Wednesday, February 28, 2007

Nasib Tarekat Sattariyah Syahid di Medan

Semoga saja tidak seperti nasib jamaah tarikat lainnya, dituduh sesat lalu dihakimi massa. Tarekat yang dipimpin Zubir Amir ini masih sebatas dilaporkan warga ke DPRD kota Medan. Untung MUI Sumut dan Medan belum terbitkan fatwa sesat. MUI hanya keluarkan "surat penjelasan". Ini seklumit laporanku soal tarekat Sattariyah Syahid di Medan.


Kesesatan Guru Tarekat Versi Murid
Oleh : ABDULLAH UBAID MATRAJI/SYIRAH/28-2-2007


Surat itu tertanggal 2 Desember 2004. Dikirim oleh murid pemimpin tarekat Sattariyah Syahid bernama Yulianto, ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara. Tadi siang, Ketua Umum MUI Sumut Abdullah Syah, membacakan surat tersebut kepada Syirah.

Yulianto menyatakan menyesal telah bergabung dengan aliran Zubir Amir, sang guru tarekat. Menurutnya, banyak ajaran-ajaran yang diajarkan gurunya itu berbeda dengan yang diyakini umat Islam pada umumnya.

Pertama, shalat dianggap bukan kewajiban. “Daripada shalat lebih baik bertemu dengan guru tarikat,” tulis Yulianto seperti diceritakan Abdullah. Begitu pula dengan shalat jamaah, hukumnya tidak sah jika dilakukan bersama dengan orang di luar tarekat.

Kedua, tarekat ini meyakini, siapapun yang tidak tunduk kepada Zubir, itu hakikatnya sama dengan manusia berkepala babi. Karena itu, ia belum menjadi manusia sempurnya sebelum meyakini Zubir sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw.

Ketiga, al-Quran adalah tulisan di kertas biasa yang dapat dicorat-coret dan boleh dipegang meski tanpa berwudlu. Al-Quran yang benar adalah al-Quran versi Zubir, yang bersumber dari ucapan-ucapannya yang diyakini berdasarkan wahyu.

Keempat, umat Islam tak wajib puasa, asal ia mampu membayar denda sebanyak 2,5 liter beras.

Empat poin di atas itu hanya sebagian. Terlepas benar atau tidaknya pengakuan Yulianto, sampai detik ini Syirah belum bisa tersambung dengan Zubir atau Yuliantlo, untuk mengkonfirmasi kebenaran pernyataan tersebut. []


Massa Adukan Ajaran Sesat ke DPRD 27-2-2007
Oleh : Antara

Medan - Ratusan warga Kampung Kurnia, Kelurahan Belawan Bahari, Kecamatan Medan Belawan mendatangi Gedung DPRD Kota Medan, meminta agar dewan menyikapi keberadaan ajaran sesat yang dinilai sudah sangat meresahkan warga.

“Kami minta agar dewan serius menyikapi masalah ini karena bisa memicu pertentangan dan bahkan pertumpahan darah antar sesama warga di kampung kami,” ujar pemuka masyarakat Kampung Kurnia, Darwin, ketika bersama sejumlah perwakilan warga lainnya diterima Komisi B DPRD Kota Medan, Selasa.

Menurut dia, ajaran yang dibawa Zubir Amir itu merupakan ajaran sesat, dimana baik Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan maupun MUI Sumatera Utara telah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran itu dilarang karena menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Tokoh ulama Kampung Kurnia, Ustadz Arsyad, menjelaskan, salah satu penyimpangan ajaran yang dibawa Zubir adalah dengan mengharuskan pengikutnya melafaskan syahadat dengan memasukkan nama Zubir di dalamnya.

“Kalau dalam syahadat yang sesungguhnya adalah kesaksian bahwa `Tuhan adalah Allah dan Muhammad rasul Allah`, maka dalam syahadat yang diajarkannya adalah bahwa `Tuhan adalah Allah dan Zubir rasul Allah`. Umat Islam diklaim kafir bila tidak mengakui syahadat seperti yang diajarkan Zubir itu,” jelasnya.

Selain itu, tambahnya, Zubir juga melarang para pengikutnya mengikuti ajaran-ajaran Muhammad dan mengabaikan semua hadist yang ada. Pengikutnya juga dilarang berwuduk sebelum shalat dan diklaim kafir jika melakukan shalat Jumat.

Karena itu, para tokoh dan pemuka tokoh ulama Kampung Kurnia, Ustadz Arsyad, meminta dewan segera turun tangan menyelesaikan persoalan itu. Warga, katanya, sudah tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi meski MUI sudah menyatakan bahwa ajaran itu terlarang dan merupakan ajaran sesat.

“Sesama warga kini sudah saling berhadapan karena ajaran sesat itu. Bahkan antara anak dengan ayah bisa berantam karena perbedaan keyakinan dan pemahaman agama yang dibawa Zubir. Kami takut semua ini akan memicu perang antara warga,” katanya. []



MUI Sumut Belum Keluarkan Fatwa Sesat
Oleh : ABDULLAH UBAID MATRAJI/SYIRAH/28-2-2007


Menaggapi gonjang-ganjing ajaran yang dibawa Zubir Amir, pemimpin tarekat Sattariayah Syahid, Majlis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Utara telah menerbitkan surat (27/12/2004), yang menyatakan ajaran Zubir telah menyimpang dari tuntunan Islam yang benar.

“Keputusan ini murni dari pimpinan, bukan dari komisi fatwa,” kata Abdullah Syah, Ketua Umum MUI Sumut. Menurutnya, surat itu ditandangani Mahmud Aziz Siregar, Ketua Umum MUI Sumut periode 2000-2005. Surat itu bukan tanpa dasar. Tapi dikeluarkan berdasarkan hasil diskusi antara MUI dengan agamawan, dan tokoh masyarakat, 18 Desember 2004.

Selain itu, MUI Sumut juga mendapat surat pengakuan tertulis dari murid Zubir Amir, yang menunjukkan bukti-bukti ketidaklurusan ajaran tarekat Sattariayah Syahid. “Berdasarkan dua pertimbangan itu, MUI berani mengeluarkan keputusan melalui surat penjelasan yang ditujukan kepada Kepala Camat Medan Labuhan,” katanya.

Meski surat penjelasan itu mirip dengan surat hasil keputusan fatwa, Abdullah mengelak kalau surat tersebut dinamai fatwa. “Itu hanya surat penjelasan, bukan fatwa,” tukasnya, “Untuk keputusan fatwa kita masih menunggu hasil keputusan komisi fatwa MUI Sumut. Kalau jadi hari Kamis besok, soal ini akan dibahas di komisi fatwa.” []


MUI Medan Angkat Tangan Soal Sattariyah Syahid
Oleh : ABDULLAH UBAID MATRAJI/SYIRAH/28-2-2007


Medan--Nama Zubir Amir kembali diperdebatkan di Medan. Ajaran tarekat Sattariyah Syahid yang diajarkan ke murid-muridnya dinilai sesat. Menurut ketua Majelis Ulama Indonesia kota Medan Mohammad Hatta, peristiwa ini adalah masalah lama. Kali pertama muncul sekitar tahun 2002, tepatnya di jalan Khaidir No. 1 Pekan, Medan Labuhan, Medan, Sumatra Utara.

Hatta mengelak jika MUI Medan dibilang telah menerbitkan fatwa sesat kepada ajaran yang dibawa Zubir Amir. Tahun 2003, MUI Medan pernah membicarakan masalah ini dengan berbagai kalangan. Tapi, tidak sampai pada keputusan untuk mengeluarkan fatwa sesat. “Soal ini kami limpahkan ke komisi fatwa MUI provinsi,” tegasnya.

Apakah benar dia sesat? Hatta tidak berani menjawab tegas, karena belum ada keputusan dari komisi fatwa MUI Sumatra Utara (Sumut). Ia hanya berpedoman pada surat yang dikirim MUI Sumut kepada Kepala Camat Medan Labuhan, tanggal 27 Desember 2004.

“Kesimpulan surat itu menyatakan, ajaran Zubir Amir tidak sesuai dengan tuntunan Islam yang benar pada umumnya,” terang Hatta.

Saat dikonfirmasi Syirah, siang ini, Ketua Umum MUI Sumut Abdullah Syah membenarkan adanya surat itu. “Surat itu memang ada. Tapi sebatas penjelasan, bukan hasil keputusan komisi fatwa,” tegasnya.

Menurut Hatta, aliran tarekat Sattariyah Syahid ini sempalan dari tarekat Sattariah yang dipimpin Haji Rasyid, yang berlokasi di Simalungun, Pemantang Siantar, Sumatra Utara. Ini berdasarkan hasil dialognya bersama dengan Rasyid.

“Ajaran Zubir itu sudah keluar dari tarekat Sattariah. Ia telah mencampur adukkan beragam aliran dalam satu tarekat, yang dinamainya Sattariayah Syahid,” ujar Hatta menirukan ungkapan Rasyid. []

Friday, February 23, 2007

Surat Ba’asyir Sulut Polemik

Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/23-2-2007


Jakarta- Surat yang dikirim pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Istana Negara kemarin siang (22/02), menuai kontroversi.

Surat yang berisi anjuran Ba’asyir agar SBY mengeluarkan dekrit atau kepres untuk kembali kepada Syariat Islam itu ditanggapi Masyhuri Naim dengan pertanyaan balik, “Apa pernah kita menggunakan syariat Islam, kok ada dekrit kembali kepada...,” tandas Rais Syuriah Pengurus Besar NU itu kepada Syir’ah.

Soal aturan negara yang berdasarkan syariat Islam, umat Islam mayoritas pasti setuju. “Termasuk saya,” katanya. Tapi, ia menambahkan, peraturan syariah itu bukan dalam bentuk formal seperti undang-undang. Formalitas syariat Islam tak begitu penting dan belum tentu bisa menjawab masalah. Yang lebih penting adalah penerapan substansi syariat Islam, misalnya prinsip keadilan, perdamaian, tolong menolong, dan sebagainya. “Buat apa kalau cuma formalitas,” cetusnya.

Yunahar Ilyas, ketua PP Muhammadiyah, berpendapat bahwa demokrasi yang lagi ditata di Indonesia ini merupakan pola ketatanegaraan yang dekat dengan sistem syuro (musyawarah) dalam Islam yang pernah dicontohkan Muhammad saw dan para sahabat. “Tinggal siapa yang mengisi pos-pos itu,” katanya. Orang yang mengisi kursi pemerintahan juga penting. Apapun sistemnya kalau pejabatnya bejat juga akan bermasalah.

Tidak demikian bagi Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia memandang sudut pandang bangsa ini sudah salah kaprah. Seharusnya, sudut pandang ketatanegaraan itu sinkron dengan sudut pandang ketauhidan. Artinya, kalau SBY itu beragama Islam, maka dia punya tanggung jawab besar untuk menerapkan syariat Islam. “Saya setuju dengan pandangan ustad Abu,” tuturnya.

Abu Bakar Ba’asyir berpandangan, kalau presidennya muslim dan mengurus negara yang mayoritas muslim tapi tanpa penerapan syariat, Islamnya menjadi batal. Kecuali sudah berusaha tapi belum mampu. Ini diutarakan Ba’asyir tadi siang di depan Istana Negara, setelah gagal menemui SBY.

Manuver Ba’asyir ini ditanggapi enteng oleh Imdadun Rakhmat. “Tindakan Ba’asyir seperti itu tidak mengejutkan saya. Itu agenda lama,” terang intelektual muda NU itu. Syariah Islam yang dipahami Ba’asyir adalah penerapan fikih. Tidak bisa begitu. Rakyat Indonesia itu majemuk dan plural, maka tidak bisa menerapkan fikih Islam. Selain itu, jika syariah di formalkan, bisa jadi kalau orang Islam tidak sholat akan masuk bui. Kalau begitu, “Orang shalat bukan karena Allah, tapi karena takut diborgol polisi,” tegasnya.

Menanggapi gagasan Ba’asyir, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Ahmad Fuad Fanani juga tak sependapat. “Syariat Islam itu bukan seperti obat sakit kepala yang cespleng langsung dapat menyembuhkan penyakit,” katanya. Masalah bangsa ini harus dipandang secara komprehensif, tidak bisa hanya dengan pendekatan agama atau tauhid. Menurutnya, Ba’asyir tidak menyadari bahwa Indonesia ini isinya bukan hanya orang Islam saja. Tapi ada multi agama, multi etnis, dan multi kultur. Jadi, “Formalisasi syariat Islam itu kurang pas,” tegasnya. []


| sumber: www.syirah.com |

Kebijakan “Pohon Jariah” di Gresik Belum Efektif

 
Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/22-2-2007


Gresik, Jatim- Di tengah kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik Jawa Timur, mengeluarkan beberapa kebijakan yang berbasis lingkungan hidup. “Kita ingin Gresik di masa depan, kalau bisa lebih baik dari yang sekarang, airnya lebih jernih, udara bebas polusi, dan sungai bersih dari limbah,” kata Sekretaris Pemkab Gresik Husnul Khuluq.

Kebijakan itu, antara lain, pemkab Gresik mewajibkan warga yang mendapat santunan kematian untuk menanam satu pohon. Santunan sebesar 1 juta rupiah itu diberikan pemkab kepada ahli waris yang ditinggal mati keluarganya. Sebagaian uang itu, harus dibelikan pohon, minimal satu. “Terserah mau ditanam di mana,” katanya di hadapan pelajar SMP Negeri I Kedamean, awal Februari.

Kata Khuluq, program itu dikenal dengan sebutan pohon jariah. Ini merupakan wujud visi pemerintah yang ingin menjadikan Gresik hijau, bersih, dan bebas polusi. Mengapa dinamakan jariah? Sebab, pohon itu akan menjadi amal jariah bagi keluarga yang meninggal. Amal jariah, dalam ajaran Islam, adalah amal yang tidak akan putus pahalanya meski orangnya telah tutup usia.

Selama bulan Juni sampai September 2006, pemkab sudah mengucurkan santunan kematian untuk 4.700 warga. Kalau begitu, minimal terdapat 4.700 pohon baru yang ditanam. “Ini akan berpengaruh positif pada lingkungan,” tandasnya.

Kebijakan ini terbilang baru, dan belum semua warga tahu. Contohnya Muhamaad Saifullah, warga Legowo, Bungah, Gresik, mengaku belum tahu soal kebijakan pohon jariah. “Kalau santunan kematian yang 1 juta itu saya tahu, kalau menanam pohon kok saya belum dengar,” tuturnya.

Baginya, kebijakan itu memang baik dan berwawasan ke depan. Tapi, tidak menjawab kebutuhan mendesak masyarakat. Menurut pria yang juga Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Gresik ini, dulu pernah ada usulan penerapan kesehatan gratis. Itu sampai saat ini tidak terwujud. Pemerintah, melalui PP No.6/2006, hanya mampu memberikan subsidi tarif gratis ke puskesmas saja. Sementara obat dan biaya perawatan tetap bayar. Hingga kini, masih banyak orang meninggal gara-gara biaya pengobatan yang tak terjangkau.

“Kesehatan masyarakat itu lebih penting daripada uang santunan kematian. Sebab uang santunan, meski pemkab tidak memberi, warga Gresik biasanya punya tradisi di desanya masing-masing, yaitu urunan kematian (sumbangan patungan dari warga untuk kematian),” tegasnya saat dihubungi Syir`ah.

Selain itu, pemkab Gresik juga mewajibkan penerapan kurikulum berbasis lingkungan hidup di tingkat SLTP dan SLTA. Kurikulum ini secara khusus memberikan muatan lokal seputar pendidikan lingkungan hidup. Dengan kurikulum ini, kata Khuluq, pemkab berharap masyarakat Gresik mempunyai kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup sejak kecil.

Kebijakan ini diluncurkan kali pertama di SMP Negeri I Kedamean, Gresik, sekaligus dijadikan sekolah percontohan yang berbasis lingkungan. Ini nanti akan dikembangkan pada sekolah-sekolah lain yang ada di kabupaten Gresik. “Targetnya tahun 2008 ini semua sekolah harus sudah bisa menerapkan,” harapnya. [Muhajir]

| sumber: www.syirah.com |

Migrant Care: Malaysia Harus Hapus Hukuman Mati

Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/22-2-2007


Jakarta- Upaya Migrant Care (MC) untuk mengadvokasi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia tak setengah hati. Setelah minggu lalu, bersama dengan Fatayat NU dan keluarga korban, bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kini Direktur Eksekutif MC Anis Hidayah mendesak Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi untuk melindungi TKI.

Demikian ungkapan Anis dalam rilis yang diterima Syir`ah, Kamis (22/2). Rilis tersebut dilayangkan bertepatan dengan kedatangan Abdullah Badawi ke Indonesia Siang ini.

Hingga kini, menurut catatan MC, setidaknya ada 16 TKI di Malaysia yang terancam hukuman mati. Dan pada bulan Maret mendatang akan digelar persidangan terhadap Adi bin Asnawi, Erik bin Kartim, Wahyudi bin Boinen, dan Haliman Sihombing. Kata Anis, semua warga Indonesia itu diancam hukuman mati dengan cara digantung.

Lawatan Badawi kali ini adalah dalam rangka penyematan penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana dari Pemerintah Indonesia. Selain itu, juga akan ada pembicaraan bilateral dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut Anis, ini adalah momentul yang tepat bagi presiden SBY agar berdiplomasi kepada Badawi untuk memperjuangkan nasib TKI di Malaysia. Presiden SBY juga harus berani mengingatkan Badawi bahwa kemajuan ekonomi malaysia sebuah kemustahilan tanpa kehadiran buruh migran Indonesia.

Karena itu, “MC Mendesak presiden SBY untuk mengajak Badawi menghapus praktik pidana hukuman mati di Malaysia sebagai komitmen dasar penghargaan terhadap hak asasi manusia,” tandas Anis. []

| sumber: www.syirah.com |

Tuesday, February 20, 2007

Kabar "Masura" dari Ciganjur


Jika anda tak sempat menghadiri forum MASURA di Ciganjur, tapi ingin tahu,  simak saja laporan syirahonline berikut ini. 


Meriahnya Forum Masura Di Ciganjur
Oleh ABDULLAH UBADI/SYIRAH/19-2-2007


Jakarta- Forum yang menurut rencana akan dihadiri para kiai dan pemimpin masyarakat bawah itu tampak berubah. Tak hanya dihadiri kiai kampung, Majelis Silaturrahim Ulama Rakyat (Masura) itu ternyata dihadiri semua lapisan masyarakat.

Layaknya pesta rakyat. Pada Minggu (18/2) pagi itu, mereka berbondong-bondong menuju komplek pesantren al-Munawwarah di jalan Warung Sila, Ciganjur, Jakarta Selatan. Deretan rakyat kecil terlihat antusias menggelar dagangannya di bibir jalan. Ada yang jualan minyak wangi, kopiah, pakaian, mainan anak-anak, minuman dan makanan.

Ratusan umbul-umbul juga tampak di sepanjang jalan menuju lokasi acara. Poster berisi himbauan untuk perbaikan juga dipasang di mana-mana.

“Komitmen Ulama Menjaga Moral bangsa.” “Rapatkan Barisan Kiai Kampung Sebagai Penjaga NKRI.” Itulah antara lain bunyi sepanduk yang terbentang di jalan-jalan.

Masura juga dihadiri para pengurus masjid, musholla dan majelis ta’lim se-Jabotabek, serta perwakilan dari pengurus wilayah PKB Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur.

Di samping itu, sejumlah kiai hadir memimpin istighatsah dan doa bersama, antara lain, KH Nuril Huda yang juga ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), KH Lukman Hakim, KH Ali hanafiyah, KH. Hamdun, KH Abdul Aziz Mansyur, KH Jamaluddin Bustomi, KH Manarul Hidayat, dan KH Aminullah Muchtar. Sementara doa pamungkas dipimpin Tuan Guru Turmudzi dari Nusa Tenggara Barat.
Beberapa artis ibu kota juga tak mau ketinggalan. Antara lain, Rano Karno, Basuki, dan Akri Patrio. Acara inti “Ngaji bersama Gus Dur” dipandu oleh pelawak Akri Patrio, “Saya ini memang pelawak tapi Gus Dur itu embahnya pelawak,” canda Akri disambut tawa hadirin. [Anam]


Gus Dur: Istilah Kiai Kampung Bukan untuk Dikotomi
Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/19-2-2007


Jakarta- Niat Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) untuk mempererat hubungan dan komunikasi lebih intensif dengan “kiai kampung” terwujud sudah. Hajatan yang bertajuk Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (masura) itu digelar di jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, Minggu (18/2).

Istilah kiai kampung, menurut Ketua Dewan Syuro DPP PKB KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, bukan untuk mendikotomi atau memilah-milah antar kiai, misalnya, ada kiai kampung, kiai kota, kiai sepuh, atau kiai-kiai yang lain.

“Bukan saya yang mengatakan ada kiai begini dan begitu. Kalau ada yang menganggap saya membuat dikotomi antara kiai kampung dan kiai sepuh itu konyol,” ujar Gus Dur di hadapan ribuan nahdliyyin yang memadati komplek pesantren al-Munawwaroh, Ciganjur.

Istilah ini sejatinya tak dibuat secara khusus untuk acara silaturrahim kali ini. Menurut cucu pendiri NU Hasyim Asy’ari ini, istilah kiai kampung muncul saat digelar pengajian di Nganjuk, Jawa Timur, beberapa hari yang lalu. Pengajian itu dihadiri ribuan warga para kiai NU dari daerah tersebut.

Jadi bukan untuk dikotomi tapi memperjelas posisi. Selama ini aspirasi masyarakat, terutama dari para kiai dan pemimpin masyarakat, di akar rumput tak pernah didengar oleh para wakil rakyat. Mereka seakan dilupakan dan dianggap tak penting.

Selain itu, kata Gus Dur, para ulama kenamaan yang sering muncul di televisi telah dikapitalisasi oleh industri hiburan sehingga lebih sering menjadi tontonan dari pada menjadi penyampai lidah ummat.

Gus Dur berharap, forum silaturrahim semacam ini bisa kontinyu diadakan tiap tiga bulan sekali di Ciganjur. Sementara Abdul Muhaimin Iskandar, Ketua Dewan Tanfidz DPP PKB Muhaimin Iskandar, berharap lebih dari itu. “Kita berharap pertemuan semacam ini berlanjut sampai ke cabang-cabang PKB seluruh Indonesia,” tandasnya saat memberikan sambutan. [Anam]


Gus Dur: Muhaimin dan Syaiful Kudu Akur
Oleh ABDULLAH UBAID/SYIRAH/19-2-2007


Jakarta- Aras Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kini tak lagi ada goncangan dahsyat. Perseteruan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri Pemberdayaan Daerah Tertinggal (PDT) Syaifullah Yusuf tak lagi terdengar.

Perkembangan ini tak luput dari komentar Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ketua Umum Dewan Syuro PKB, saat mengisi pengajian bareng kiai kampung, Minggu (18/02).

"Kalau berantem itu urusan mereka. Ribut ya ribut, tapi persaudaraan jangan berhenti," kata Gus Dur yang disambut tepuk tangan ribuan kiai kampung.

Gus Dur mengaku tidak mempersoalkan kepindahan Syaiful ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), jika itu sudah menjadi pilihannya.

"Saya enggak apa-apa Syaiful masuk PPP, silakan saja. Keluarga saya banyak di partai-partai, adik saya ada yang di PPP, satu ada yang di Golkar, satu di PKB, adiknya lagi ada yang suka golput," beber Gus Dur dengan santai.

Menurutnya, meskipun berbeda pendapat, kekeluargaan harus tetap terjaga meskipun berbeda partai. "Kalau kami kumpul, kami tidak ngomong politik kok," ungkapnya.
Muhaimin dan Syaiful adalah masih saudara sepupu. Muhaimin adalah anak bibi Syaiful. Dan keduanya adalah keponakan Gus Dur. [nvt/nrl/detik]


Gus Dur Anjurkan Pemerataan Ekonomi dan Perbaikan Layanan
Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/19-2-2007


Jakarta- “Selama ini ekonomi kita haya mementingkan pertumbuhan tapi tidak pemerataan,” tandas Ketua Umum Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid saat memberikan pengajian di Ciganjur, Jakarta Selatan, Minggu (18/2).

Hal ini ini disebabkan sistem ekonomi saat ini masih berorientasi pada pertumbuhan dan hanya memihak kepada para pengusaha besar. Karena itu, pemerintah harus melakukan pemerataan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

”Harus ada kredit murah untuk sektor informal. Paling-paling cuma 50 juta sudah bisa membantu para pengusaha angkot dan pedagang kali lima dari pada buat subsidi para pengusaha formal yang tidak jelas untungnya,” kata Gus Dur.

Menurutnya, pendapatan negara yang diperoleh dari pajak atau jalur formal lebih sedikit dibanding pendapatan yang diperoleh dari retribusi atau jalur informal. Belum lagi, ada persoalan pengemplangan pajak dan budaya kurupsi yang mendera para pejabat pemerintahan.

Misalnya, dari 210 juta penduduk Indonesia, menurut perhitungan, seharusnya ada 42 juta pembayar pajak atau seperlimanya. Tapi kenyataannya pembayar pajak justru kurang dari 5 juta.

Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Gus Dur, berbagai terobosan perlu dilakukan, mengingat banyak kekayaan alam yang belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat.

“Saat ini banyak kekayaan alam kita, tapi tidak dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya saja hasil tambang, hutan, dan hasil laut,” cetusnya. [Anam/NU/Detik].


| sumber: www.syirah.com |

Sunday, February 18, 2007

Rebutan Masjid atawa Rebutan Ideologi?

Istilah "rebutan masjid" berawal dari pernyataan Hasyim Muzadi, Ketum PBNU, saat mengisi workshop yang digelar Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, di Jakarta, Senin 12 Februari. Kemudian, menyeruak di masyarakat dan di kalangan penggede ormas keagamaan. Apa benar ada perebutan masjid? Atau jangan-jangan malah perebutan ideologi? Simak saja pantauan syirahonline berikut ini selama sepekan.


Masjid NU dan Muhammadiyah Direbut Organisasi Lain
Oleh : FATHURI/SYIRAH/12-2-2007

Mengenai sikut-sikutan di antara umat Islam yang disinggung Hasyim Muzadi dalam Workshop Pengkaderan Nasional yang diadakan Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) memang bukan hal yang asing. Di antara yang cukup meresahkan adalah perebutan masjid oleh beberapa organisasi berbeda.

Hasyim sendiri punya cerita. “Kemarin saya ketemu Pak Din Syamsudin (Ketua Umum Muhammadiyah). Dia bilang, ‘Bagaimana nih masjid saya kok banyak diambil organisasi lain’. Saya bilang, ‘NU lebih dulu’,” ujar Hasyim.

Berdasarkan informasi dari salah seorang pengurus LDNU perebutan masjid ini terjadi di banyak wilayah, terutama di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. “Di Jatinegara (Jakarta Timur) itu ada masjid namanya al-Bahri. Masjid ini didirikan guru Marzuki, pendiri pesantren pertama di Betawi. Masjid itu sekarang sudah dikuasai oleh kelompok lain,” tandasnya.

Imbasnya, kalau ada orang main qasidahan di masjid langsung direspon dengan memasang pamflet yang isinya, “Maaf Masjid Bukan Tempat Main Ondel-Ondel.”

Lain lagi kasus yang terjadi di luar Jawa, di antaranya di daerah Sumatra Barat. Menurut salah seorang peserta workshop perebutan itu bukan dilakukan oleh organisasi, tapi perseorangan yang memegang kekuasaan politik. “Ada oknum yang tidak pernah ke masjid tapi dengan seenaknya mengganti pengurus masjid, ” tandasnya. []



Ketua DMI: Bukan Perebutan Masjid, Tapi Pergantian Pengurus
Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/14-2-2007


Pernyataan Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) soal perebutan masjid (12/2) ternyata memantik komentar dari beberapa kalangan. Saat dihubungi Syir`ah, Fauzan Al Anshari, Ketua Departeman Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia, tak mau tahu dengan soal tersebut. “Itu hanya mengada-ada,” katanya enteng.

Zakky Mubarak, Ketua Dewan Masjid Indonesia Provinsi DKI Jakarta, juga angkat bicara. Berbeda dengan Fauzan, Mubarak sependapat dengan Hasyim. Tapi, ia tidak setuju dengan istilah yang digunakan Ketua Umum PBNU itu. “Bukan perebutan masjid, tapi pergantian pengurus,” tukasnya.

Pergantian pengurus adalah masjid yang dulu cara beribadahnya ala NU atau Muhammadiyah, tiba-tiba berganti model lain. “Dulu ada tradisi salaman setelah shalat sekarang tidak diperbolehkan, dulu ada wiridan bareng setelah sholat kini tak ada, dulu setelah sholat ada doa bersama sekarang dihapus,” tuturnya. Inilah antara lain perubahan yang terjadi akibat pergantian pengurus.

Satu misal, orang di masjid itu banyak, tidak hanya NU atau Muhammadiyah saja. Ada juga dari organisasi di luar itu. Jika mereka dipilih masyarakat untuk menjadi ketua pengurus masjid, maka jadilah dia. Ia akan menerapkan cara beribadah di masjid sesuai keyakinannya.

“Biarkan saja mereka, kalau masyarakat tidak menerima, pasti akan diganti dengan sendirinya. Ini akan terjadi secara alamiah,” kata kiai yang acap mengisi ceramah di masjid agung Sunda Kelapa ini.

Seberapa besar fenomena perebutan ini? “Ada tapi sangat kecil,” katanya. Siapa pelakunya? “Ada lah tapi tidak mungkin saya sebut.” Mereka adalah kelompok minoritas tapi vokal. “Jangan salahkan masyarakat memilih orang dari kelompok ini sebagai pengurus, karena dia memang aktif di masjid,” kilahnya.

Di tengah perdebatan itu, Kepala Subdirektorat Kemasjidan Departemen Agama Hiemyar Jam’an saat dihubungi Syir’ah Online menyatakan belum tahu sama sekali soal ini. “Saya tidak paham. Saya belum tahu. Tiga hari saya tak baca koran,” katanya. [ ]



Ismail Yusanto: Memakmurkan Masjid itu Fastabiqul Khairât
Oleh : NASRUL UMAM SYAFII/SYIRAH/
15-2-2007

Jakarta- Isu perebutan masjid milik kelompok tertentu oleh kelompok lain semakin marak dibicarakan. Kehadirannya menuai kontroversi.

Kali ini Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bicara di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (15/2) siang. Ia mengatakan bahwa istilah ‘perebutan’ itu tidak tepat. “Apa sih yang direbutkan,” tegasnya.

Tapi Ismail mengakui ada beberapa masjid yang mengalami perubahan tradisinya. Tidak ada jawaban jelas keluarkan dari Ismail ketika ditanya masjid apa. Lalu siapa yang merubah tradisi itu?

“Mungkin dari kelompok Salafi, Jamaah Tabligh atau PKS. Dari HTI tidak ada,” jawabnya tegas.

Fenomena itu bagi Ismail, bisa jadi karena masjidnya sepi sehingga perlu dimakmurkan (diramaikan). Kalau masjid sudah ramai, lanjut Ismail, timbul kecemburuan dari kalangan yang merasa dilangkahi.

“Itu tidak masalah. Karena itu bagian dari fastabiqul khairât (berlomba-lomba dalam kebaikan),” tukasnya.[ ]

[Sumber:
www.syirah.com]

Friday, February 16, 2007

Meraih Prestasi dengan Cinta


Mahabbah atau cinta dalam doktrin sufi memberikan resep hidup sukses. Sekaligus trik-trik mencetak gelimang prestasi dalam kehidupan.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Nabi Isa suatu ketika melakukan pengembaraan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan tiga orang. Tubuh mereka kurus kering dan lemah lunglai. Wajah pun pucat pasi.
“Apa yang terjadi dengan diri kalian?” tanya Isa.
“Karena kami sangat takut neraka,” jawabnya.
“Semoga Allah melindungi kalian dari api neraka,” panjat Isa.

Perjalanan pun berlanjut. Kali ini, al-masîh, julukan untuk Isa, bertemu dengan tiga orang lagi. Kondisi mereka lebih parah. Tak tampak sedikitpun lemak di tubuhnya. Kelopak matanya cekung. Kulitnya kering dan bibirnya pecah-pecah.
“Apa yang terjadi dengan diri kalian?”
“Sebab kami sangat mengharap surga.”
“Semoga Allah memberikan apa yang kalian harapkan,” Isa kembali berdoa.

Pada kesempatan lain. Tanpa disengaja, Isa bertemu lagi dengan tiga orang. Mereka tampak tidak muda. Tubuhnya tidak tegap dan tenaganya tak sekuat orang usia produktif, antara 25 sampai 45 tahun. Kulitnya kendor dan keriput. Tapi, wajahnya terlihat cerah. Tak tergambar sedikit pun kesedihan dan kelelahan. Orang Jawa bilang, sumringah, tampak berseri-seri dan seakan bercahaya.

“Mengapa kalian tampak seperti itu?”
“Kami amat mencintai Allah.”
“Antum al-muqarrabûn, kalianlah orang-orang yang didekatkan kepada Allah,” kata nabi Isa.

Kisah ini diceritakan oleh Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , Tusidalam al-Mahabbah wa al-Syauq, cinta dan kerinduan. Dari kisah ini Sang Hujjatul Islam itu hendak mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual. Bukan takut akan neraka apalagi pengharapan akan surga. Allah sendiri menyatakan dalam surat al-Maidah ayat 54, “Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” Hubungan saling mencintai inilah yang diidam-idamkan para sufi.

Cinta dalam bahasa Arab disebut mahabbah atau hubb. Berasal dari kata habb, artinya biji-bijian. Biji inilah yang akan menumbuh-kembangkan tunas-tunas kebajikan dalam diri manusia. “Setelah mahabbah kepada Allah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah yang mengikutinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla),” tulis al-Ghazali.

Tangga Spiritualitas Cinta

Tak semua orang mempunyai kesetaraan atau standar yang sama dalam bercinta. Karena itu, sufi yang bergelar thawus al-fuqara (si burung merak orang-orang fakir) Abu Nasr al-Sarraj (w. 988 M) memberi rambu-rambu tingkatan spiritualitas cinta.

Pertama, cinta yang bersemi karena suatu kebaikan dan belas kasih. Sebagaimana sabda Nabi, “Hati manusia dicipta sesuai kodratnya untuk cenderung mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya.” Ini adalah jenis cinta yang jamak terjadi di kalangan orang awam.

Misal, ada orang yang sehari-hari selalu berbuat jahat dan culas. Suatu ketika, ia jatuh sakit selama bertahun-tahun. Tak ada dokter yang sanggup mengobati. Selang beberapa tahun, ternyata penyakitnya itu disembuhkan tabib yang alim. Ia baru sadar tentang kemurahan dan belas kasih Allah, lantaran sang tabib. Karena kebaikan dan kasih sayang, yang diyakini dari Allah itu, menjadi penyebab taubat. Inilah cinta seseorang yang timbul akibat kebaikan dan belas kasih yang diperoleh.

Kedua, cinta yang timbul dengan sendiri karena melihat keagungan dan kebesaran Allah. Antara lain melalui perenungan dan berfikir mendalam tentang kekuasaan dan kebesaran Tuhan, sang pencipta jagad raya. Model ini dikategorikan cinta orang-orang jujur (al-shâdiqîn) dan sanggup menangkap nilai-nilai ketuhanan yang hakiki (al-muhaqqiqîn).

Ini bisa dikiaskan seperti cinta seorang wanita terhadap pria pujaan hati. Cinta itu tumbuh karena ia yakin, pria yang dikenalnya itu sosok yang luar biasa: gagah, tinggi, hidung mancung, ganteng, sopan, dan rendah hati. Wanita itu tak peduli, apakah pria itu mencintainya apa tidak, berbuat baik kepadanya apa tidak. Yang penting, pria itu adalah sosok yang sempurna di matanya. Karena itu, ia patut mencintainya. Bisa dibilang, cinta karena kesempurnaan.

Ketiga, cinta yang merebak tanpa sebab dan alasan apapun. Orang yang mengalami tingkatan spiritual ini tak mengenal alasan. Baginya, alasan itu terbatasi ruang dan waktu. Sementara cinta yang sesungguh-sungguhnya adalah tak bisa dibatasi dan tak kenal ruang dan waktu. Seakan-akan, orang yang cinta dan yang dicintai menjadi satu kesatuan, tanpa ada tendensi apapun. Ini adalah tingkatan orang-orang jujur (al-shâdiqîn) dan orang-orang makrifat (al-`ârifîn), yang disebut cinta sejati.

Ibarat dua sejoli yang saling memadu cinta. Tulus dan tanpa tendensi apapun. Tingkatan inilah yang tertinggi dalam spiritualitas cinta. Satu misal. Jamaknya orang mencintai wanita “karena” perangai. Bagaimana jika suatu ketika perangai itu sirna, karena dimakan usia atau kecelakaan? Bisa jadi cinta akan berpaling. Karena, penyebab kecintaannya itu hilang. Cinta dengan tendensi, atau karena sesuatu, inilah yang tak dikenal pada tingkatan ketiga ini.

Beribadah tanpa Beban

Cinta kepada Allah bukan sekadar mengharapkan pahala dan menghindar siksa. Tapi, semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan kebaikan apa saja sebagai bukti cinta kepada Sang Khalik. Rumusan cinta ini seperti tergambar dalam doa Rabiah al-`Adawiyah.
“Oh Tuhan, jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana. Tapi, jika aku menyembah-Mu karena cinta Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi,” panjat sufi kelahiran Basrah, Irak, yang wafat tahun 801 M itu.
Dengan begitu, tak ada lagi beban yang melintang. Semua dijalani atas dasar cinta. Contoh dalam tingkah keseharian. Banyak orang merasa, kalau sudah menjalankan shalat, terasa plong dan bebas dari kewajiban.

Bagi al-Ghazali, orang seperti ini masih menduduki tingkatan rendah dalam ibadah. Belum masuk golongan pecinta sejati. Sebab, ia masih memandang, menjalankan kewajiban itu suatu keharusan. Jika ditinggal, maka bayangan kobaran api neraka terus menggelayuti.

Karena itu, shalat yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, serta sarana pembersih hati dari “kotoran”, menjadi tidak relevan atau tidak tepat lagi. Shalat akhirnya menjadi beban. Bila telah ditunaikan, maka beban itu hilang sementara, dan akan datang lagi saat waktu shalat tiba kembali. Begitu seterusnya.

Kalau memang begini adanya, maka suatu kewajaran, jika orang shalat tapi kelakuannya tetap bejat. Allah berfirman, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya,” QS. al-Ma`un ayat 4 sampai 5. Pengikut tarekat syadziliyah Ibnu `Atha`illah dalam Al-Hikam (beberapa hikmah) berkata, wujud shalat yang sebenarnya bukan hanya sujud dan rukuk, tapi kesempurnaan dalam menunaikannya. Tak ada kata beban, jika kewajiban dijalankan atas dasar cinta.

Meningkatkan Prestasi

Prinsip cinta ini, bukan spesifik soal ketuhanan saja. Tapi, sejatinya juga masuk dalam ranah kehidupan sehari-hari. Mungkin banyak yang belum memahami, cinta adalah kunci sukses meraih prestasi.

Misal dalam dunia kerja. Biasanya, orang merasa bekerja adalah jenuh dan membosakan. Karena itu ada ungkapan, ”Thank god it’s friday, i hate Monday.” Kebanyakan orang merasa gembira pada hari Jum’at, sebab Sabtu dan Minggu adalah hari libur. Berbeda dengan hari Senin, hari masuk kerja. Orang-orang membencinya karena banyak kerjaan menumpuk di kantor yang harus dirampungkan. Jadi, orang bekerja ibarat memikul beban.

Kalau begitu, mana mungkin seseorang berprestasi dalam pekerjaan, sementara ia menganggap, pekerjaannya itu adalah beban berat. Hasilnya pun biasanya tidak akan optimal. Yang ada malah bosan dan kejenuhan. Betul tidak? Karena itu, harus disiasati.

Jalan keluarnya adalah mencintai pekerjaan. Bekerja tak dapat dipahami hanya untuk mencari nafkah saja. Tapi, bekerja adalah perwujudan misi. Itulah hal utama yang harus ditata. Mau diarahkan ke mana dan apa yang ingin digapai? Setelah terjawab, tinggal memilih pekerjaan yang sesuai.

Lalu, coba rasakan, bekerja dengan penuh rasa cinta akan jauh berbeda dengan bekerja karena uang semata. Jika mengerjakan tugas sehari-hari dengan penuh rasa cinta, tentu hasil optimal sangat mudah diraih. Atau, kalau masih tidak percaya, tanyakan ke orang-orang sukses dengan bejibun prestasi. Tentu mereka akan menjawab, “Karena saya cinta dengan apa yang saya kerjakan.”

Ini juga bisa diterapkan dalam dunia pembelajaran ilmu. Banyak siswa tidak lulus sekolah, umumnya, karena nilai matematikanya buruk. Terpaksa ia harus tinggal kelas. Kalau ditebak, masalah hanya satu, karena ia tidak bergairah dengan matematika. Kalau sudah tidak cinta, semuanya akan sia-sia. Guru menerangkan sampai berbusa-busa pun, paling masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Berbeda dengan siswa yang nilai matematikanya sempurna. Ia pasti suka bercengkrama dengan rumus-rumus, yang kata orang memusingkan itu. Mengapa bisa begitu? Ya karena cinta.

Alkisah, ada seorang santri bertanya kepada gurunya. Ia berkonsultasi. Tiap kali ia hendak belajar, rasa kantuk selalu menyerang. Gurunya menjawab enteng, “Karena engkau tidak cinta dengan apa yang kau pelajari.” Guru itu dikenal sebagai pribadi yang alim, zuhud, dan dikenal sebagai ahli falak (ilmu astronomi). Namanya Zubair Abdul Karim (alm.), salah seorang sesepuh pesantren Qomaruddin di Jawa Timur. Ia berbagi pengalaman, “Kalau saya belajar ilmu falak, rasa lapar jadi kenyang, dan rasa kantuk jadi bugar.” Apa pasal? Sekali lagi karena cinta. []


Syirah/Edisi 62/Februari 2007.

Menimba Islam dari Negeri Tirai Bambu

 
Bukan orang Arab dan India saja yang mengembangkan Islan di Nusantara. Abad ke-15 telah berdiri rezim muslim Tionghoa di Jawa. Ia berhasil merobohkan kedigdayaan Majapahit.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sang laksamana dari Dinasti Ming, Ceng Ho, mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Ketika berlabuh di kawasan Asia Tenggara, kapal itu berkali-kali menepi ke bibir pantai, antara lain di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Jawa. Pelayaran itu terjadi pada tahun 1405 M.

Di kepulauan Nusantara, mereka berlabuh di Darmaga Samudera Pasai. Laksamana yang lahir tahun 1371 M itu menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Juga, menyempatkan diri kunjung ke Palembang dan Bangka. Iring-iringan armada kapal bergerak ke arah Timur. Ia singgah di Bintang Mas, kini Tanjung Priok Jakarta, dan Muara Jati, Cirebon, Jawa Barat, secara berurutan.

Saat menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong, salah seorang pimpinan armada, sakit keras. Mereka mendarat di pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara. Namun, Wang akhirnya memutuskan untuk menetap. Dialah cikal bakal warga Tionghoa di tempat ini. Sebagai rasa hormat, Wang mengabadikan Ceng Ho, laksamana pemimpin armada, menjadi sebuah patung, serta membangun Klenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).

Armada kembali bergerak. Persinggahan lanjutan adalah Tuban dan Gresik, Jawa Timur. Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tata cara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Lalu, armada bergerak menuju Surabaya dan mendarat tepat di hari Jumat. Di hadapan warga Surabaya, Ceng Ho didaulat sebagai khotib. “Maka tidak mengherankan jika di kota ini pada abad ke-15 sudah terdapat perkampungan Tionghoa Muslim,” tulis Ma Huan dalam Ying-yai Sheng-lan.

Cheng Ho, adalah orang yang berjasa besar dalam misi ini. Bagi masyarakat Indonesia namanya tidaklah asing. Ia orang kepercayaan Kaisar Tiongkok Yongle, berkuasa tahun 1403 sampai 1424, kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Keluarganya bermarga Ma, dari suku Hui, yang mayoritas beragama Islam. Ayahnya seorang pelaut bernama Ma Hadzi, sedang ibunya bernama Wen.

Dengan perjalanannya ia menjadi salah satu muslim Tiongkok yang berandil besar mewarnai corak Islam Indonesia. Apalagi dalam sejarahnya Tiongkok yang kini akrab disebut negeri tirai bambu ini disebut-sebut lebih dulu mengenal Islam. Sahabat Nabi sendiri yang dakwah di sana. “Sejak masa paling awal dari perkembangan agama ini, yakni abad ke-7 M,” tulis Lo Hsiang Lin dalam Islam in Canton in the Sung Period. Tepatnya pada masa khalifah Umar bin Khattab. Waktu itu, ada rombongan muslim dari Arab yang berjumlah 15 orang dipimpin oleh panglima besar yang pernah menaklukkan imperium Persi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash menghadap kaisar sambil menyerahkan sejumlah cenderamata.

Maklum jika Tiongkok mengenal Islam lebih awal, mengingat antara Arab dan Tiongkok telah terjalin hubungan perniagaan sudah sangat lama melalui jalur sutra atau yang biasa disebut silk road.

Karena itu tidak salah kalau kemudian banyak mubalig yang datang dari sana. Ceng Ho hanyalah satu, dari ratusan muslim Tiongkok yang berdakwah Islam di Indonesia. Sebelum Ceng Ho datang, telah ditemukan komunitas muslim Tionghoa bertebaran di beberapa kota di pesisir pulau Jawa. Satu misal, tahun 1292 sekitar 20 ribu pasukan perang Cina-Mongol mendarat di Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah dan Tuban, Jawa Timur sebelum mereka bertolak ke Singasari. ”Di antara puluhan ribu tentara itu, ada beberapa tentara yang muslim,” tulis Sumanto al-Qurtuby dalam Arus Cina Islam Jawa.

Cina-Mongol adalah orang-orang Cina di masa rezim Yuan-Mongol (1279-1368), bukan orang Cina berdarah Mongol. Para tentara Cina-Mongol itu, sebagian dari mereka, tidak kembali pulang ke negaranya paska peperangan. Sisa-sisa tentara itu menetap di sepanjang pesisir Jawa. Mereka itu kemudian menikah dengan penduduk pribumi dan beranak pinak. Kelak keturunan mereka akan menjadi sosok “setengah Cina-setengah Jawa” atau anak Indo.

Sebelum kedatangan Ceng Ho, kata Sumanto, relasi Jawa dengan Cina jauh-jauh hari telah terjalin, baik hubungan diplomatik maupun kontak dagang. Hubungan mesra ini terus berlanjut hingga abad ke-15. Nah, pada akhir abad ini, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia menguat.

Akhirnya di bawah kepemimpinan Jenderal Perang Tan Kim Han dari Tiongkok bersama Sunan Ngudung (putra Sultan Mesir juga ayah Sunan Kudus) dan Maulana Ishak (ayah Sunan Giri), mereka berhasil menumbangkan Majapahit. Penyerangan itu atas perintah Pangeran Jin Bun atau lebih dikenal sebagai Raden Patah (1500 – 1518 M) dari Demak.

Bagaimana mungkin kerajaan Demak yang masih seumur jagung berhasil meruntuhkan raksasa Majapahit? Waktu itu, tentara muslim Demak menjalin koalisi dengan Cina, baik ”Cina daratan”, maksudnya pasukan Dinasti Ming, ataupun ”Cina rantau” yang biasa berdagang dan berlayar. Koalisi ini bukan mustahil lantaran Raden Patah seorang Tionghoa. ”Inilah strategi Raden Patah dalam menggalang simpati publik Cina untuk mendukung pendirian Demak sebagai kerajaan Islam maritim,” tulis Sumanto dalam bukunya.

Asal usul Raden Patah sebenarnya masih kontroversi. Apa benar ia keturunan Tionghoa? Yang jelas, teks-teks lokal Jawa menyebut Raden Patah, raja pertama kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, adalah seorang muslim Tionghoa. Bedanya hanya terletak pada garis keturunan.

Teks lokal Jawa Barat, seperti Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, mengaitkan asal-usul Raden Patah dengan Cina-Mongol yang bernama Cek Ko Po. Sedang teks lokal Jawa Tengah, semisal Babad Tanah Jawi Serat Kanda dan Tembang Babad Demak, mengaitkannya dengan raja Majapahit Brawijaya yang menikah dengan muslimah Tionghoa, bernama Sio Ban Chi atau Putri Cina.

Sejak kekalahan Majapahit, tahun 1471, jaring-jaring kekuasaan Islam menyebar dari ujung Timur sampai Barat di bawah kontrol kerajaan Demak. Bendera Islam menyebar di pesisir pulau Jawa menggantikan kepercayaan Hindu dan Budha. Sumanto menyebut, kerajaan Demak saat itu, dengan istilah rezim muslim Tionghoa.

Jika dicermati, keberadaan muslim Tionghoa di Indonesia ini susah ditampik. Hamparan fakta-fakat sejarah mendukung itu. Pengelana Belanda Loedewicks, yang mengunjungi Banten pada abad 16, menyaksikan eksistensi komunitas muslim Tionghoa. Dokumen VOC menyebutnya dengan istilah Geschoren Chineezen, orang-orang Cina cukuran. Kesaksian ini juga diberikan Ibnu Battutah, pengembara asal Maghrib, yang pada pertengahan abad ke-15 berkeliling dunia menyusuri daerah pesisir, dari Arab sampai Cina dan Asia Tenggara, seperti tertuang dalam Rihlah Ibnu Baththutah, perjalanan Ibnu Battutah.

Cerita penulis, tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Jawa, juga memperkuat bukti adanya muslim Tionghoa. Di daerah-daerah pesisir pulau Jawa, masyarakatnya mengenal beberapa tokoh Cina Islam yang berperan cukup besar dalam proses masuknya Islam ke kawasan ini.

Seperti kisah Gwie-Wan, tangan kanan Sultan Hadlirin (menantu Sultan Trenggono Demak) sekaligus peletak dasar tradisi seni ukir di Jepara, populer dengan sebutan Sungging Badar Duwung. Ada juga Kiai Telingsing (Tan Ling Sing) yang merupakan patner dakwah Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus (w. 1550 M) di Kudus.

Tradisi masyarakat Cirebon menyebut Tan Eng Hoat, Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi’i sebagai tokoh muslim Tionghoa di kawasan itu. Juga, Tan Hong Tien Nio (Putri Oeng Tin), yang menjadi istri Sunan Gunung Jati (1450-1569 M), adalah pelopor dan penggerak Islam di Cirebon dan Jawa Barat.

Tak hanya itu, banyak peninggalan purbakala yang juga membuktikan adanya pengaruh muslim Tionghoa. Ini menunjukkan, bentangan abad 15-16 telah terjadi apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture, persilangan budaya antara orang Tionghoa dan Jawa. Di antara peninggalan sejarah itu adalah dua masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta: Masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tray dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan Tamiem Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Bukti fisik lain yaitu ukiran padas di Masjid kuno Mantingan Jepara, menara masjid di Pecinan Banten, arsitektur keraton Cirebon beserta Taman Sunyaragi, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, konstruksi masjid Demak terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang, semuanya itu menunjukkan adanya pengaruh budaya Cina.

Bukti-bukti sejarah di atas belum termasuk klenteng-klenteng kontroversial, yang diduga kuat oleh sejarawan sebagai bekas masjid yang dibangun masyarakat Cina pada Abad ke-15 atau ke-16. Klenteng yang dimaksud adalah Klenteng Ancol di Jakarta, juga disebut Klenteng Nyai Ronggeng, Klenteng Taking di Cirebon, Klenteng Gedung Batu di Simongan Semarang, Klenteng Sam Po Kong di Tuban, dan Klenteng Mbah Ratu di Surabaya.

Kalau begitu, apa yang perlu diragukan lagi dari kiprah orang Tionghoa dalam proses masuknya Islam di Nusantara? Karena itu, menjadi wajar jika muncul ”teori Cina”, di samping dua teori yang lahir lebih dulu: teori Arab atau Timur Tengah dan teori India.

Teori Arab adalah teori yang menyatakan Islam masuk Nusantara datang dari Arab tepatnya Hadramaut. Pertama kali dikemukakan oleh Crawfurd, kemudian diikuti oleh sejarawan Indonesia seperti Mukti Ali dan Buya Hamka. Sedang teori India yaitu Islam di Nusantara pertama kali datang dari India tepatnya Gujarat. Dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje, sejarawan Belanda.

Sementara teori Cina dipopulerkan Sumanto al-Qurtuby melalui bukunya Arus Cina Islam Jawa di tahun 2003. Akibat mempopulerkan teori baru ini, Sumanto dituduh tidak mengakui fakta kedatangan Islam dari Timur Tengah atau India. Atas tuduhan itu, Syir`ah mengonfirmasi Sumanto yang kini tinggal di Harrisonburg, Virginia, USA.

Menurutnya, teori Cina bukan berarti menegasikan dua teori sebelumnya. Upaya ini bermaksud memunculkan sisi lain dari fakta sejarah keislaman Nusantara yang selama ini telah ”dimumikan” oleh sebuah rezim untuk kepentingan tertentu. ”Saya tidak menolak kontribusi Timur Tengah dan Arab dalam proses keislaman di Nusantara. Yang saya tolak adalah pendapat yang mengatakan, hanya orang-orang Timur Tengah dan Arab-lah yang berperan dalam islamisasi Nusantara,” tandasnya.

Jadi, banyak pihak yang berjasa dalam proses masuknya Islam di Nusantara ini termasuk orang Arab, India, dan tentu saja Cina. []


Syirah/Edisi 62/Februari 2007.

Menu Sukses Ramuan Tionghoa Indonesia


Nenek moyang orang Tionghoa di Indonesia adalah perantau. Tak bisa makan kalau tak bekerja keras. Dari situ, banyak kiat sukses yang bisa dicontoh.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Lulus Sekolah Rakyat, tahun 1959, Trisno Adi terpaksa menutup buku sekolah untuk selama-lamanya. Di usia 14 tahun, bocah kelahiran Gambangan, Bondowoso, Jawa Timur itu harus menanggung beban hidup keluarga. Ia anak sulung dari lima bersaudara keluarga Tionghoa. Mau tak mau, tanggung jawab ini mesti diemban lantaran Sang Bapak telah tiada.

Trisno nekad berangkat ke Jakarta, meski ia tahu mengadu nasib di Ibu Kota bukan perkara mudah. Jual telur ayam, itulah pilihan dagang pria keturunan Tionghoa ini. Tak puas di Jakarta, ia merantau lagi dan hidup tidak menetap. Tempat yang acap disinggahi yaitu Cirebon, Bandung, dan Solo. Bukan hanya telor ayam, ia juga berjualan kain asongan di kota-kota itu.

Tahun 1963, pria yang lahir tanggal 26 April 1945 itu kembali ke kampung halaman. Mengapa? “Kita kan orang daerah, punya kewajiban untuk membangun daerah,” katanya. Pada usia yang masih belia itu, ia mendirikan Usaha Dagang (UD) Trisno Adi, yang bergerak di bidang pemasaran tembakau. Usaha ini juga untuk meningkatkan perekonomian petani tembakau di daerah sekitar Bondowoso. Inilah titik tolak karir kesuksesannya.

Trisno hanyalah satu di antara orang Tionghoa yang selalu dihubungkan dengan kesuksesan secara ekonomi. Sifat pantang menyerah, kerja keras, tak gampang putus asa, dan lihai berdagang adalah karakteristik yang biasa disematkan kepada orang-orang Tionghoa. Hampir seluruh pasar, baik tradisional ataupun modern, di penjuru tanah air tak luput dari usaha dagang milik etnis ini. Ada pasar, ada orang Tionghoa. Begitulah adagium yang berkembang. Benarkah karakter itu bersumber dari etnis Tionghoa di Tiongkok?

“Tidak!” tandas pengusaha tembakau itu yang kini sebagai ketua umum Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Menurutnya, semua orang adalah sama. Mau Tionghoa, Jawa, Sumatra, atau yang lain. Yang membikin berbeda adalah semangat sebagai orang perantauan. “Dulu, nenek moyang kita kan orang perantau. Jadi tak bisa makan kalau tidak bekerja keras. Berbeda dengan pribumi yang santai-santai saja,” tambahnya.

Benny G. Setiono, ketua umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jakarta bernada sama. Ia menyangkal kalau etos kerja itu berasal dari etnis Tionghoa di negara asal, Tiongkok alias Cina. “Di sana mereka petani miskin kok. Di sini kan sebagai perantau,” tuturnya. Menurut pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 1943 ini semangat itu karena semata-mata sebagai orang perantau, dan perantau itu biasanya lebih unggul dan lebih cakap karena punya semangat yang kuat. Jika lemah, ia pasti akan tergilas.

Etos inilah yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur Tionghoa di Indonesia hingga kini. Apa saja itu?

Pertama, cermat memilih dan hidup hemat. Orang Tionghoa biasanya mengamati dulu kebutuhan masyarakat sekitar sebelum menentukan pilihan investasi. Bila mau mendirikan usaha atau pabrik, pasti sebelumnya telah mempelajari ke mana arah produksi akan dijual, atau bahkan telah mengantongi pesanan.

Jadi, sinyalemen orang Tionghoa berhasil dalam investasi lantaran suka berspekulasi itu tak sepenuhnya benar. Bagi orang Tionghoa, Prinsip investasi mencakup pula kepastian sukses dan tidak sekadar keberanian untuk mencoba-coba.

Ini pernah dijalani Trisno. Tahun 1989, ia ekspansi ke Nusa Tenggara Barat (NTB), mendirikan CV. Trisno Adi. Tepatnya di jalan Tembuak, Narmada, Lombok Barat. Tak asal spekulasi, ia memilih lokasi ini karena pertimbangan potensi tembakau di wilayah itu. Tembakau di NTB kala itu masih minim, dan rakyatnya tergolong miskin. Padahal sebenarnya menyimpan potensi besar. Karena itu, ia membuka usaha di sana, sembari memberdayakan ekonomi para petani. “Alhamdulillah, petani di sana sekarang sudah pada haji semua,” kisahnya.

Beriringan dengan itu, hidup hemat juga menjadi prasyarat sukses. Misal, bagi orang yang penghasilannya 1000 rupiah. Kalau untuk makan 40 rupiah, maka sisanya disimpen untuk investasi di hari kemudian. “Kalau pribumi bukan. Dapat seratus mau makan dua ratus. Tapi, kalau lagi kaya, ada orang cantik matanya melirik. Kawin lagi. Kalau gak punya uang lalu dicerai,” sindir Trisno sambil tertawa terkekeh.

Kedua, gigih bertahan dan setia kawan. Goncangan bisnis pernah dirasakan Trisno di tahun 1998. Krisis ekonomi menerjang usahanya, hingga omsetnya turun lebih dari 50 persen. Tapi, berkat kegigihannya, ia berhasil bangkit.

Apapun yang terjadi, orang Tionghoa biasanya tetap berusaha berproduksi, meski berkapasitas minim. Ini bisa diantisipasi, misalnya, dengan modal cadangan untuk mencari peluang bangkit. Mengapa harus bertahan? Ada pameo menarik di kalangan Tionghoa, “Bila semua pabrik celana dalam gulung tikar, pabrik orang Tionghoa yang bertahan tentu akan menyapu bersih permintaan pasar. Sebab orang tetap harus pakai celana dalam, bukan?”

Selain itu, kawan juga sangat membantu dalam tradisi Tionghoa perantauan.
Biasanya, sebelum ke bank, orang tionghoa mendatangi temannya dulu. Utang dalam lingkungan kawan sendiri itu bukan masalah besar, yang penting nanti dikembalikan. Agar dapat melakukan ini, perlu kepercayaan. Karenanya, persahabatan dan persaudaraan sesama Tionghoa begitu erat. Hal ini juga dikembangkan di luar etnis Tionghoa. “Saking akrabnya dengan masyarakat NTB, identitas Tionghoa saya seakan lenyap. Saya malah dianggap bagian dari suku Sasak,” kenangnya.

Ketiga, berfikir panjang. Hidup itu bukan hanya untuk sesaat. Tapi, sebuah lika-liku perjuangan panjang, yang akan diteruskan anak cucu. Apa yang ditanam hari ini, itulah yang akan dipanen esok. Begitu pula dengan investasi, harus berjangka panjang untuk kepentingan masa depan. Orang Tionghoa tidak mudah tergiur keuntungan sesaat. Tapi, berfikir berkali-kali lipat dalam mengambil sebuah keputusan.

Karena cita-cita yang tinggi itu, orang Tionghoa selalu mewariskan tradisi leluhurnya secara turun-temurun. Bagaimana cara mendidik anak-anak supaya melestarikan tradisi? Tidak perlu diajari secara khusus, tapi seorang anak bisa langsung melihat tingkah laku orang tuanya. Jadi, bukan semua orang Tionghoa itu sukses dan pinter berdagang, tergantung bagaimana orang tua itu memberi teladan kepada anak-anaknya. “Kalau orang tuanya pencopet, anaknya belajar nyopet,” kelakarnya.

Pria yang memeluk Islam tahun 1988 itu berpendapat, spirit di atas tak ada hubungannya dengan agama yang dianut. Tapi, spirit Islam berperan dalam hal mengelola rizki yang diperoleh dari sisa hasil usaha. Misalnya, dalam surat al-Humazah ayat 1 sampai 4 Allah menegaskan, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka.”

Harta hasil usaha itu tak boleh hanya disimpan untuk diri sendiri saja. Tapi juga harus disedekahkan kepada orang-orang di sekitar yang membutuhkan. Katanya harus hemat? Ya, hemat itu harus. Bersedekah kepada anak yatim, bukan termasuk boros. Bersedekah di sini bukanlah paksaan, namun disesuaikan dengan kemampuan “Kalau tidak punya prinsip ini, orang merasa enak dengan diri sendiri, lupa dengan orang lain,” katanya.

Kini, usaha Trisno kian pesat. Jika pada periode awal Trisno hanya bisa menghasilkan 10 ton tembakau per bulan, kini sedikitnya 30 ribu ton diperoleh per bulan. Dulu ia hanya memasok pabrik Sampoerna, kini menjangkau hampir semua pabrik rokok di Nusantara. “Di mana ada perusahaan perlu tembakau, pasti saya datang,” ujar pria yang bernama asli Tan Tjun Tek itu. []


Syirah/Edisi 62/Februari 2007.

Macan-Macan Betina Muslim Indonesia


Tidak hanya Kartini. Banyak tokoh perempuan yang punya andil besar dalam perkembangan Islam Indonesia. Tapi sayang, nama mereka tak dikenal.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Menelisik sejarah perempuan bukan perkara mudah. Apalagi, lebih khusus, ihwal perempuan yang berperan dalam gerakan dan pemikiran Islam. Penulisan sejarah di Indonesia masih dilingkupi hegemoni tradisi patriarkhi, laki-laki berkuasa atas perempuan.

Maka tak salah lagi, jika penyebutan peran kaum perempuan dalam buku-buku sejarah sekadar kosmetik belaka. Kalaupun ada, mereka hanya berkecimpung dalam wilayah domestik, seperti dapur umum para gerilyawan, dan tenaga medis luka ringan saat perang melawan penjajah. Tak lebih dari itu.

Bagaimana dengan “ibu kita” Kartini, bukankah punya kiprah besar? Ya, Kartini tak hanya dikenal publik, tapi juga diperingati saban tahun sebagai tokoh emansipasi, pejuang kesetaraan.

Kalau ditilik, banyak juga pejuang perempuan selain Kartini. Umumnya mereka bergerak di organisasi. Tahun 1912 berdiri organisasi perempuan Poetri Mardika. Ada juga Pawiyatan Wanito di Magelang tahun 1915, Aisyiah di Yogyakarta tahun 1917, Percintaan Ibu kepada Anak Temurun (PIKAT) di Manado tahun 1917, Wanito Hadi di Jepara tahun 1919, Poeteri Boedi Sedjati di Surabaya tahun 1919, Serikat Kaoem Iboe Soematra di Bukit Tinggi tahun 1920.

Di antara para aktivis perempuan itu, Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946) adalah salah satu aktivis Islam yang menonjol. Ia dari organisasi Aisyiah. Sebelum organisasi perempuan Muhammadiyah ini terbentuk tahun 1917, Nyai Dahlan, sapaan akrabnya, bergiat untuk memberdayakan perempuan sejak tahun 1914. Kala itu, istri pendiri ormas Muhammadiyah ini membangun perkumpulan Sopo Tresno (siapa suka), khusus untuk perempuan.

Baru pada tahun 1917, nama perkumpulan itu, berubah menjadi Aisyiah. Masyarakat Kauman, Yogyakarta, adalah sasaran pemberdayaan Nyai Dahlan. Waktu itu masyarakat di sana beranggapan, perempuan di bawah laki-laki dalam segala hal, baik urusan publik maupun domesik. Ini senada dengan adagium masyarakat jawa waktu itu, “Wong wadon iku suwargo nunut, nerakane katut wong lanang”, perempuan itu masuk surga karena mengikuti orang laki-laki, begitu juga masuk neraka secara otomatis ikut orang laki-laki.

Adagium ini ditentang Sopo Tresno yang dipelopori Nyai Dahlan. Menurutnya, perempuan adalah patner kaum lelaki. Mereka sendirilah yang harus menentukan dan mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Allah kelak, bukan malah ngekor kepada kaum lelaki. Metode pemberdayaan yang dilakukan adalah melalui forum-forum pengajian.

Perempuan yang bernama asli Siti Walidah ini juga menaruh perhatian pada pendidikan. Ia mencetuskan istilah “catur pusat”, yaitu pendidikan di empat pusat: lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan tempat ibadah. Gagasan inilah yang kemudian, pada tahun 1912, ia ejawantahkan dalam bentuk sekolah, yang bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, dengan menggunakan sistem pembelajaran ala Belanda.

Memang diakui, perjuangan Nyai Dahlan tak lepas dari ormas Muhammadiyah. Inilah yang membedakannya dengan Rahmah el-Yunusiah. Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, tahun 1900 ini bergerak atas inisiatif pribadi. Tak terkait organisasi apapun.

Ia bercita-cita mendirikan sekolah khusus kaum perempuan. Karena idenya itu, Rahmah kerap dicibir masyarakat. ”Mana pula orang perempuan akan mengajar, akan menjadi guru... mengepit buku... tidak ke dapur. Daripada buang-buang waktu, akhirnya akan ke dapur juga. Lebih baik dari kini ke dapur.”

Meski dicemooh, putri seorang kadi (hakim) di Padang Panjang ini tetap kekeh pada pendirian. Ia lalu mengutarakan keinginannya itu kepada Zaenuddin Labay, kakaknya. Untuk menguji kegigihan adiknya itu, Labay bertanya.

”Apakah Amah benar-benar siap mendirikan sekolah putri? Tidak takut dengan tantangan kaum perempuan yang masih memegang teguh adat?”
”Insya Allah Amah siap dan sanggup. Saya akan menghadapi mereka. Saya harus memulainya meski memerlukan banyak pengorbanan.”

Pada akhir perbincangan, Amah, panggilan akrabnya, mempertegas, ”Jika kakanda bisa, kenapa saya tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.” Melihat keseriusan itu, Labay akhirnya mendukung cita-cita adiknya. Tanggal 1 November 1923 berdirilah Madrasah Diniyah li al-Banat atau juga dikenal Diniyah School Putri.

Sekolah yang mulanya bertempat di masjid Pasar Usang, Padang Panjang itu, kini berkembang pesat menjadi perguruan besar yang memiliki kampus modern. Bagi Rahmah, pendidikan adalah nomor satu. Karena itu, sekolah harus independen, bebas dari afiliasi ormas atau aliran politik. Politik untuk murid adalah kecintaan pada tanah air, anti penjajah, dan dilandasi dengan iman.

Rasuna Said tidak sejalan dengan pendapat ini. Perempuan kelahiran Maninjau 14 September 1910 itu adalah tenaga pengajar Diniyah School Putri. Kawan seperjuangan Rahmah. Menurutnya, murid-murid itu perlu berpolitik dan mengambil jalur perjuangan lewat situ. Karena itu ia meninggalkan dunia pendidikan dan terjun ke dunia politik, dan meninggalkan Diniyah School Putri, pada tahun 1930

Ia dijuluki ”singa betina” karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda. Juga, tercatat sebagai wanita pertama yang terkena speek delict, hukum Kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun bisa ditangkap karena omongan yang merugikan pemerintah.

Rasuna juga berguru pada Haji Rasul alias H. Abdul Karim Amrullah, ulama terkemuka di Minangkabau. Di sinilah ia memahami pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berfikir.

Pro kontra poligami pernah ramai dan kontroversi di tanah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna menganggap, kelakuan ini bagian dari pelecehan kaum perempuan.

Tidak hanya dengan orasi mulut, ia juga berjuang dengan pena. Tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya. Dalam waktu singkat, tulisan-tulisannya mampu mengobarkan obor pergerakan dan api perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajah. Ia juga menerbitkan majalah Menara Putri, yang khusus membahas seputar kewanitaan dan keislaman.

Perempuan dalam kultur pesantren juga tak mau kalah. Sholihah A. Wahid Hasyim adalah salah satunya. Ia adalah ibu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia hidup dalam lingkungan pesantren di Jombang, sebagai menantu Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (1926). Ia juga putri Bisri Syamsuri, pemangku salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur.

Sholihah ingin mendobrak tradisi perempuan-perempuan pesantren yang apatis dengan politik dan dunia luar. Dan juga menepis stigma-stigma miring seputar peran perempuan pesantren. Sepeninggal suaminya, tahun 1953, ia kian aktif di berbagai organisasi. Antara lain, menjadi pengurus Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM), kini Muslimat.

Tahun 1955 ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta. Tak lama kemudian, ia terpilih sebagai anggota DPR gotong royong, tahun 1958. Dan pada tahun 1960, ia mendirikan Yayasan Bunga Kamboja. Melalui aktivitasnya tersebut, ia ingin menyadarkan kepada khalayak, ”Ini lho bukti bahwa perempuan pesantren tak kalah saing dengan perempuan kota ataupun laki-laki.”

Perempuan yang meninggal tahun 1994 ini juga pernah mendorong Pengurus Besar NU agar bersikap tegas dalam kasus tragedi 30 September 1965. Selaku ketua pusat Muslimat, ia adalah orang pertama yang membubuhkan tanda tangan di atas surat pernyataan yang berisi kecaman terhadap aksi kekerasan tersebut. Bahkan, ada yang mengatakan, ”Andai Sholihah tidak mengawali tanda tangan, sangat mungkin PBNU tidak mengeluarkan pernyataan sikap.”

Tokoh-tokoh di atas sebagai bukti, perempuan Islam Indonesia punya andil sejarah dalam pembentukan wacana keislaman, pendidikan, dan politik Sayangnya meraka tak dikenal, bahkan tak disebut dalam buku-buku sejarah di sekolah. []


Syirah/Edisi 62/Februari 2007.

Terhalang Cita-cita Pembangunan



Pro kontra seputar isu-isu perempuan tak hanya marak dewasa ini. Poligami, trafiking, kekerasan rumah tangga, pendidikan perempuan, pernah menjadi perdebatan dahsyat antaraktivis perempuan pada masa pra kemerdekaan. Corak pemikiran mereka begitu majemuk, karena berangkat dari perspektif yang berbeda-beda.

Tapi, mengapa fakta itu tak mengemuka? Lies Marcoes Natsir menyayangkan penulisan sejarah yang miskin perspektif perempuan. Medio Januari, aktivis perempuan alumnus Amsterdam University Belanda ini menerima Abdullah Ubaid Matraji, wartawan Syir`ah, dan fotografer Adri Irianto di tempat kerjanya, jalan Adityawarman No. 40 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ia membeber gerakan perempuan Islam yang tertutup sejarah itu.

Benarkah perempuan punya andil besar?
Ya. Gerakan perempuan Islam waktu itu tak lepas dari konteks perjuangan untuk keluar dari penjajahan. Kalau mempelajari kiprahnya, berarti terkait dengan organisasi-organisasi yang berkembang saat itu.

Contohnya organisasi apa?
Di perkotaan ada Aisyiah, organisasi perempuan Muhammadiyah, yang dipelopori Nyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Ia bergerak dalam isu pengentasan kemiskinan dan kesehatan. Misalnya mencetuskan program pra koperasi di daerah Yogyakarta dan Solo. Sedang untuk kesehatan, Aisyiah membuka rumah sakit yang bernama Balai Kesengsaraan Umat. Balai ini digunakan untuk menampung korban banjir, kebakaran, kelaparan, dan bencana lain. Jauh sebelum ada koperasi dan puskesmas di masa orde baru, Aisyiah lebih dulu di era kemerdekaan.

Bagaimana dengan di pedesaan?
Yang banyak berkiprah adalah Muslimat, sayap gerakan perempuan Nahdlatul Ulama (NU). Persoalan yang banyak ditangani adalah pendidikan. Ada diskriminasi secara kultural kala itu. Laki-laki di desa lebih banyak memperoleh kesempatan pendidikan. Perempuan belum bisa masuk pendidikan formal, paling sebatas mengaji saja, seperti ilmu tafsir dan ilmu alat bahasa Arab(nahwu dan sharaf).

Aktivis yang menonjol adalah Sholihah, ibu Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Ia berjuang sampai masuk partai politik dan aktif di legislatif. Ia adalah generasi terakhir, aktivis perempuan di lingkungan Islam, yang tidak terkooptasi politik orde baru dalam mendomistikasi perempuan (memposisikan perempuan dalam peran ibu rumah tangga). Seperti program PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) dan Darma Wanita. Gerakan aktivis perempuan pada periode Sholihah masih bisa mempertahankan bahwa perempuan masuk dalam domain (persaingan) kaum lelaki.

Isu-isu apa, antara lain, yang menarik gerakan perempuan tempo dulu?
Isu poligami. Isu ini adalah tonggak pegangan yang digunakan untuk melihat agenda politik kaum perempuan. Tahun 1920-an kelompok Istri Sedar, sebuah organisasi gerakan perempuan kiri (sosialis), melarang poligami. Sikap ini dimaknai oleh aktivis perempuan Islam seakan menyerang kolompok agama. Ini ditentang Persistri, organisasi perempuan Perguruan Islam (Persis). Mereka ingin membuktikan, meski menerima poligami, Islam tidak memojokkan perempuan.

Menariknya, Aisyiah muncul dengan pendapat progresif. Kalau ternyata poligami memunculkan mudarat, kenapa tidak dibaca ulang atau dipertanyakan kembali. Selain poligami, ada juga kasus trafiking. Di Medan, Sumatra Barat, ada kampanye besar-besaran penolakan perdagangan perempuan. Para aktivis perempuan muslim dulu begitu sensitif dalam isu-isu kemanusiaan. Inilah yang tidak terjadi di masa orde baru.

Memang, apa yang terjadi saat orba berkausa?
Pada masa orba, situasi menjadi susah. Orba punya cetak biru pembangunan. Bagaimana peran perempuan dalam pembangunan? Cetak biru orba terhadap peran itu menjadikan perempuan sebagai konco wingking (teman di dapur). Sejak itu, domestikasi perempuan dilakukan secara sistematis. Yaitu melalui program yang seakan-akan melibatkan perempuan, tapi sebenarnya adalah politis. Semisal PKK, Darma Wanita, dan lain-lain.

Mengapa itu dilakukan?
Orba punya cita-cita melakukan pembangunan. Pembangunan bisa dilakukan jika stabil. Stabilitas, menurut mereka, akan terjadi jika tidak ada pertentangan dan faksi-faksi. Namun, di tengah situasi ini, kita bisa mengatakan cukup beruntung, ketika Soeharto mengambil jarak dengan kelompok Islam, terutama NU. Mereka menjadi terpinggir. NU akhirnya punya dunia sendiri. Berwacana dan bekerja di masyarakat, serta tidak mau cawe-cawe (ikut campur) dengan politik Golkar.

Apa wujud keuntungan itu?
Di balik itu, pemikiran perempuan NU menjadi maju. Mereka lebih artikulatif dan maju karena menghadapi fakta kekerasan perempuan di desa-desa, kantong-kantong pesantren. Itulah yang menantang mereka untuk memperjuangkan hak-hak prempuan. Tingkat kematian perempuan di desa-desa akibat reproduksi itu dihadapi langsung aktivis Fatayat dan Muslimat. Begitu juga dengan isu trafiking. Justru yang merespon cepat dengan melahirkan buku Fiqh Anti Trafiking itu teman-teman NU.

Beda aktivis perempuan dulu dan sekarang?
Sama saja, yang beda hanya konteks. Misal soal trafiking. Dulu disikapi dari sudut kolonialisme. Kini dilihat dari sudut pandang globalisasi. []



Syirah/Edisi 62/Februari 2007. 

Rahmah el-Yunusiah, Perempuan bergelar "Syaikhah"

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Jum`at pagi tanggal 20 Desember 1900 ia dilahirkan di Bukit Surungan Padang Panjang. Anak bungsu dari lima bersaudara ini adalah buah cinta pasangan Muhammad Yunus dan Rafi`ah. Latar belakang keluarganya, tak hanya taat bergama, tapi aktif dalam gerakan pembaharuan Islam di Sumatra Barat.

Ayahnya dikenal sebagai seorang hakim, ahli ilmu falak (astronomi) dan ulama besar pemimpin tarekat Naqsabandiyah. Dan kakaknya, Zaenuddin Labay, dikenal sebagai ulama besar sekaligus tokoh pembaharu sistem pendidikan Islam model surau di Padang.

Secara genetis, Rahmah berasal dari suku Sikumbang. Kepala sukunya bergelar Datuk Bagindo Maharajo. Selama hidupnya, ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Kemampuannya dalam membaca dan menulis Arab dan Latin diperoleh dari kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rosyid.

Jasanya terbesar adalah mendirikan Diniyah School Putri, yang bertujuan untuk mencerdaskan kaum perempuan agar menjadi pendidik yang cakap dan bertanggung jawab. Keberhasilan Rahmah ini ternyata menarik perhatian Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas al-Azhar Cairo Mesir waktu itu.

Pada tahun 1955, Syaikh Abdurrahman mengadakan kunjungan ke sekolah yang terletak di Padang Panjang ini. Rektor tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan kepada putri-putri Islam Indonesia. Ia menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan pada tahun 1923 itu.

Waktu itu, al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus perempuan. Tak lama setelah kunjungan, kampus Islam ternama itu membuka pendidikan khusus perempuan yang bernama kulliyyât al-banât.

Sebagai rasa terima kasih, Syaikh Abdurrahman mengundang Rahmah ke Universitas al-Azhar. Tahun 1957 Rahmah menunaikan haji, dan pulangnya mampir ke Kairo untuk menghadiri undangan Sang Rektor. Tak diduga sebelumnya, Rahmah ternyata mendapat anugrah yang luar biasa. Ia dianugrahi gelar Syaikhah oleh Universitas itu.

Gelar Syaikah bukanlah sembarang gelar. Ini hanya untuk orang-orang ahli dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman. Gelar yang baru disandangnya itu setara dengan gelar Syeikh Mahmoud Syalthout, salah seorang mantan rektor al-Azhar. Bahkan, Buya Hamka pernah berkata ”Selama beberapa ratus tahun ini, hanya Rahmahlah yang memperoleh anugrah gelar tersebut.”

Rahmah hidup hingga usia 69 tahun. Tepat pada jam 18.00 tanggal 26 Februari 1969, aktivis perempuan pelopor pendidikan itu menutup mata. Satu-satunya saikhah Indonesia meninggal dunia. [AUM/BERBAGAI SUMBER]


Syirah/Edisi 62/Februari 2007.


Akhlak Dulu, Baru Fikih

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Kampung itu dihuni warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mereka hidup berdampingan. Dalam hal mu`amalah, hidup bermasyarakat, perbedaan itu tak pernah mengemuka. Tapi jangan bilang kalau soal ibadah. Mereka punya pedoman fikih masing-masing yang tak bisa diganggu gugat.

Saking fanatiknya, ada dua masjid di kampung itu. Masjid ala NU dan ala Muhammadiyah. Rizal adalah warga Muhammadiyah. Pada bulan Januari lalu, ia kedatangan tamu, teman lamanya. Syamsul, nama pria itu. Ia seorang santri Langitan Jawa Timur, pesantren yang kental dengan NU.

Saat shalat Subuh, Syamsul bertindak sebagai Imam. Pada rakaat kedua, setelah iktidal, Syamsul mengangkat dua tangan seraya berdoa. “Amin… amin… amin…,” suara Rizal mengiringi doa qunut yang dipanjatkan Syamsul.

Usai shalat. Ayah Rizal masuk ke ruangan shalat di sudut belakang rumah. Ia menegur anaknya itu.

“Mengapa kamu tadi bilang amin… amin… ketika iktidal?”
“Saya mengamini doa qunut yang dibaca Syamsul.”
“Kenapa kamu shalat subuh pakai qunut? Ikut-ikutan Syamsul! Itu bid`ah. Nabi tak pernah melakukan itu. Kamu shalat subuh ulang. Shalat kamu tadi batal.”

Perdebatan terus berlangsung. Rizal melakukan itu dengan dalih “menghormati tamu”, tak lebih dari itu. Ayahnya masih tak mau terima. Rizal lalu menyitir kisah pada zaman sahabat. Alkisah, Utsman bin Affan berada di Mina dalam rangkaian ibadah haji. Ketika dhuhur tiba, ia shalat empat rakaat. Begitu pula dengan Ashar.

Peristiwa ini diceritakan sahabat Ibnu Yazid kepada Abdullah ibnu Masud. Menurut Ibnu Masud, tindakan Utsman itu adalah “musibah”. Sebab, Utsman telah meninggalkan sunnah Rasul dan Sunnah Abu Bakar dan Umar. Mereka mengajurkan shalat qashar ketika berada di Mina.

Anehnya, saat Ibnu Masud menjalankan haji. Ia tidak mengqashar dhuhur dan ashar. Mengapa? “Sekarang ini, Utsman adalah pemimpinku. Aku melakukan ini sebagai rasa hormatku kepadanya. Aku tidak menginginkan ada pertengkaran akibat perselisihan,” dalih Ibnu Masud.

“Apa benar cerita itu?” tanya ayah Rizal kepada Syamsul.
“Betul Pak, kisah itu termaktub dalam Sunan Abi Daud dan Sunan al-Baihaqi,” jawabnya. Sunan Abi Daud adalah kompilasi hadis karya Abu Daud (w. 889 M). Sedang Sunan al-Baihaqi adalah Sunan al-Baihaqi al-Kubra karya al-Baihaqi (w. 1066 M).

Ayah Rizal baru memahami. Ternyata, fikih itu tidak kaku seperti yang dibayangkan. Tapi, bisa saja berubah karena pertimbangan akhlak atau etika. Paska kejadian itu, Syamsul kerap diajak jalan-jalan oleh ayah Rizal.

“Mau ke mana Ayah, pagi-pagi kok mau naik mobil bareng Syamsul?” tanya Rizal.
“Saya kan mau menghormat tamu juga...” Gerrrr... [AUM]

Syirah/Edisi 62/Februari 2007.

21 Februari 1965, Pejuang Anti Rasisme Tertembak

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Pemuda kulit hitam, rambut kriting, dan berbadan tegap dijebloskan ke penjara. Ia terbukti terlibat beberapa aksi kriminal: perampokan, perusakan toko, pengedaran narkoba, dan perjudian. Saat itu, usianya baru 20 tahun, ia menjadi manusia liar, abai aturan, dan akrab dengan senjata api.

Malcolm X, nama pria yang masih belia itu. Lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha Amerika Utara. Nama aslinya, Malcolm Little. Ayahnya seorang pendeta baptis, bernama Reverend Earl. Waktu itu, di negeri Paman Sam sentimen ras sangat kental. Diskriminasi acap dialami warga keturunan Afrika-Amerika, yang disebut kaum negro. Ketika ia berusia enam tahun, ayahnya menutup mata, dibunuh kelompok rasis kulit putih.

Kehilangan ayah bagai kehilangan segalanya. Malcolm lepas kendali, putus sekolah, dan jauh dari etika agama. Puncaknya, tanggal 12 Januari 1946, ia tertangkap pihak berwajib dan harus meringkuk kurang lebih selama tujuh tahun.

Dua tahun berlalu. Reginald, saudara lelakinya masuk agama Islam. Ia getol mengenalkan pemikiran Elijah Muhammad kepada Malcolm. Elijah adalah pendiri Nation of Islam (NoI), organisasi perjuangan kesetaraan hak warga muslim kulit hitam di Amerika. Selama di penjara, ia kerap berdiskusi dengan Elijah melalui surat.

Ia dinyatakan bebas tanggal 7 Agustus 1952. Tak lama, ia menjumpai Elijah di Chicago dan menjadi anggota NoI. Karena kepiawaiannya, ia kemudian tenar sebagai figur pejuang anti diskriminasi ras. Ia menjadi orang nomor dua setelah Elijah di NoI.

Tapi, di tengah perjalanan, terjadi perselisihan antara Malcolm dan Elijah, ihwal prinsip NoI yang terlalu ekstrim. NoI menolak bantuan apapun dari kalangan kulit putih, meski mereka mendukung perjuangan anti rasisme. Bahkan, mereka dianggap iblis, dan yang terhormat adalah Elijah Muhammad, utusan Allah.

Menurut Malcolm, pandangan tersebut justru bertentangan dengan ajaran Islam. Agama Islam tidak membeda-bedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras dan warna kulit, serta tidak ada nabi lagi sesudah Muhammad SAW Karena itu, ia keluar dari NoI.

Ia lalu menunaikan haji ke Makkah, tahun 1964. Sepulang dari tanah kelahiran Nabi, ia mendirikan Organization of Afro-American Unity, Organisasi Persatuan Afro-Amerika, 28 Juni 1964. Di perkumpulan ini, ia tidak lagi sekadar menyampaikan pesan Islam untuk pembebasan kaum kulit hitam, melainkan untuk semua ras.

Ulah Malcolm ini ternyata membuat gerah beberapa kalangan. Tanggal 21 Februari 1965, ia berpidato di sebuah hotel di New York. Ia baru saja memulai, tiba-tiba kericuhan terjadi. Para pengawalnya berlari ke arah keributan. Malcolm sendirian di mimbar. Seorang kulit hitam kelam mengarahkan pistol ke dada Malcolm dan pelatuk pun dilepas. Dua orang lagi, dari arah berbeda, juga melepaskan tembakan. Ia meninggal dan jasadnya dikebumikan di Ferncliff Cemetery di Hartsdale, New York. [AUM/WIKI/IRIB]

Syirah/Edisi 62/Februari 2007.


 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes