Saturday, March 24, 2007

Berkaca dari Konflik Sunni-Syiah

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Masih ingat tragedi bombardir masjid Imam Ali di Irak, Februari tahun lalu? Sedikitnya 90 masjid diserang lalu dibakar, dan hanya dalam waktu kurang dari 24 jam, 80 orang ditemukan tewas dengan luka tembakan di sekujur tubuh. Sejak dua hari paska pengeboman, setidaknya tercatat 127 orang tewas dibantai (Kompas, 24/2/06). Ya, tragedi itu sungguh terjadi setelah insiden peledakan bom di masjid kesayangan kaum Syiah itu.

Paska rezim Saddam terguling, masyarakat muslim Irak seakan menyimpan bara dalam sekam, dendam antara Sunni dan Syiah. Di mana, dulu rezim Saddam Husain dianggap representasi dari otoritarianisme rezim Sunni vis-à-vis gerakan oposisi yang mayoritas beraliran Syiah. Kini sebaliknya, posisi Sunni di Irak layaknya Syiah semasa Saddam, termarginalisasi dari politik mainstream.

Sebelum itu, ketegangan Sunni-Syiah di Irak sudah kerap terjadi. Misalnya, kekacauan yang berkecamuk antara mahasiswa Syiah dan Sunni di kampus Universitas Baghdad (4/5/05). Insiden ini terjadi pasca terbunuhnya seorang ketua mahasiswa Syiah. Dan kini, ketika umat Islam tengah bertubi-tubi menghujat dan memboikot ‘kalangan Barat’ yang dianggap mencemooh Islam dengan karikatur Nabi, Irak malah menyuguhkan bentrokan, kerusuhan, dan saling bunuh antarwarga Islam, Sunni-Syiah. Sikap saling tuduh dan fitnah pun tak bisa dielak. Konflik antara Sunni-Syiah juga pernah terjadi di Pakistan dan Afganistan, saat peringatan Hari Raya Asyura (09/02/06), yang juga menelan banyak korban.

Anehnya, setiap aksi-aksi kekerasan, termasuk yang kini berkecamuk di Irak, umat Islam acap mengalamatkan Barat sebagai biang kerok (provokator). Sebut saja, semacam logika “teori komspirasi” yang tak berdasar. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khumaini (Syiah) secara fulgar menuduh, AS adalah “otak” di balik aksi kerusuhan dan pembantaian pasca peledakan masjid Imam Ali. Hal senada diutarakan Perdana Menteri Lebanon Fuad Siniora (Sunni), bahwa ledakan bom itu adalah upaya Barat untuk memecah belah persatuan umat Islam di Irak khususnya, dan di dunia pada umumnya. Kalangan Islam di Pakistan juga berpendapat, peristiwa ini tak alain adalah sekenario Barat untuk mengalihkan isu karikatur Nabi yang disinyalair dapat memperkuat ukhuwah islamiyah di berbagai belahan dunia, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kalangan Barat.

Terlepas dari benar atau salah, hemat saya, umat Islam seharusnya tidak gampang menyalahkan bahkan mengkambing-hitamkan orang lain, termasuk Barat. Sebab bukan di situ permasalahan intinya. Sebaiknya, kita selidiki terlebih dahulu apa motif yang melatarbelakangi baku serang Sunni-Syiah di Irak.

Telisik Motifasi Konflik

Pertama, motivasi politik. Sunni-Syiah adalah dua kelompok yang terlibat dalam perebutan kekuasaan di Irak. Politik yang dijalankan adalah politik “babat habis”: saat Sunni berkuasa (Saddam Husain), maka Syiah menjadi kelompok marginal dan periferal, begitu pula sebaliknya yang kini sedang terjadi. Peledakan bom di masjid Imam Ali, bisa jadi akibat dari kekesalan Sunni atas Syiah, yang berkoalisi dengan AS untuk menggulingkan rezim Saddam. Atau bisa jadi, ini merupakan strategi Syiah untuk semakin memojokkan Sunni di Irak, dan memperluas kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan kalangan Syiah di Republik Irak.

Kedua, motivasi agama. Bentrokan antara dua aliran ini sudah tidak aneh lagi. Dalam sejarahnya, pertikaian dahsyat pernah terjadi antara Yazid bin Muawiyah (Sunni) dengan Husain bin Ali (Syiah), sampai akhirnya Husain harus menelan pil pahit, kekalahan dan kepalanya dipenggal. Begitu pula dengan insiden baku serang di Irak, motivasi keyakinan dan fanatisme aliran masih begitu kental. Peledakan bom itu hanyalah pemicu awal yang berkembang menjadi keruh akibat provokasi yang mengarah pada sentimen sekte atau aliran. Pihak Syiah mempertahankan keyakinannya, kubu Sunni juga tak mau kalah begitu saja dengan rivalnya. Peranan terbesar dalam motivasi ini yaitu fanatisme aliran.

Pada titik ini, dan sampai detik ini, saya berkesimpulan, umat Islam ghalibnya masih berpandangan sempit, grusa-grusu (bertindaka tanpa pertimbangan), mudah terprovokasi, dan gemar kekerasan. Hampir setiap kejadian yang dianggap merugikan Islam atau kelompoknya, kerap direspon dengan cara-cara kekerasan. Tindakan kekerasan dalam merespon karikatur Nabi belum reda, Islam kembali dicoreng oleh ‘perang saudara’ Sunni-Syiah di Irak, hanya gara-gara peledakan masjid. Apakah tidak ada jalan lain selain kekerasan? Atau memang kekerasan adalah bagian dari ajaran Islam yang harus diamalkan?

Saya tidak habis pikir, mengapa ini semua terjadi dan terus berulang-ulang, padahal Islam jelas-jelas mengajarkan teologi kasih dan damai. Dalam Islam, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang tidak menyukai keonaran dan kerusakan (fasad) di muka bumi. Term fasad adalah tindakan yang dapat mengakibatkan gangguan sistem sosial. Untuk itu, siapa saja yang menginginkan ridha Tuhan maka hendaknya mengikuti “jalan damai” (QS. 2:205). Tuhan juga berfirman, “Aku tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai penebar cinta kasih kepada seru sekalian alam” (QS. 21:107). Ayat lain juga mengisaratkan, bahwa salah satu nama Tuhan adalah al-salam (damai) (QS. 59:23). Selain itu, dalam hadist Nabi juga disebutkan, “Salah seorang dari kalian tidaklah disebut beriman, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Shahih Bukhari, Juz I).

Kandungan Alquran dan Hadist tersebut merupakan doktrin Islam kepada pemeluknya untuk saling mengasihi, hidup akur dan damai. Dan perlu digarisbawahi, teologi kasih dan damai ini berlaku untuk seluruh umat manusia, yang nantinya akan menjadi titik konvergensi religius paling nyata dalam realitas multikultural, sebab manusia tidak hanya berperan sebagai homo sapiens melainkan juga homo religious.

Jurus Tepis Konflik

Selain memahami doktrin agama, agar tidak mudah tersulut dan menyalahkan orang lain, pemahaman tentang konflik, hemat saya, juga penting untuk dipelajari. Konflik tidak semata-mata diartikan sebagai “tindakan natural” dari suatu perselisihan atau beda pendapat antara dua pihak atau lebih, yang akhirnya berujung apada tindak kekerasan. Tapi, yang harus dipahami adalah bagaimana mengetahui seluk-beluk dan mengelola konflik. Menurut Sosiolog Ralf Dahrendorf, dalam realitas sosial, konflik adalah keniscayaan. Jadi, usaha untuk menghilangkan konflik adalah upaya utopis. Bisa jadi usaha itu menjurus pada hegemoni, yang justru menyulut konflik di kemudian hari. Dalam karyanya, Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), dia mengemukakan, masyarakat mempunyai dua wajah, konflik dan konsensus. Karena itu, konflik tidak akan ada jika sebelumnya tanpa didahului konsensus.

Contoh, baku serang Syiah-Sunni tidak akan terjadi jika sebelumnya tidak ada kesepakatan, bahwa antara kedua belah pihak harus saling menghormati. Ketika ada salah satu pihak yang dianggap melanggar konsensus, maka pertanda konflik dimulai dan aksi-aksi kekerasan pun tak bisa dihindari. Karena itu, sebelum berubah menjadi aksi kekerasan, idealnya konflik harus segera ‘dikelola’ agar tidak kian menjurus pada hal-hal yang negatif.

Pertama, menelisik asal-muasal atau penyebab konflik. Dalam buku Conflicts: a Better Way to Resolve Them (1991), pemikir Edwar de Borno mengemukakan, empat unsur penyebab konflik: fear (rasa takut), force (kekuatan/kekerasan), fair (keadilan), dan funds (ongkos). Hal ini penting diketahui, apakah kira-kira pemicu utamanya, sebagai kerangka analisa awal dalam mencari jalan keluar. Jangan sampai terkecoh pada komentar-komentar yang muncul di permukaan, kita harus tahu betul latar belakang yang membidani konflik.

Kedua, memahami ‘faktor kepentingan’ pihak-pihak yang terlibat. Salah satu kunci teori konflik Dahrendorf (1959) adalah orientasi kepentingan. Menurutnya, kepentingan adalah sesuatu yang berskala luas, yang akan mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam konteks ini, terdapat dua jenis kepentingan: (1) kepentingan tersemunyi (hidden agenda), yaitu harapan peran yang tidak disadari oleh ‘yang lain’, dan (2) kepentingan nyata, yaitu kepentingan tersembunyi yang telah disadari orang lain. Pada posisi ini, pemahaman seseorang atas konflik diperas untuk mengetahui siapa dibalik konflik dan kepentingan apa yang ingin diraih?

Terakhir, mencari ‘win-win solution’. Meski terlihat remeh, faktor ini penting, sebab menjadi penentu akhir. Ketika tiap tahapan telah didiagnosa dengan baik, tapi terjadi kesalahan dalam mengambil langkah akhir, maka semuanya bisa berantakan, atau menimbulkan bara baru dalam sekam. Kuncinya adalah memberikan jalan keluar atau kompensasi yang sesuai kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, jangan sampai terjadi ‘pilih kasih’, atau adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan. Untuk mencapai win-win solution, diperlukan dua peta pertimbangan: ‘interest and benefit’ (kepentingan dan keuntungan), dan ‘value and principle’ (nilai dan prinsip/pendirian). Keduanya harus benar-benar dipetakan dan dipertimbangkan dengan matang, dan jangan sampai jomplang sebelah.

Saya berharap, konflik Sunni-Syiah di Irak segera usai. Dan pada akhirnya mampu membukakan pintu kearifan kita sebagai umat manusia: (a) kekerasan bukanlah jalan keluar, tapi justru menjadi biang masalah, dan (b) berkaca diri harus lebih diutamakan sebelum menuding orang lain. []


sumber: WAWASAN, Semarang, Maret 2007

Friday, March 02, 2007

Mereka Bicara Soal Penanganan HAM

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Jakarta--Selama ini penanganan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dinilai masih jauh panggang dari api. Antara lain kasus orang hilang, perlakuan mantan anggota Partai Komunis Indonesia, tragedi Trisaksi, Semanggi I dan II, kasus Munir, masih belum menemukan titik terang. Temasuk isu-isu yang menyangkut kekerasan atas nama agama.

Terkait dengan proses seleksi calon anggota HAM periode 2007-2012, redaksi Syirah berhasil menghimpun komentar dan pandangan beberapa orang dari 70-an nama calon anggota Komnas HAM yang dinyatakan lulus seleksi administratif. Mulai dari soal UU yang berbau diskriminatif hingga sumbangan nilai-nilai Islam dalam penegakan HAM di tanah air.

Yang pertama datang dari Ifdhal Kasim. Direktur bidang Hukum dan Legislasi Reform Institute ini menilai, kesulitan paling ruwet dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM terletak pada sistem hukum yang berlaku. “Harapan masyarakat dalam mencari keadilan terbentur instrumen hukum,” ujarnya ketika dihubungi Syirah sore ini.

Saat ini masih banyak peraturan yang dinilai Ifdhal diskriminatif. Misalnya, kebebasan berkeyakinan. Jaminan ini sudah jelas dalam UUD 1945, tapi mengapa tiba-tiba bisa tersandung delik agama dalam pasal 156 KUHP. Hukum yang ada itu harus memberikan keleluasaan individu untuk berbeda keyakinan. “Hukum harus memproteksi keyakinan atau pendapat yang berbeda, jangan malah mendiskriminasi,” tegasnya.

Karena itu, peran strategis yang ingin dijalankan, seandainya terpilih menjadi anggota Komnas HAM, ia akan menyelaraskan dan mengharmonisasi hukum nasional. Jangan sampai satu dengan yang lain bertentangan dengan prisip HAM.

Lain halnya dengan Ahmad Baso. Penulis buku NU Studies ini menganggap penting metode pendekatan masyarakat dalam penanganan kasus HAM. Calon anggota komnas yang direkomendasikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini berpandangan, selama ini pendekatan yang dilakukan Komnas HAM terbilang parsial, dan bisa juga disebut elitis.

Sebab, Komnas HAM masih sering menganggap masyarakat atau korban sebagai objek. Masyarakat dianggap sebagai orang yang tak kenal HAM, jadi harus dikasih penyuluhan dan pemberdayaan. “Pendekatan ini tidak efektif, karena masyarakat merasa tidak terlibat, hanya sebagai objek,” katanya.

Ini tampak dalam kasus penanganan pelanggaran HAM yang dialami komunitas pinggiran. Misalnya masyarakat adat dan orang-orang yang berbeda pemikirannya dengan kalangan mainstream. Bagi Baso, cara jitu dalam advokasi korban HAM semacam ini adalah dengan pendekatan kultural, secara holistik. “Memahami masyarakat sebagai subjek partisipan yang terlibat dalam kasus, bukan sekedar penonton yang jadi korban,” tukasnya.

Di hubungi secara terpisah Lily Zakiyah Munir yang juga masuk dalam daftar 70 nama itu punya cara lain menegakkan HAM di Indonesia. “Saya akan melakukan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui pemahaman Islam yang membebaskan,” tegas direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) ini.

Baginya, nilai-nilai Islam juga amat berpihak pada penegakan HAM. “Prinsip-prinsip dasar Islam itu akan membawa seseorang pada kemerdekaan, kesetaraan, dan keadilan. Islam tak mengenal mayoritas dan minoritas, yang adalah hanyalah kesetaraan”.

Dalam Islam Pondasi HAM terletak pada kulliyatul khamsah, yang tujuan akhirnya adalah kemaslahatan umum. Lima prinsip tersebut, kata Lily, sesuai dengan kovenan HAM internasional, yang dibagi menjadi dua kategori.

Pertama, hak politik. Yaitu menjamin kreatifitas berpikir, kebebasan berekspresi, dan mengeluarkan pendapat (hifdz ‘aql), juga menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan (hifdz din).

Kedua, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Yaitu memelihara kelangsungan hidup (hifdz nafs), menjamin kelangsungan keturunan (hifdz nasl), serta melindungi kepemilikan harta benda (hifdz mal).

“Jika kita ingin masyarakat sadar dengan hak-haknya, maka prinsip tersebut harus membumi dan mendarah daging di masyarakat,” terangnya. []


| www.syirah.com/28-2-2007 |
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes