Friday, January 31, 2003

Bisnis(isasi) Pendidikan dan Praktik Diskriminasi

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Pendidikan di Indonesia kian hari terasa kian jauh dari jangkauan rakyat kecil. Pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang yang berduit (the have), terutama di pendidikan tinggi. Apalagi, sekarang ini biaya kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) disalip oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) (Jawa Pos, 14/8). Jika dibiarkan, maka fenomena ini justru akan menciptakan diskriminasi di bidang pendidikan.

Gelagat ini mulai tercium sejak tahun 2000, yaitu saat pemberian status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN): Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM). Dengan statusnya yang baru, menjadikan PTN mandiri dalam mencari dana, karena tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah.

Fenomena ini seolah-olah menunjukkan, bahwa negara tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi. Apakah benar demikian? Bukankah kebobolan uang negara secara besar-besaran dalam berbagai kasus korupsi telah menempatkan negara ini sebagai yang terkorup di dunia? Belum lagi eksploitasi sumber daya yang melibatkan kekuatan asing dan kroni dalam negeri sendiri sudah menguras kekayaan bangsa ini. Begitu pula dengan gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah.

***

Berarti, PTN yang berstatus BHMN mempunyai otoritas yang otonom untuk menentukan berbagai kebijakan, termasuk dana operasional pendidikan. Dari sini, kemudian muncul kontroversi penentuan biaya kuliah. Dengan dalih untuk meningkatkan mutu pendidikan, biaya mahal pun diterapkan.

Bagi orang-orang berduit, ini bukanlah suatu problem. Tapi bagi masyarakat yang kehidupan ekonominya lemah, tentu saja PTN yang berstatus BHMN menjadi kampus elit yang tak tersentuh. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan kuliah telah melegalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Betul kata Paulo Freire, bahwa “sekolah” lebih berperan melegitimasi kelompok elit sosial tertentu daripada memberikan pemberdayaan dan membuka jalan kreativitas kepada seluruh lapisan masyarakat.

Sungguh ironis, sumbangan bagi mahasiswa baru di PTN-PTN favorit sangatlah tinggi. Sebagaimana di UI, mereka dibebani admission fee Rp 5 juta-Rp 25 juta, sedangkan jalur khusus bisa sampai Rp 75 juta. Begitu pula di UGM, yakni hingga Rp 20 juta, sedangkan untuk jalur khusus Rp 25 juta-Rp 100 juta. Sedangkan Unair juga sama saja, yakni Rp 5 juta-Rp 75 juta. Dengan biaya tersebut, apakah ada kesempatan yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu? Lagi-lagi, yang diuntungkan adalah hanya kalangan elit. Mengapa bisa seperti ini, dan pantaskah bisnis(isasi) pendidikan ini terjadi di negara yang mengaku sumber daya alamnya melimpah ruah? Padahal, di beberapa negara seperti Belanda, Perancis, dan Jerman memiliki Perguruan Tinggi yang bermutu tapi dengan biaya pendidikan yang rendah.

Paling tidak, fenomena mahalnya pendidikan di Indonesia dikarenakan, pertama, adanya oknum-oknum yang menjadikan dunia pendidikan sebagai “ajang bisnis”. Pelacuran intelektual (meminjam istilah J. Benda) semacam ini tampak jelas dengan, contoh, dibukanya “jalur khusus”. Yang tentunya, kualifikasi diterima atau tidaknya bukan dengan pertimbangan kualitas dan kapabilitas intelektual, tapi menggunakan pertimbangan fulus. Siapa saja yang fulusnya “berkualitas” dialah yang lolos seleksi. Praktik seperti ini akan berdampak pada pembiasan orientasi awal tujuan pendidikan, serta tidak memberikan kesempatan pendidikan yang layak kepada kalangan bawah.

Kedua, tidak adanya tunjangan (gaji) yang tinggi dari pemerintah bagi para dosen dan karyawan. Akibatnya, mereka harus menggunakan “jalan pintas” dengan menaikkan biaya pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tunjangan dengan memotong (baca: manipulasi) biaya pendidikan. Anggaran yang pada mulanya dialokasikan untuk pemenuhan sarana penunjang pendidikan diselewengkan menjadi anggaran kantong dosen dan karyawan.

Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut, secepatnya masalah ini harus diluruskan. Sebab jika tidak, maka akan menimbulakan dua akibat yang kontra-produktif dari tujuan pendidikan. Pertama, terlantarnya pendidikan anak-anak berpotensi yang tidak mampu. Kedua, krisis mutu pendidikan. Di mana pendidikan tidak akan berorientasi pada peningkatan mutu, tapi sebagai “ajang bisnis” yang merupakan derivasi dari komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.

***

Tak ayal, sistem pendidikan yang berlaku di pendidikan tinggi saat ini membuat kampus tak lebih dari sebuah pabrik yang memproduksi ahli teknologi dan ahli ideologi. Di mana peranannya dalam melanggengkan struktur yang ada sangatlah diharapkan. Sebagai sebuah produsen bagi tenaga kerja industri dan birokrasi maka kaum elit memiliki kepentingan yang cukup signifikan dalam menentukan kebijakan kampus. Karena itu, seluruh kegiatan yang diadakan di kampus merupakan bagian dari usaha untuk memapankan ideologi kaum elit.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pertama, pemerintah harus mengkaji ulang beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan, baik yang terkait dengan kurikulum pendidikan maupun birokasi yang melingkupinya. Sebab bentuk-bentuk komersialisasi pendidikan di pendidikan tinggi sudah sangat nyata. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas untuk memperbaiki kebijakan jika dinilai kontra-produktif. Begitu pula dengan PTN yang berstatus BHMN, pemerintah tidak bisa melepas begitu saja dan lari dari tanggung jawab untuk mengontrol dan mengevaluasi beberapa kebijakan yang dikeluarkan.

Kedua, pemerintah harus menindak secara tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik “kejahatan” di lingkungan pendidikan. Sebab, dunia pendidikan harus steril dari manipulasi, korupsi, dan hal-hal lain yang negatif. Bagaimana pemerintah mampu menegakkan supremasi hukum dan keadilan jika dalam institusi pendidikan masih belepotan dengan unsur-unsur “subversif”. Ketiga, harus ada hubungan yang kooperatif dan sinergis antara peserta didik, pendidik, dan pemerintah. Mereka mempunyai peran dan fungsi masing-masing untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara yang satu dengan yang lain. Dengan harapan supaya tercipta budaya kritis, damai, dan terbuka.

Walhasil, yang menjadi problem resource adalah mahalnya biaya pendidikan. Sebab, bagi penulis, melegalkan biaya pendidikan yang mahal berarti mengamini praktik diskriminasi dan bisnis(isasi) di bidang pendidikan. Stop diskriminasi…! []

Sumber: Buletin Nalar, Edisi 1/Th.III, 2003.
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes