Monday, March 31, 2008

Aceh Waqf Fund, One Ancestor Path

Pilgrim community fate from Aceh was luckily. Since year 2006, all of them exempted of housing rent expenses. That time, they were provided to lent fund immediately more than 12 milliards, to pay housing rent 3.575 communities. See to outgrow that fund, we will find a question, who takes it and from where the source. Of course, that fund is from cash of Aceh Waqf at Arab Saudi, that the source was extractive from Aceh ancestor inheritance.

Yes, he is Habib Buga Asyi, an Aceh citizen lives in Mecca Arab Saudi on 1224 of the Islam calendar or about year 1800 Christian, or Usmaniah's governance term. Habib has a piece of land at Qusasiah area, close from Masjidil Haram. But, Habib's Land was stricken masjidil Haram extension project doing by Arab Saudi governance. It didn't mean that Habib's land was loss. Arab Saudi governance gave Habib big compensation. Then, that money was utilized to buy two-farm location at Ajyad region, 500 and 700 meters from Masjidil Haram.

Waqf (plural: Awqaf) is a form of Sadaqah Jariya (ongoing charity) in which a gift is donated to bring a charitable return. The original gift is invested to make a profit for the cause to which it is donated, but cannot be sold. If for example, a field is given as a Waqf, the crops and benefits derived from it can be used by the charity, while the field is held intact as the original investment.

Whiles Habib Buga Pass Away, he escrowed that his entire asset was put up (in the name of waqf) to Aceh society that gets pilgrim to go to Holy Land. So, Saudi government can't shift this fund to anybody but for Aceh citizen.

That time, this waqf fund was brought off with good management. Than beginning available progress while headed by Abdulgani Al Asyi, management of waqf fund was rather clear but Adulgani Al Asyi that also officiates as chairman of this Arab League Red Cross not long live. He died three last year.

After Abdulgani died, Saudi government via judgment law court, point two person as Nadzir (organizer) waqf fund, Abdulatif Baltu Munir Abdulgani Al Asyi, Abdulgani Al Asyi`s son. While headed by both, Aceh waqf fund gets transparent. Now the result of management can utilitarian to free pilgrim housing cost Aceh community.

According to information from Munir Abdulgani Al Asyi, Habib waqf asset start with every consideration been brought off while there is investor that most draw for build hotel at that farm. From that case, waqf asset becomes getting productive.

First farm with distance 500 meters from Masjidil Haram was built by five-star hotel with surrounding room 350 units. Its plan, this year will finish and bring off hotel management up to 17 years.

Second farm with distance 700 meters of Bastards was built by five-star hotel with surrounding room 1.000 units. This hotel management also been done by one management for 20 years. After term contracts up to 17 and those 20 years, this hotel is turned over to Nadzir to be brought off independent.

Beginning 2006 or 1427 of the Islam calendar, community from Aceh Embarkation gets supplementary money payment housing rent from Nazhir (organizer) Habib Buga Asyi waqf.

From gain that gotten by it, organizer also buys two farm acreage 1.600 square meters and 850 square meters at Aziziah Area. This both of farm will build special housing for community from Aceh Embarkation. Hopefully that development will finish quickly and community from Aceh can stay that building. (aum/dtk/ant)

Sunday, March 23, 2008

Rasyi, Murtasyi, Raaisy itu Sama Saja

Di tengah mulai menguatnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di Indonesia, tiba-tiba kasus suap di Kejaksaan Agung kembali mengguncang meja hijau. Ketua tim penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan menerima uang sebesar US$ 660 ribu (setara Rp 6,2 miliar). Diduga uang tersebut ada kaitannya dengan kasus BLBI yang dihentikan penyelidikannya oleh kejaksaan dua hari sebelum Urip tertangkap. Waw, jumlah yang fantastis. Kalau di hitung-hitung, uang sebesar itu, berapa kali lipat gaji seorang jaksa. Praktik ini sungguh menggiurkan.

Suap dalam Islam dikenal dengan istilah risywah. Yaitu pemberian yang lazimnya berbentuk uang atau materi, dengan maksud-maksud tertentu yang menguntungkan pihaknya. Misalnya untuk mendapatkan kemudahan atau merekayasa keputusan. Terkait dengan perkara ini, ada tiga komponen yang saling berhubungan: rasyi (orang yang menyuap), murtasyi (orang yang disuap), dan raisy (orang yang menjadi perantara). Tidak ada yang membedakan kedudukannya satu sama lain. Ketiga-tiganya, dalam pandangan Islam, berada pada jurang kenistaan yang sama. Dalam hadis disebutkan, “Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, dan perantara suap.” (HR. Ahmad).

Istilah suap (risywah) dalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya saja, ulama ahli tafsir menginterpretasikan beberapa ayat menjurus pada tindakan amoral ini. “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui,” firman Allah dalam al-Baqarah ayat 188.

Al-Haitsami dalam al-Zawahir dan al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah menafsirkan ayat tersebut secara spesifik ihwal suap-menyuap. Yaitu larangan mengulurkan pemberian kepada hakim dengan cara menyuap untuk memuluskan perkara dalam pengadilan. Penafsiran ini sejalan dengan ayat 22-23 surat Muhammad. Allah berfirman, “Maka apakah kamu kiranya jikakmau berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya pengelihatan mereka.”

Abu Aliyah menafsiri ayat tersebut dengan ungkapan, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.” (Al-Qurthubi dalam Ahkam al-Quran). Tipologi suap ini juga tergambar dalam firman Allah tatkala mensifati orang-orang Yahudi. “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, memakan makanan haram.” (QS. al-Ma'idah: 42). “Memakan makanan haram” dalam ayat tersebut dimaknai Hasan dan Said bin Jubair dengan sebutan memakan hasil uang suap. “Jika seorang hakim menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran,” tandasnya dalam tafsir al-Mughni.

Tak ada yang ganjil jika Hasan dan Said mengkaitkan tindakan ini dengan institusi peradilan. Memang pada kenyataannya, tindakan suap-menyuap jamaknya dilakukan di sekitar lingkungan pejabat pemutus perkara. Misalnya polisi, lembaga penyidik (seperti KPK dan BPK), jaksa, hakim, dan pengacara. Orang-orang itu bisanya dikelilingi banyak celah menganga yang bisa dimainkan untuk mempengaruhi sebuah keputusan, mulai dari penyidikan, persidangan, hingga vonis bebas atau penjara. Jika mereka tidak memegang teguh kode etik, maka praktik suap akan selalu mewarnai keputusan persidangan.

Kini, tidak hanya di sekitar pejabat pemutus perkara, suap-menyuap menerangsek di lingkungan pejabat publik lain. Bahkan, sudah “mentradisi” dengan pelbagai istilah yang telah disesuaikan dengan konteks dan modus. Ada uang pelicin, tanda terima kasih, bonus, parcel, hadiah, dan seterusnya. Ketika musim pendafataran CPNS, misalnya, banyak calo yang menjanjikan lulus dengan syarat bayar sekian ruapiah sebagai uang pelicin. Modus lain, ada yang mengirim parcel lebaran berupa kunci mobil kepada sejumlah pejabat kelas atas dengan tujuan agar kegiatan bisnisnya dipermudah dan dilindungi.

Lika-liku di atas adalah ragam modus dalam suap. Tradisi ini hampir merata pada jaringan birokrasi di Indonesia. Buktinya, sejak era keterbukaan bergulir, meski belum keseluruhan, satu demi satu dan perlahan-lahan banyak pejabat publik yang divonis penjara gara-gara suap dan korupsi. Kalau ditilik, modus suap yang terjadi di lingkungan pejabat publik dan birokrasi pada umumnya ini agak susah untuk diferivikasi, karena mirip dengan pemberian biasa tanpa tendensi. Satu misal, orang bawahan memberikan “hadiah” kepada atasan, apakah ini tidak boleh?

Secara normatif, Islam memperbolehkan hal itu. Sebab, memberikan hadiah adalah bagian dari anjuran Rasulullah saw. “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai,” sabdanya seperti diriwayatkan Imam Bukhari. Tapi, di sisi lain, siapa tahu kalau pemberian hadiah itu ada maksud-maksud tertentu, misalnya agar cepat naik jabatan? Pemberian yang berimplikasi inilah yang patut diwaspadai karena termasuk suap. Karena takut terjerumus dalam kubangan suap-menyuap, Rasulullah pernah mengintrogasi dan mengaudit uang salah seorang sahabat yang katanya diperoleh dari hadiah.

Alkisah dalam Shahih Bukhari disebutkan, Rasulullah saw. mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnu Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah mengaudit hasil zakat yang dikumpulkan.

Ibnu Lutbiah berkata,”Ini harta hasil zakat, dan ini hadiah untuk saya.” Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “Kalau engkau benar (itu memang hadiah untukmu), mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Singkat cerita, atas kejadian itu, Nabi kemudian berkhutbah sambil menyatakan, jika Ibnu Lutbiah benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Jangan-jangan hadiah itu diberikan tidak tulus dan ada maksud tertentu. “Demi Allah, tidak boleh salah seorang kalian mengambil hadiah itu tanpa hak…” sabda Nabi.

Statemen Rasulullah ini mempertegas, seandainya orang memberikan hadiah maka si penerima harus memperjelas, apakah hadiah itu benar-benar tanpa tendensi atau justru berimplikasi. Jika ada maksud untuk menyuap, maka tidak boleh mengambil hadiah tersebut, karena bukan termasuk haknya. Tindakan suap ini dilarang oleh agama karena berimplikasi pada hal-hal negatif. Pertama, lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparat penegak hukum. Praktik suap di lembaga peradilan dapat mencoreng institusi tersebut dan rakyat akan melakukan delegitimasi dan apatis terhadap penegakan hukum.

Kedua, garis demarkasi antara “yang hak” dengan “yang batil” menjadi kabur. Karena dalam tiap perkara selalu dimenangkan pihak yang berduit. Orang tidak lagi pusing dengan “pasal berapa” dalam KUHP yang akan dikenakan, yang penting “berapa harga per pasal”. Ketiga, kepentingan publik menjadi terbengkalai. Karena adanya sentralitas kekuasaan oleh orang-orang berduit, kepentingan rakyat pun terpinggirkan. Logikanya, siapapun bisa melakukan apapun, asal ada materi untuk memuluskan keinginan. Akhirnya, korupsi pun dilakukan bersama-sama sembari membungkam (menyuap) pihak-pihak yang bersuara.

Jika ini yang terjadi, betul apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam riwayat Thabrani, bahwa tidak ada tempat yang patut bagi mereka kecuali di neraka, sebab perbuatan itu senantiasa menodai hak rakyat dan mengambil alih kepentingan publik. []
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes