Wednesday, August 16, 2006

Abdul Ghofur, Kiai Berwawasan Lingkungan

Di tengah-tengah keprihatinan bangsa Indonesia soal lingkungan hidup. Dari ujung pantai Utara pulau Jawa, ada sosok kiai yang mampu melakukan perubahan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya lewat budidaya tanaman.


Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Akibat harga bahan bakar minyak naik, sejak Oktober 2005, masyarakat pesisir daerah Paciran Lamongan Jawa Timur jadi kelimpungan. Mereka yang sehari-hari sebagai nelayan begitu terpukul. Harga bahan bakar tak sepadan dengan harga penjualan ikan hasil tangkapan. Kata pepatah, lebih besar pasak daripada tiang.

Untung, mereka diselamatkan buah mengkudu. Lho buah kok bisa menyelamatkan? Bukan begitu. Mereka terinspirasi dari budidaya mengkudu yang digagas oleh Abdul Ghafur. Pria yang sehari-hari sebagai pengasuh pesantren Sunan Drajat ini mengajak masyarakat untuk membudidayakan mengkudu. Menurutnya, budidaya mengkudu itu mudah. Dan juga, kandungan vitamin C-nya yang tinggi, bagus untuk tubuh melawan bakteri dan virus.

Di pesantrennya, ia membudidayakan mengkudu di atas lahan seluas 40 hektar. Tanaman ini tidak gampang mati meski di daerah yang kering, seperti di Lamongan. Ide ini sejalan dengan keinginan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Hanya saja, penanaman mengkudu baru berhasil ketika kiai Ghofur, sapaan akrabnya, mampu menarik hati masyarakat untuk melakukan budidaya jenis tanaman ini.

Kiai kelahiran Paciran, 12 Februari 1949, ini juga telah membangun industri pengolahan dan pemasaran mengkudu. Jangkauan pemasarannya tidak hanya dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Untuk pasar dalam negeri, ia menggunakan sari mengkudu, sedang untuk pasar Jepang, ia menggunakan ekstrak mengkudu.

Kemasan lain pemasaran mengkudu yang dilakoninya adalah mengkudu sebagai alternatif bahan baku pakan ternak. "Vitamin C-nya yang tinggi diharapkan bisa meningkatkan daya tahan ayam terhadap flu burung," terang kiai keturunan ke-15 Sunan Drajat, salah satu dari Wali Songo itu.

Atas keberhasilan budidaya mengkudu, yang kemudian berepengaruh pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, akhirnya mengantarkan KH Abdul Ghofur mendapat Kalpataru 2006 dalam kategori Pembina Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Penghargaan itu diserahkan Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka, Senin 12 Juni.

Selain mengkudu, pesantren yang terletak di Banjaranyar Paciran itu juga memproduksi pupuk majemuk, pupuk organik, industri bordir, dan koprasi sebagai sumber-sumber penghasilan. [Dari berbagai sumber, terutama Kompas]

Tulisan ini tercetus saat nge-download bencana-bencana yang belakangan ini terus-terusan mendera bangsa kita.

Islam "Menjawab" Bencana

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Agar kelestarian lingkungan terjaga umat Islam perlu membuat terobosan baru. Tak sekadar kaya doktrin, tapi minim praktik.


Saat berkunjung di Washington DC, Amerika Serikat, Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama era Presiden Abdurrahman Wahid pernah diajak jalan-jalan Dorojatun Kuntjoro Djakti, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di negeri Paman Sam itu. Kejadiannya sekitar tahun 1999.

“Yuk kita lihat-lihat Union Station,” ajak Dorojatun. “Oke!” jawab Tholhah mengiyakan. Union Station adalah stasiun kereta api terbesar di dunia, terletak di Washington DC.

Union Station yang megah dan tertata rapi dengan keunikan dan keindahan arsitekturnya membuat Tholhah dan Dorojatun begitu menikmati keelokannya. Padahal usia stasiun itu sudah 90 tahun lebih, dioperasikan sejak tanggal 27 Oktober 1907. Selepas berkeliling, keduanya bergerak menuju toilet. Di ruangan ini, Dorojatun bertanya kepada Tholhah. “Manakah yang lebih bersih, toilet Union Station atau tempat wudlu masjid Istiqlal?”

Tholhah pun terperanjat. Ia harus mengakui toilet Union Station jauh lebih bersih, rapi, dan nyaman dibanding tempat wudlu masjid Istiqlal, yang notabene masjid kebanggaan umat Islam Indonesia, dan juga masjid terbesar di Asia Tenggara.

Tak perlu jauh-jauh melihat Istiqlal, di Tanah Air masjid dan musalla yang ‘kumuh’ mudah dijumpai di sembarang tempat. Apalagi di terminal, stasiun atau pasar, musalla selalu disandingkan dengan toilet dan memiliki predikat yang sama: kumuh.

Itu baru contoh kecil. Kota Kembang, Bandung, 12 Juni tahun ini menggondol predikat ‘Kota Terkotor’ pada penganugerahan Adipura yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Di kota Paris Van Java ini sampah menggunung di mana-mana.

Keadaan ini tak bisa lepas dari peran umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. “Umat Islam di negeri kita ini masih berkutat pada dalil-dalil, tapi kurang sekali dalam penerapannya,” kata Tholhah saat ditemui Syir’ah di kediamannya, di Kota Wisata Cibubur. Ia kemudian mengutip sebuah hadis masyhur, Kebersihan itu bagian dari iman (al-nadhâfatu min al-îmân), “Pada praktiknya tak berjalan maksimal,” terangnya.

Pendapat serupa diutarakan Mujiono Abdillah, penulis buku Agama Ramah Lingkungan. Umat Islam, katanya, kebanyakan belum mampu mengaitkan antara keimanan dengan perlakuan terhadap lingkungan. Lingkungan bukanlah sesuatu yang terpisah dengan keimanan. Tapi, satu kesatuan. Bahkan, Tuhan menegaskan sikapnya dalam Al-Qashash ayat 77, “..sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang merusak lingkungan.”

Doktrin ini juga tercermin pada ayat kedua surat al-Fatihah, al-hamdu lillâhi rabb al-âlamîn, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. “Di sini jelas sekali ada pengakuan kepada Allah, juga kepada alam raya,” jelas Mujiono.


Penyebab Bencana

Mari satu persatu ayat ini diurai. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Haim penulis al-Tibyan fi Tafsiri Gharib al-Qur’an (penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang langka) berpendapat, sifat rabb yang dilekatkan pada Allah itu berarti yang menguasai dan yang mengatur. Sedang al-âlamin itu meliputi segala sesuatu di dunia, termasuk manusia, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan, air, dan lain-lain.

Ali Yafie, mantan Ketua Dewan Penasehat Majlis Ulama Indonesia memberi penguatan. “Berdasarkan isyarat rabb al-âlamîn ini, Islam memandang, seluruh alam raya ini merupakan satu kesatuan ekologi.” Satu sama lain saling terkait dan timbal balik. Manusia dalam hal ini, terang Ali Yafie, adalah khalîfatullâh fi al-ardl, mewakili tugas-tugas Allah di muka bumi untuk merawat lingkungan, sebagaimana disitir surat al-Baqarah ayat 30.

Karena itu, menurut mantan rektor Institut Ilmu Al-Quran ini, jika terjadi kerusakan lingkungan, manusia tak boleh mengelak dari tanggung jawab. Sebab, “Tidak ada bencana yang menimpa kepadamu kecuali ada kaitannya dengan “perbuatan” yang telah engkau lakukan.” “Begitu isyarat Allah dalam surat al-Syura ayat 30,” katanya.

Maksud kata perbuatan dalam ayat ini kemudian dirinci lagi oleh Wakil Rais Am Suriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Tholhah Hasan, dengan membagi dua model perbuatan. Pertama, kategori fisik semisal menebang hutan, mengebor gas bumi, dan membuang limbah ke sungai. Kedua, kategori non fisik atau biasa disebut maksiat. Kategori ini juga disebut Nasiruddin Abi Sa’id Abdullah bin Umar al-Baidhawi (W 685/1286) dalam Tafsir al-Baidhawi seperti praktik diskriminasi, korupsi, dan moralitas pemimpin yang bejat. “Dua kategori ini saling bertalian,” kata Tolhah.

Karena itu, guru besar Universitas Malang Jawa Timur ini yakin, bencana yang seakan tak putus-putus menimpa negeri ini adalah pelajaran agar bangsa ini menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukan. “Liyudziqakum ba’dha al-ladzi ‘amilû... (supaya manusia menyadari akibat dari perbuatannya itu),” katanya mengutip Ar-Rûm ayat 21.

Ayat ini, lanjutnya, sekaligus menegaskan pesan tuhan dalam S.Q. al-A’raf ayat 56: “Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Tuhan menciptakan dengan baik”. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah al-Qurthubi, ahli tafsir terkemuka di abad ke-7 (w. 671 M/1272 H), dalam bukunya Tafsir al-Qurthubi menjabarkan, yang termasuk kerusakan (fasad) dalam ayat tersebut adalah mengotori air yang jernih dan memotong pepohonan.

Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal, ahli hadis terkemuka kelahiran Baghdad, Irak, Rasulullah saw. mengisyaratkan untuk umatnya, agar menjaga keseimbangan antara tumbuh-tumbuhan dan air. Jika pohon-pohon di hutan digunduli, maka banjir adalah keniscayaan. Begitupula dengan air. Jika air tidak ada, maka tumbuh-tumbuhan akan mati dan terjadilah bencana kekeringan. “Ada tiga hal yang menjernihkan pandangan: memandang tanaman hijau yang lebat, air jernih yang mengalir, dan panorama yang indah.” Begitu sabda Nabi.

Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah, Ali Mustafa Yaqub, memberi tamsil menarik ihwal pentingnya air dalam kehidupan. “Jangankan untuk tujuan yang lain, dalam rangka ibadah pun kita diperintahkan berhemat dalam menggunakan air, semisal dalam berwudlu,” terangnya.

Tamsil itu merujuk ke salah satu hadis riwayat Imam Ibn Majah. Suatu ketika Nabi melihat seorang sahabat berlebihan dalam menggunakan air wudlu. “Janganlah kamu boros dalam menggunakan air,” tegur Nabi. “Apakah dalam wudlu itu ada pemborosan?” tanya sahabat tersebut. Nabi kemudian menjawab, “Iya, hematlah dalam menggunakan air meski kamu berada di tengah sungai yang mengalir.”


Hubungan Manusia dengan Alam

Lantas bagaimana konsep Islam tentang hubungan manusia dengan alam? “Setidaknya ada tiga bentuk,” kata Tolhah melanjutkan. Hubungan ketuhanan, hubungan ekonomis, dan hubungan saintifik atau keilmuan.

Dengan hubungan yang pertama, manusia selanjutnya bisa mengerti akan kebesaran Allah. Sedang manfaat yang kedua dan ketiga, manusia masing-masing dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengatahuan.

Soal ini, surat al-Baqarah ayat 22 memang memaparkan dengan gamblang. Tuhan menciptakan bumi, lalu air hujan turun di atasnya menyirami tanam-tanaman. Kemudian menghasilkan segala jenis buah-buahan, sayur mayur, bunga-bunga yang indah, dan lain sebagainya. Untuk siapa semua ini? “Allah menumbuhkan untuk kamu sekalian,” bunyi ayat ke-11 surat al-Nahl.

Tak hanya itu Allah juga mengisyaratkan dengan kata: wa sakhkhara lakum (dan Tuhan telah menundukkan kepadamu) yang tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Semisal dalam surat Ibrahim: 32, al-Nahl: 12, al-Jatsiyah: 13, dan al-Ra’d. Tak lain, “Maksudnya adalah agar manusia dapat mengambil manfaat dari alam,” ungkap Tolhah.

Ironisnya, ayat itu dipahami keliru, wewenang diselewengkan. Manusia menjadi kebablasan dalam memanfaatkan alam. Ada sebagian umat Islam yang rajin beribadah tetapi mengekesploitasi dan merusak sumber daya alam. “Mereka tak merasa bersalah karena mengangap lingkungan itu karunia,” sesal Mujiono.

Padahal, lanjut Mujiono, dalam Sirah Nabawiyah (sejarah kenabian) karya Ibnu Hisyam, Nabi Muhammad saw. saat di medan perang, sering berpesan kepada para sahabat. “Jangan potong pohon, jangan potong tanaman yang berbuah, juga jangan bunuh binatang”. Karena perbuatan-perbuatan itu akan mengundang bencana. Dengan memotong pohon sembarangan akan rawan banjir.

Di samping bicara penyebab bencana, al-Qur’an juga bicara cara mengantisipasinya. Simak saja kisah Nabi Nuh. Waktu itu sebelum terjadi banjir mahadahsyat, malaikat Jibril sudah memberi peringatan kepada Nabi Nuh. Ia diminta membuat kapal penyelamat. Mendekati detik-detik banjir bandang, Nabi Nuh mulai mengevakuasi para pengikutnya, juga binatang dan tumbuhan dengan berpasangan. Mengapa binatang dan binatang ikut diangkut? “Ini adalah upaya konkrit Nabi Nuh dalam menjaga keseimbangan ekosistem,” ujar Tholhah Hasan.

Sayangnya, di negeri ini setiap kali terjadi bencana selalu saja terlambat untuk memberi peringatan dan mengantisipasinya secara maksimal.

Ke depan kata Mujiono, supaya kelestarian lingkungan terjaga umat Islam perlu membuat terobosan baru. Ini bisa dimulai dari konsep-konsep sederhana dalam Islam. “Contohnya menganjurkan dan memberikan contoh amal jariah dengan membuat taman Tempat Penampungan Sampah, atau wakaf lingkungan, misalnya membuat taman kota,” terangnya. Mujiono sendiri sudah mempraktikan itu di daerah tempat tinggalnya, di Semarang Jawa Tengah.

Lalu bagaimana sanksi buat mereka yang melanggar dan merusak lingkungan? Agaknya kebanyakan agamawan ini lebih banyak menyerahkan persoalan ini pada mekanisme hukum yang berlaku. Islam sekadar menghukumi tindakan tersebut sebagai haram.

Apakah konsep Islam juga bisa memasukan perusahaan-perusahaan sebagai obyek hukum (mukallaf) jika mereka terbukti merusak lingkungan? Dalam hukum Islam (fikih), menurut Ali Yafie mereka bisa dikategorikan dalam al-syakhsiyah al-qânûniyyah (pertanggungjawaban kolektif atau organisasi). “Karena perusahaan itu adalah kumpulan orang-orang, maka harus ada tanggung jawab secara kolektif,” tegasnya.

Menurut mantan hakim di Pengadilan Tinggi Agama Makasar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama itu, dalam hukum Islam itu memang mengenal istilah

al-syakhsiyah al-thabî’iyyah, pertanggungjawaban individu, dan al-syakhsiyah al-qânûniyyah, pertanggungjawaban kolektif. Yang pertama terdiri dari individu-individu dewasa yang dianggap mampu mempertanggungjwabkan segala perbuatannya, sedang yang kedua lebih bersifat kolektif dengan mengabaikan status muslim dan non-muslim. []

Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006.

Tiga Hobi Rasul dan Para Sahabat

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Hobi atau kegemaran orang biasanya sangat beragam. Dari yang sepele hingga yang amat berat. Ada yang suka arisan, nonton bola, ngerumpi, chatting, bermain play station, membaca komik, dan ada juga yang hobi otak-otik rumus matematika, membuat robot, sampai meracik bom. Hebat kan?

Ya begitulah hobi orang zaman sekarang. Bagaimana dengan orang-orang zaman dulu, apakah kegemaran mereka kala itu? Bagaimana dengan hobi Rasulullah dan sahabat-sahabatnya?

Syahdan, sembari duduk santai dan lesehan bersama-sama para sahabat, Nabi bercerita. “Ada tiga hal yang sangat aku gemari di dunia ini: aroma wangi-wangian, istri salehah, dan menjalankan shalat,” kata Nabi mengawali pembicaraan.

Abu Bakar al-Siddiq yang ada di samping Nabi unjuk bicara. “Benar ya Rasul saya juga punya tiga kegemaran: melihat wajah engkau, menafkahkan harta kepada engkau, dan mengawinkan putriku dengan engkau,” ujarnya.

“Saya juga punya tiga hobi ya Rasulullah,” sahut Umar bin Khattab, “Yaitu mengajak kebaikan, melarang kemungkaran, dan berpakaian kusam.”

Lalu.. Usman bin Affan pun ikut nimbrung. Dia ternyata punya tiga hobi pula. “Memberi makan orang yang lagi kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang kekurangan sandang, dan membaca al-Qur’an,” paparnya.

Nampaknya jumlah hobi Ali bin Abi Thalib juga sama, tiga hal. “Benar wahai Ustman, saya juga mempunyai tiga kegemaran,” kata Ali. Pertama, melayani tamu. Kedua, puasa di musim panas. Dan terakhir, memukul musuh dengan pedang.

Wa..w! tak usah dipikirkan, namanya juga hobi, satu sama lain pasti banyak bedanya. Tapi, yang aneh adalah jumlah hobi mereka yang kompak, tiga hal. Kok bisa ya?

Memang bukan sekedar ngecap, kisah ini berdasarkan atas suatu riwayat dalam Al-Riyâdh al-Nadlrah, beribadah untuk kebugaran spiritual, karya Ahmad bin Abdullah bin Muhammad al-Thabari dan Nashâih al-`Ibâd, nasehat bagi umat manusia, karya Ibn Hajar al-Asqalâni. [AUM]

Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006.

Thursday, August 03, 2006

Budak Perempuan, Pekerja Profesional dan Cerdas

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Budak-budak perempuan zaman dulu adalah bagian dari figur wanita yang tertindas. Tapi, pada sisi lain, mereka adalah sosok pekerja wanita yang profesional dan berpendidikan. Bahkan, ada yang lihai dalam bermain politik.

Rombongan wanita itu berduyun-duyun datang menuju kota Basrah, Irak. Tak lama, berita ini pun akhirnya sampai ke telinga Muhammad bin Sulaiman, penguasa Basrah. Seperti biasa, masyarakat sudah tak heran lagi. Mereka adalah budak-budak wanita muda yang datang dari berbagai penjuru. “Aku ingin kau dapatkan untukku seorang budak muda yang tak tertandingi: cantik parasnya, terpuji sifatnya, dan baik hatinya,” titah Muhammad kepada salah seorang menterinya.

Tanpa pikir panjang, sang menteri pun pergi ke pasar untuk mencari budak sesuai pesanan raja. Hingga akhirnya ia ketemu dengan seorang makelar budak.
“Saya punya tipe budak yang tuan inginkan,” kata si makelar tadi.
“Oke. Kalau begitu bawa dia ke istana, agar saya bisa melihatnya: sesuai apa tidak,” sahut sang menteri.

Selang satu jam, makelar tadi datang untuk memenuhi pesanan sang menteri. Ia datang ke istana dengan menuntun seorang gadis muda yang cantik dan sangat menarik.

Saat tawar-menawar harga, pak menteri kaget. Makelar itu menjual budak dengan harga yang amat tinggi. Untuk meyakinkan pak menteri, ia pun menjelaskan. Budak ini adalah bukan budak sembarangan. Dia sosok budak yang mahir. Dia telah mempelajari seni kaligrafi, tata bahasa Arab, dan bahasa Persia. Dia juga memahami tafsir al-Qur’an, hukum moral, etika, filosofi, geometri, ilmu kedokteran, dan lain-lain. “Namun, kemahirannya yang paling utama adalah di bidang sastra, seperti: bermain musik, bernyanyi, dan menari,” terang si makelar itu.

Ini adalah secuil kisah para penguasa zaman dulu yang dikutip dari karya populer peninggalan dinasti Abbasiyah Alfu Lailah Wa Lailah, kisah seribu satu malam. Wanita-wanita itu dalam buku-buku literatur klasik berbahasa Arab biasa disebut dengan istilah jâriyah, budak perempuan, bentuk jamaknya adalah jawâri. Secara bahasa, jâriyah adalah sesuatu yang bergerak, atau dapat juga diartikan utusan (rasûl) dan pelayan (khâdim). Selain jâriyah, kadang juga digunakan istilah amat, artinya sama: budak perempuan.

Budak perempuan dalam masa itu dipandang seperti harta milik, tak hanya di dunia Islam tapi di belahan bumi lain. Lalu, yang jadi pertanyaan adalah, dari manakah budak-budak perempuan itu? Mulanya, mereka adalah tergolong wanita yang merdeka, atau disebut hurrah. Mereka menjadi budak, kebanyakan, karena daerahnya telah dikuasai oleh para penakluk dari negara lain, biasanya karena kalah dalam peperangan. Ada juga yang berasal dari faktor keturunan. Karena, nenek moyangnya memang dari dulu tergolong budak.

Kalau sudah demikian, wanita yang berubah status menjadi jâriyah itu tak ubahnya ‘barang’, yang selalu dijadikan obyek oleh tuannya. Biasanya, ia dijualbelikan atau dijadikan alat tukar dalam kegiatan ekonomi. Selama belum dimerdekakan, status anak turunanya pun tergolong budak. Ia harus selalu patuh kepada tuannya. Meski tiap hari memeras keringat, ia tidak punya hak sepeser pun untuk mendapat gaji. Semuanya tergantung kebijakan tuannya.

Kini, kita patut bersyukur. Sistem perbudakan yang amat tidak manusiawi itu telah dihapus. Namun, dalam hal tertentu, kita patut acungi jempol peran para jâriyah masa itu. Misalnya dalam soal bekerja, budak-budak wanita itu tidak seperti kebanyakan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia saat ini. Perlu ditegaskan, bukan soal statusnya lho. Ihwal ini keduanya jelas berbeda. Buruh punya hak dan kewajiban, sementara budak tidak sama sekali.

Tapi, ini dalam kancah persaingan dunia kerja. Ketika dikirim ke luar negeri kebanyakan para TKW itu tak lebih hanya sebagai buruh rumah tangga atau pekerja kasar. Kemampuan mereka hanya sebatas itu. Soal ilmu pengetahuan dan kemampuan sebagai wanita yang cerdas dan terdidik skornya sungguh amat rendah.

Berbeda dengan jâriyah di zaman dulu. Ia tidak sekadar bekerja sebagai pekerja ecek-ecek. Ia adalah tipe seorang pekerja yang cerdas, terdidik, dan profesional. Hal ini setidaknya telah tergambar jelas sebagaimana cerita di atas.

Beberapa sejarahwan mencatat, bahwa di antara orang-orang yang pandai bersastra, menyanyi, dan menari adalah para budak perempuan. Lihat saja dalam buku Women in Islamic Biographical Collectiones, yang diterjemahkan menjadi Kembang Peradaban, karya Ruth Roded, doktor sejarah kebudayaan Timur Tengah dari Hebrew University di Jerusalem. Dalam tradisi waktu itu, sebelum dijual oleh tuannya, seorang jâriyah biasanya dididik secara khusus dengan berbagai kemampuan. Karena itu, selain kecantikan, harganya pun tergantung dengan kemampuan dan jenjang pendidikannya.

Satu misal ada jâriyah bernama Syariyah. Ia telah diajari seni bernyanyi oleh tuannya. Kemudian, ia ditawarkan kepada temannya bernama Ishaq, dengan harga tiga ratus dinar. Ishaq tidak berkenan, karena menurutnya tidak terlalu menarik. Untung, ada orang lain yang berminat. Syariah akhirnya dibeli oleh Ibrahim. Oleh tuannya yang baru ini, ia digembleng lagi dengan seni olah vokal dan bernyanyi.

Selang setahun, Ibrahim menawarkan kepada Ishaq. Setelah mendengar lantunan lagu dan suara merdu dari Syariah, Ishaq langsung membayarnya dengan harga tiga ratus ribu dinar. Ishaq pun tertegun, ternyata budak wanita itu adalah gadis yang pernah ia tolak membelinya dengan harga tiga ratus dinar, setahun yang lalu. Jelas, harga seorang jâriyah sangat ditentukan oleh prestasi dan profesionalitas.

Bahkan, wanita-wanita itu tidak hanya dihargai mahal, banyak juga yang berhasil merebut hati para petinggi kerajaan atau khalifah, sampai akhirnya ia dijadikan pendamping hidup. Di antara jâriyah yang berhasil memikat hati para khalifah adalah Ghadir: jâriyah khalifah Abbasiyah keempat Al-Hadi, Farida: jâriyah khalifah Abbasiyah kelima Harun al-Rasyid, `Arib: jâriyah khalifah Abbasiyah ketujuh al-Makmun, Fadl dan Mahbubah: jâriyah khalifah Abbasiyah kesepuluh al-Mutawakkil.

Dengan mengandalkan kecantikan dan berbagai keahlian mereka ada yang mampu menggaet pemimpin tertinggi kerajaan. Pada satu sisi, awalnya mereka memang sedang diekspoitasi: diperjualbelikan, disuruh bekerja tanpa upah, tidak punya kebebasan, dan lain-lain. Namun, pada sisi lain, cara seperti ini, tak lain, merupakan siasat mereka untuk mengentaskan harga diri: dari status budak menjadi wanita yang merdeka, memiliki hak, dan status sosial yang bermartabat.

Bahkan, ada juga yang memanfaatkan keahlian tarik suara dan rayuan dahsyatnya untuk meraih tujuan politik. Seperti kisah yang termaktub dalam Kitab Al-Aghani, buku tentang lagu-lagu, karya Abu Faraj Al-Isbahani, sarjana kesusasteraan Arab yang hidup tahun 897-967 M.

Di masa khalifah Harun al-Rasyid, ada seorang budak perempuan yang cantik, memikat, dan berbakat. Ia adalah budak milik Ibrahim al-Maushili, seniman kondang pada waktu itu. Namnya Dzat al-Khal. Ia diajari secara khusus oleh tuannya dalam bidang seni suara dan menggubah syair. Berkat besutan tuannya itu, ia tumbuh menjadi sosok jâriyah yang cantik jelita dan mahir bernyanyi. Ia pun menjadi artis tenar. Namanya dielu-elukan dan menjadi buah bibir.

Karena kemasyhuran dan suaranya yang indah itu, khalifah Harun bermaksud untuk memilikinya. Ia pun akhirnya membeli Dzat al-Khal dari tuannya. Alkisah, pada suatu malam, ketika sedang asyik-masyuk di puncak gairah bersama Dzat al-Khal, tiba-tiba Harun terbersit pertanyaan.
“Pernahkah kamu berhubungan intim dengan bekas tuanmu?” tanyanya dengan diselimuti rasa cemburu.
“Ya, hanya sekali,” jawab budak itu dengan polos.

Harun yang sebelumnya sudah diliputi rasa cemburu buta itu menjadi kalut. Ia menolak budak perempuan yang cantik nun pandai bernyanyi itu. Sebagai hukuman, ia memberikan Dzat al-Khal secara cuma-cuma kepada Hamawiyah, salah satu budak laki-laki Harun.

Hari telah berganti, bulan pun demikian. Suatu ketika, Harun al-Rasyid tiba-tiba saja ingin berjumpa Dzat al-Khal sekali lagi. “Saya rindu dengan nyanyian budak perempuan itu,” katanya kepada Hamawiyah. “Kalau begitu, saya besok akan menghadap tuan bersama Dzat al-Khal,” jawabnya enteng.

Sebelum menghadap khalifah, Hamawiyah menyusun strategi agar menarik perhatian sultan. Ia menyewa mutiara dan batu-batu berharga sebagai perhiasan Dzat al-Khal saat berkunjung ke istana. Keesokan harinya, Hamawiyah datang bersama Dzat al-Khal menghadap Sang Khalifah.

Saat melihat bekas budaknya yang cantik itu, Harun pun terpincut lagi. Tapi, perasaan itu kembali diselimuti rasa cemburu. Dulu ia cemburu kepada bekas tuannya, kini ia cemburu kepada Hamawiyah, budaknya sendiri.
“Bagaimana kamu dapat memberikan hadiah permata-permata itu, padahal kamu belum saya angkat sebagai gubernur?” tanyanya kepada Hamawiyah.
Sambil diselimuti rasa takut, ia menjawab dengan jujur. “Permata-permata itu adalah hasil pinjaman, bukan hadiah dari saya.”

Dengan jawaban itu, Harun merasa lega dan puas karana kejujuran budaknya itu. Akhirnya, Harun memanggil penjual permata dan menghadiahkan permata-permata itu secara spesial untuk Dzat al-Khal. Serta, Sang Khalifah juga berjanji akan mengabulkan apapun permintaannya. Tahukah apa yang diminta oleh Dzat al-Khal kepada Harun al-Rasyid? Ternyata, ia memohon kepada Khalifah agar mengangkat Hamawiyah sebagai Gubernur Persia. Seketika, Harun mengabulkan permohonan itu.

Dahsyat kan? Seorang budak perempuan mampu ‘menundukkan’ pemimpin dinasti Abbasyiah yang terkenal itu. Kenyataan ini berbeda jauh dengan kondisi para TKW sekarang. Alih-alih mampu bermain politik dan merebut hati penguasa, mereka justru menjadi bulan-bulanan pemerintah. [Dari berbagai sumber].

Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006.

6 Agustus 1882, Ultah Pemimpin Sarekat Islam

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Pada akhir abad 19, di tengah-tengah kedigdayaan kolonial Belanda atas wilayah Indonesia (Hindia Timur), lahirlah embrio tokoh pejuang tangguh yang kini tersohor bernama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Ia lahir di Bakur, Madiun, Jawa Timur tanggal 6 Agustus 1882.

Keluarganya tergolong kalangan bangsawan yang taat beragama. Ayahnya, R.M. Tjokroamiseno, adalah salah seorang pejabat pemerintahan. Sedang kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai seorang bupati.

Saat usianya masih muda, ia banyak berkelana dan bersentuhan dengan kalangan terdidik dan birokrasi pemerintah. Anak kedua dari 12 bersaudara ini pernah mengenyam sekolah administrasi di Magelang Jawa Timur. Selepas itu, ia bekerja sebagai ‘juru tulis’ pada Patih Ngawi selama tiga tahun. Lalu tak lama, ia pun menjadi Patih menggantikan bosnya.

Entah apa sebabnya, Tjokroaminoto kemudian meninggalkan pekerjaan ini dan hijrah ke Surabaya. Di kota Pahlawan ini, ia bekerja di perusahaan milik kompeni, Belanda. Dan pada tahun 1911-1912, ia bekerja sebagai pegawai pabrik gula di luar wilayah Surabaya. Dan pada bulan Mei 1912, ia bergabung dengan organisasi Sarekat Islam (SI). Sebuah organisasi massa yang menurut Pramudya Ananta Toer menjadi organisasi terbesar di dunia pada waktu itu.

HOS Tjokroaminoto, begitu nama dia biasa ditulis, memang tak bisa lepas dari sejarah SI. Nama SI bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini berdiri sejak 16 Oktober 1905, atas prakarsa H. Samanhudi, pedagang kain batik di berbagai kota sekitar pulau Jawa.

Mulanya, organisasi yang bergerak dalam bidang ekonomi ini dibangun dalam rangka menghadapi persaingan dengan pedagang Cina. Namun, pada awal tahun 1912, terjadi huru-hara anti Cina. SDI kena batunya. Karena dianggap sejak awal berdirinya telah memusuhi Cina, akhirnya pemerintah bermaksud untuk melarang organisasi SDI.

Sebagai langkah antisipasi, bulan September 1912, SDI berubah nama menjadi SI, dan mengangkat HOS Cokroaminoto sebagai pemimpin. Di bawah kepemimpinannya, SI tidak hanya berkutat pada bidang ekonomi, tapi juga bergerak dalam ranah sosial, pendidikan, bahkan merambah ke wilayah politik untuk membebaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah.

Sejak saat itu, SI menjadi organisasi pelopor kemerdekaan Indonesia. Maka tak heran, jika Tjokroaminoto mampu melahirkan 3 murid andalan, yang selanjutnya memberikan corak bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Semaun yang komunis-sosialis (pendiri Partai Komunis Indonesia), Soekarno yang nasionalis (pendiri Partai Nasional Indonesia), dan Kartosuwiryo yang agamis (pendiri Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia atau lebih dikenal DI/TII). [AUM/WP/SSI]

Syir'ah, Edisi 56, Agustus 2006

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes