Tuesday, November 18, 2003

Menaruh Harapan di Atas Dilema

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Peringatan ulang tahun tragedi Semanggi I baru digelar kemarin (13/11/2003). Berbagai elemen mahasiswa menggelar rangkaian kegiatan, mulai iring-iringan, tahlilan, sampai tabur bunga. Aksi tersebut bertujuan untuk mengenang tewasnya lima mahasiswa dan tiga warga dalam tragedi lima tahun lalu. Mereka juga menuntut penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) melalui pengadilan hak asasi manusia ad hoc.

Kalau diibaratkan anak kecil, umur lima tahun bukan lagi merupakan fase merangkak atau belajar berjalan, tapi sudah waktunya berlari dan melompat-lompat sebagai bentuk luapan kegembiraan serta ekspresi kebebasan. Namun, dalam kasus TSS, alih-alih hal itu diperhatikan dan ditangani serius—melalui pengadilan HAM. Kondisinya justru terkatung-katung dan masih tertatih-tatih. Penegakan hukum yang digembar-gemborkan pemerintah hanya menjadi “buih” di lautan. Ia akan terbang tak tentu arah begitu diterpa angin dan gelombang. Dari tahun ke tahun, peringatan tersebut hanya melintas begitu saja. Protes dan gugatan yang diteriakkan mahasiswa di jalan-jalan pun tidak membawa perubahan signifikan.

Bahkan, dalam kasus tersebut, sebagian mahasiswa ada yang terjebak dalam “hedonisme patriotis”. Mereka merasa dirinya telah berkorban demi terciptanya demokratisasi di Indonesia. Tapi, mereka tidak sadar bahwa perjuangan yang dilakukannya itu telah dijadikan “kuda tunggangan” oleh politisi yang sekarang duduk di kursi “empuk”. Buktinya, setelah beberapa terdakwa kasus Trisakti melakukan naik banding, sampai sekarang kasus tersebut masih terhenti di pengadilan militer. Sedangkan kasus Semanggi I dan II masih perawan, belum terjamah hukum. Kalau terus-menerus dibiarkan seperti itu, kasus TSS akan bernasib sama dengan beberapa pelanggaran HAM yang lain. Misalnya, kasus Tanjung Priok, kasus 27 Juli, Banyuwangi, serta Aceh.

Yang patut dipertanyakan dalam kasus tersebut, mengapa ada perbedaan penilaian antara Komisi Nasional (Komnas) HAM dan DPR? Komnas HAM menilai bahwa kasus TSS merupakan pelanggaran berat HAM. Berdasarkan ketentuan UU No 6/2000 tentang Pengadilan HAM, kasus TSS harus dituntaskan lewat pengadilan HAM ad hoc. Namun, sebelum Komnas HAM menyerahkan berkas penyelidikannya ke Kejaksaan Agung, DPR mementahkan kasus tersebut lewat rapat paripurna (19/07/2001) yang memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus TSS.

Perseteruan tersebut tak kunjung selesai. Beberapa hari lalu (27/10/2003), saat menerima delegasi dari Komnas HAM, Ketua DPR Akbar Tandjung menegaskan bahwa DPR tidak menutup kemungkinan akan meninjau ulang keputusan tentang ada tidaknya pelanggaran berat HAM dalam kasus itu. Ternyata, embusan angin segar dari ketua DPR tersebut belum juga menyelesaikan masalah. Sebab, pihak Kejaksaan Agung masih mengacu pada keputusan DPR yang dulu.

Akankah mahasiswa selalu dijadikan “tumbal” sebuah rezim? Mungkin yang dikatakan Fadjroul Rachman, ketua Lembaga Pengkajian dan Lembaga Kesejahteraan ada benarnya. Yakni, mahasiswa adalah korban yang dikorbankan. Artinya, pemerintah (baca: penguasa) tidak pernah memerintahkan untuk membunuh para demonstran, tapi menyuruh mengamankan dan menertibkan demi stabilitas nasional. Dalih “picik” itulah yang digunakan pemerintah sebagai tedeng aling-aling terhadap segala bentuk protes serta gugatan balik.

Dilema (Seakan) tanpa Tepi

Dalam kodisi negara yang acak-acakan seperti ini, mahasiswa harus terus mengawal proses transisi bangsa menuju masa depan demokrasi yang sejati. Karena itu, mahasiswa harus menarik garis demarkasi yang jelas antara dunia akademisi (ilmiah) dan dunia kepentingan (politik praktis).

Apalagi, menjelang pemilu mendatang, jika tidak dibarengi semangat patriotisme dan kejujuran, bangsa ini akan mudah terjungkir. Pancasila akan berubah menjadi pancasial; Ketuhanan Yang Mahaesa bisa saja berubah menjadi keuangan yang mahakuasa, dan seterusnya.

Jika diamati lebih cermat, kasus TSS akhir-akhir ini mulai kehilangan taring dan vitalitasnya. Kita merasakan, dua momentum penting pada bulan ini (10 dan 13 November) terlewatkan begitu saja, tak mampu memberikan kesan-kesan heroik dan menggugah semangat patriotisme jiwa kita.

Liputan media massa berkaitan dengan tragedi tersebut pun hanya sehari, tidak lebih dari memberikan informasi tentang penyelenggaraan ritual serta seremonial. Besoknya, media-media tersebut larut (lagi) dengan info seputar euforia perebutan kekuasaan menjelang Pemilu 2004 dan-juga tak ketinggalan-gosip artis. Kalau sudah demikian, siapakah yang akan peduli dan menggugah bangsa ini jika bukan diri kita sendiri?

Dilema tersebut juga tidak bisa lepas dari kondisi masyarakat modern yang cenderung lebih acuh dan tidak mengerti dirinya sendiri. Bahkan, menurut Adorno, kontributor Sekolah Frankfurt, Jerman, gejala budaya massa seperti itu bukan lahir dari massa sebagai pemberontakan melawan kemapanan, melainkan lebih sebagai instrumen indoktrinasi serta kontrol sosial demi pemenangan kepentingan kelas yang berkuasa. Kecemasan semacam itu menjadi kekecewaan masyhur di kalangan pemikir mazhab Frankfurt. []


Sumber: Jawa Pos, 18 Nov 2003. 

Tuesday, November 04, 2003

Absurditas Sekolah, Imbas Industrialisasi Pendidikan?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sekolah merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan. Dan hampir dapat dipastikan, pendidikan kita tidak akan bisa lepas dari pelbagai kepentingan pihak-pihak yang dominan, terutama para pemegang otoritas politik dan pemilik modal. Apalagi, jika dikait-kaitkan dengan industrialisasi dunia pendidikan. Kenapa demikian? Sebab sejak era 1970-an sudah dapat diplototi adanya gejala kepentingan kapitalisme dalam dunia pendidikan di negeri ini.

Saat itu, pilar ideologi pembangunanisme (developmentalism) menjadi ideologi gerakan rezim orde baru. Dengan gejala ini, pendidikan kita—di satu sisi—telah kehilangan ‘nyawa’ sebagai pilar utama peningkatan dan pemberdayaaan SDM yang berdedikasi tinggi terhadap nilai-nilai humanisme. Sampai sekarang pun kecenderungan pendidikan kita tidak lebih hanyalah sebagai penyangga pilar industrialisasi.

Kalau memang demikian, yang terjadi adalah disorienatasi pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menyesuaikan dengan nilai-nilai kemanusiaan malah cederung menyesuaikan diri dengan ‘kepentingan’. Sehingga muncullah istilah sistem pendidikan pesanan, tak lebih hanyalah sebagai alat legitimasi kekuasaan demi memuluskan kepentingan-kepentingan penguasa. Hal ini nampak sekali dalam perkembangan diskursus pendidikan di Indonesia. Kenapa harus muncul model pendidikan semisal linking and delinkin dan linking and macth, kalau toh hanya diselewengkan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Indikasi ini merupakan salah satu hegemoni nergara dalam ranah pendidikan. Di bawah roda industrialisasi dan politisasi pendidikan inilah para peserta didik hanya bisa menjadi mesin-mesin industri dan harus tunduk pada kepentingan pragmatis.

Jelasnya, sekolah cenderung dijadikan ‘ajang bisnis’ ketimbang sebagai kanal pencerahan dan penggemblengan intelektual. Paradigma seperti ini nantinya akan berimbas terhadap sekolah-sekolah di daerah. Pertanyaannya kemudian, kenapa sekolah-sekolah di kota lebih maju daripada di daerah? Apakah dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana? Tidak sepenuhnya demikian, hal itu hanyalah alasan klasik dan parsial. Permasalahan yang mendasar justru terletak pada otoritas kekuasaan dan pemilik modal. Logika yang dipakai adalah logika bisnis, bagi mereka bisnis di daerah tidaklah menguntungkan.

Rasa empati, iba dan kasihan menjadi pemandangan kita ketika mengamati fenomena pendidikan di negara ini. Bagaimana pendidikan kita akan maju dan setara dengan negara-negara lain jika kondisi pendidikan kita masih tidak seimbang atau dengan kata lain tidak ada pemerataan pendidikan, terutama sekolah-sekolah miskin di daerah. Memang, pemerintah selama ini terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan yang sesuai dengan amanat UUD ’45 dan deklarasi Hak Asasi Manusia.

Padahal, paling tidak untuk tiap tahunnya pemerintah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN. Lalu ke manakah larinya dana pendidikan selama ini? Kenapa sekolah-sekolah daerah tidak pernah merasakan dana—minim—tersebut? Alih-alih merasakan, malah mengalami banyak ‘kebocoran’ di tengah jalan, jangan-jangan kejahatan seperti itu dilakukan oleh praktisi (baca: mafia) pendidikan sendiri.

Ada baiknya kita menoleh pada model pendidikan sekolah bagi siswa yang tidak mampu di Bogor. Untuk tahun ajaran 2003-2004, Pemerintah Kota Bogor berencana membebaskan biaya SPP bagi siswa-siswi sekolah yang berasal dari keluarga tak mampu. Hal itu disampaikan Wali Kota Bogor, H.R. Iswara Natanegara, S.H., dalam acara Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Aula GOR Pajajaran Bogor (2/5/03).

Pada sisi lain, kita juga harus mengkritisi “sikap pragmaitis” para birokrat pendidikan yang sudah terlalu over-dosis. Mereka seakan melecehkan eksistensi mahasiswa sebagai pribadi yang eksotis (unik) yang tidak hanya bergantung pada nasi (not for bried alone), atau dengan kata lain hidup buka untuk bekerja mencari makan an sich. Mereka cenderung mempersiapkan peserta didik sebagai budak-budak borjuis dan mesin-mesin alat produksi di industri apapun. Hal ini sebagai pertanda rabunnya mata budi (aye of mind) dan mata batin (eye of spirit) dari praktisi dan birokrat pendidikan (Andrias Hareva: 2002).

Kesenjangan Pendidikan

Beberapa tahun lalu, di televisi sering kita menonton iklan “Ayo Sekolah” yang digembor-gemborkan oleh pemerintah untuk mendorong anak-anak agar mau bersekolah. Tapi, kenyataannya mereka ditolak mentah-mentah oleh pihak sekolah saat mendaftarkan diri karena tidak ada biaya. Kasus-kasus seperti ini tidaklah sedikit, hampir tiap-tiap daerah dan kaum miskin kota merasakannya. Lalu dimanakah letak signifikansi undang-undang dasar negara kita yang menggariskan bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak?

Pendek kata, sekarang ini banyak sekolah-sekolah yang didirikan untuk mengeruk uang dengan dalih profesionalisme yang didukung oleh supra-struktur yang lengkap dan megah. Tapi semua itu hanyalah metamorfosis dari industrialisasi dan kapitalisme pendidikan yang siap menerkam masa depan pendidikan kaum miskin. Bagaiman tidak? NEM tidak lagi menjadi jaminan, sekarang NEM yang tinggi harus didukung oleh kantong yang tebel. Kalau tidak, maka siap-siap belajar di sekolah ‘pinggiran’. Akibatnya, kesejangan pendidikan antara Si kaya (the have) dan Si miskin (the upper class), dan juga membawa dampak bagi sekolah-sekolah yang ada, dalam artian: sekolah yang maju (baca: elit) semakin maju dan sekolah yang tidak maju (baca: miskin) akan tetap begitu saja.

Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di daerah, tapi juga banyak dialami oleh masyarakat miskin kota. Mereka hanya bisa belajar di sekolah-sekolah pinggiran yang tidak ‘layak’. Menurut penulis, akar masalahnya terletak pada “orientasi pendidikan” bukan letak sekolah (desa atau kota). Jika orientasinya sudah keliru maka target dan sasarannya pun akan keliru. Jadi, sampai sekarang sekolah lebih menjadi salah satu lembaga legitimasi sekelompok elite sosial-politik—lewat sistem pendidikan yang komersil dan manipulatif—serta menutup jalan terjadinya kreativitas. Maka, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan jika orang sudah kehilangan kesadaran (awareness).

Keluar dari Belenggu Pendidikan

Jika bangsa ini benar-benar ingin keluar dari sistem pendidikan yang membelenggu (baca: hegemonik), maka tidak cukup hanya dengan mengubah mata pelajaran dan kurikulum, akan tetapi harus megkaji total, merombak dan merestorasi sistem pendidikan kita. Pada sisi lain, guru-guru pun dituntut untuk belajar kembali (re-learn), dalam arti mengevaluasi dan mempertanyakan ulang asumni-asumsi yang selama ini mereka gunakan untuk memandu proses pembelajaran di sekolah. Mereka perlu memikirkan kembali hakikat tugas, tanggung jawab, dan peran mereka sebagai pengajar.

Sekarang, saatnya pemerintah berbenah diri dalam hal pendidikan. Pertama, memperjelas orientasi pendidikan. Pendidikan yang cenderung dikomersilkan dan dijadikan ajang bisnis itu harus dihapus, sehingga upaya ini juga untuk meminimalisir kesenjangan pendidikan antara Si kaya dan Si miskin. Kedua, pemerataan pendidikan. Hal ini lebih cenderung pada tatanan praktis, bagaimana agar sekolah di daerah bisa bersaing dengan sekolah di kota-kota maju, dan juga untuk menghilangkan image bahwa sekolah di kota lebih bermutu dari pada sekolah di daerah. Ketiga, menindak para ‘mafia’ pendidikan. Sebab mereka sering menyunat kucuran dana dari pusat, tapi belum pernah mendapatkan sangsi. Tidak bisa ditampik, bahwa masalah dana ini menjadi sangat krusial dan urgen, karena berkaitan dengan akomodasi dan fasilitas. Dan juga perlu digarisbawahi, mafia di sini tidak hanya para koruptor, tapi bisa juga berkaitan dengan dunia plagiasi karya ilmiah.

‘Ala kulli haal, pemerintah harus mempunyai daya sense of crisis yang sensitif dan mendalam, agar mampu memahami kegelisahan rakyat, terutama masalah kesenjangan pendidikan. Sehingga pemerintah tidak hanya memikirkan perut dan kekuasaan tetapi ingat—suara hati—rakyat yang sudah tidak mau terus-menerus ‘dikadali’. []


Sumber: Pelita, 4 November 2003.

Tuesday, September 23, 2003

Membendung Anarkhisme Mahasiswa di Kampus

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Kekerasan dalam kehidupan manusia memang tidak mudah untuk dihindari. Catatan Ivan S. Blonch menunjukkan, sejarah manusia adalah sejarah yang penuh dengan kekerasan, yaitu antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861 M—kurun waktu selama 3.357 tahun damai dan 3.310 tahun perang. Sedangkan bagi Noam Chomsky, bentuk kekerasan itu sangatlah beragam. Perang, tawuran, konflik, dan perpeloncoan adalah bagian dari kekerasan.

Dalam hal ini, penulis hanya akan menyoroti kekerasan jenis perpeloncoan—yang sekarang lagi marak—di kampus. Dalam kuliah umum mahasiswa baru di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (awal September 2003), Nur Kholis Madjid memaparkan, tradisi ini (perpeloncoan) adalah bermula dari Universitas Cambridge, Inggris. Mahasiswa di kampus ini mayoritas berasal dari anak bangsawan Inggris yang borjuis-borjuis. Karena berasal dari strata sosial yang tinggi dan terhormat, mereka terkenal liar, nakal, dan tidak mengindahkan segala bentuk peraturan.

Melihat kondisi seperti ini, pihak pengelola universitas mengadakan perombakan. Setiap mahasiswa yang masuk harus melewati fase perpeloncoan terlebih dahulu. Untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak bangsawan itu agar tidak nakal, ugal, sombong dan patuh pada peraturan. Menurut sebagian orang, dari sinilah awal mula tradisi perpeloncoan itu.

Lalu kapankan tradisi ini masuk ke Indonesia? Data yang valid memang tidak ada, tapi tradisi ini berkembang di kampus-kampus Indonesia sekitar tahun 1950-an. Ketika itu, sudah muncul berbagai protes menentang perpeloncoan yang tidak manusiawi. Misalnya, nama Hutajulu dan kawan-kawan mencuat di kalangan mahasiswa—kala itu—saat memimpin aksi menentang perpeloncoan di Kampus UGM Yogyakarta. Gejala ini menunjukkan bahwa tidak hanya sekarang saja terdapat perpeloncoan di kampus. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa masalah lama kok sampai sekarang tidak kunjung usai?

Padahal, berdasarkan SK Menteri P&K No. 043/1971 Mapram (nama Ospek tempo dulu) telah dihapus. Tepatnya pasca kasus penyiraman soda api terhadap 19 dari 424 mahasiswa baru di ITS Surabaya. Peristiwa ini justru menunjukkan “kelemahan intelektual” bagi pengelola pendidikan di Indonesia. Kenapa? Sebab, bagi Mahatma Gandhi kekerasan adalah senjata bagi orang-orang yang lemah.

***

Baru-baru ini, meninggalnya Wahyu Hidayat, mahasiswa STPDN, menjadi tamparan bagi kalangan akademisi kampus. Di mana selama ini mereka menggembar-gemborkan supremasi hukum, pembelaan HAM, menjunjung moralitas dan nilai-nilai humanisme. Kejadian ini memunculkan berbagai kritikan dari berbagai kalangan, antara lain: Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI 1974, Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat dan Alumnus APDN 1964, Irjen Pol. I. Lebang, Gubernur Akademi Polisi dan lain-lain. Pada intinya, mereka sepakat bahwa penggunaan kekerasan fisik tidak bisa digunakan dalih atau alasan penegakan kedisiplinan, sebab kekerasan sudah tidak zamannya lagi.

Kasus Wahyu Hidayat adalah salah satu kasus dari rentetan beberapa kasus yang sama, kekerasan mahasiswa di kampus. Berdasarkan data Litbang Kompas, terhitung mulai tahun 1990 sampai 2003, terdapat 9 mahasiswa yang jadi korban Ospek (4 orang dalam kondisi kritis dan 5 orang meninggal). Sampai kapankah ulah kebrutalan senior terus berlangsung? Dengan mengatasnamakan “pembinaan” merekan mengesahkan segala bentuk kekerasan, sungguh memalukan dalam tradisi intelektual di kampus.

Betapa tidak? Kampus yang diimpikan menjadi ajang pergulatan wacana ilmiah, orientasi intelektual, dan penggemblengan moral berubah menjadi ajang impulsi kekerasan. Orang bilang ini adalah gaya militeristik masuk kampus. Menurut penulis, kasus ini bukan lagi militeristik tapi lebih cenderung ke aksi-aksi premanisme (brutal dan tdak bertanggung jawab). Hal ini bisa dibuktikan tidak hanya di lingkungan kampus, gejala premanisme sudah menjamur dimana-mana. Aksi “premanisme pers” terasa masih segar di ingatan kita, sekarang muncul lagi “premanisme kampus”, begitu juga dengan maraknya tawuran antar pelajar juga penulis katakan sebagai “premanisme sekolah”.

Bias Ospek

Program orientasi studi dan pengenalan almamater sudah diterapkan di Indonesia sejak dulu. Apapun namanya, semuanya punya nilai kesamaan, yaitu program khusus bagi mahasiswa baru sebelum duduk di bangku kuliah. Dulu, program ini dikenal dengan berbagai istilah: Mapram (Masa Pra Mahasiswa), POS (Pekan Orientasi Studi), PROSa (Program Orientasi Studi Mahasiswa) entah apa lagi namanya. Sekarang, dikenal dengan nama Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus).

Dilihat dari namanya, program ini merupakan program yang sangat positif dan mempunyai nilai produktif bagi mahasiswa baru. Yaitu sebagai pijakan awal perkenalan almamater dan juga menjadi tumpuan paradigma berpikir mahasiswa dalam tradisi pengembangan intelektual di kampus. Tapi, nyatanya, dalam pelaksanaan di lapangan, banyak ditemukan ketimpangan dan penyelewengan dari tujuan dan orientasi program. Ospek yang awalnya berada di garis intelektual dan idealisme mahasiswa ternyata bias ke tindakan premanisme.

Sejarah berkali-kali membuktikan dan pemerintah juga berkali-kali memperingatkan, tapi yang namanya korban terus saja berjatuhan. Ada Yosep, mahasiswa Teknik Geologi ITB (1990), Amirullah, UI (1995), dan Zakki Tiffani Lazuardi, Mahasiswa jurusan fisika ITB (1996). Selang tiga tahun, korban mulai berjatuhan lagi: tahun 1999 menewaskan dua korban, Suryowati Hagus (ISTN Jakarta), dan Irene Fitriah Rouli (STHB Bandung). Di tahun 2000-an, STPDN Sumedang menelan dua korban tewas sia-sia di arena Ospek: Erie Rahman (2000) dan Wahyu Hidayat (2003).

Bisa dikatakan, ini merupakan kebiasaan buruk yang sulit untuk dihilangkan meski sejak 1974 sampai 2000 jajaran Depdiknas sudah mengeluarkan sekitar 10 peraturan tentang pelaksanaan orientasi pengenalan kampus. Antara lain: SK Mendikbud No. 28/1974, No. 0125/1979, SK Dirjen Perguruan Tinggi dan Depdikbud No. 1539/D/I/1999, dan SK Dirjen Perguruan Tinggi No. 38/Dikti/Kep/2000. Semua keputusan ini merupakan peringatan pemerintah kepada piahk-pihak yang melakukan tindak “penyelewengan” dalam Ospek.

Sedangkan tahun 2003, Depdiknas menyusun buku panduan Ospek dengan melibatkan unsur pimpinan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, dari Sabang sampai Merauke. Salah satu pointer yang ada di buku tersebut adalah materi orientasi. Meliputi: pertama, menghargai harkat dan martabat serta Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, memanfaatkan peluang dan potensi lokal seperti budaya, sumber daya, sarana-prasarana, dan obyek kegiatan. Ketiga, menyentuh permasalahan atau potensi lokal dan global, serta mengembangkan wawasan untuk mengawasi permasalahan tersebut. Akan tetapi, “buku panduan” itu tidak (juga) berpengaruh, dan nama Wahyu Hidayat tercatat sebagai korban Ospek tahun 2003.

Kalau begini, siapakah yang salah? Dan bagaimanakah seharusnya? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pihak pemerintah kah yang kurang tegas atau justru kesalahan mahasiswa sendiri?

Kalau dicermati, konsep Ospek yang ditawarkan oleh Depdiknas sudah bagus dan sistematis. Tapi, yang selama ini menjadi sumber problem adalah di tingkatan pelaksanaan. Banyak teradi bias-bias yang tidak diinginkan. Maka diperlukan mekanisme kontrol yang balance ketika menjalankan rutinitas Ospek. Yaitu dengan memanfaatkan semua institusi di kampus untuk bagi-bagi tugas sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Pada umumnya, tiap-tiap kampus mempunyai beberapa unsur, yang meliputi: Rektorat, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Dari beberapa unsur tersebut dapat dimanfaatkan sebagai berikut: pertama, Rektorat sebagai penanggung jawab program. Kedua, BEM dan UKM sebagai pelaksana Program. Dan ketiga, DPM sebagai lembaga legislatif mahasiswa bertugas sebagai pengawas program. Kalau sudah demikian, BEM atau UKM (selaku pelaksana) tidak bisa bertindak seenaknya sendiri kepada peserta Ospek karena di atas mereka terdapat lembaga pengawas atau pemantau Ospek (DPM). Walhasil, dengan mekanisme check dan balance seperti ini—penulis berharap—anarkhisme mahasiswa senior terhadap mahasisawa junior dapat terbendung.[]

Sumber: Pelita, 23 September 2003.

Tuesday, July 08, 2003

Menelanjangi Kinerja Panwaslu

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


PEMILU 2004 seolah-olah sudah di depan mata. Bagaimana tidak, perbincangan seputar Pemilu sering dijumpai di berbagai media. Sementara itu, dari sekarang para politisi bersiaga penuh (anstisipasi) dengan memasang ‘kuda-kuda’. Tinggal menunggu lonceng berdering, mereka akan siap bertanding di atas ‘ring demokrasi’.

Momentum pemilu bagi para pejabat, politisi, dan birokrat adalah ajang desakralisasi ‘suara tuhan’ (voks populi voks die, suara rakyat adalah suara Tuhan), dan sakralisasi kepentingan. Benarkan demikian? Moralitas bangsa digadaikan hanya dengan kepentingan taktis. Padahal, kejujuran dan keutuhan suara dalam pemilu sangat diharapkan, tapi kenapa malah dinodai dengan vote buying (pembelian suara) ataupun dengan modus-modus lain? Kita tidak ingin ada ‘uang’ dibalik ‘palu’ (meja hijau) begitu pula ada ‘kepentingan’ (taktis) di balik ‘pemilu’.

Kenyataannya, Panwaslu sebagai badan resmi yang dibentuk pemerintah—dari pusat hingga Kecamatan—untuk mengawasi Pemilu (psl. 24 UU No.3 1999) belum bisa maksimal dalam menjalankan tugas. Masih banyak kecurangan ditemukan disan-sini. Akibatnya, hasil pemilu pun tidak seratus persen ‘memuaskan’, justru dinilai kontroversial. Sebagaimana gugatan yang pernah di ajukan ke MI (Mahkama Internasional), IPU (Inter Parlemen Dunia), dan juga ke Komisi Tinggi HAM PBB. Gugatan ini diadukan oleh 30 Parpol, yang dipelopori oleh lima pimpinan Parpol. Yaitu Ketua Umum Partai Rakyat Indonesia (PARI) yang telah berganti nama menjadi Partai Persatuan Indonesia (PPI) Agus Miftach, Partai Ketua Umum Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) Sri Bintang Pamungkas, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (PND) Edwin Hemawan Sukowati, Ketua Umum Partai Masyumi Baru Ridwan Saidi dan sekjen Partai Buruh Nasional (PBN) Beni Akbar Fatah.

Fokus gugatan tersebut adalah tentang pelanggaran-pelangaran selama pemilu yang tidak ditanggapi serius oleh institusi peradilan dalam negeri. Selain itu, juga diakibatkan oleh adanya kontroversi keabsahan pemilu 1999. Karena—waktu itu—KPU baru menghitung 60 persen suara, tetapi sudah dikeluarkan Kepres No.92/1999 tentang hasil pemilu 1999.

Saat itu KPU memang baru menyelesaikan perhitungan suara sebanyak 65 juta suara, namun atas saran tiga anggota KPU, yaitu Adnan Buyung Nasition, Oka Mahendra dan Jakob Tobing, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No.92/1999. Padahal, semestinya hasil pemilu disetujui oleh minimal 2/3 anggota KPU. Jumlah anggota KPU yang menandatangani hasil pemilu 1999 sebanyak 18 partai sehingga tidak tercapai 2/3 anggota KPU. Dengan demikian, hasil pemilu 1999 dianggap tidak sah. Karena itu, bagaimana rakyat bisa percaya kalau Panwaslu tidak punya track record?

***

Kita tidak bisa menutup mata dan dapat dipastikan, di manapun ada pemilu di situ ada kecurangan dan manipulasi. Baik di negara otoriter maupun negara demokratis. Di negara-negara komunis misalnya, Pemilu tetap diselenggarakan, tapi dengan menggunakan ‘kontestan tunggal’, yaitu partai komunis. Jadi, apapun pilihannya partai komunis tetap menang. Karena memang pilihannya hanya satu, perebutan pun terjadi antar tokoh-tokoh partai—di wilayah atau distrik—yang ingin duduk di parlemen. Pada titik inilah letak kerawanan kecurangan Pemilu di negara-negara komunis.

Sedang di negara-negara penganut demokrasi liberal, sebuah pemilihan umum selalu riuh, penuh hiruk pikuk, layaknya pasar. Berbagai kelompok dan kalangan berlomba-lomba merebut perhatian massa selagi kampanye. Mereka tidak segan-segan saling menjelek-jelekkan dan menjatuhkan lawan politiknya, nuansa pertarungan juga sering diliciki dengan vote buying (pembelian suara).

Lebih ramai lagi, justru terjadi di negara-negara dunia ketiga yang gayanya sok demokratis seperti Indonesia. Orang-orang sibuk membikin partai, kampanye, mengobral janji, layaknya orang jualan tempe di pasar. Di saat kondisi bangsa seperti ini, konflik, perebutan kekuasaan, sentimentil, dan fanatisme, kalau tidak dikendalikan justru akan membikin runyam nasib demokratisasi di Indonesia.

***

Di Indonesia, Panwaslu memiliki otoritas dan wewenang, tapi apakah ia mampu menjalankan sesuai dengan undang-undang? Tentu saja ini merupakan ‘PR’ besar yang harus diselesaikan. Kasus pengaduan 30 parpol ke MI—sebagaimana di atas—sebelumnya sudah pernah terjadi pada pemilu 1972, dilakukan Subhan ZE, selaku ketua PBNU, mengadukan kecurangan Pemilu kepada MI, walaupun gugatan itu tidak berlanjut karena dia meninggal di Arab Saudi. Tapi, mengapa kesalahan sejarah itu meski terulang kembali? Bukankah bangsa yang besar akan selalu belajar dari sejarahnya?

Semakin jelas, bahwa fokus pengawasan Pemilu sebenarnya pada pelanggaran atau kecurangan yang terjadi saat Pemilu. Dan kecuranga ini telah diantisipasi oleh undang-undang, baik UU Parpol maupun UU Pemilu. Misalnya, pelarangan suap-menyuap (money politic) agar tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilihnya kepada calon tertentu. Pelanggarang atas ketetentuan ini akan diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga tahun, yang berlaku bagi pihak yang memberi maupun yang menerima (UU Pemilu, pasal 73 ayat 3). Ada juga aturan tentang pelarangan terhadap partai politik untuk menerima sumbangan atau bantuan dari pihak luar negeri, baik pemerintah maupun badan usaha (UU Parpol, pasal 12 ayat 4 dan pasal 16 ayat b). Ini menunjukkan, secara teknis dan prosedural memang sudah sistematis, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih perlu dipertanyakan.

Memang, keseriusan Paswaslu harus dinomorsatukan. Pernahkah Panwaslu menyelesaikan kasus ‘operasi fajar’, misalnya, atau kasus-kasus lain? Ini menunjukkan bahwa Panwaslu tidak memiliki paradigma kerakyatan yang benar-benar otonom dan independen membela kepentingan rakyat. Ketidakseriusan Panwaslu menunjukkan ketidakpeduliannya atas kemurnian “suara tuhan”.

Padahal dalam kerjanya, Panwaslu didampingi oleh pemantau independen. Seperti Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Komite Pengamat Pemilu Nasional (KPPN) dan lain-lain, yang sama-sama bertugas mengawasi atau memantau Pemilu. Tapi apa kenyataannya? Ternyata, antara yang satu dengan yang lain tidak ada keharmonisan, saling tuduh dan lempar batu sembunyi tangan. Seharusnya mereka saling bekerja sama dengan membangun koordinasi dan komunikasi yang seimbang dengan harapan agar kecurangan dalam Pemilu 2004 dapat diminimalisir.

***

Di samping itu, sangsi tegas atas pelanggaran Pemilu akan semakin ligitimate dengan adanya rencana pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini diamanatkan oleh ketentuan Pasal III aturan peralihan UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR pada 10 Agustus 2002. Dengan demikian, pembentukan lembaga ini adalah keniscayaan.

Tapi, kendalanya justru terletak pada landasan konstitusional. Seharusnya, batas waktu yang ditentukan adalah 17 Agustus 2003, namun hingga kini pembahasannya pun belum jelas. Sehingga hampir dapat dipastikan, MK akan mengalami kemoloran waktu. Walau demikian, kita tetap berharap agar sebelum Pemilu nanti sudah terbentuk MK dengan landasan konstitusional dan kelembagaan yang kokoh.

Berdasarkan ketentuan pasal 24 UUD 1945, MK memiliki wewenang yang luar biasa, yaitu memutus konflik dan pembubaran partai politik dan juga mampu memberikan keputusan jika terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu. Ini diharapkan dapat mempertegas sanksi hukum pelanggaran dan kecurangan waktu Pemilu.

Selain itu, MK juga berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam pengujian UU terhadap UUD, serta memberikan keputusan atas pendapat DPR mengenahi dugaan pelanggaran oleh Presiden menurut UUD. Singkatnya, hampir semua otoritas yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah itu berhubunhgan langsung dengan kepentingan parpol dan berperan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution).

Jelas, keberadaan MK—paling tidak—dapat mencegah ketelantaran hukum di Republik ini, tidak terkecuali beberapa kasus kecurangan Pemilu yang tidak pernah mendapat tanggapan serius dari lembaga hukum. Jadi, jangan sampai terjadi lagi tindakan pengaduan kecurangan Pemilu ke MI. Mari bersama-sama kita buktikan bahwa bangsa Indonesia sekarang menjadi bangsa yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan. []


Sumber: Pelita, 8 Juli 2003.

Tuesday, June 17, 2003

Mahasiswa, Pemilu, dan Politik Uang

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tidak bisa dipungkiri, kekuasaan adalah makanan empuk yang selalu menjadi rebutan. Kekuasaan bukanlah teoritis semata, melainakan realitas yang terus-menerus berkembang. Untuk meraihnya, bisa dengan berbagai cara. Makanya, perlu adanya mekanisme kontrol yang seimbang (check and balance) antara rakyat dan negara (penguasa), agar tercipta nuansa politik yang fair dan terkendali.

Meski demikian, tidaklah mudah mengawasi ‘negara’. Karena, negara memiliki otoritas yang mampu untuk melegitimasi dirinya. Wajar saja, tatkala orde baru berkuasa, yang terjadi adalah negara mengontrol masyarakat (state control society), bukan sebaliknya. Lalu, di manakah letak kedaulatan rakyat?

Salah satu ring yang menjadi basis kekuatan rakyat untuk menegakkan kedaulatan adalah mahasiswa. Yang berperan sebagai penyambung ‘lidah rakyat’ dan memperjuangkan hak-hak kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa diskriminasi.

***

Momen pemilihan umum (general election) merupakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Pemilu 2004 adalah pemilu yang paling demokratis dalam sejarahnya. Presiden tidak lagi dipilih parlemen tapi langsung oleh rakyat.

Sayangnya, disinyalir banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ingin mengotori pesta rakyat tersebut. Sekarang ini, pemilu masih belum dimulai, akan tetapi kecurangan-kecerangan sudah ada di sana-sini. Misalnya, mencuri star kampanye. Sebagaimana dilakukan PDI-P dan PPP (5/4/03). Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), kegiatan PDIP yang menghadirkan Megawati Soekarno Putri serta PPP yang melibatkan Hamzah Haz secara terpisah di Bandung, serta kegiatan lain yang melibatkan publik luas dapat dikatakan sebagai kampanye terselebung.

Dalam hal ini, mahasiswa sebagai agent of social control, mempunyai amanat moral yang sangat berat. Yaitu melakukan upaya-upaya pembebasan dari hegemoni penguasa (baca: pembohongan publik dan manipulasi) terhadap rakyat. Maka, saat pemilu nanti, harus dibentuk badan-badan pengawas yang bertugas sebagai pemantau pemilu. Dengan tujuan, agar tidak terjadi praktek-praktek politik culas yang tidak diinginkan. Kalau dibiarkan begini terus-menerus, maka dapat dijadikan patokan, bahwa pemerintah tidak pernah serius menjalankan amanatnya sebagai wakil rakyat. Di sinilah letak urgensi relasi mahasiswa dan rakyat. Sebagai pendukung setia rakyat dalam melakukan proses kontrol terhadap penguasa.

Momok Politik Uang

Sulit dibayangkan, pemilu 2004 bisa bersih dari politik uang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, faktor yang menjadi momok dalam pemilu adalah money politics. Sampai sekarang, belum ada ketegasan dari pihak yang berwengan tentang pelanggaran-pelanggaran selama pemilu. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tidak dapat berbuat banyak karena hanya memiliki wewenang administratif. Sementara polisi yang diberi wewenang pidana masih enggan melakukan tindakan yang proaktif. Pengawasan yang ketat dari lembaga pengawas pemilu independen justru tidak bisa berbuat apa-apa, tindakan mereka tidak bisa membendung intensitas politik uang menjelang pemungutan suara. Contoh, panwaslu menemukan “serangan fajar” di kawasan Jabotabek, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Pertanyaaan sekarang adalah sistem manakah yang lebih berpeluang untuk dijadikan ajang politik uang? Pemilihan presiden langsung atau tak langsung?

Kalau dihitung-hitung, pemilihan presiden secara tidak langsung itu hanya melibatkan MPR saja. Tapi, jika pemilihan presiden secara langsung, jumlah pemilih lebih besar, kurang lebih 120 juta rakyat Indonesia terlibat langsung dalam pemilihan. Dari sini, bisa dilihat sistem manakah yang lebih cenderung cocok untuk memainkan politik uang?

Pengamatan politik pemerintahan, Andi Alfian Malarenggang, mengatakan bahwa dengan pemilihan presiden secara langsung otoritas MPR akan diperkecil. “Jika dengan pemilihan tak langsung, anda bisa membeli suara anggota MPR sebanyak 351 saja, lalu anda sudah bisa menjadi presiden. Namun, dengan pemilihan langsung upaya sogok atau suap bisa diperkecil, mustahil membayar 120 juta pemilih, sebab membutuhkan uang besar sekali.” Katanya.

Apapun sistemnya, tetap deperlukan adanya keseriusan dan kecermatan dalam mengahdapi pemilu 2004, agar kesalahan tahun lalu tidak terulang lagi. Salah satu problem pemilu, menurut penulis, yaitu tentang pengaturan dana kampanye pemilu. Setiap tahunnya terdapat revisi di sana-sini, tapi kenyataannya, tidak bisa lepas dari dilema money politics. Akibatnya, rakyat merasa skeptis terhadap pengaturan distibusi dana parpol di sebuah negara yang korup seperti Indonesia ini. Memang, pangaturan distribusi dana kampanye sering terjadi overlap. Maknya, di wilayah inilah sering terjadi praktik penyelewengan.

Di Indonesia, ada banyak modus dalam parktik money politics. Misalnya, operasi fajar, political sduction (bujukan politik), sumbangan kas dinas, sumbangan diskriminatif, dan ada juga yang bermotif konsolidasi dana melalui operasionalisasi bisnis partai (penggalangan dana dengan berkedok di balik nama yayasan). Sebagaimana kasus pada Yayasan Dana Karya Abadi (Dakab) yang mengumpulkan dana untuk Golkar semasa Orde Baru. Perkembangan modus seperti ini sangatlah banyak, tapi kenapa sama sekali tidak dibarengi dengan mekanisme penegakan hukuman serta sangsi tegas atas pelanggaran ketentuan pemilu. Pertanyaan kemudian, dari manakah sumber-sumber politik uang yang demikian menjamur?

Pengamat politik dari UGM, Cornelis Lay, mengklasifikasikan sumber mobilisasi dana politik demi kepentingan partai dalam tiga kelompok—berdasarkan kapasitas financing-nya di masa Orde Baru. (1) Beban Rp 1 milyar. (2) Baban Rp 500 juta. (3) Beban Rp 200 juta. Kelompok pertama biasanya memperoleh dana dari kalangan pengusaha atau konglomerat yang dibesarkan dan dilindungi oleh Suharto. Sedangkan dua kelompok terakhir biasanya perolehan dana bersumber dari pengusaha daerah.

Selain itu, Aloysius Gunadi Brata juga mengklasifikasikan sumber pembiayaaan politik uang. Pertama, berasal dari kantung pribdi. Maksudnya, uang pribadi yang diperoleh dari korupsi dan kolusi. Kedua, memanfaatkan kekayaan negara. Dan ketiga, bersumber dari pengeluaran pemerintah.

Bagaimana bisa menciptakan clean government jika saat pemilihannya banyak ditemukan kecurangan di sana-sini? Usaha untuk saling menjatuhkan memang diperbolehkan dalam berpolitik, asalkan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, sportifitas, dan fair play. Tapi, jika sudah keluar dari ketetapan, maka ia sama dengan menggadaikan moral rakyat Indonesia demi kepentingan sesaat.

Cara yang paling tepat untuk membasmi politik uang, Pertama, penegakan hukum dengan pemberlakuan sangsi secara tegas terhadap pelaku pelanggaran pemilu. Kedua, partisipasi rakyat dan semua elemen (mahasiswa, LSM, NGO, dll.) untuk bahu-membahu mengontrol jalannya agenda pemilu. Ketiga, memberikan pendidikan politik, semacam penyuluhan kepada rakyat tentang mekanisme pemilu, sekaligus rule of the game yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan dalam pemilu. Dengan demikian, paling tidak politik uang bisa diminimalisir.

Akhirnya, penulis menegaskan—meski merupakan bahaya besar—politik uang bukan “satu-satunya” kejahatan pemilu yang harus diwaspadai. Masih banyak cara dan motif bagi mereka yang berniat untuk menodai pemilu. []



Sumber: Pelita, 17 Juni 2003.

Tuesday, May 13, 2003

Pendidikan dan Transformasi Moral; Potret Moralitas Bangsa Indonesia

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Dulu, waktu kecil, kita pernah belajar mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)—sekarang PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Hal ini menunjukkan, sejak dini kita sudah dikenalkan dengan moral. Di dalamnya dipelajari makna pedoman dan penghayatan Pancasila yang merupakan cerminan berbangsa dan bernegara, bahkan kita sampai hafal di luar kepala.

Di antaranya, ada yang berbunyi: kemanusiaan yang adil dan beradab. Sungguh, betapa pentingnya peranan moral. Bagaimankah peranan pemerintah dalam pembangunan moral suatu bangsa? Disetujui atau tidak, dalam pemerintahan Orde Baru (Orba) terjadi kesalahan dalam menerapkan pendidikan moral. Dengan maksud yang terselubung, Pancasila dijadikan sebagai kedok moralitas pemerintah ketika itu. Dengan dalih Pancasila, yang tidak sependapat dengan pemerintah akan tersingkir dan tersungkur.

Moral seperti inikah yang akan dijadikan sebagai juru penyelamat bangsa? Atau kita memang belum mengerti (sok tahu) tentang moral, walaupun sudah bertahun-tahun belajar?

Immanuel Kant berpendapat, moralitas adalah keyakinan dan sikap batin. Bukan hanya penyesuaian dengan aturan dari luar yang berupa norma, hukum atau istiadat, namun lebih pada cerminan pribadi yang bersumber dari hati nurani manusia, yang disadari sebagai kewajiban mutlak. Konsep moral Kant tersebut dikritisi oleh Hegel dengan menyatakan bahwa moral perspektif Kant adalah bersifat abstrak, sehingga sulit untuk direfleksikan. Menurutnya, moralitas itu tidak tergantung pada otonomi individu yang berdasarkan hari nurani, namun meliputi tiga lembaga yang saling dialektis: (a) hukum, (b) moralitas dan (c) tatanan sosial (sittlichkei). Perbedaan antara Kant dan Hegel tidaklah jauh, peranan Hegel bisa dikatakan sebagai penjelas dari pemikiran Kant.

Jadi, kesadaran bermoral harus melibatkan banyak elemen, sebagaimana di atas. Bukan hanya menguntungakan satu pihak saja, sedang yang lain dirugikan. Mungkin kita bisa membenarkan kata Muchtar Lubis dalam ceramahnya, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban di Taman Ismail Maszuki. Ciri manusia Indonesia adalah hipokrit (suka berpura-pura), yang cenderung akan melakukan apapun asal menguntungkan bagi dia, walaupun harus bertentangan dengan pemikiran dan hari nurani, karena yang menjadi tujuan inti adalah super Ego “Aku”. Moral dan mental seperti inilah yang menjadikan bangsa Indonesia semakin botol (bodoh dan tolol).

Lalu, apa peranan pemerintah dalam mencerdaskan moral manusia Indonesia selama ini? Ada apa dengan moralitas kaum terdidik atau terpelajar? Moralitas yang bagaimankah yang dijadikan kiblat atau acuan masyarakat Indonesia? Siapakah yang bertanggung jawab terhadap masalah ini? Inilah beberapa pertanyaan akan memberikan setetes diskripsi moralitas bangsa Indonesia.

Potret Moralitas Kaum Terdidik

Berikut ini akan disoroti beberapa potret moral yang dilakukan kaum terdidik—karena dianggap representasi dari masyarakat bermoral—yang menarik untuk dikritisi. Pertama, politisi. Fenomena yang sudah menjadi rahasia umum, money politik tidak dapat dihindari dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Hanya untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan, cara-cara yang amoral pun ditempuh. Apalagi menjelang pemilu, kampanye partai-partai politik bak cawan dimusim hujan. Even seperti ini banyak dimanfaatkan oleh politikus Indonesia untuk mencari keuntungan (uang basah) dengan mengumbar janji yang sok aspiratif, penyambung lidah rakyat, demokrtis, anti KKN dan sebagainya. Namun apa yang terjadi, janji tinggallah janji, yang tertinggal hanyalah penderitaan, kemiskinan, dan penindasan yang tetap dirasakan oleh rakyat.

Sementara itu, para politisi enak-enakan nongkrong dikursi dewan. Mereka datang, duduk dan diam, kalau ngantuk ya tidur, tanpa ada beban apapun. Dalam benaknya yang ada hanyalah harta dan tahta, menang atau kalah, menggulingkan atau digulingkan, tiada hari tanpa sikut-sikutan dan rebutan. Lalu, apa makna janji politik yang pernah digembor-gemborkan dulu? Tanpa dijawab kita sudah tahu, itu hanyalah retorika belaka. Ternyata, perkataan Yues Michaud (1976) terjadi di Indonesia, yaitu “politik porno” (segala bentuk kekerasan dan kecurangan politik untuk tujuan tertentu). Bentuk politik porno antara lain: demontrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan oleh kelompok tertentu dan lain-lain. Berarti kesimpulannya, politikus Indonesia menggunakan sistem “politik porno”.

Jika demikian, apa perbedaannya dengan pelacur? Menurut Gunawan Mohammad, pelacur melacur dengan (maaf) ‘anu’nya, sedangkan politikus melacur dengan intelektualnya. Seharusnya politikus itu sadar, bahwa uang yang ia makan setiap hari adalah hasil keringat rakyat, tapi mereka tanpa ampun membunuh rakyat yang tidak satu persepsi. Sungguh tak bermoral, manakah letak keberpihakan mereka kepada rakyat?

Kedua, kaum akademisi. Gejala yang paling membumi di kalangan ini adalah plagiasi karya ilmiah. Misalnya, beberapa tahun lalu muncul berita heboh dari kampus Universitas Gajah Mada (UGM), penjiplakan tesis oleh dosen (mahasiswa progam magister) dari universitas swasta. Di Indonesia, jiplak-menjiplak dalam dunia akademisi merupakan hal biasa. Apakah ini mencerminkan sikap yang bermoral? Tidak kalah menariknya adalah jual beli di kalangan akademisi, bisa gelar, ijazah dan lainnya, demi untuk melanjutkan kuliah atau melamar pekerjaan, dikarenakan—bisa jadi—dulu tidak lulus atau di-drop out. Selain itu, naskah soal-soal ujian juga sering kecolongan atau kebocoran. Hal ini disebabkan adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang hanya memikirkan perut walau harus menelantarkan moral. Ini terbukti ketika Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ujian Akhir Sekolah), bocoran soal ujian acap kali ditemukan. Dari dulu sering terjadi, hanya sekaang saja mulai ada buka-bukaan tentang masalah ini.

Ketiga, kaum birokrat. Lembaga Tranparancy Internasional (TI), melakukan penelitian di berbagai belahan dunia berkesimpulan, bahwa Indonesia terpilih sebagai kategori negara terkorup nomer tiga (1999), tahun 2000 menyabet rangking empat, ironisnya, tahun 2001 Indonesia menggondol juara kedua (Metro TV). Mengenaskan sekali, negara yang berketuhanan, berkeadilan, dan beradab, tapi birokrasinya benar-benar bejat. Bukan hanya itu, sebagaimana dipaparkan Kompas (8/11/2001), dilema KKN juga melanda institusi pendidikan (18%), kesehatan (21,2%), bahkan lembaga agama tidak mau ketinggalan juga (27,1%). Katanya bergama dan bermoral?

Keempat, kaum yudikatif. Mereka akan kebingungan jika ditanya, (misalnya) pernahkah ada penangan kasus yang dilakukan oleh institusi keadilan secara tuntas? Semakin jubel dan bertambahnya kasus—tanpa penyelesaian—malah membuat santai peradilan, dan masyarakat mengerti bahwa peradilan can’t do it (baca: impoten). Tanggung jawab yang tergadaikan akibat ketidakmampuan institusi pengadilan menyebabkan hukum di Indonesia terlantar dan kehilangan prestise dan prestasi. Berbagai kasus itu antara lain: pemberantasan KKN, kasus HAM di Aceh, Semanggi 27 Juli, Tanjung Priok dan lain-lain. Itu semua ‘PR’ lembaga peradilan yang tak terselesaikan. Belum lagi suap-menyuap, ini semua adalah tanggung jawab institusi peradilan. Pertanyaannya, mengapa Bob Hasan bisa masuk Nusa Kambangan, sedangkan Suharto tidak? Ini adalah masalah kewibawaan hukum yang erat kaitannya dengan moralitas para penegak hukum.

Cermin dari wajah-wajah moralitas kaum terdidik tak dapat ditutup-tutupi lagi. Kebobrokan di sana-sini susah untuk diperbaiki. Benar kata Ronggowarsito, “Zamannya zaman edan, nggak edan nggak makan, ikut-ikutan edan nggak kebagian”. Realitas semacam ini seakan-akan mengatakan, Indonesia kian terpuruk dan sudah tidak bisa dijadikan tauladan lagi. Gara-gara apakah gerangan? Krisis moral kah atau ada hal lain?

Krisis Moral dan Kultural

Faktor determinan yang terkait dalam masalah ini adalah globalisasi, yang merembet pada style, human interest, tren, citra, dan krisis. Masyarakat Indonesia (pedesaan dan perkotaan) lagi demam dengan yang namanya bola mania, kafe, gaya hidup firtual, globe trotting, budaya instan dan lain sebaginya. Sikap-sikap yang cenderung suka menonjolkan gaya asing (sok keren, gaul, macho) dan mengesampingkan identitas yang bersumber dari akar budaya dan adat istiadat adalah sikap manusia yang sedang mengalami “krisis identitas”.

Bayangkan, orang Madura bergaya ala orang Amerika, makan Humberger, minum Coca-cola, celana Levi’s, kepalanya diikat dengan bendera Amerika. Pantaskah? Yang terbesit di hati mereka adalah gaya, keren, dan gaul. Gejala ini sudah mendunia, bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi mengapa Indonesia ikut-ikutan juga? Ini akibat dari arus informasi yang tidak terbendung. Jika orang Indonesia mengidentitaskan dirinya sebagai orang Ameika, sesuaikah dengan moralitas bangsa? Sebenarnya boleh-boleh saja asalkan tidak sampai lupa pada jati diri kita sendiri.

Jangan sampai kita lupa dengan eksistensi diri kita, kegemaran kita hanya bisa meniru fotokopi style orang lain. Tak ubahnya seperti burung beo yang cuma bisa menirukan orang lain, tanpa ada upaya filterisasi. Berarti kita boleh ikut tapi tidak boleh ikut-ikutan. Dengan kata lain “berfikir global, bertindak lokal” (untuk memakai kata AB Susanto).

Seiring dengan itu, budaya instan juga turut meramaikan globalisasi. Yaitu keinginan yang serba cepat dan tidak memakan banyak waktu. Semua pekerjaan bisa terselesaikan dengan cepat. Budaya inilah yang lagi digandrungi masyarakat Indonesia. Disadari atau tidak, kita takkan bisa mencegahnya, karena dunia semakin menggelobal dan sesak. Di sisi lain, manusia dituntut untuk bekerja optimal dengan efisiensi dan efektifitas dalam peningkatan produktifitas. Produktifitas merupakan password kemajuan dunia yang akan melahirkan budaya instan.

Sejalan dengan krisis indentitas dan budaya, seseorang akan mengelami kekeringan moral dalam hidupnya. Budaya yang begitu melekat sebagai jati diri, akan sirna dan hampa. Dari sinilah diperlukan integrasi antara modernitas dengan kebudayaan, saling mengisi kekurangan antara satu dengan yang lain. Menciptakan kebudayaan baru yang lebih berperadaban. Manusia tetaplah manusia, manusia bukanlah robot yang dimotori oleh modernitas, akan tetapi bertindak sebagai pengendali laju roda modernitas.

Kesadaran teknokratis, meminjam istilah Jurgen Habermas, harus diwaspadai. Sebab, dapat menyusutkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, semuanya hanya dipandang dari sudut teknis. Manusia akan menjadi—kata Herbert Marcuse—manusia satu dimensi (one dimensional man). Kesadaran ini sudah menggejala pada masyarakat Indonesia, ini dibuktikan dengan kepekaan terhadap masalah kesenjangan sosial, korupsi, HAM (Hak Asasi Manusia), dan demokratisasi. Mengapa? Ternyata menurut hemat penulis, lagi-lagi kesalahan terlatak pada sistem pendidikan nasional yang selalu mencerminkan (bahkan mendukung) kesadaran teknokratis.

Pendidikan di persimpangan jalan

Apresiasi yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sangatlah beragam. Perbedaan ini menimbulkan keberagaman sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Pertanyaan yang belum terpecahkan adalah metode apakah yang pas untuk membentuk moralitas masyarakat Indonesia yang berkepribadian dan mempunyai nilai moralitas yang tinggi?

Bagi penulis, faktor yang paling determinan dalam pembentukan moral adalah aspek pendidikan. Titik pangkal ini akan menjadikan barometer dari keberhasilan suatu bangsa dalam membentuk moralitas dan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan hendaknya bernilai transformatif; mendewasakan masyarakat, serta mngembangkan kepribadian, intelektualitas, dan ketrampilan mereka secara utuh.

Selain itu, sistem pendidikan harus mampu membaca dengan tepat kondisi riil dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Agar benar-benar mampu memberdayakan mereka dalam kehidupan yang serba majemuk ini. Sekarang ini, masih banyak ditemukan beberapa metode pendidikan dan pengajaran yang masih berkutat pada teacher oriented, bukan student oriented.

Maksudnya, murid harus menuruti kata guru. Tanpa ada proses dialog, diskusi atau tukar pikiran antara murid dengan guru. Sehingga, yang terjadi adalah murid tidak mempunyai kemandirian berfikir dan kemampuan intelektual yang lemah, karena mereka selalu diajari ketergantungan terhadap orang lain. Makanya, sikap kritis yang diharapkan tidak tercapai. Sebab, sistem pendidikanlah yang mengkooptasi dan mengebiri daya kritis murid. Mereka cenderung beranggapan, apa yang dikatakan guru adalah sebuah kebenaran. Akibatnya, siswa lebih mempunyai daya hafal yang tinggi dan daya nalar yang rendah.

Celakanya, sikap guru yang seperti ini diimbangi dengan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak pernah jelas. Dengan adanya berbagai metode yang diterapkan, dari CBSA (Cara Belajar Sisiwa Aktif) sampai pendidikan dasar sembilan tahun. Apa yang dapat kita rasakan dari sisitem pendidikan di Indonesia? Moralitas tetap bejat. Pemerintah sengaja menciptakan sistem pendidikan semacam itu untuk melanggengkan kekuasaan dengan hegemoni yang dilakukan dengan memasukkan ideologi-ideologi palsu yang dipoles seindah mungkin. Misalnya, setiap siswa baru harus mengikuti penataran P4. Tak ayal lagi, strategi ini merupakan upaya pemerintah untuk mematikan nalar kritis siswa terhadap negara.

Terpuruknya moral dan amburadulnya sistem pendidikan Indonesia diakibatkan oleh ulah pemerintah yang anti moral. Sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi serius yang harus dipecahkan. Sebagaimana dijelaskan Rektor UNIKA Manado, Yong Ohoitimur: pertama, kualitas nilai dalam buku rapor dan ijazah tidak menceminkan sumber daya manusia. Kedua, sistem pendidikan yang buruk mengakibatkan tidak maksimalnya peserta didik untuk mendapatkan pengajaran yang penuh dan berkualitas. Ketiga, buruknya moral dalam dunia pendidikan turut andil menggagalkan proses pendidikan sebagai proses pendewasaan para peserta didik sebagai manusia. Dari kenyataan pendidikan ini, tak usah heran jika medengar berita atau membaca buku yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup dengan kualitas pendidikan yang relatif rendah dan tak kompetitif.

Pendidikan yang Membebaskan

Paulo Freire, pendidik dan teolog humanis dari Amerika Latin, berupaya untuk mendobrak proses pendidikan tradisional “sistem bank”. Di mana guru mentransfer pengetahuan kepada murid, atau dengan kata lain guru berposisi sebagai subyek, sedang murid sebagai obyek. Jelas, sistem ini tidak terjadi komunikasi antara guru dengan murid.

Praktek pendidikan semacam ini terefleksikan dalam masyarakat yang tertindas dan sekaligus memperkuat struktur yang menindas. Ini adalah bagian dari strategi hegemoni penguasa untuk menguasai wacana masyarakat. Karena itu, tidak adanya kritik terhadap sistem pendidikan—dari bawah—menandakan bahwa sistem pendidikan kita cenderung sentralistik dan tidak mempunyai orientasi pembentukan moral.

Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menghapus hegemoni penguasa dalam pendidikan. Agar tercipta pendidikan yang membebaskan masyarakat dan mempunyai orientasi pembentukan moralitas berbangsa dan bernegara di Indonesia. Karenanya, diperlukan metode pendidikan kritis-dialogis. Mengapa? Karena, dalam dunia pendidikan, “mengetahui” adalah sebuah proses bukan tujuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, dialektika dalam pendidikan akan terus berlangsung sampai pada taraf pendewasaan dan pematangan diri.

Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang harus mempu merubah (membawa perubahan). Dari tidak tahu menjadi mengerti, dari bodoh menjadi pintar, dari terjajah menjadi merdeka dan seterusnya. Inilah yang biasa disebut sebagai pendidikan transformatif. Pendidikan semacam ini merupakan gerakan penyadaran yang mempunyai nilai urgensi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu upaya pembentukan moralitas dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. Ingat, maksud pendidikan di sini tidak hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan (sekolah) an sich, tapi kesatuan elemen bangsa (non-sekolah) secara menyeluruh: ormas, orsospol, LSM dan lain sebagainya. Jika demikian, maka terciptanya sistem pendidikan nasional yang transformatif dan kompetitif adalah keniscayaan. []


Sumber: Pelita, 13 Mei 2003.

Friday, January 31, 2003

Bisnis(isasi) Pendidikan dan Praktik Diskriminasi

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Pendidikan di Indonesia kian hari terasa kian jauh dari jangkauan rakyat kecil. Pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang yang berduit (the have), terutama di pendidikan tinggi. Apalagi, sekarang ini biaya kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) disalip oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) (Jawa Pos, 14/8). Jika dibiarkan, maka fenomena ini justru akan menciptakan diskriminasi di bidang pendidikan.

Gelagat ini mulai tercium sejak tahun 2000, yaitu saat pemberian status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN): Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM). Dengan statusnya yang baru, menjadikan PTN mandiri dalam mencari dana, karena tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah.

Fenomena ini seolah-olah menunjukkan, bahwa negara tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi. Apakah benar demikian? Bukankah kebobolan uang negara secara besar-besaran dalam berbagai kasus korupsi telah menempatkan negara ini sebagai yang terkorup di dunia? Belum lagi eksploitasi sumber daya yang melibatkan kekuatan asing dan kroni dalam negeri sendiri sudah menguras kekayaan bangsa ini. Begitu pula dengan gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah.

***

Berarti, PTN yang berstatus BHMN mempunyai otoritas yang otonom untuk menentukan berbagai kebijakan, termasuk dana operasional pendidikan. Dari sini, kemudian muncul kontroversi penentuan biaya kuliah. Dengan dalih untuk meningkatkan mutu pendidikan, biaya mahal pun diterapkan.

Bagi orang-orang berduit, ini bukanlah suatu problem. Tapi bagi masyarakat yang kehidupan ekonominya lemah, tentu saja PTN yang berstatus BHMN menjadi kampus elit yang tak tersentuh. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan kuliah telah melegalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Betul kata Paulo Freire, bahwa “sekolah” lebih berperan melegitimasi kelompok elit sosial tertentu daripada memberikan pemberdayaan dan membuka jalan kreativitas kepada seluruh lapisan masyarakat.

Sungguh ironis, sumbangan bagi mahasiswa baru di PTN-PTN favorit sangatlah tinggi. Sebagaimana di UI, mereka dibebani admission fee Rp 5 juta-Rp 25 juta, sedangkan jalur khusus bisa sampai Rp 75 juta. Begitu pula di UGM, yakni hingga Rp 20 juta, sedangkan untuk jalur khusus Rp 25 juta-Rp 100 juta. Sedangkan Unair juga sama saja, yakni Rp 5 juta-Rp 75 juta. Dengan biaya tersebut, apakah ada kesempatan yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu? Lagi-lagi, yang diuntungkan adalah hanya kalangan elit. Mengapa bisa seperti ini, dan pantaskah bisnis(isasi) pendidikan ini terjadi di negara yang mengaku sumber daya alamnya melimpah ruah? Padahal, di beberapa negara seperti Belanda, Perancis, dan Jerman memiliki Perguruan Tinggi yang bermutu tapi dengan biaya pendidikan yang rendah.

Paling tidak, fenomena mahalnya pendidikan di Indonesia dikarenakan, pertama, adanya oknum-oknum yang menjadikan dunia pendidikan sebagai “ajang bisnis”. Pelacuran intelektual (meminjam istilah J. Benda) semacam ini tampak jelas dengan, contoh, dibukanya “jalur khusus”. Yang tentunya, kualifikasi diterima atau tidaknya bukan dengan pertimbangan kualitas dan kapabilitas intelektual, tapi menggunakan pertimbangan fulus. Siapa saja yang fulusnya “berkualitas” dialah yang lolos seleksi. Praktik seperti ini akan berdampak pada pembiasan orientasi awal tujuan pendidikan, serta tidak memberikan kesempatan pendidikan yang layak kepada kalangan bawah.

Kedua, tidak adanya tunjangan (gaji) yang tinggi dari pemerintah bagi para dosen dan karyawan. Akibatnya, mereka harus menggunakan “jalan pintas” dengan menaikkan biaya pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tunjangan dengan memotong (baca: manipulasi) biaya pendidikan. Anggaran yang pada mulanya dialokasikan untuk pemenuhan sarana penunjang pendidikan diselewengkan menjadi anggaran kantong dosen dan karyawan.

Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut, secepatnya masalah ini harus diluruskan. Sebab jika tidak, maka akan menimbulakan dua akibat yang kontra-produktif dari tujuan pendidikan. Pertama, terlantarnya pendidikan anak-anak berpotensi yang tidak mampu. Kedua, krisis mutu pendidikan. Di mana pendidikan tidak akan berorientasi pada peningkatan mutu, tapi sebagai “ajang bisnis” yang merupakan derivasi dari komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.

***

Tak ayal, sistem pendidikan yang berlaku di pendidikan tinggi saat ini membuat kampus tak lebih dari sebuah pabrik yang memproduksi ahli teknologi dan ahli ideologi. Di mana peranannya dalam melanggengkan struktur yang ada sangatlah diharapkan. Sebagai sebuah produsen bagi tenaga kerja industri dan birokrasi maka kaum elit memiliki kepentingan yang cukup signifikan dalam menentukan kebijakan kampus. Karena itu, seluruh kegiatan yang diadakan di kampus merupakan bagian dari usaha untuk memapankan ideologi kaum elit.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pertama, pemerintah harus mengkaji ulang beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan, baik yang terkait dengan kurikulum pendidikan maupun birokasi yang melingkupinya. Sebab bentuk-bentuk komersialisasi pendidikan di pendidikan tinggi sudah sangat nyata. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas untuk memperbaiki kebijakan jika dinilai kontra-produktif. Begitu pula dengan PTN yang berstatus BHMN, pemerintah tidak bisa melepas begitu saja dan lari dari tanggung jawab untuk mengontrol dan mengevaluasi beberapa kebijakan yang dikeluarkan.

Kedua, pemerintah harus menindak secara tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik “kejahatan” di lingkungan pendidikan. Sebab, dunia pendidikan harus steril dari manipulasi, korupsi, dan hal-hal lain yang negatif. Bagaimana pemerintah mampu menegakkan supremasi hukum dan keadilan jika dalam institusi pendidikan masih belepotan dengan unsur-unsur “subversif”. Ketiga, harus ada hubungan yang kooperatif dan sinergis antara peserta didik, pendidik, dan pemerintah. Mereka mempunyai peran dan fungsi masing-masing untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara yang satu dengan yang lain. Dengan harapan supaya tercipta budaya kritis, damai, dan terbuka.

Walhasil, yang menjadi problem resource adalah mahalnya biaya pendidikan. Sebab, bagi penulis, melegalkan biaya pendidikan yang mahal berarti mengamini praktik diskriminasi dan bisnis(isasi) di bidang pendidikan. Stop diskriminasi…! []

Sumber: Buletin Nalar, Edisi 1/Th.III, 2003.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes