas menemui Bisri, yang juga adik iparnya sendiri itu. “Nggak apa-apa wong masih pakek kerudung kok, nggak seperti Gerwani (organisasi perempuan PKI). Pokoknya, auratnya tidak kelihatan,” kata pendiri Pesantren Tambakberas Jombang itu kepada Bisri. Dan akhirnya grup drumband pun jadi terbentuk.

Meski tadinya melarang, saat pertunjukan drumband digelar, Bisri ternyata ikut menyaksikan. Ya, begitulah dinamika perbedaan pendapat di kalangan pesantren. Berbeda boleh saja asal saling menghargai dan tanpa menyalahkan. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Mengelola “Rumah Tuhan”

Tipe-tipe masjid sangat beragam, tergantung lokasi dan pengelolaan. Sayang, kualitas khatib dan keuangan masih saja menjadi batu sandungan.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Angka tujuh ratus ribu tidaklah sedikit. Itu adalah data jumlah masjid di Indonesia tahun 2002. Bagaimana mengelola masjid sebanyak itu? Ragamnya apa saja? Anggarannya dari mana? Punya kelemahan apa tidak?

Untuk mendapatkan data awal seputar itu Syir’ah harus mondar-mandir ke Departemen Agama (Depag). Mulanya Syir’ah ke bagian humas untuk melapor sebelum meluncur ke ruang kepala subdirektorat (kasubdit) kemasjidan di lantai enam. Beberapa deret komputer menyala tanpa pengguna. Hanya ada dua orang di ruangan sore itu. Satu sedang menulis, satu lagi membaca koran. “Besok pagi saja Mas, orang kasubdit kemasjidan sudah mau pulang,” kata salah seorang bagian humas di lantai dasar itu.

Hari itu Syir’ah belum berhasil. Keesokan harinya, Syir’ah lebih beruntung. Kasubdit Kemasjidan Hiemyar Jam’an bisa ditemui, namun sayang ia tak mau diwawancarai langsung waktu itu. “Tulis saja pertanyaan-pertanyaan terus kasihkan ke saya,” pinta Hiemyar.

Meski begitu, Syir’ah akhirnya berhasil memperoleh data wawancara dengan Mudzakir, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, dan sebuah buku pemberian Hiemyar berjudul Kriteria Tipologi Masjid (2004) karya Ahamad Buwaethy.

Kepada Mudzakir Syir’ah mula-mula bertanya bagaimana pengelompokan masjid-masjid itu? “Ratusan ribu masjid itu, jika dikelompokkan berdasarkan wilayah, maka hanya mengerucut menjadi enam tipe masjid,” ujar Mudzakir mengawali paparan. Pertama, masjid negara: masjid di tingkat pemerintahan pusat dan dibiayai sepenuhnya oleh negara. Masjid jenis ini hanya ada satu, masjid Istiqlal.

Kedua masjid nasional: masjid di tingkat provinsi yang diajukan gubernur kepada Menteri Agama untuk dibuatkan surat keputusan menjadi sebutan masjid nasional. Ketiga, masjid raya: juga di tingkat provinsi tapi surat keputusannya diajukan melalui kantor wilayah Depag setempat kepada Gubernur.

Keempat, masjid agung: masjid yang berada di tingkat kabupaten atau kota. Kelima, masjid besar: masjid yang berlokasi di tingkat kecamatan. Dan terakhir: masjid jami, masjid yang berpusat di tingkat desa atau kelurahan.

Tipologi itu, menurut Mudzakir, sesuai dengan keputusan Menteri Agama nomor 391 tahun 2001. Selaku ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmidzi Taher memberi penjelasan tipologi ala DMI. DMI adalah organisasi keagamaan yang bergerak khusus untuk menangani masjid. Berdiri sekitar tahun 1970-an. Kini DMI mempunyai cabang di seluruh provinsi dan kabupaten.

Jika berdasarkan pengelolaannya, masjid itu ada tiga tipe. Pertama, masjid pemerintah, masjid yang dikelola dan pengurusnya ditunjuk oleh pemeritah. Pembiayaan masjid ini semua ditanggung pemerintah, baik dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Misalnya masjid Jakarta Islamic Centre. Masjid yang terletak di kawasan Tanjung Priok Jakarta Timur ini didirikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dan pembiayaannya ditanggung seratus persen oleh Pemda.

Kedua, masjid swasta, masjid yang didirikan dan dikelola oleh lembaga swasta, seperti masjid di gedung-gedung perkantoran dan di kampus. Pendanaan masjid ini biasanya dibebankan secara penuh kepada lembaga yang mendirikan. Misal tipe ini adalah masjid Bimantara di Kebon Siri Jakarta Pusat. Masjid ini didirikan oleh Yayasan Bimantara, lalu dikelola oleh Usaha Gedung Bimantara. Pendanaannya digantungkan pada Yayasan Bimantara dan para dermawan.

Ketiga, masjid masyarakat umum, masjid yang didirikan atas inisiatif warga, tidak ada pemilik tunggal. Pengurus masjid ditetapkan berdasarkan musyawarah antarwarga. Semua pembiayaan bersumber dari swadaya masyarakat. Masjid Raya Villa Inti Persada adalah tamsil tipe ini. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap masjid yang terletak di kawasan Tangerang Banten ini sangat besar. Lebih dari 90 persen masjid ini dibiayai hasil iuran masyarakat

Lalu, bagaimana cara membina masjid yang begitu beraneka ragam? Secara umum, Depag memiliki wewenang untuk membina masjid-masjid itu. Pembinaan ini meliputi: motivasi, bimbingan, dan regulasi. “Motivasi” dalam soal ini bisa berbentuk pemberian dana bantuan, dana rehabilitasi dan pembangunan, bisa juga berbentuk non-materi, seperti pelatihan-pelatihan.

Kalau “bimbingan” lebih pada pengembangan kapasitas sumber daya pengelola masjid. Misalnya dengan menerbitkan buku-buku panduan, atau workshop, pelatihan, dan orientasi. Sedangkan “regulasi” memberikan rambu-rambu yang terkait dengan masjid. Misalnya penggunaan pengeras suara, bagaimana jika berdampingan dengan rumah ibadah agama lain, dan lain-lain.

“Pembinaan ini berguna untuk pengelolaan dan pengembangan masjid agar sesuai dengan fungsi yang diemban,” kata Mudzakir. Untuk itu, ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan masjid.

1) Aspek idarah (pembenahan perkantoran), meliputi pembinaan organisasi, kelembagaan, personalia, administrasim, dan lain-lain. 2) Aspek imarah (memakmurkan masjid), meliputi pembinaan peribadatan, majlis taklim, kursus-kursus, dan keterampilan. 3) Aspek ri`ayah (pemenuhan fasilitas), meliputi pembangunan perpustakaan, kelengkapan masjid, dan sarana pra sarana yang lain.

Depag dalam menjalankan tugas-tugas itu membentuk Badan Kesejahteraan Masjid, disingkat BKM. BKM ini tersebar dari pusat sampai ke desa-desa. Tujuan inti BKM adalah mengeimplementasikan idarah, imarah, dan ri’ayah di lapangan. Misalnya, menyalurkan bantuan baik fisik maupun non-fisik, membantu peningkatan perpustakaan, balai kesehatan, dan seterusnya.

Kepengurusan BKM terdiri dari beberapa unsur, antara lain: pegawai Depag di daerah, Majelis Ulama Indonesia dan DMI.

DMI memiliki beberapa fungsi, antara lain mengelola uang bantuan. Maksudnya adalah memenej penyaluran bantuan uang agar tepat guna, sesuai sasaran, dan tidak terjadi penyelewengan. “Kalau tidak diatur akan jadi fitnah,” kata Tarmidzi. Selain itu, DMI juga memberikan pengayaan tentang materi khutbah kepada khatib-khatib.

Program ini untuk meningkatkan kemampuan khatib. Tarmidzi bercerita kepada Syir’ah soal kegerahannya saat mendengar khutbah khotib yang tidak berkualitas. Khatib seperti ini biasanya terlalu menyederhanakan masalah dan tidak mampu mencari solusi problem yang dihadapi umat.

Satu contoh, masalah kemiskinan hanya dipecahkan dengan cara kembali ke sistem zaman Nabi. Kalau ada khatib yang gemar bernostalgia dalam menyelesaikan masalah, Tarmidzi suka bergumam, “Memang yang hadir di sini tukang becak semua kali ya….”

Bagi Ahmad Yani, penulis buku Manajemen Masjid (1999), kasus ini adalah salah satu kendala yang menjadi kelemahan masjid. Selain itu, “Pengurus yang tertutup dan berpihak pada satu golongan tertentu juga bagian dari kelemahan masjid,” tulis Yani. Jika ditemukan kasus ini, Tarmidzi menyarankan agar ditegur dengan halus, “Janganlah begitu… masjid ini milik semua masyarakat, milik umat,” Tarmidzi mencontohkan cara menegur yang sopan.

Tapi, kelemahan masjid yang paling fundamental adalah soal pendanaan. Mengapa? “Karena umat Islam itu miskin-miskin.” terang Tarmidzi. []


Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Menggawangi Masjid, Mendengar Aspirasi

Masjid harus difungsikan sebagaimana mestinya. Masukan dari masyarakat menjadi pertimbangan penting bagi pengurus masjid.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Gundah gulana menyelimuti warga Tanjung Priok Jakarta Timur. Pasalnya Kramat Tunggak, salah satu perkampungan di sana menjadi pusat operasi Wanita Tuna Susila (WTS). Sejak tahun 1990, mereka bersama ulama mendesak pemerintah agar menutup tempat lokalisasi wanita tuna susila itu. Untung Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tanggap. Ia pun mengabulkan tuntutan warga.

Melalui SK Gubernur DKI nomor 496 tahun 1998, secara resmi Panti Sosial Karya Wanita Teratai Harapan Kramat Tunggak dinyatakan ditutup. Lalu, lahan seluas 10,9 hektar itu dimanfaatkan untuk pembangunan masjid. Tepatnya pada bulan Maret tahun 2003 masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) diresmikan.

Masjid ini tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tapi sebagai pusat kegiatan keislaman, yang melayani hajat hidup umat Islam. “Pak Gubernur berharap, JIC menjadi simpul pusat peradaban Islam di Asia Tenggara bahkan dunia,” kata Koordinator Humas Rudi Syamsudin berapi-api. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini memiliki empat fungsi: pendidikan dan pelatihan, sosial budaya, informasi dan komunikasi, dan pengembangan bisnis.

“Idealnya fungsi masjid memang harus begitu, jadi tidak melulu sebagai tempat ibadah,” tegas Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmidzi Taher kepada Syir’ah. Ia menggambarkan, fungsi masjid itu mencakup tiga wilayah garapan: agama, politik, dan ekonomi.

Jika diprosentasikan, fungsi agama ini dibagi menjadi empat porsi: keimanan, ibadah, sejarah para pejuang Islam, dan masalah yang dihadapi umat Islam beserta solusinya. Selain agama, fungsi politik juga penting, mengapa? Umat Islam harus melek politik, biar tidak selalu dibohongi. Bahkan, di zaman Nabi, masjid dijadikan sarna untuk mengatur strategi perang. Ini bagian dari agenda politik.

Sedangkan fungsi ekonomi, lebih bermanfaat untuk mengembangkan masjid dan membangun perekonomian umat. Nabi pernah bersabda, Kefakiran itu sangat dekat dengan kukufuran. “Karena itu, pengembangan ekonomi juga tak kalah penting,” tegas Tarmidzi.

Hamami Zada, koordinator kajian dan penelitian Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama justru menghawatirkan fungsi politik dalam masjid. Menurut pemantauannya, fungsi politik ini sudah kebablasan. Ia menemukan beberapa indikasi yang mengarah pada pendidikan politik tidak fair yang didalangi pengurus masjid.

Saat di temui Syir’ah usai shalat tarawih di Masjid Raya Villa Inti Persada, Pamulang Tangerang, Hamami mengatakan, pendidikan politik di beberpa masjid sekarang ini sudah masuk ke wilayah pendidikan ideologi atau penggiringan ke partai politik tertentu. “Ini tidak fair,” kata dosen Universitas Islam Negeri Jakarta itu.

Gelagat ini ternyata diamini oleh masyarakat. Salah satunya Zainul Arifin Adam, warga Sumber Rejo Paiton Probolinggo Jawa Timur. Ia juga mengendus gelagat seperti yang diutarakan Hamami. Saat dikonfirmasi Syir’ah via telpon, ia memaparkan, ini biasa terjadi di masjid-masjid yang dikuasai oleh pengurus yang cara beragamnya secara ekstrim, merasa paling benar sendiri. Bisa disebutkan contoh masjidnya? “Tak perlu saya sebut lah, ada pokoknya...,” ujarnya enteng.

Ihwal kasus ini Tarmidzi memberi tanggapan. Menurutnya, ada kesalahan dalam pengelolaan masjid. Fungsi politik itu harus dijalankan secara fair, tidak berat sebelah. Bahkan, untuk kampanye pemilihan kepala daerah pun sah-sah saja, asal semua calon-calon itu diberikan porsi yang sama. Jangan sampai calon dari kelompok tertentu saja yang diundang. “Kalau pengurus masjid tidak mengizinkan (kampanye dalam masjid secara proporsional dan berimbang) itu justru tidak sesuai dengan konsep Islam,” tegasnya dengan nada menukik.

Karena itu, pengelolaan masjid secara cermat dan profesional merupakan hal penting bagi para pengurus untuk menjalankan fungsi masjid yang sesungguhnya. Untuk menunjang itu, pengurus Masjid Bimantara biasanya menyebarkan “angket evaluasi” kepada jamaah. Ini dilakukan untuk mengetahui masukan dari jamaah dan mengukur keberhasilan program yang dicanangkan pengurus.

Pertengahan bulan lalu Syir’ah berkunjung ke masjid Bimantara yang terletak di Jalan Kebon Siri Jakarta Pusat pada pertengahan bulan Ramadhan, sore hari menjelang ta’jil (buka puasa). Di samping kanan masjid, ada ruang kecil bercat putih, pintunya terbuat dari besi. Di ruang pengurus yang berukuran 8 x 5 meter itu wawancara berlangsung. Tapi sayang, nama pengurus yang menjadi narasumber tak dapat disebut di sini, karena permintaannya pribadi. “Saya tak biasa masuk media Mas...” alasannya.

Angket evaluasi di masjid ini memang digunakan sebagai sarana komunikasi antara pengurus masjid dengan para jamaah. Banyak usulan jamaah yang masuk melalui angket ini. Bagaiamana pengurus masjid merespon?

Biasanya, angket para jamaah itu menjadi pertimbangan khusus dalam rapat-rapat pengurus. “Kalau memang menarik dan membawa manfaat ya tentu bisa kita jalankan...” katanya. Misalnya, masukan untuk pengajian rutin bidang fiqih. Mulanya, kajian ini sudah sampai pertengahan, bab munakahat (pernikahan). Tapi, ternyata jamaah masih banyak yang belum paham bab thaharah (tata cara bersuci). Mereka pun mengusulkan agar pelajaran kembali diulang. Akhirnya, bab thaharah diulang lagi.

Banyaknya pastisipasi ini juga terlihat dari jumlah jamaah. Saat rutin hari kerja jumlahnya sekitar 200 jamaah. Bahkan, ketika shalat Jumat, jamaah bisa membludak mencapai 1500 hingga 2000 orang. Kok bisa begitu? Ya, jamaah masjid ini tidak hanya karyawan gedung Bimantara, tapi banyak juga dari unsur masyarakat sekitar Kebon Sirih.

Ini juga terjadi di masjid Babur Rusydi, masjid Universitas Islam Jakarta. Meski notabene masjid kampus, masjid yang terletak di bilangan Utan Kayu Jakarta Timur ini juga diramaikan warga sekitar. Misalnya, saat shalat tarawih. Selain mahasiswa, masjid juga dipenuhi oleh warga. Mereka juga tak jarang memberikan masukan jika ada sesuatu yang dirasa kurang pas.

Tepatnya bulan Ramadhan tahun 2002. Usai shalat tarawih salah satu warga ada yang bilang, “Imam shalat tarawih kalau baca al-Qur’an kurang fasih,” katanya seperti dikisahkan Saefuddin Mubarok, wakil rektor bidang kemahasiswaan kepada Syir’ah. Mendengar omongan bernada protes itu, pengurus masjid membikin jadwal giliran imam tarawih yang diisi mahasiswa Fakultas Agama. “Kalau mahasiswa fakultas agama kan terjamin...,” kata bapak dari tiga orang anak ini. Berdasar kejadian itu, kebijakan ini tetap berlaku hingga kini.

Warga juga sering protes soal kenyamanan masjid. Misalnya, sound sistem yang tidak nyaring atau karpet yang sudah kumal. Sedang partisipasi mahasiswa itu lebih pada kegiatan meramaikan masjid. Misalnya, membuat acara kawin masal, sunatan masal atau peringatan hari-hari besar Islam.

Masjid Jakarta Islamic Centre agaknya berbeda dengan yang lain. Pengurus masjid JIC tak menunggu masukan masyarakat. Pengurus malah mengajak masyarakat berdiskusi untuk kemajuan bersama. Masyarakat yang istiqamah berjamaah selalu dipantau pengurus. Sesekali dia diajak untuk menyusun program. “Kita selalu butuh masukan dari mereka,” kata Rudi. Selain itu, pengurus juga menghimpun Taman Pendidikan al-Qur’an yang ada di daerah sekitarnya untuk bersama-sama memanfaatkan gedung JIC.

Mengapa JIC lebih pro-aktif ke masyarakat? “Masyarakat atau jamaah itu kan biasanya komentar di belakang. Daripada ngomong di belakang kan mending di depan pengurus,” ujarnya dengan logat Betawi yang kental. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Toleransi dari Bilik Pesantren

Pesantren tak hanya menyimpan ajaran toleransi, tapi juga menganut lima falsafah hidup yang mirip Pancasila dalam membangun hubungan yang harmonis. Apa sajakah itu?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Menjaga nilai-nilai yang baik dari tradisi lampau dan mengambil yang lebih baik dari masa kini adalah kredo besar yang diusung pesanten. Pesantren tak mengenal cara belajar agama secara kilat. Para santri mempelajari berbagai disiplin ilmu secara mendalam. Sebut saja tafsir, hadis, tasawuf, ushul fiqih (dasar-dasar hukum Islam), nahwu, shorof (ilmu tata bahasa Arab), balaghah (Ilmu keindahan bahasa Arab), dan lain-lain. Usai memahami khazanah situ, santri baru ngeh dan dapat melihat betapa nilai-nilai Islam justru mendorong pola hidup toleransi.

Lili Zakiyah Munir, Direktur Center For Pesantren and Democracy Studies, mengungkapkan statemen itu saat acara talkshow Islam Indonesia di Metro TV dengan tema Belajar Toleransi dari Pesantren. Hal ini diamini Fuad Al-Anshori, Santri sebuah pondok pesantren bernama Al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia merasakan hal serupa di pesantennya yang terletak di Parung Bogor itu.

Fuad bahkan sering melihat kalangan non-muslim bertamu ke pesantren yang diasuh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar ini. Tamu-tamu itu diterima dengan lapang dada. Mengapa? Fuad menjelaskan sembari menyitir sabda Nabi, “ihtarim al-dhuyûf walau kâna kâfiron,” hormatilah tamu walapun itu seorang kafir.

Ia lalu berkisah. Pesantren Nurul Iman pernah didatangi delapan orang pendeta utusan Yeni Zannuba Wahid, putri Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Mereka ingin mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu mereka menginap selama tiga hari. Setelah bergaul di pesantren yang jumlah santrinya tak kurang dari 9000 itu, mereka baru sadar, ternyata Islam adalah agama penuh toleransi dan damai.

Mengapa harus dengan cara damai? “Ketika di Thaif (sekarang Ethiopia), Rasulullah berdakwah dengan santun,” Fuad mencontohkan. Nabi dilempari batu dan dicaci-maki. Lalu, malaikat datang untuk menghancurkan penduduk Thaif. Tapi, Nabi justru menolak, dan berdoa “Allâhummahdi kaumî fainnahun lâ ya’lamûn.” Ya Allah, tunjukkanlah kaumku bahwasanya mereka tidak mengetahui.

Praktik keagamaan di pesantren Nurul Iman ini kian menegaskan statemen Zakiyah di atas. Bahkan, menurut Zakiyah, ada filsafat kehidupan di pesantren yang dia bahasakan sebagai “pancasilanya pesantren”. Yakni, tawâsuth (berada di tengah moderasi) kemudian tawâzun (seimbang menjaga keseimbangan), kemudian tasâmuh (toleransi), `adâlah (keadilan), terakhir tasyâwur (musyawarah). “Jadi lima nilai inilah yang menjadi ciri khas pesantren,” ujarnya. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Medium Pengentasan Kemiskinan

Zakat yang berpotensi mengentaskan kemiskinan adalah yang dilakukan dengan pendampingan dan pemberdayaan.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Rakyat miskin yang tinggal di kolong-kolong jembatan, anak-anak jalanan, orang-orang cacat dan lanjut usia yang meminta-minta di pusat keramaian, masih menjadi pemandangan kita sehari-hari, terutama di Ibu Kota. Belum lagi, deretan rumah kumuh di bantaran sungai dan rakyat miskin yang tinggal di pedalaman juga bagian dari realitas kemiskinan yang belum beranjak.

Nah, di tengah komplekstias masalah itu, zakat diusung beberapa kalangan sebagai cara alternatif pengentasan kemiskinan. Secara definitif, zakat yaitu mengeluarkan sebagian harta dalam jumlah dan perhitungan yang telah ditetapkan agama. Perintah ini termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 43, ...Wa âtû al-zakâta..., dan tunaikanlah zakat.

Jika zakat digagas sebagai solusi kemiskinan, sejauh mana konsep ini dapat diejahwantahkan?

Menurut Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Irfan Abu Bakar, model penyaluran zakat itu ada dua. Pertama, diserahkan secara langsung, dari muzakki (orang yang zakat) ke mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tanpa perantara. Kedua, diserahkan ke lembaga independen. Jadi, muzakki tidak memberikan langsung kepada mustahiq, tapi dikelola lembaga sebagai perantara.

Jika diprosentasekan, menurut hasil penelitian CSRC tahun 2005, maka 85% masyarakat menyalurkan zakatnya secara langsung, dan 15% diserahkan kepada lembaga. Saat tim peneliti CSRC bertanya, mengapa tidak diserahkan ke lembaga? Responden mayoritas menjawab, karena ingin menyalurkan zakat ke mustahiq yang telah dikenalnya. “Jadi ada perasaan tenang kalau sudah menyerahkan langsung ke mustahiq yang dikenal dekat,” kata salah seorang responden yang dikisahkan kembali oleh Irfan.

Ini dibenarkan Ahmad Juwaini dari Dompet Dhuafa (DD), lembaga swasta yang bergerak di pengelolaan zakat. Penyaluran zakat melalui lembaga pengelola masih tergolong minim. Juwaini menandaskan, ada tiga program yang dijalankan DD. Pertama, bersifat charity, bantuan langsung tunai. Kedua, bersifat pengembangan sumber daya manusia. Ketiga, bersifat pemberdayaan ekonomi.

DD lebih memperioritaskan dua program terakhir. Sebab, kedua program itu tidak sekedar memberikan bantuan, tapi membina dan mendampingi mustahiq agar mampu memanfaatkan bantuan untuk mentas dari kemiskinan. “Tak sekedar charity yang hanya memberi tanpa pemberdayaan,” tegasnya. Ya, mustahil memang, bisa keluar dari kemiskinan hanya gara-gara diberi zakat tunai, tanpa adanya pendampingan dan pemberdayaan. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Mati Sangit atawa Mati Syahid?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tradisi mudik dan arus balik saat lebaran laksana kewajiban bagi orang udik yang bekerja di Jakarta. Ini juga dialami Siti Wulandari, sebut saja begitu. Warga desa Gelap Laren Lamongan Jawa Timur ini mudik bersama Joko Prayitno, pria pujaan hatinya. Sepasang muda-mudi ini belum genap sebulan menikah.

Sekitar dua minggu mereka berlebaran di kampung. Enam hari di Lamongan dan sisanya ia habiskan di Kota Pahlawan, tempat orang tua Joko tinggal. Usai bertemu famili dan handai tolan, plus berbulan madu, mereka pun kembali ke Ibu Kota naik kereta ekonomi.

Sehari-hari, Siti biasa mangkal di Terminal Senen. Jadi preman? Tentu bukan, ia membuka warung Pecel Lele di kawasan Jakarta Pusat itu. Sang Suami sehari-hari mengajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri 12, jauh dari tempat tinggalnya di bilangan Kwitang Jakarta Pusat.

Begitu sampai di Jakarta, pasutri itu menuju kontrakannya di bantaran sungai Ciliwung. “Hah..! Masya`allah..!” Siti dan Joko tercengang. Apa pasal? Kurang lebih lima belas deretan rumah didekatnya dilahap si jago merah saat fajar menyingsing. Sedikitnya tujuh orang meninggal dan sepuluh orang luka-luka.

Saat itu juga, Joko mengajak Siti melakukan sujud syukur.
“Untung saja rumah kita tidak kena Mas. Meski mati sangit, semoga mereka masuk surga” kata Siti lirih usai sujud syukur.
“Iya. Tapi kamu jangan ngawur, ngomong sak udelmu dewe (seenaknya), mati sangit..! mati sangit..!,” sahut suami Siti yang pernah nyantri di Jombang Jawa Timur itu.
“Benar kan mati sangit, kan tubuhnya terbakar api?”.
“Mereka bukan mati sangit, tapi mati syahid.”
“Lho kok?” Siti terperanjat.

Joko kemudian menjelaskan kepada istrinya yang hanya belajar sampai kelas enam Sekolah Dasar itu. Joko mengutip sabda Nabi yang pernah diceritakan kembali oleh ahli hadis dari Mesir Ibnu Hajar al-Asqalani (1372-1449 M) dalam Isti`dâd liyaum al-ma`âd (persiapan menjelang hari kiamat).

“Orang yang mati syahid—selain yang mati di medan perang di jalan Allah—itu ada tujuh. 1) orang yang mati karena sakit perut, 2) orang yang mati karena tenggelam, 3) orang yang mati karena menyandang penyakit busuk, 4) orang yang mati karena terserang penyakit lepra, 5) orang yang mati terbakar, 6) orang yang mati di bawah reruntuhan, dan 7) wanita yang mati saat melahirkan.”

Mendengar keterangan tersebut, Siti tersentuh dan terenyuh oleh kepandaian sang pangeran hati itu. Ia lalu memeluk dan ciuman kasih sayang pun mendarat di jidat Joko, “Clup...!” [aum]

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Saturday, November 25, 2006

Manajemen Waktu ala Sufi

Orang merasa gembira dengan hari-hari yang dilaluinya. Padahal, hari-hari itu adalah usia manusia dan karunia Tuhan yang tak mungkin kembali lagi.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sebut saja Ahmad Jaelani, karyawan salah satu perusahaan swasta di Ibu Kota. Bapak dua orang anak ini jago ilmu komputer. Ketika di bangku kuliah, ia pernah menggondol juara di bidang yang digeluti itu. Decak kagum kawan-kawannya pun bertaburan, bahkan tak sedikit orang yang menaruh hati.

Tapi, ada yang aneh saat ia terjun di dunia kerja. Ranum mukanya tak sumringah lagi seperti dulu. Murung dan gampang marah. Jalannya lunglai, tak bertenaga. Biasanya, begitu tiba di kantor, tak lama kemudian ia menyandarkan kepala di meja dan matanya terpejam. Tak heran, jika amukan bos adalah menu tiap hari yang mau tak mau harus ia santap.

“Tugasmu sudah selesai?” tanya bosnya.
“Besok.. Pak,” jawab Jaelani.
“Bagus..!! Teruskan..!!” sindir bosnya dengan sinis.

Jawaban itu selalu diulang-ulang Jaelani pada kesempatan yang berbeda. Ia sosok yang tidak biasa kerja dengan deadline, batas waktu. Ia terbiasa kerja sesuka hati, tergantung mood. Sementara tuntutan perusahaan, ia harus bekerja dengan cepat dan tepat waktu. Perusahaan tidak mau rugi. Entah kenapa, pria yang kini berumur 29 tahun itu tetap saja tak beranjak dari kebiasaannya. Si Bos akhirnya tak tahan lalu memecat Jaelani.

Jaelani adalah “tamsil kegagalan” akibat kurang mampu mengelola waktu. Untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan, waktu adalah kunci utama. Allah berkali-kali dalam firman-Nya bersumpah dengan menggunakan waktu, “Demi masa.” Tidak kurang dari sepuluh kali, allah menyebut di surat yang berbeda-beda. Antara lain: Wa al-`ashri (demi masa), wa al-laili (demi malam), wa al-fajri (demi waktu fajar) dan wa al-dhuha (demi waktu dhuha).

Ukuran Tingkat Kesalehan

Saking pentingnya waktu, ulama kelahiran Damaskus, kini Syiria, Ibnu Qayyim al-Jauzi (1292-1350 M) dalam Al-Fawâ`id (beberapa faidah), mengelompokkan orang-orang sufi didasarkan atas kemahiran mereka dalam mengelolanya.
Pertama, model orang yang hanya bisa menuntaskan hal-hal yang wajib saja. Perkara yang sifatnya sunnah atau tambahan, tidak begitu banyak dikerjakan. Karena itu, ada sisa waktu yang terbuang tanpa guna.

Kedua, jenis orang yang usai menjalankan kewajiban, ia juga giat mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan yang positif. Tapi, kelompok ini menitikberatkan perbuatannya pada lahiriyah saja, tidak mengikutsertakan hati yang pasrah karena Allah.

Ketiga, tipe orang yang mengarahkan kelebihan waktunya—setelah menjalankan hal-hal yang wajib dan sunnah—untuk melakukan perbuatan positif disertai niat tulus lillahi ta’ala, semata-mata karena Allah. Orang yang masuk kategori tingkat ketiga ini disebut sosok manusia hakikat, manusia yang mampu memaksimalkan karunia Tuhan dan berhasil hidup seimbang.

Kisah-kisah sufistik klasik sering bertutur tentang urgensi mengelola waktu dalam kehidupan sehari-hari. Misal, Ibnu Qudamah (1147-1223 M) pernah bertutur dalam kitab Al-Tawwâbîn (orang-orang yang taubat).

Alkisah, Shilah bin al-Syam, seorang tabiin (generasi setelah Sahabat) tidak mau menyia-nyiakan waktunya. Ia gemar berkelana mencari ilmu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Setiap melintasi sekelompok anak muda yang nongkrong dan bersenda gurau di pinggir jalan, ia selalu memberikan nasihat berupa renungan pertanyaan.

“Jika ada orang yang siang hari pergi tanpa tujuan dan malam harin ia tidur pulas, maka kapan ia sampai pada tujuan?” tanya sufi yang hobi berkelana itu.

Pertanyaan ini selalu diulang kala ia melewati kelompok anak-anak muda itu. Suatu hari, ketika ia mengucapkan nasihat itu, tiba-tiba seorang pemuda ada yang menyahut. “Hai kawan-kawan, yang dimaksud Bapak ini adalah kita. Mari kita renungkan! Bukankah di waktu siang kita habiskan waktu untuk bermain-main dan malam harinya kita tidur pulas?”

Rupanya pemuda itu sudah bisa menangkap maksud ungkapan tabiin tersebut. Kala itu juga, ia bertaubat di jalan Allah dan berjanji pada diri sendiri, tidak akan menyia-nyiakan waktu tanpa tujuan pasti. Ia kemudian menjadi murid Shilah bin al-Syam hingga akhir hayatnya.

Pesan Nabi Soal Waktu

Jelas kan..., tak ada keuntungan bagi orang yang menyia-nyiakan waktu. Sebab, “Waktu itu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya maka engkau yang akan dipotong-potong oleh waktu.” Begitu sabda Nabi dalam riwayat al-Baihaqi. Maksudnya, jika manusia tidak mampu mengelola waktu dengan baik, maka ia akan digilas oleh zaman, dan yang ada hanyalah penyesalan di hari kemudian.

Dalam diriwayatkan al-Nasa’i, Nabi pernah berpesan kepada umatnya, “Manfaatkan lima hal sebelum datang lima hal yang lain.” Apa itu? 1) Muda sebelum tua, 2) sehat sebelum sakit, 3) kaya sebelum miskin, 4) waktu luang sebelum sibuk, 5) hidup sebelum mati.

Ada dua alasan mendasar mengapa waktu begitu penting bagi kehidupan manusia. Pertama, waktu adalah kesempatan yang tidak mungkin dapat kembali. Kedua, tugas kita biasanya lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Karena itu, kita harus dapat mengelola dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Orang yang teledor dan tidak mampu memenej waktu dengan baik, maka ia sangat dekat dengan kegagalan.

Ibaratnya begini. Ada seorang dermawan yang memberi santunan kepada kita senilai 1 juta rupiah tiap hari. Uang itu harus diambil hari itu juga. Jika yang diambil hanya setengah, 500 ribu misalnya, maka sisanya akan hangus. Apa yang akan kita lakukan? Kita pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Uang 1 juta itu akan kita ambil keseluruhan saban hari, tanpa sisa sedikitpun.

Nah, begitu pula dengan waktu. Waktu laksana mutiara yang bertebaran di mana-mana. Kita berebut mengambilnya atau hanya berpangku dagu menyaksikan orang yang berlomba-lomba menghimpun mutiara.

Spirit Keseimbangan

Surat al-`Asr ayat 1-3 Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh....”

Ayat ini mengisyaratkan agar manusia mengelola waktunya dengan amalan seimbang, antara kehidupan ukhrawi (iman) dan duniawi (amal saleh). Inilah yang dijadikan patokan para sufi dalam memanfaatkan waktu. Berarti, bisa dikatakan, orang merugi yaitu orang yang selalu beribadah kepada Allah, tapi ia lupa tidak berbuat baik kepada manusia. Begitu pula sebaliknya.

Imam Haramain (419-478 H), ahli fiqih dan guru Imam Ghazali, adalah sosok yang tidak mau menyia-nyiakan waktu. “Saya tidak tidur kecuali karena memang tertidur dan saya tidak makan kecuali dalam kondisi yang benar-benar lapar,” kata ulama yang dikenal zuhud itu, seperti disitir Tajuddin al-Subki, seorang sufi yang meninggal tahun 771 H, dalam Tabaqat al-Syafi’i al-Kubra dan Ibnu Asakir (499-571 H) dalam Tabyin Kadzibil Muftari (penjelasan dustanya pendusta).
Begitu pula dengan Muhammad bin al-Hasan (132-189 H) seperti diceritakan dalam kitab Miftah al-Sa’adah wa Mishbah al-Siyadah (kunci kebahagiaan dan lampu kemuliaan) karya Tasykubri Zadah. Sebagian besar waktu murid imam Abu Hanifah ini dibaktikan untuk kemajuan ilmu.

Kalau malam, ia suka menurunkan buku-buku dari rak, lalu diletakkan di sekelilingnya. Waktu malam yang sunyi itu selalu ia habiskan untuk melahap buku. Apabila ia bosan membaca buku tertentu, ia akan mengambil buku yang lain. Jika ngantuk tiba, maka tak segan-segan ia mengusap mukanya dengan air. “Sesungguhnya rasa kantuk itu karena panas,” ujarnya.

Memenej Waktu

Nikmat dahsyat yang Allah berikan kepada manusia, salah satunya, adalah nikmat waktu. Orang kalau sudah lupa waktu, maka ia akan lupa dengan dirinya. Kalau sudah lupa diri maka ingat Tuhan adalah sesuatu yang muhal. Rasulullah jauh-jauh hari telah mengingatkan agar manusia itu mahir dalam mengelola waktu. Sebab, di hari akhir nanti, kita akan mempertanggungjawabkan waktu yang telah kita habiskan.

“Kedua kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari kiamat, hingga ia ditanya empat perkara: usianya, untuk apa dia habiskan; masa mudanya, bagaimana ia habiskan; hartanya dari mana ia dapatkan dan pada jalan apa dia keluarkan; serta ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya.” Demikian sabda Nabi seperti diriwayatkan Al-Bazar dan al-Thabrani.

Karena itu, kita harus mensyukuri dan manfaatkan waktu dengan cerdas. Bagaimana caranya? Pertama, menetapkan tujuan dan cita-cita hidup. Setidaknya, kita mampu menjawab pertanyaan berikut: “Apa yang saya inginkan dalam hidup ini?” Karena itu, “Apa yang harus saya lakukan?”

Kedua, melakukan perencanaan. Tanpa perencanaan, target akan susah diraih. Rencana ini ada dua: jangka pendek dan jangka panjang. Agar tidak meleset, kegiatan direncanakan sedetail mungkin: mulai dari harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan seterusnya.

Ketiga, menetapkan skala prioritas. Jika tak tahu prioritas, kita biasanya mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Jadi, kuncinya adalah mendahulukan yang lebih penting, dan jangan pernah bilang, “Ah... entar saja deh..”, kalau memang bisa dikerjakan saat itu juga.

Kini, kita patut bertanya pada diri kita masing-masing. Benarkah saya sibuk? Perkara apa yang menyibukkan saya? Sudahkah kesibukan itu bermakna bagi saya, atau sekedar hura-hura dan buang-buang umur? [Dari berbagai sumber]


Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Thursday, November 16, 2006

7 November 1945, Hari Jadi Masyumi

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tiga bulan paska Indonesia merdeka, umat Islam dari beragam unsur berduyun-duyun ke Yogyakarta untuk mengikuti hajatan akbar, Kongres Umat Islam Indonesia. Ini merupakan hajatan umat Islam terbesar setelah Indonesia merdeka. Waktu itu, kongres digelar selama dua hari, mulai tanggal 7 hingga 8 November. Salah satu poin keputusan penting adalah medirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi.

Yang turut berserikat adalah delapan organisasi umat Islam: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Jam’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Maklum saja jika waktu itu, Masyumi bak payung besar, tempat berteduh umat Islam se-Indonesia.

Dalam Anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, organisasi induk umat Islam ini didirikan dengan dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.

Ihwal konsep kenegaraan, Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Karena itu, Masyumi menolak dengan tegas sekularisme, memisahkan antara negara dan agama. Masyumi meyakini, agama adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan dari negara.

Tahun 1952, karena perbedaan sikap dan pandangan, NU menyatakan keluar dari Masyumi, dan menjadi partai politik tersendiri. Meski ditinggal NU, Masyumi tetap menjadi partai Islam terbesar. Buktinya? Saat pemilu 1955, Masyumi masuk pada jajaran teratas di antara partai-partai yang ada. Di parlemen, Masyumi mendapat jatah 58 kursi, sama besarnya dengan Partai Nasional Indonesia (pemenang pemilu). Sementara NU mendapat 47 kursi dan Partai Komunis Indonesia mendapat 39 kursi.

Masyumi dari dulu dikenal piawai berpolitik. Kader-kadernya menjabat di posisi strategis pemerintahan. Di antaranya Muhammad Natsir yang sempat menjadi Perdana Menteri, tahun 1950-1951. Mohammad Roem pernah duduk sebagai Menteri Dalam Negeri pada masa Kabinet Wilopo, tahun 1952-1953. Dan, Syafrudin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama tahun 1950.

Sayang, Masyumi tak langgeng meneruskan kiprahnya di kancah politik tanah air. Tahun 1960 pemerintah Soekarno membubarkan Masyumi, karena disinyalir mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Syafruddin dan Natsir dinyatakan ikut berperan dalam Dewan Perjuangan PRRI.

Hukuman dari Soekarno itu diteruskan oleh Soeharto. Setelah keluar penjara, Natsir mentransformasikan Masyumi menjadi gerakan sosial keagamaan dengan mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia pada tahun 1967. [aum/berbagai sumber]

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes