Sunday, May 31, 2009

Anomali Praktik Beragama

Rasulullah Muhammad pernah bersabda, ”Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Nabi tidak menyebutkan Islam secara spesifik, tapi menyuratkan misi kemanusiaan yang universal. Mengapa Sang Nabi begitu peduli pada akhlak atau moralitas? Tentu, ungkapan ini tidak berdiri pada ruang kosong. Kala itu, kondisi masyarakat Arab menganut sistem kapitalistik-eksploitatif. Menurut Muhammad, sistem ini tidak bermoral sebab yang kuat akan menguasai segala aspek kehidupan ekonomi-sosial-politik, sementara yang lemah terus menjadi kuli. Pada posisi ini, Muhammad diutus untuk membangun dimensidimensi revolusioner bagi pembebasan dan mentransformasi kondisi sosial yang tribal. Maka,jangan heran jika kehadiran Islam membuat kebakaran jenggot para penggede Mekkah saat itu. Mengapa?

Buku Warna Islam Indonesia ini menjelaskan bahwa kalangan kepala suku, bangsawan, dan konglomerat Mekkah sejatinya tidak mempersoalkan agama yang dibawa Muhammad. Mereka bukanlah penyembah berhala yang taat beribadah (hal. 14). Sebaliknya, mereka menentang dan tidak mengakui Muhammad karena dua sebab. Pertama, implikasi ajaran yang dibawa Muhammad menyerang sistem sosial ekonomi yang tribal dan eksploitatif, yaitu menghalalkan penindasan orang kaya kepada orang miskin, yang kuat kepada yang lemah, serta menghalalkan praktik riba.

Sementara Nabi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan ekonomi. Sebagaimana termaktub dalam Alquran,Islam amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua golongan, bukan untuk segelintir orang. Kedua, mengakui kehadiran Muhammad berarti melegitimasi pengakuan politik terhadap Muhammad sebagai penguasa politik baru.Hal ini tampak dalam tradisi berdagang masyarakat Mekkah.

Mereka tidak pernah membiarkan seseorang untuk menguasai segala aset ekonomi-sosialpolitik. Karena itu, di Mekkah tidak dikenal istilah raja. Sebagai gantinya mereka membentuk mala’a, lembaga senat yang terdiri atas perwakilan masing-masing suku. Dengan lembaga ini, semua suku memperoleh kesempatan politik yang sama (hal.14).

Konteks historis di atas menjelaskan, kehadiran Muhammad di tengah masyarakat bukan sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang diembannya, melainkan lebih dari itu. Beliau memobilisasi dan memimpin gerakan sosial untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan. Kalau begitu, bagaimana dengan keberagamaan kita? Abdullah Ubaid Mathraji, penulis buku ini, seakan membelalakkan mata kita.

Di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa ini ternyata banyak terjadi ketimpangan dalam beragama. Agama benarbenar terpukul dan bahkan terpelanting oleh berbagai problematika yang muncul silih berganti tanpa solusi. Raison d’etre diturunkannya agama yang berguna untuk menciptakan perdamaian, keharmonisan, dan ketertiban peradaban umat manusia,seakanmenghilangbegitu saja.

Agama menjadi ironi dan paradoks.Pesan-pesan perenial dan misi kemanusiaan yang dibawanya berbalik arah menjadi triggering factor bagi lahirnya keculasan dan kekacauan. Belakangan ini kasus yang acap mengemuka adalah tuduhan sesat. Stigma sesat ini, bahkan lebih dari sekadar tuduhan, tapi sudah difatwakan.

Fatwa sesat ini menimpa beberapa kelompok seperti Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal, Syiah,dan beberapa golongan yang mem-promote pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Mereka dianggap telah keluar dari pakem agama Islam. Ironisnya, atas dasar fatwa tersebut, beberapa organisasi yang mengatasnamakan pembela Islam, melakukan aksi main hakim sendiri.

Mereka menghancurkan tempat ibadah, meneror jamaah, dan mengusir secara paksa. Buku ini menyajikan dinamika dua kutub yang berseteru secara berimbang, sekaligus suara si korban. Tak hanya itu, buku ini juga menyajikan data empiris kasuskasus serupa.Kejadian seperti ini, menurut Ubaid, mencoreng sejarah kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E.

Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No 39 pada 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyuratkan kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap,sesuai hati nuraninya. Misi Rasulullah yang mengajarkan ”akhlak mulia”lagi-lagi dikebiri oleh pengikutnya.

Pengertian akhlak mulia dicitrakan hanya melalui penampakan kegiatan- kegiatan atau perayaan keagamaan yang bisa dipertontonkan. Misalnya,pergi haji,perayaan Maulid Nabi, Idul Kurban, membangun masjid mewah, dan seterusnya. Tindakan ini bukan berarti tidak baik,tapi ini menjadi buruk jika tidak diimbangi dengan ibadah yang berorientasi horizontal, habl min al-nas.

Bagaimana tidak, korupsi di Indonesia masih saja menggurita, satu per satu pelaku ditahan,masih saja belum bisa memberi efek jera kepada yang lain.Wajar saja jika Indonesia hingga tahun ini masih tergolong negara terkorup di Asia versi lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC).

Belum lagi kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan data Forest Wacth Indonesia (FWI), laju deforestasi di Indonesia salah satu yang terparah di dunia. Sedikitnya 1,9 juta hektare hutan dirusak setiap tahun selama lima tahun terakhir, atau setara dengan luas enam lapangan sepak bola per menit.

Saat ini Indonesia telah kehilangan lebih dari 72% dari wilayah alam utuhnya, dan 40% hutannya telah hancur sama sekali (hal.255). Ini artinya apa? Jelas bahwa praktik beragama di Indonesia masih sebatas ibadah ritual secara vertikal, kebanyakan umat belum mengamalkan ibadah yang berorientasi pada horizontal, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Buku ini menunjukkan berbagai paradoks beragama di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa.(*)

Peresensi,
Ahmad Sulaiman Abduh
adalah alumnus Universitas al- Azhar Mesir,
mahasiswa Kajian Timur Tengah,dan
Islam Pascasarjana Universitas Indonesia

sumber: koran seputar indonesia

Sunday, May 17, 2009

Menuju Era Wakaf Produktif

Wakaf sejatinya mempunyai kedudukan penting di mata umat Islam. Meski begitu, tak banyak umat Islam Indonesia yang menyadari hal ini. Jika disejajarkan dengan instrumen filantropi lain dalam Islam, masyarakat Indonesia lebih mengenal dan familiar dengan Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS), dibanding wakaf. Padahal, pada dasarnya, instrument wakaf tak kalah strategis untuk pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi bangsa, dan kesejahteraan sosial.

Letak strategis itu terlihat, misalnya jika dibanding zakat, salah satu ciri pembeda adalah tugas pengelola. Amil zakat berkewajiban untuk mendistribusikan “seluruh” harta zakat yang terkumpul kepada 8 golongan (mustahiq). Sedang pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap “utuh” dan mengelolanya, yang dapat didistribusikan kepada masyarakat adalah manfaat atau hasil pengelolaan dari harta yang diwakafkan (mauquf).

Nilai stategis wakaf juga dapat ditilik dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada “8 golongan”, maka wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan, untuk kesejahteraan sosial, pemberdayaan, dan membangun peradaban umat. Karena itu, keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh atau kekal, dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir abadi. Karena itu, pahala wakaf tidak akan terputus meski wakif (orang yang berwakaf) sudah tutup usia.

Berdasarkan ijma ulama, inilah yang dimaksud Rasulullah saw. dengan “shadaqah jariyah”, seperti tercermin dalam sabdanya, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim mempertegas, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf. Hakikat wakaf, menurutnya, adalah menahan harta (nilai pokok) dan membagikan hasil pengelolaannya.

Dengan demikian, wakaf mempunyai dua dimensi manfaat yang tak bisa dipisahkan, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan pendistribusian hasil pengelolaan dan mengunduh hasil investasi pahala yang ditanam di dunia untuk dipetik di akhirat kelak. Karenanya, wakaf juga disebut sebagai ibadah sosial. Ini adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Pada titik inilah yang menjadikan pahala wakaf terus mengalir.

Melongok Perwakafan di Tanah Air

Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan di bumi pertiwi ini bukanlah sesuatu yang muhal. Di Indonesia aset wakaf terbilang besar. Sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di negeri ini sebanyak 366.595 lokasi, dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal dalam mensejahterakan rakyat dan memperkuat perekonomian bangsa Idnonesia.

Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).

Hasil penelitian di atas, kalau dicermati, ternyata berbanding lurus. Para nazhir perseorangan yang tradisional (tidak profesional) dan tidak terfokus, yang jumlahnya besar itu, tentu saja tidak mampu mengelola wakaf dengan baik. Akhirnya, mereka belum mampu mengelola aset wakaf ke arah produktif. Mayoritas harta wakaf masih dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif seperti masjid dan kuburan. Dengan begitu, perwakafan di Indonesia masih jauh dari kategori produktif. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan bangsa ini. Di antara masalah-masalah perwakafan yang timbul di lapangan adalah sebagai berikut.

Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud apa adanya seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal diperbolehkannya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi. Seharusnya ini tak terjadi lagi, sebab mekanismenya sudah dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 UU No. 41 tahun 2004 dan PP No. 42 tahun 2006 pasal 49-51.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah. Jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya, bahkan rawan konflik.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan tanah wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid an sich. Padahal, masjid sebenarnya juga bisa diproduktifkan dan menghasilkan ekonomi dengan mendirikan lembaga-lembaga perekonomian Islam di dalamnya, seperti BMT, lembaga zakat, wakaf, mini market, dan sebagainya.

Saatnya Era Wakaf produktif

Melihat kenyataan di atas, kita patut mengelus dada. Di negeri yang berpenduduk Islam terbesar di dunia ini, ternyata wakaf masih belum mampu memberikan dampak sosial yang signifikan. Padahal, di seluruh belahan dunia, “wakaf produktif” sudah jadi paradigma utama dalam mengelola aset. Tak heran, jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif.

Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank wakaf. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (Warees). Warees merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, Warees mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Menarik bukan? Kalau mereka bisa, mengapa negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Mestinya, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika benar-benar serius menangani soal ini. Apalagi, pengembangan wakaf di Indonesia kini sudah menemukan titik cerahnya, sejak disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan.

Wakaf Uang, Inovasi Finansial

Salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah diperbolehkannya wakaf berupa benda bergerak, berupa uang. Tak kalah dengan wakaf tanah, perkiraan potensi wakaf uang di Indonesia juga besar. Bayangkan, dengan logika tamsil yang sederhana, jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan, dan Rp 1,2 trilyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).

Bahkan, menurut asumsi perhitungan Mustafa Edwin Nasution, jika katakanlah jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan antara 500 ribu sampai 10 juta, maka dapat menjaring wakaf uang sekitar 3 Triliyun per tahun. (Mustafa Edwin Nasution, 2005: 43-44).

Wakaf uang, dalam tataran praktis memang lebih mudah dibanding wakaf tanah. Pertama, untuk mendapatkan wakaf uang bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus menunggu jadi tuan tanah yang kaya. Kedua, jaringan atau konter wakaf uang sangat luas. Karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja untuk menyetorkannya. Berdasarkan UU no. 41/2004, wakaf uang disetorkan melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Saat ini menteri agama telah menunjuk 5 LKS sebagai penerima wakaf uang, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah Indonesia.

Keuntungan ketiga, harta yang diwakafkan tidak akan berkurang sedikitpun. Sebab, dana yang diwakafkan, akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertangung jawab, profesional dan transparan. Selain itu, ciri utama wakaf yaitu nilainya tidak boleh berkurang, harus dijaga agar tetap utuh, bahkan nazhir berkewajiban untuk memproduktifkannya.

Wakaf Uang ini didukung secara adminstratif oleh instrumen yang dinamakan Sertifat Wakaf Uang (SWU). Orang yang melakukan wakaf uang, ia akan mendapat SWU. Ini merupakan inovasi baru dalam perbankan syariah di Indonesia. Di antara manfaat dari instrument SWU ini antara lain, pertama, untuk pembiayaan pengembangan wakaf tanah yang dinilai strategis untuk tujuan produktif dan bernilai ekonomis. Ini bisa dilakukan dengan cara menjual SWU untuk penggalangan dana proyek.

Kedua, investasi strategis untuk menghapus kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan SWU, seorang wakif telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasionalisasi social capital market, tapi juga di bidang investasi sosial permanen. Sebab, deposit wakaf uang hanya dilakukan sekali saja, maka nazhir atau bank dapat menginvestasikannya dalam berbagai bentuk investasi, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Berbagai kegiatan investasi inilah yang nantinya akan menciptakan lahan kerja baru, dan berpeluang untuk memberikan kontribusi bagi penguatan ekonomi bangsa.

Jadi, kalau disadari, ternyata banyak hal yang dapat kita manfaatkan sebagai sarana menuju kesejahteraan dan mengikis kemiskinan di negeri ini, yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam. Kalau instrumen zakat sekarang ini sudah berjalan, tentunya potensi wakaf di Indonesia juga harus dikembangkan dan diproduktifkan, agar bisa berjalan seirama dan saling melengkapi demi terciptanya rakyat Indonesia makmur, adil, dan sejahtera. []

Sunday, March 29, 2009

Indahnya Fatwa ala Ulama Nusantara

Kopi dan rokok pantas dibilang sobat kental atau teman akrab. Di mana ada gelas kotor bekas kopi, tengok saja kanan kiri di sekitarnya biasanya ditemukan abu rokok. Ngudut lan ngopi, merokok sambil minum kopi, begitulah orang Jawa menyebut kebiasaan ini. Arek Jawa Timuran punya tradisi cangkruan, nongkrong di warung kecil pinggir jalan, dimana stok rokok dan kopinya selalu ada. Bocah Jawa Tengahan, khususnya Yogyakarta, akrab dengan tradisi angkringan, metangkring atau duduk dikursi agak tinggi di pinggir jalan. Ngapain? Ngudut lan ngopi. Ada yang hanya melepas lelah, ngobrol ringan, janjian dengan teman, syukuran, hingga konsolidasi politik. Semua dilakoni sambil ngopi lan ngudut.

Itu fenomena yang terjadi di jalanan atau katakanlah di sudut-sudut jalan. Di dunia pendidikan, kopi dan rokok juga tak kalah ramai penggemarnya, terutama kalangan pesantren. Kiai atau ustadz di pesantren seakan-akan ilmunya tak bisa keluar, kalau belum menghisap lintingan tembakau dan menyeruput kopi. Apalagi kalau di forum diskusi seperti musyawarah, bahtsul masail, halaqah, maka jangan coba-coba memfasilitasi mereka di ruangan tertutup apalagi berpendingin atau AC, bisa-bisa alarm otomatisnya berdering. Gambaran ini tentu saja tidak semuanya, tapi ini memang ghalib dilakoni. Saking lumrahnya, kebiasaan ini membudaya dan mendarah daging.

Namun, belum lama ini, penikmat rokok sempat memicingkan kedua alisnya. Ada apa gerangan? Mereka mendengar kabar larangan merokok dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Ada-ada saja,” begitu kelakar sebagian orang di kedai Kopi. Kalau pemerintah melarang itu sudah biasa, kan sudah tertulis di belakang bungkus rokok. Meski melarang, pemerintah tetap meraup untung besar dari bisnis tembakau. Betul tidak? Bahkan, perusahaan rokok punya sumbangsih besar dalam memajukan olah raga Indonesia, melalui dana sponsorship yang kian meraksasa itu. Ada juga yang berseloroh nakal, “Jangan-jangan nanti selain ada peringatan pemerintah, juga ada stempel haram dari MUI di bungkus rokok.” Bisa iya, bisa juga tidak.

Bermula dari fatwa MUI yang diterbitkan di Padang Panjang, akhir Januari lalu, gonjang-ganjing seputar hukum merokok mengemuka. MUI mengatakan haram, sebut saja, kiai A dari pesantren B menghukumi makruh, ustadz C dari ormas D berpendirian bahwa hukumnya bisa berubah-ubah tergantung illat, dan seterusnya. Masalah ini sejatinya bukan hal baru. Perdebatan pro-kontra hukum merokok ini, kalau ditelusuri, pernah terjadi pada abad 10 H. Perdebatan tempo dulu itu kini bisa kita nikmati melalui buku Kitab Kopi dan Rokok. Buku yang berjudul asli Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini adalah karya Syaikh Ihsan Jampes. Mungkin ada yang bertanya-tanya, Syaikh Ihsan itu siapa?

Ulama asli Indonesia ini namanya memang tak sepopuler penulis buku-buku nge-pop dan best seller sekarang ini. Kiai asal Kediri Jawa Timur ini lahir pada tahun 1901 dengan nama asli Bakri. Ayahnya, KH. Dahlan, adalah perintis pendirian pondok pesantren Jampes tahun 1886. Pada masa remaja, ia ber-rihlah ilmiyah dari pesantren ke pesantren untuk menimba ilmu. Antara lain: Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin, Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pesantren Punduh di Magelang, dan Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil Bangkalan, yang dikenal sebagai gurunya para ulama.

Semasa hidupnya, ia menelorkan beberapa karya yang diakui berbagai kalangan tentang kedalaman ilmunya, terutama Siraj al-Thalibin. Kitab ini mampu menembus pasar international, hinggi kini masih diproduksi oleh penerbit besar di Mesir, Mustafa al-Bab al-Halab. Karya lainnya yang masih terlacak yaitu Tashrih al-Ibarat tentang astronomi dan Manahij al-Imdad seputar tasawuf. Selain kitab-kitab tersebut masih ada beberapa karya yang disinyalir masih belum ditemukan. Salah satunya adalah Kitab Kopi dan Rokok.

Karya adaptasi puitik atas Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini merupakan goresan tangan Syaikh Ihsan yang telah tertimbun lebih dari setengah abad di bilik pesantren. Baru belakangan ditemukan, lalu diterjemahkan seperti dihadapan pembaca saat ini. Buku ini adalah satu-satunya buku di Indonesia, mungkin juga di dunia, yang memuat seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari: sejarah, polemik hukum mengkonsumsi, hingga kasiat yang dikandung. Fenomenal bukan? Terserah anda bagaimana menyimpulkan.

Dalam membahas pro-kontra hukum rokok, Syaikh Ihsan menyederhanakan pembahasan ini dalam dua bahasan. Pertama, ulama yang mengharamkan rokok. Antara lain: Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, al-Tharabisyi, al-Muhaqqiq al-Bujairimi, dan Hasan al-Syaranbila. Argumentasi mereka rata-rata didasarkan atas efek samping atau bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok. Misalnya, merusak kesehatan, melemahkan badan, dan juga berimbas pada pemborosan (isyraf).

Kedua, ulama yang menghalalkan rokok. Di antaranya: Abd al-Ghani al-Nabilisi, al-Syabramalis, al-Sulthan al-Halab, al-Barmawi, al-Rusyd, dan Ali al-Ajhury. Mereka berdalih bahwa rokok tidak najis, atau dapat menghilangkan kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Baginya, tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok adalah dalil bahwa menghisap dan mengkonsumsi rokok hukumnya mubah. Kelompok ini cenderung tidak menjeneralisir masalah. Hukum mubah ini adalah berlaku bagi orang yang tidak terganggu kesehatannya atau hilang ingatannya ketika merokok.

Pada posisi ini, Syaikh Ihsan tidak terjebak dalam perdebatan dua kubu. Ia malah memberikan jawaban alternatif. Ia berpendapat bahwa merokok adalah makruh. Meski begitu, hukum makruh ini tidak tetap. Bisa berubah jadi wajib, jika seandainya seseorang itu tidak atau berhenti merokok maka badannya akan sakit atau tidak bisa beraktifitas dengan baik. Bisa juga berubah jadi haram, bila alokasi uang yang digunakan untuk beli rokok itu seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarganya, gara-gara beli rokok keluarganya jadi tidak makan. (h. 78)

Di sinilah letak kedalaman ilmu dan keluwesan cara berfikir Syaikh Ihsan. Dalam menentukan hukum suatu masalah, ia tidak terjebak pada satu keputusan ekstrim, tapi memberikan alternatif jawaban sesuai dengan konteks yang berkembang. Maka tak salah bila pengasuh pesantren salaf Lirboyo Kediri KH. Mahrus Ali (alm.) pernah mengatakan, “Semenjak Syaikh Ihsan wafat sampai kini, belum ada di Indonesia, khususnya di Jawa, seorang ulama atau kiai yang dapat mengimbangi ilmunya.
Keluwesan dalam menentukan suatu hukum, juga tergambar saat kiai yang wafat tahun 1952 ini memfatwakan hukum mengkonsumsi kopi. Setelah menguraikan dua pendapat yang berseberangan, halal dan haram seperti dalam kasus rokok, Syaikh Ihsan memberikan alternatif jawaban yang luwes. Ia sependapat dengan syaikh al-Qadli Ahmad ibn Umar al-Muzjid. Jika minum kopi dengan niat agar kuat beramal dan betaqarrub kepada Allah, maka minum kopi itu bagian dari bentuk taqarrub juga. Jika niat hendak mengerjakan yang hukumnya mubah, maka mubah pula. Begitu seterusnya. Jadi, hukum perantara itu berjalan lurus dengan tujuannya. (h. 25)

Meski ditulis setengah abad yang lalu, buku ini masih menemukan relevansinya di tengah kebingungan orang awam menyikapi hukum merokok yang tengah diharamkan MUI. Bagi saya, ada sedikit celah dalam buku ini. Syaikh Ihsan dalam menganalisis kopi dan rokok selalu menggunakan referensi kitab-kitab yang ditulis oleh seorang ahli agama. Karya ini akan semakin kaya kalau saja penulisnya tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama ahli agama, tapi juga pakar-pakar ilmu kedokteran yang mengetahui analisis plus minus kopi dan rokok dari sudut pandang medis.

Kehadiran buku ini, dalam konteks kekinian, adalah bacaan alternatif di tengah buku-buku keagamaan yang cenderung menghukumi suatu masalah dengan memakai kaca mata kuda. Rata-rata masalah dihukumi dengan satu sudut pandang dan satu keputusan hukum, tanpa ada alternatif atau pilihan jawaban. Saya tidak habis pikir, ulama yang berkiprah di era revolusi fisik dan awal kemerdekaan mampu berfikir kontekstual melampaui zamannya, sementara di era keterbukaan informasi sekarang ini justeru banyak ahli agama yang berfikir tekstual. Apa ini kemunduran? Wallahu a’lam. []

Judul: Kitab Kopi dan Rokok
Judul Asli: Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan
Penulis: Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: 1, Februari 2009
Tebal: xxv + 110 halaman

sumber: wahid institute library

Wednesday, February 04, 2009

Relasi dalam Konstruksi Rumah Tangga

Ibarat panggung sandiwara, hidup ini dipenuhi lakon dengan laga yang berbeda. Agar sandiwara itu berjalan sesuai skenario dan berbuah tepuk tangan, para pemain mesti memahami dan bekerjasama dalam mensinergikan perannya masing-masing. Begitu pula dalam ranah rumah tangga, juga ada lakon yang mempunyai spesifikasi peran tak sama, satu sama lain. Mampukah laki-laki dan perempuan berbagi peran secara adil? Semoga tak sekedar wacana.

Pemeran pada aras ini setidaknya terdiri dari unsur bapak, ibu, dan anak. Masing-masing disyaratkan bekerja sama dan memainkan peran secara selaras dan seimbang agar dapat meraih tujuan bersama, keluarga sakinah.

Term keluarga sakinah adalah nomenklatur yang akrap di telinga umat Islam Indonesia untuk menggambarkan prototipe keluarga yang bahagia nan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Istilah itu merupakan gabungan antara bahasa Indonesia dan serapan bahasa Arab. Kata keluarga dalam bahasa Arab diistilahkan dengan usrah, yang berarti sebuah ikatan. Sedang sakinah asli bersumber dari bahasa Arab, artinya ketenangan dan ketentraman, atau anonim dari goncangan. Kalau begitu, keluarga sakinah berarti pertalian antar individu dalam rangka menggapai ketentraman dan kebahagiaan.

Jadi, berdasarkan pemaknaan dan penggambaran tamsil di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa antar anggota dalam biduk rumah tangga itu terdapat keterikatan dan ketertarikan satu sama lain, sehingga terbentuk suatu konstruksi sosial yang damai dan sejahtera. Ini selaras dengan isyarat Allah dalam al-Quran. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir,” firman-Nya dalam surat al-Rum, ayat 21.

Menurut Imam al-Qurtubi, ayat ini sejatinya menggambarkan bahwa konstruksi sosial dalam lingkup sederhana adalah tatanan keluarga. Ruang lingkup ini sangat menekankan pentingnya bangunan keluarga yang dipenuhi dengan ketenangan dan ketentraman jiwa serta kesejahteraan dalam naungan ridha ilahi. “Berangkat dari titik inilah, sebuah keluarga itu akan berproses untuk menghasilkan buah yang bernama kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah),” tulis al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran. Sekilas, konsep keluarga sakinah mudah untuk dipaparkan. Tapi dalam praktiknya, tak semudah membalik telapak tangan. Buktinya, masih banyak orang yang mahligai rumah tangganya terguncang badai, bahkan kandas di tengah jalan.

Berdasarkan data Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI tahun 2008, sebagaimana dilansir detik.com, Indonesia masih berada pada peringkat teratas dalam penghitungan angka perceraian tiap tahunnya, dibandingkan negara berpenduduk mayoritas Islam di dunia. Jika dirata-rata, dalam tiga tahun terakhir ini, disebutkan bahwa setiap 100 pasangan yang melangsungkan akad nikah, maka 10 pasangan memutuskan untuk bercerai. Faktor utama yang memicu adalah relasi suami-isteri yang timpang atau tidak adanya keseimbangan hubungan, baik dalam bersikap maupun berkomunikasi.

Berawal pada titik inilah kemudian muncul benih-benih ketidakcocokan dan ketidakharmonisan paska pernikahan, yang nantinya berujung pada perceraian. Sikap inilah yang justru menciderai tatanan dalam keluarga sakinah. Jelas, keluarga sakinah tak dapat dibangun tanpa adanya keseimbangan relasi antara suami dan isteri, yakni hubungan kesetaraan yang dibangun berdasarkan saling pengertian, saling memberi, dan saling percaya. Kesetaraan dalam hal ini bukan berarti sama rata, tapi proporsional dalam memenuhi kewajiban dan memperoleh hak sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Relasi Suami dan Isteri

Allah mengisaratkan pentingnya keseimbangan relasi suami dan isteri ini dalam kehidupan berumah tangga dengan perumpamaan yang menarik. Relasi ini dalam al-Quran diilustrasikan laksana pakaian (libas), satu sama lain saling menyandang. Ibarat ini menunjukkan urgensi pakaian dalam kehidupan. Selain sebagai pelindung tubuh, pakaian juga dapat memberikan kehangatan, keindahan, serta menutup kerahasiaan dan kekurangan. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”

Selain itu, Allah juga membuat perumpamaan bahwa ikatan suami-isteri dalam perkawinan ibarat perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). Seperti tertera dalam al-Quran, “Bagaimana kamu (tega) mengambilnya (harta isteri dari mahar), Padahal di antara kamu sudah berhubungan intim, dan mereka (isteri-isteri) telah menerimanya (mahar) dari kamu sekalian melalui perjanjian (pernikahan) yang kokoh,” firman-Nya dalam surat al-Nisa’ ayat 21.

Sebuah perjanjian jamaknya digunakan untuk mengatur kesepakatan-kesepakatan komunal untuk sebuah kebaikan bersama, di mana satu sama lain tidak diperkenankan menciderai ikatan perjanjian tersebut. Begitu pula dengan ikatan dalam perkawinan. Ini adalah ikatan suci yang tak diperkenankan untuk dinodahi satu sama lain. Untuk menjaga kesucian ikatan dan demi langgengnya sebuah bahtera rumah tangga, al-Quran menegaskan agar dua belak pihak yang berjanji, dalam hal ini suami dan istri, harus benar-benar saling memperlakukan pasangannya dengan tiga sikap, yang tercermin dalam al-Quran.

Pertama, harus saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf). Ini merupakan sikap dasar yang harus dipahami dan dijalankan dalam relasi suami-isteri. Ketika ada kehendak negatif atau kebohongan yang ditutup-tutupi dalam rumah tangga, lamat-lamat pasti akan menyembul ke permukaan dan menjadi pemicu masalah. Hal inilah yang mesti dihindari. Jadi, perbuatan baik yang disertai dengan niat baik pula adalah kunci harmonis dalam menjalin relasi suami-isteri dalam agama Islam.

Dalam surat al-Nisa ayat 19, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi (dengan menikahi) perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Ayat ini secata tegas menunjukkan cara bergaul yang baik dalam keluarga. Pada intinya, baik suami maupun isteri harus saling menghormati dan berbuat baik. Jangan sampai ada dusta dalam rumah tangga. Pada ayat di atas disebutkan larangan menikahi perempuan dengan jalan paksa atau tidak sepenuh hati dari kedua belah pihak, tidak saling menyusahkan, tidak mudah tersulut emosi, dan anjuran untuk selalu saling berbuat baik. Sikap ini adalah modal utama yang mesti dikantongi oleh pasangan suami-isteri dalam membangun sebuah rumah tangga.

Kedua, harus ada keterbukaan dan kerelaan di antara kedua belak pihak (taradhin). Dan ketiga, mengembangkan tradisi dialog atau musyawarah (tasyawurin) dalam mengelola dan menyelesaikan apapun masalah yang timbul dalam rumah tangga. Jika sikap pertama digunakan sebagai benteng preventif untuk mencegah timbulnya masalah atau perselisihan, maka sikap kedua dan ketiga ini berfungsi untuk meredam konflik dan mencari jalan keluar yang baik, yang disetujui kedua belah pihak.

Dalam kehidupan rumah tangga, menghindar dari masalah adalah suatu yang muhal. Tak terkecuali, suasana rumah tangga dalam konstruksi keluarga sakinah, pasti ada masalah yang malang-melintang. Tapi, yang membedakan adalah kemampuan untuk menghadapi dan mencari solusi atas masalah tersebut. Meski demikian, bukan berarti kita harus selalu mencari masalah. Sekuat mungkin, suami dan isteri harus menjaga keharmonisan keluarga, tapi kalau pun ada masalah, keduanya harus membicarakannya dengan baik-baik. Kerelaan untuk duduk bersama dan dialog dari hati-ke hati adalah jalan terbaik dalam menghadapi problem rumah tangga.

Al-Quran telah menyuratkan dengan jelas bahwa kebijakan-kebijakan dalam rumah tangga itu harus diputuskan dengan kerelaan dan atas dasar musyawarah. Misalnya, keputusan isteri untuk menyapih anak sebelum usia dua tahun, harus di dasarkan sikap di atas. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 233, “...Maka apabila keduanya (ayah dan ibu, atau suami dan isteri) menghendaki (untuk) menyapih (anak mereka sebelum usia dua tahun), dengan kerelaan dan atas dasar musyawarah, maka tidak ada dosa bagi keduanya...”.

Dengan adanya ketiga sikap di atas, relasi suami dan isteri dalam keluarga akan berjalan secara adil dan tidak timpang. Berarti, tidak ada dominasi satu pihak, baik isteri maupun suami, dalam sebuah keluarga. Keduanya terlibat aktif dan dinamis dalam mengurus rumah tangga. Ada pembagian dan pembedaan tugas yang mesti diputuskan berdasarkan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Tentunya pembagian tugas itu atas dasar kesepakatan dan saling rela. Begitu pula saat menghadapi masalah, selalu dapat diselesaikan dengan lapang dada dan kepala dingin. Bahkan, semua perbedaan yang ada dalam keluarga menjadi sebuah sinergi yang menguntungkan dan menguatkan satu sama lain.

Relasi Orang Tua dan Anak

Di samping keseimbangan relasi suami dan isteri, keluarga sakinah juga mensyaratkan relasi yang harmonis antara orang tua dan anak sebagai bagian dari elemen keluarga. Keharmonisan relasi ini telah digambarkan oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagaimana ditulis Imam al-Turmudzi dalam Sunan al-Turmudzi, “Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang tua tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang muda tidak menghormati yang tua,” sabda Nabi.

Hadis ini, menurut pandangan Ismail Hasani dalam Nazhariyat al-Maqashid, mengisyaratkan tentang keseimbangan dalam pemenuhan kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Kewajiban orang tua adalah menyayangi anak, sedang haknya adalah memperoleh penghormatan dari anaknya. Begitu pula sebaliknya. Anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, serta ia berhak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya.

Keseimbangan relasi ini bersifat resiprokal, timbal balik. Karena itu, kedua belah pihak sebaiknya tidak saling menunggu dalam melaksanakan kewajiban. Jadi, keduanya harus proaktif dalam melaksanakan kewajiban agar haknya terpenuhi. Hak akan diperoleh jika kewajiban telah dilaksanakan dengan baik. Sebagai orang tua, sudah seharusnya menyayangi anak dengan segala perhatian. Begitu juga seorang anak harus menghormati dan memuliakan orang tuanya dengan ketulusan, bukan karena keterpaksaan.

Keseimbangan relasi harus berjalan dengan selaras. Jangan mentang-mentang orang tua, kemudian berlaku semena-mena atau seenaknya kepada anak. Jika demikian, maka jangan harap anak akan menghormati orang tua. Ini termasuk gaya asuh yang penuh dengan tuntutan. Biasanya, orang tua akan menghukum dengan kekerasan bila anak tidak menunjukkan kepatuhan. Cara mendidik seperti ini harus dihindari. Agar keseimbangan relasi tetap terjaga, sebaiknya orang tua mendidik anak dengan metode pendisiplinan yang bersifat suportif, tidak menghukum. Mereka memonitor dan menetapkan standar yang jelas bagi perilaku anaknya, bersifat asertif, tetapi tidak restriktif.

Di samping itu, pola pengasuhan anak juga harus dilakukan dengan seimbang, antara ayah dan ibu. Tidak benar, jika anak diserahkan seratus persen menjadi tanggung jawab ibu, atau sebaliknya. Keduanya harus berperan seimbang. Sebab anak akan belajar hal yang berbeda dari dua figur dalam sebuah keluarga. Pada ibu, satu misal, anak lebih banyak belajar tentang kelembutan, kasih sayang, kontrol emosi atau sifat-sifat feminim yang lain. Sementara pada ayah, misal lain, anak akan belajar kerja keras, ketegasan, kekuatan fisik, dan sifat maskulin lainnya.

Jika peran orang tua sudah berjalan dengan baik, anak jangan sampai lupa dengan kewajiban-kewajibannya. Seperti disebutkan dalam al-Quran, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia,” firman Allah surat Al-Isra, ayat 23.

Ayat ini memberi panduan ihwal kewajiban anak kepada orang tua. Karena kebaikan dan kasih sayang yang telah dicurahkan orang tua, maka seorang anak harus menghormati, berbuat baik, mentaati, dan bertutur kata yang sopan dan santun kepadanya. Ini sudah menjadi kewajiban anak yang harus ditunaikan, yaitu taat dan hormat kepada orang tua. Perlu digaris bawahi, Ketaatan ini adalah ketaatan yang proporsional, bukan ketaatan yang membabi buta. Jika yang terjadi adalah ketaatan buta maka keseimbangan relasi orang tua dan anak menjadi timpang. Supaya tetap selaras dan seimbang, maka koridor ketaatan ini mengecualikan dua perkara.

Pertama, tidak melanggar perintah Allah. Ketaatan anak kepada orang tua wajib ditunaikan selama orang tua tidak menyuruh anaknya untuk berbuat maksiat, kejahatan atau hal-hal lain yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya perintah untuk mencuri dan berzina. Ini tak perlu dilakukan, meski yang menyuruh adalah orang tua, sebab dilarang oleh agama Islam. Ketentuan atau batas-batas ketaatan ini diterangkan dengan jelas dalam Hadis Nabi. “Tidak berlaku ketaatan untuk hal-hal kemaksiatan kepada Allah, ketaatan hanya untuk hal-hal yang baik,” sabda Rasulullah, seperti dilansir Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud.

Kedua, perintah tersebut tidak untuk menzalimi atau mencederai hak-hak kemanusiaan anak. Misalnya, orang tua menyuruh anaknya untuk mengemis di jalanan di waktu sekolah. Perbuatan orang tua ini jelas bertentangan dengan hak asasi anak, yaitu memperkerjakan anak di usia dini. Ini bertentangan dengan hak anak seperti tercantum dalam UU No. 23 tahun 2002, pasal 4 dan UU No. 13 tahun 2003, pasal 68. Jika anak tidak dikenalkan dengan pendidikan, ia akan sengsara di kemudian hari. Selain itu, pendidikan merupakan hak dasar anak yang harus dipenuhi orang tua selaku pengasuh.

Allah berfirman dalam surat al-An’am, ayat 140. “Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”

Abdullah Nasih Ulwan berpendapat, tidak memberikan kesempatan sekolah kepada anak-anak adalah bagian dari tindakan membunuh anak karena kebodohan. “Mengabaikan pendidikan anak-anak atau membiarkan mereka luput dari pantauan orang tua juga termasuk tindakan membunuh anak-anak,” tulisnya dalam al-Takaful al-Ijjtima’i fi al-Islam.

Keluarga Sakinah Nir-Kekerasan

Andai saja relasi suami-isteri, serta orang tua-anak dapat dijalankan dengan seimbang, tentu perwujudan keluarga sakinah adalah sebuah keniscayaan. Apapun masalah dalam keluarga, baik yang datangnya dari pihak suami, isteri, bahkan anak, tentu dapat diselasaikan dengan baik asal didasari dengan semangat kasih sayang, keterbukaan dan musyawarah, sebagaimana disinggung di atas.

Keluarga sakinah selalu mengedepankan sikap yang terbuka dan dialogis dalam menyelesaikan masalah. Cara kekerasan sungguh tak dikenal dalam kamus keluarga sakinah. Sebab, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah menambah masalah baru. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga seringkali dipelintir atau dipolitasi pihak-pihak tertentu, dianggap selalu “boleh”, dalam rangka mendidik. Kasus yang acap mengemuka adalah kekerasan suami atas isteri.

Dalam al-Quran disebutkan, “...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar,” firman-Nya dalam surat al-Nisa, ayat 34. Ayat inilah yang dijadikan dalil sandaran ihwal diperbolehkannya suami memperlakukan isteri dengan kekerasan, yaitu menghadiahi pukulan, demi kebaikan dalam rumah tangga. Benarkah suami diperkenankan memukul isteri?

Muhammad Thahir Ibnu Asyur membenarkan hal tersebut, tapi dengan satu catatan, tujuan utamanya yaitu untuk memperbaiki biduk rumah tangga. “Berarti, ketika pukulan itu tidak efektif lagi dalam memulihkan harmonisasi kehidupan dalam rumah tangga, maka wewenang itu bisa dicabut,” ungkapnya dalam Maqashid al-Syariah. Ibnu Arabi juga punya pendapat yang senada. Ia mengemukakan perintah memukul pada ayat di atas adalah menunjukkan kebolehan saja. Bahkan, ia sendiri menghukuminya makruh dengan dalih hadis Nabi yang berbunyi, “Jangan sekali-kali seorang di antara kamu memukul isterinya, layaknya hamba sahaya, padahal di penghujung hari ia mungkin akan menggaulinya,” kutipnya dalam Ahkam al-Quran.

Hadis yang dikutip Ibnu Arabi itu diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari. Ini merupakan peringatan tegas dari Nabi agar para suami tidak memukul isterinya. Tak sekedar bersabda, Nabi juga mempraktikkan hal ini kepada isteri-isterinya. Nabi tidak pernah sekalipun memukul mereka, padahal masalah atau ketegangan hubungan juga beberapa kali mewarnai rumah tangga Nabi. Ini seperti dituturkan Aisyah dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan Abu Daud. “Bahwa Rasulullah tidak pernah memukul pembantu dan tidak juga perempuan.”

Begitu pula dalam mengasuh anak, orang tua sebisa mungkin menghindari cara-cara kekerasan dalam mendidiknya. Anak-anak yang diasuh dengan cara kasih sayang dan kehadirannya disambut baik (accepted) oleh lingkungan keluarga, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang sopan, berjiwa sosial, dan penuh pengertian. Berbeda halnya dengan anak yang dididik dengan kekerasan seakan-akan kehadirannya itu ditolak atau menyusahkan keluarga (rejected), ia akan berekembang menjadi individu yang egois, emosional, lepas kontrol dan cenderung destruktif. Karena itu, semakin erat hubungan antara orang tua dengan anak, semakin pandai pula anak mengenali jati diri dan berkomunikasi dengan orang lain di lingkungannya.

Jadi, pada dasarnya segala bentuk tindakan kezaliman dan kekerasan terhadap manusia tidak akan diperkenakan atau diharamkan dalam Islam. Allah berfirman dalam surat al-Syura ayat 42. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih.” Ayat ini juga dipertegas dengan Firman Allah dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim, “Wahai hamba-hambaku, aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi, satu sama lain.”

Dengan begitu semuanya menjadi jelas. Dalam konteks relasi suami dan isteri, serta orang tua dan anak, pemukulan hanya diperbolehkan ketika nyata-nyata telah memberikan dapak positif dalam proses pendidikan. Namun jika tidak membawa dampak pada kebaikan, maka hukum pemukulan dikembalikan ke hukum semula, yakni haram. Makna sederhananya, banyak jalan yang bisa ditempuh untuk memulihkan hubungan suami-isteri dan mendidik anak, dengan tanpa cara-cara kekerasan. []


Tulisan ini diterbitkan di http://www.bimasislam.depag.go.id/?mod=article&op=detail&klik=1&id=247

Monday, February 02, 2009

Israel-palestina; Konflik yang Mengakar

Hidup secara damal bagi rakyat Palestina seakan menjadi cita-cita utopia belaka. Sejak tumbuhnya gerakan Zionis yang dipimpin Theodore Herzl (1860-1904) dengan seruannya kepada bangsaYahudi yang menusuk hati rakyat Palestina, “Kamu sekalian tidak akan menemukan kebahagiaan bila masih ada penduduk selain Yahudi di tanah Palestina. Konon, bangsa Yahudi sudah berperadaban sebelum berkembangnya peradaban Yunani, dimana para Nabi dan Rasul Tuhan diutus di sana. ”

Dalam cerita Nabi dan Rasul, bangsa Yahudi adalah keturunan dari bani Is¬rael yang sangat terkenal de¬ngan pembangkangan dan kegigihan ia memegang ajaran nenek moyang (Nabi Ishak) dan menentang otoritas kebenaran baru yang mengusik ke-establish-an bani Israel. Mereka tidak mau diintervensi oleh siapa-pun karena pemegang otoritas Tuhan adalah bangsa Israel.

Keyakinan mereka yang paling mendasar sampal kini adalah promised land (tanah air yang dijanjikan) sebagai bukti kemerdekaan kaum Yahudi dan kebebasan untuk mengartikulasi eksistensi Yahudi dalam percaturan politik internasional. Selama berabad-abad mereka berdiaspora (pengembaraan) dan menjadi kaum monoritas dari satu negara ke negara lain, mereka tempuh hanya untuk “tanah air”. Sampai pada tahun 1896 kaum Yahudi mendirikan gerakan Zionis yang dipelopori oleh Theodore Herzl, yang bercita-cita mendirikan kedaulatan negara Yahudi sebagai upaya untuk menyatukan seluruh kaum Yahudi yang tercerai-berai di selu¬ruh Dunia.

Gerakan ini berlanjut sampai turunnya rekomendasi dari Herzl pada kongres kedua (1906), untuk mendi¬rikan negara bagi rakyat Ya¬hudi di tanah Palestina, yang dianggap sebagai promised land. Bagaimanakah tanggapan pemerintah Palestina terhadap keputusan kongres gerakan Zionis? Dalam Dilema Israel (2002) Musthofa Abd. Rahman menulis bahwa kelicikan gerakan Zionis dalam mengelabuhi Palestina dengan mengambil peluang pada Perang Dunia I (1914-1918), ternyata membuahkan hasil. Mereka main mata (bersekutu) dengan Inggris untuk menundukkan Jerman. Kompensasi yang dijanjikan Inggris ketika itu adalah se-buah negara di tanah Pales¬tina bagi gerakan Zionis.

Dari situ, terjadilah semacam konspirasi internasional yang membentangkan jalan bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina. Memang sejak dari awal, Inggris terlibat dalam pembentukan negara Israel di Palestina. Namun disamping itu, ada dua hal yang sangat determinan dalam pemben-tukan negara Israel. Pertama, Perjanjian Sykes-Picot (1916) antara Inggris dan Perancis, yang membagi peninggalan dinasti Ottoman (Khalifah Utsmaniyah) di wilayah Arab. Di antaranya, Palestina dijadikan status wilayah internasional. Kedua, Deklarasi Balfour (1917) yang menjanjikan sebuah negara Yahudi di ta-nah Paleetina pada gerakan Zionis.

Sampai pada akhirnya terwujudlah impian bangsa Yahudi melalui Majelis Umum (MU) PBB dengan mengeluarkan resolusi No 181 pada 29 November 1947 yang menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi Yahudi dan Arab. Dengan legitimasi resolusi PBB, maka Davin Ben Gourin memproklamirkan keberadaan negara Israel di tanah Pa¬lestina. Bagaimanakah sikap politis bangsa Arab terhadap kebijakan PBB melalui re¬solusi 181?

Ternyata Arab menolak dan memilih berperang dari pada berdamai dengan Is¬rael. Maka meletuslah berbagai peperangan yang berkepanjangan antara Arab (pro-Palestina) dan Israel yaitu dimulai pada tahun 1948, perang Suez (1956), perang Arab-Israel (1967 dan 1973), dan perang Leba¬non (1982). Ini merupakan realitas sejarah krisis politik dan perdamaian antara Is¬rael dan Palestina. Dalam peperangan Arab-Israel (1967) PBB merekomen-dasikan genjatan senjata de¬ngan mengeluarkan resolusi PBB No 242. Atas resolusi tersebut, pemerintah Israel menanggapi dengan ucapan, “Resolusi PBB nomor 242 merugikan Israel secara po¬litis namun melindungi kepentingan dasar kita.”

Pergumulan sejarah masa lalu yang begitu melekat dan kental antara dua kebudayaan atau tradisi (Yahudi dan Islam) memicu terjadinya krisis berkepanjangan dl tanah Palestina mulai dari tahun 1947 sampai sekarang, masalah bertambah ruwet dan tak kunjung selesai. Berbagai upaya sudah dilakukan demi menegakkan perdamaian namun semuanya itu hanyalah upaya menegakkan benang basah. Misalnya dengan kesepakatan Oslo tahun 1993 antara Israel dan Palestina, dengan niat menabur perdamaian, namun yang dipetik dari kesepakatan itu adalah tewasnya PM Yitzhak Rabin di ta¬nah ekstrimis Yahudi de¬ngan mengatasnamakan perintah dari Tuhan.

Kalau dicermati, gejala fundamentalisme Ya¬hudi kian hari memang kian menguat. Seiring dengan naiknya orang-orang fundamentalis dalam kancah perpolitikan Israel, maka semakin tipis pula upaya untuk menuai perdamaian di tanah Palestina. Ini menunjukkan bahwa gejala fundamentalisasi tidak hanya melanda pejuang Palestina—dengan gerakan-gerakan “kamikaze”-nya dan semangat “jihad” melawan Israel—tapi juga dikalangan bangsa Yahudi. Apalagi dengan gerakan new Zionism yang mencoba untuk mereinterpretasikan siapa yang dapat disebut sebagai Yahudi (Jew). Adajuga golongan pembaharu (Re¬forms) yang tidak mementingkan gen, namun lebih menekankan hubungan emosional keyahudian (Jewisness).

Dalam perpolitlkan Israel, kekalahan Ehud Barak (Partai Buruh) dari Ariel Sharon (Partai Likud) pada pemilu 2001, semakin memberikan kemapanan atas gerakan fundamentalisme Yahudi dan merupakan langkah mundur bagi pergerakan dan perjuangan rakyat Palestina yang mendambakan perdamaian. Yang, perlu dipertanyakan, mengapa Sharon bisa memenangkan pemilu di Israel saat proses perdamaian mencapai titik nadir? Naiknya Sharon merupakan mirnpi buruk bagi bangsa Arab (baca: Palestina). Tam-pak dari pernyataan Sharon; “Solusi terbaik penyelesaian konflik Arab-Israel adalah melalui jalur militer.” Ternyata, sampai detik ini, perebutan truth claim atas promised land antara Israel dan Palestina tetap berkecamuk yang suatu saat on dan off. [arsip, pelita, 2002]

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes