Tuesday, August 09, 2005

Ahmadiyah, Perbedaan, dan Tajdid Paradigma

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sampai kini radikalisme agama terus berlanjut. Teror, pembakaran rumah, masjid, dan gereja, sering terjadi. Kini aksi radikal atas nama agama kembali terjadi. Pada 15 Juli 2005, warga Parung-Bogor dihebohkan oleh aksi yang membubarkan kegiatan tahunan Jemaat Ahmadiyah di kampus Mubarok (Parung-Bogor). Aksi bringas ini dipicu keyakinan Ahmadiyah tergolong aliran sesat dalam Islam.

Justifikasi sesat atas aliran ini pernah dilontarkan MUI melalui Keputusan Munas MUI No 05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai Jemaat di luar Islam. Saya tidak habis pikir, mengapa mereka tega melakukan itu, padahal sama-sama Islam. Apakah itu yang diajarkan Rasulullah Muhammad?

Ahmadiyah bukan agama ilegal di Indonesia dan sudah ada sejak tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Saat itu, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, (13 Maret 1953) dan dinyatakan organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Pengakuan itu didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Islam agama mayoritas bangsa ini, kenapa kita tidak bisa memberikan contoh kepada agama lain. Bagaimana kita bisa bertoleransi terhadap agama lain, sesama agama saja tidak bisa akur. Ini bukti kita belum mampu bersikap arif dalam beragama. Mengapa kita harus benci, muak, marah, bahkan ingin menghancurkan orang lain yang tidak sama dengan kita? Bukankah al-Qur’an mengajarkan perbedaan adalah sunnatullah.

Menyambung Persaudaraan

Kekerasan dengan dalih menegakkan kalimat Tuhan, harus dikikis. Dalam aksinya mereka berteriak Allahu Akbar, tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. Misi Islam bukan untuk memenangkan golongan sendiri, tapi rahmatan lil alamin. Dari sini, umat Islam harus menyadari, memahami, memaklumi, serta mengayomi perbedaan.
Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan puasa?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, sambungkan persaudaraan yang terputus, pertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, jembatani berbagai kelompok, dan kukuhkan ukhuwah di antara mereka, semua itu adalah amal saleh yang besar pahalanya. Melihat fenomena ini, Horace M. Kallen (1972) mengungkapkan radikalisme ditandai tiga kecenderungan umum.

Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan di dalam radikalisme terkandung pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat menjadikan tatanan tersebut ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. (Effendy & Prasetyo, 1998).

Keyakinan tersebut bisa bersumber dari pemahaman teks agama. Sabda Rasulullah saw yang amat populer, “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu (dengan tangan), dengan lisannya, apabila tidak mampu (dengan lisan), dengan hatinya. Dan (yang mengubah dengan hatinya) itulah selemah-lemah iman.”

Ketidakadilan

Hadits inilah yang sering digunakan kelompok garis keras sebagai dasar legitimasi saat melakukan kekerasan yang dianggap menyimpang dari koridor ajaran agama Islam. Mengubah kemungkaran dengan tangan ditafsirkan tindakan kekerasan. Padahal, tangan juga bisa bermakna kekuasaan atau otoritas yang dapat melahirkan ketentuan-ketentuan hukum agar masyarakat tidak saling menyakiti dan membunuh.

Keberadaan kelompok-kelompok gerakan keagamaan akan sangat berbahaya jika prinsip mereka sampai pada titik totalitas klaim agama atas kebenaran dan klaim agama atas keselamatan eskatologis surgawi. Pada posisi ini agama sangat potensial menjadi kendaraan dan legitimator kekerasan, lebih parah lagi bila perjuangan politik identitas mengambilnya sebagai amunisi.

Mengapa kelompok yang garang ini lebih mempersoalkan perbedaan daripada ketidakadilan yang kian merajalela? Mengapa korupsi, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan, serta ketimpangan sosial lainnya malah tidak digubris? Mari kita contohi perilaku Muhammad saw di mana prinsip amar ma’ruf nahi munkar bukan digunakan untuk semena-mena tapi justru memberi tanggung jawab masyarakat muslim untuk memerangi penindasan, tirani, dan eksploitasi. Karena itu, Islam menolak kekerasan untuk melakukan perubahan.
Muhammad hadir di masyarakat bukan sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan, tapi lebih dari itu ia memobilisasi dan memimpin masyarakat melawan ketimpangan sosial. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan penafsiran tunggal dan tidak berorientasi pada sisi kemanusiaan harus ditinggalkan, sebab akan membuahkan sikap dan tindakan yang kian jauh dari misi Islam. []


Sumber: Sinar Harapan, 09 Agustus 2005.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes