Tuesday, August 09, 2005

Ahmadiyah, Perbedaan, dan Tajdid Paradigma

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sampai kini radikalisme agama terus berlanjut. Teror, pembakaran rumah, masjid, dan gereja, sering terjadi. Kini aksi radikal atas nama agama kembali terjadi. Pada 15 Juli 2005, warga Parung-Bogor dihebohkan oleh aksi yang membubarkan kegiatan tahunan Jemaat Ahmadiyah di kampus Mubarok (Parung-Bogor). Aksi bringas ini dipicu keyakinan Ahmadiyah tergolong aliran sesat dalam Islam.

Justifikasi sesat atas aliran ini pernah dilontarkan MUI melalui Keputusan Munas MUI No 05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai Jemaat di luar Islam. Saya tidak habis pikir, mengapa mereka tega melakukan itu, padahal sama-sama Islam. Apakah itu yang diajarkan Rasulullah Muhammad?

Ahmadiyah bukan agama ilegal di Indonesia dan sudah ada sejak tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Saat itu, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, (13 Maret 1953) dan dinyatakan organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Pengakuan itu didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Islam agama mayoritas bangsa ini, kenapa kita tidak bisa memberikan contoh kepada agama lain. Bagaimana kita bisa bertoleransi terhadap agama lain, sesama agama saja tidak bisa akur. Ini bukti kita belum mampu bersikap arif dalam beragama. Mengapa kita harus benci, muak, marah, bahkan ingin menghancurkan orang lain yang tidak sama dengan kita? Bukankah al-Qur’an mengajarkan perbedaan adalah sunnatullah.

Menyambung Persaudaraan

Kekerasan dengan dalih menegakkan kalimat Tuhan, harus dikikis. Dalam aksinya mereka berteriak Allahu Akbar, tapi kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. Misi Islam bukan untuk memenangkan golongan sendiri, tapi rahmatan lil alamin. Dari sini, umat Islam harus menyadari, memahami, memaklumi, serta mengayomi perbedaan.
Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan puasa?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, sambungkan persaudaraan yang terputus, pertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, jembatani berbagai kelompok, dan kukuhkan ukhuwah di antara mereka, semua itu adalah amal saleh yang besar pahalanya. Melihat fenomena ini, Horace M. Kallen (1972) mengungkapkan radikalisme ditandai tiga kecenderungan umum.

Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan di dalam radikalisme terkandung pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat menjadikan tatanan tersebut ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. (Effendy & Prasetyo, 1998).

Keyakinan tersebut bisa bersumber dari pemahaman teks agama. Sabda Rasulullah saw yang amat populer, “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu (dengan tangan), dengan lisannya, apabila tidak mampu (dengan lisan), dengan hatinya. Dan (yang mengubah dengan hatinya) itulah selemah-lemah iman.”

Ketidakadilan

Hadits inilah yang sering digunakan kelompok garis keras sebagai dasar legitimasi saat melakukan kekerasan yang dianggap menyimpang dari koridor ajaran agama Islam. Mengubah kemungkaran dengan tangan ditafsirkan tindakan kekerasan. Padahal, tangan juga bisa bermakna kekuasaan atau otoritas yang dapat melahirkan ketentuan-ketentuan hukum agar masyarakat tidak saling menyakiti dan membunuh.

Keberadaan kelompok-kelompok gerakan keagamaan akan sangat berbahaya jika prinsip mereka sampai pada titik totalitas klaim agama atas kebenaran dan klaim agama atas keselamatan eskatologis surgawi. Pada posisi ini agama sangat potensial menjadi kendaraan dan legitimator kekerasan, lebih parah lagi bila perjuangan politik identitas mengambilnya sebagai amunisi.

Mengapa kelompok yang garang ini lebih mempersoalkan perbedaan daripada ketidakadilan yang kian merajalela? Mengapa korupsi, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan, serta ketimpangan sosial lainnya malah tidak digubris? Mari kita contohi perilaku Muhammad saw di mana prinsip amar ma’ruf nahi munkar bukan digunakan untuk semena-mena tapi justru memberi tanggung jawab masyarakat muslim untuk memerangi penindasan, tirani, dan eksploitasi. Karena itu, Islam menolak kekerasan untuk melakukan perubahan.
Muhammad hadir di masyarakat bukan sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan, tapi lebih dari itu ia memobilisasi dan memimpin masyarakat melawan ketimpangan sosial. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan penafsiran tunggal dan tidak berorientasi pada sisi kemanusiaan harus ditinggalkan, sebab akan membuahkan sikap dan tindakan yang kian jauh dari misi Islam. []


Sumber: Sinar Harapan, 09 Agustus 2005.

Tuesday, February 01, 2005

Menyorot Bantuan Asing untuk Aceh

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Luar biasa. Bantuan asing terhadap Indoensia untuk korban bencana gempa dan tsunami menembus US$3,5 miliar (sekitar Rp32,2 triliun). Antara lain dari Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Badan Dunia untuk Program Pembangunan (UNDP), pemerintah Jerman, pemerintah Korea, serta bantuan bilateral (G to G).

Tulisan ini hanya menyoroti bantuan asing karena bantuan dalam negeri tidak begitu perlu dikhawatirkan. Untuk menanganinya, cukup dikoordinasikan dan diawasi bareng-bareng dengan melibatkan pihak pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kekhawatiran penulis justru terletak pada bantuan asing. Karena, bantuan jenis ini membawa implikasi serius terkait hubungan (ketergantungan) dengan luar negeri (negara-negara kreditor) dan reputasi Indonesia di mata dunia internasional.

Penulis masih sangsi, apakah bantuan asing itu sungguh-sungguh bantuan (baca: hibah), bukan utang? Pasalnya, bahasa sangat menentukan konstruk opini publik. Kalau utang bilang utang, kalau bantuan bilang bantuan. Pemerintah harus terang-terangan mengenai soal ini. Dirjen Perbendaharaan Negara Mulia P. Nasution menegaskan, bantuan asing untuk penanganan bencana alam di Aceh dan Sumut ternyata sebagian besar berupa pinjaman alias utang dan hanya sebagian kecil yang berupa hibah (7/1/2005). Makanya, pemerintah harus tegas dalam menyikapi bantuan (utang) asing. Jika merugikan, kenapa harus diterima?

Utang luar negeri jelas-jelas membawa efek negatif bagi perekonomian Indonesia. Misalnya—yang marak saat ini—negara-negara kreditor (untuk tidak mengatakan rentenir) memperketat anggaran (APBN) dengan menghapuskan subsidi, serta mengurangi alokasi angggaran sosial. Kasus pengurangan subsidi BBM adalah bukti riil. Artinya, kalau perjanjian utang ini terjadi, maka pengendali subsidi bukan lagi oleh negara, tapi ada di tangan para kreditor.

Menolak Utang

Jika utang ditambah lagi, kapan Indonesia bebas dari utang (cengkraman kreditor)? Manakah bukti bahwa utang luar negeri hanya sekedar suplemen kecil yang diupayakan untuk membebaskan Indonesia dari utang? Yang terjadi justru Indonesia kecanduan utang. Ibarat kecanduan narkoba, Indonesia bisa ‘mati’ jika tidak utang. Karena itu, saat ini Indonesia harus tegas menolak utang luar negeri. Kenapa demikian?

Pertama, utang luar negeri adalah salah satu cara yang dilakukan negara-negara Barat (kapitalis) untuk menjajah pekonomian negara-negara penerima utang. Sebelum utang dicairkan, pihak kreditor pasti akan mengirimkan para pakarnya untuk mengetahui (memata-matai) isi kantong negara bersangkutan, dengan dalih untuk mengetahui kapabilitas dan kapasitas negara tersebut. Padahal, hakikatnya mereka dapat menyusun skenario proses pemiskinan dan ketergantungan yang amat canggih berdasarkan hasil mata-mata mereka.

Kedua, utang luar negeri merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik maupun ekonomi, bahkan sistem hukum, sosial, dan militer. Tujuan mereka memberikan utang tidak lain karena untuk menjaga keamanan dan eksistensi mereka, serta demi kelangsungan propaganda ideologi kapitalis.

Ketiga, utang sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam, terutama utang jangka pendek dengan bunga tinggi. Karena, utang yang dicairkan berbentuk mata uang asing (Dollar AS), dan harus dibayar dalam Dollar AS pula. Padahal, devisa negara peminjam amat rendah dibanding dengan mata uang asing tersebut. Akibatnya, mereka akan memborong Dollar yang jauh lebih mahal untuk membayar utang-utangnya.

Signifikansi Moratorium

Tawaran moratorium (penundaan pembayaran) juga merupakan bagian dari bantuan asing (Paris Club). Gordon Brown, Menteri Keuangan Inggris, menyebutkan: dengan adanya moratorium, negara-negara yang terkena musibah akan mendapat keuntungan sekitar US$3 miliar per tahun dari penundaan pembayaran cicilan. Benarkah demikian? Sejauh manakah signifikansi moratorium?

Hemat penulis, moratorium tidak begitu efektif. Sebab (1) menerima moratorium akan berisiko menurunkan peringkat utang Indonesia hingga menjadi default (gagal bayar. Akibatnya, Indonesia berpotensi untuk digolongkan menjadi negara yang “beresiko tinggi” terkait dengan kepercayaan dunia internasional.

(2) Indonesia dimungkinkan bisa kembali masuk program IMF—padahal sejak Desember 2003 sudah diputus—bila moratorium diberikan melalui forum Paris Club. Dampaknya adalah liberalisasi keuangan (pemerintah tidak lagi memegang sektor jasa keuangan), liberalisasi perdagangan (pemerintah sebagai “penonton” perdagangan bebas), dan privatisasi BUMN dan divestasi bank rekap (penjualan aset negara atau swastanisasi).

(3) Moratorium akan kontra produktif dengan pemulihan ekonomi. Dalam hal finansial, reputasi Indonesia akan merosot, sementara Indonesia saat ini sedang berjuang untuk mengembalikan reputasi yang hilang sejak dilanda krisis ekonomi 1997.

Dengan pertimbangan di atas, jelas sudah, bahwa moratorium tidak membawa perubahan yang signifikan dalam perekonomian Indonesia. Justru yang diperlukan saat ini adalah bukan sekedar moratorium, tapi penghapusan hutang (hapus utang lama, tolak utang baru).

Kita patut mengacungi jempol pada Menteri Luar Negeri Italia Gianfranco Fini yang secara tegas berkomitmen untuk menghapus utang Indonesia dan Srilanka senilai US$ 38 juta (sekitar Rp 348 miliar). Selain itu, dia juga mendorong negara-negara Eropa untuk melakukan hal yang sama. Langkah inilah yang penulis maksud dengan bantuan (penghapusan utang), bukan membantu tapi ujung-ujungnya nyekek dari belakang (moratorium).

Sekarang, sudah saatnya Indonesia berbenah diri, melepaskan diri dari ketergantungan asing. Ada lima cara. Pertama, memutuskan sama sekali utang luar negeri dengan negara-negara Barat.

Kedua, melakukan land reform dengan menghidupkan kembali tanah-tanah mati (ardlul mawat) untuk membangun sektor pertanian khususnya produk-produk pertanian. Seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Serta memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum. Seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, padang rumput, pertambangan emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dan lain-lain.

Ketiga, memutuskan import barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri. Agar ketergantungan pembayaran dalam bentuk mata uang asing diminimalisasi. Dan juga membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi.

Keempat, memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat.

Kelima, memfokuskan pembangunan industri dasar sebelum industri berat dan tidak memfokuskan pada industri ringan yang parsial dan konsumtif.

Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, Indonesia bebas dari utang adalah keniscayaan. Bukankah Indonesia telah merdeka sejak 1945? Tapi nyatanya, bangsa ini sampai sekarang masih di bawah ketiak asing, apakah ini yang dinamakan merdeka? Paparan di atas bukan merarti kita berprasangka buruk (su’udzan) kepada orang asing, tapi realitas di atas adalah hal yang maklum. Sebab, yang bermain dalam logika asing (negara-negara kreditor) adalah logika balas budi (nalar imperialisme), bukan tulus dan ikhlas. []


Sumber: Harian Jakarta, 1 Pebruari 2005.

Sunday, January 23, 2005

Mengawasi Pemberantasan Korupsi

Oleh Abdullah Ubaid Matraji 


Penguasa yang rakus dan membiarkan perilaku korupsi adalah ibarat seseorang yang menunggang macan (Riding The Tiger, film dokumenter dari Australia yang dibuat Curtis levy dan Christine Olson). Yakni, orang yang haus dan rakus dengan korupsi akan berada di atas sebuah realitas kehidupan yang berpotensi “culas” terhadap dirinya sendiri. Jika ia turun dari macan, bisa saja ia diterkam lalu dimakan. Sebaliknya, bila ia terus, ia tak akan bisa mengendalikan lajunya sampai ia terjerembab ke dalam jurang.

Tak pelak lagi, dalam hal korupsi, Indonesia termasuk jagoan; dari posisi keenam di tahun 2003 menjadi rangking kelima di tahun 2004 (versi lembaga Transparancy International). Dengan “prestasi” tersebut, Indonesia telah disejajarkan dengan negara-negara terbelakang, seperti Georgia, Angola, Republik Demokratik Kongo, Tajikistan, Turkmenistan dan lain-lain. Saking repot dan kompleknya, banyak orang bilang, menggempur tradisi korupsi tak ubahnya mencabut pohon beringin (maaf, tidak ada hubungannya dengan Golkar) dari ujung daun. Mengapa demikian? Sebab korupsi telah mentradisi (dilakoni bareng-bareng) sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup. Dan mayoritas, modus korupsi itu disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk mengeruk keuntungan pribadi. Begitu bejatnya tatanan birokrasi pemerintahan kita ini.

Apalagi kalau kita menengok “sistem hukum” yang (di)berlaku(kan). Aparat penegak hukum di Indonesia masih saja pandang bulu. Bulunya siapa ya? Bulunya maling kampungan apa bulunya maling dasian (berdasi)? Kalau maling kampungan langsung di-pentungi, sedang maling dasian—karena banyak pertimbangan—keburu lari ke luar negeri. Orang Batak bilang, “Penegakan hukum macam apa pula ini?” Ini adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri, bahkan seringkali aparat penegak hukumnya seolah-olah kalah pamor dan wibawa dengan Sang koruptor, jelas ini adalah problem moral dan mental yang harus segera dibenahi.

Keseriusan Pemerintah

Pemberantasan kasus-kasus korupsi adalah termasuk program prioritas SBY dalam shock therapy yang didengung-dengungkan. Bahkan, SBY berjanji akan mengkomandoi langsung program ini. Sebab, hal Ini terkait dengan janji-janji politik SBY semasa kampanye yang akan memberantas kasus korupsi sampai ke akar-akarnya.

Untuk merealisasikan janjinya, pertama, SBY menyeleksi pendekar-pendekar hukum yang mampu menerobos kokohnya benteng korupsi. Penunjukan Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung, yang dikenal memiliki integritas moral bagus, memberi harapan dalam penegakan hukum pada penyidikan dan penuntutan kasus korupsi. Kedua, diterbitkannya Inpres No 5/2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang diagendakan ke dalam 66 program kerja kabinet selama 100 hari pertama. Impres tersebut merupakan implementasi UU No 31/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, Inpres tersebut memiliki payung hukum yang besar. Sehingga, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk ragu-ragu mengganyang para koruptor di negeri ini.

Memang cukup membanggakan, tak lama kemudian, pemerintahan SBY telah membongkar kasus-kasus korupsi cukup besar seperti kasus yang melibatkan Adrian Waworuntu, Nurdin Halid dan beberapa pejabat daerah. Kasus penahanan Abdullah Puteh (Gubernur NAD), Djoko Munandar (Gubernur Banten), Gubernur Sumatera Barat dan beberapa kasus korupsi lain dianggap sebagai pustulat keseriusan pemerintahan SBY dalam menuntaskan (tas.. tas.. tas..) kasus korupsi. Meskipun masih banyak kalangan yang menilai kasus-kasus tersebut masih tergolong kategori korupsi kelas teri, belum yang (se)kelas “akbar”.

Penulis menegaskan, pemberantasan korupsi tidak dengan “deklarasi-deklarasi” tapi dengan action. Sebagai contoh, saat era Mega-Hamzah, ada dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang mendeklarasikan gerakan anti korupsi, tapi apa hasilnya? Ternyata nihil. Maka, strategi pemberantasan korupsi harus ditata ulang. Dus, kita patut menggenjot keseriusan pemerintah. Apalagi sekarang ini pemerintah sedang mengalami “degradasi pamor”, akibat dari resistensi masyarakat atas kenaikan harga BBM. Pergolakan akar rumput ini agaknya menyita—sementara—perhatian pemerintah atas kasus-kasus korupsi.

Menakar Kekuatan

Sejak era Gus Dur sampai sekarang, pemberantasan korupsi tidak berjalan mulus dan tersendat-sendat, sebab—menurut penulis—tidak disokong oleh tiga hal. Pertama, nihilnya political will dan komitmen politik dari pemerintahan secara keseluruhan, baik pusat maupun daerah (manapun). Bagaimana pemerintah daerah akan menegakkan supremasi hukum jika yang pusat tetap ongkang-ongkang dan bancaan duit rakyat? Begitu pula sebaliknya.

Jelasnya, pemberantasan korupsi tidak ada artinya jika tidak ada kesinambungan gerak antara pemerintah pusat dan daerah. Sebut saja kasus Abdullah Puteh (Gubernur NAD), dia tidak akan tertangkap jika tidak ada kerjasama antara penegak hukum yang berada di pusat dan daerah. Penulis yakin, jika tidak ada kerjasama yang baik, maka Gubernur-gubernur dan pejabat-pejabat yang lain tidak akan dimejahijaukan.

Kedua, lemahnya independensi politik dan operasional para “agen penegak hukum” (bukan hanya lembaga legal yang dibentuk oleh pemerintah) untuk melakukan investigasi atas penyelewengan pemerintah. Justru realitas yang sering ditemukan di lapangan adalah teror, intimidasi, dan taruhan nyawa. Ini sudah menjadi rahasia publik dan bukti lemahnya (untuk tidak mengatakan tidak ada) back-up dari pemerintah. Kasus munir, misalnya, merupakan bukti pil pahit yang harus ditelan oleh agen penegak hukum (sisi HAM-nya, bukan korupsi). Pemerintah tidak pernah serius dalam mengusut kasus ini, malah cenderung ditutup-tutupi. Pada intinya, lika-liku penegakan hukum di Indonesia masih panjang dan butuh perjuangan yang ekstra.

Ketiga, rapuhnya “kekuatan kekuasaan” yang memadai untuk melakukan investigasi dan meminta kesaksian terhadap penyimpangan yang melibatkan pejabat publik. Realitas yang sering kita temui adalah fenomena “jalan buntu” atas kasus-kasus pejabat dan akhirnya sirna karena terhalang oleh prosedur dan intervensi.

Sekarang, pertanyaannya adalah sudahkah pemerintah SBY-JK merestorasi tiga hal di atas? Menurut saya—meski agak lumayan (dengan tertangkapnya Abdullah puteh) tapi—belum maksimal. Terutama pada titik lemahnya independensi politik agen penegak hukum dan rapuhnya kekuataan kekuasaan. Terbukti dengan, pertama, lemahnya back-up dari pemerintah atas tindakan beberapa aktivis yang membongkar kasus-kasus korupsi “raja lokal” di daerah. Mereka nekad tanpa ada jaminan keselamatan dari pemerintah. Kedua, masih banyaknya tersangka kasus korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai “kekuatan kekuasaan” untuk menjerat koruptor kelas kakap, sehingga mereka dibiarkan dengan leluasa joging dan ajojing ke negeri orang. []


Sumber: Penulislepas.com, 23 Januari 2005.

Saturday, January 22, 2005

Kurban dan Komitmen Penegakan HAM

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sayang sekali, jika Idul Adha hanya difahami sebatas ritus menyembelih hewan kurban dan nyate (makan sate) rame-rame. Tindakan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, kemudian dibarter Tuhan dengan kambing adalah bentuk metafor-simbolik tradisi kurban. Napak tilas tradisi ini berarti belajar untuk bisa menyeimbangkan dua dimensi ibadah. Dimensi pertama, membuktikan kepatuhan dan ‘dialog ketauhidan’ kepada Tuhannya. Bagaimana pertarungan dalam diri Ibrahim, antara nurani kemanusiaan (sebagai Bapak) dan kepatuhan menjalankan perintah-Nya (hamba Tuhan).

Ketauhidan yang diperankan Ibrahim sebagai bapak monoteisme agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) adalah cermin bahwa Allah merupakan sentral dan titik tuju dari seluruh aktivitas kemanuisaan. Sekaligus menggambarkan, bahwa egosentrisme, hawa nafsu, dan hasrat kepentingan sesaat harus ditanggalkan dalam rangka menghampiri Tuhan. Bagi Ali Syari’ati, tauhid mengimpulsikan menusia untuk memotret segalanya sebagai suatu kesatuan (unity), yaitu kesatuan universal. Kesatuan antara tiga elemen: Allah, manusia, dan alam. Dalam artian, ketiganya tidak terpisahkan dan terasingkan satu dengan lainnya, juga tidak saling bertentangan serta tidak terceraikan oleh bentuk-bentuk segregasi.

Dimensi kedua, menjunjung ‘etos kemanusiaan’ melampaui kepentingan dan syahwat duniawi. Artinya, manusia tidak diperbolehkan untuk mengorbankan (melecehkan) dirinya, membunuh manusia dengan ngumpet dibalik simbol-simbol Tuhan. Pasalnya, manusia terlahir dalam keadaan fitrah dengan kehormatan yang harus dijunjung tinggi serta perlindungan atas hak-haknya. Ini adalah bagian dari sisi kemanusiaan agama, yaitu sejauh mana agama mampu membela manusia, bukan sebaliknya.

Ibarat Yesus bagi umat Kristiani, menurut penulis, Ismail adalah kurban keselamatan, kurban yang membebaskan manusia dari segala bentuk pelecehan atas harkat dan martabat manusia, serta menjadi petunjuk manusia dari kegelapan (kanibalisme) menuju terangnya kehidupan (sacrificial atonement). Makanya, terkait dengan momentum hari raya kurban, kita patut mengevaluasi. Sejauh mana tingkat keseriusan pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan (baca: HAM)? Dari sini bisa diukur, berapa kadar keseriusan pemerintah dalam rangka membela dan melindungi hak-hak rakyatnya.

Selain itu, kita juga bisa tilik perjuangan Rasulullah Muhammad dalam penegakan prinsip hak-hak asasi manusia. Salah satunya adalah tercermin saat khotbah Haji Wada’. Prinsip yang diusung Muhammad adalah humanitarianisme, egalitarianisme, keadilan sosial dan ekonomi, kebajikan, serta solidaritas sosial. (Fazlur Rahman, 1979: 25). Jelas, misi kemanusiaan yang di usung oleh agama harus mampu mengilhami bangsa ini untuk semakin getol dalam melindungi hak-hak rakyatnya dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bukankah negara ini adalah negara yang berketuhanan, dan bukankah agama-agama mengajarkan prinsip yang sama tentang kemanusian?

Menurut Abu A’Ala Al-Maududi, ada dua konsep hak dalam Islam. Pertama, hak manusia (haq al-ihsan atau huquq al-ihsan al-dharuriyyah). Kedua hak Allah (huquq Allah). Hak yang pertama inilah yang tersohor dengan sebutan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dunia Islam, penegakan HAM adalah upaya menempatkan manusia sebagai makhluk yang terhormat dan mulia, sehingga merupakan tuntutan ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia, tanpa terkecuali.

Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Hal ini tercermin melalui tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan Deklarasi Cairo (Cairo Declaration). Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama kali didirikan oleh Muhammad sebagai pedoman perilaku sosial-kemasyarakatan, keagamaan, serta perlindungan semua anggota masyarakat yang hidup berdampingan. Meski banyak menuai kritik, fenomena ini menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah. Dia menyatakan, kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.

Selain Piagam Madinah, terdapat deklarasi Cairo yang memuat beberapa ketentuan HAM. Antara lain: pertama, hak persamaan dan kebebasan (QS. 17:70, 4:58, 105, 107, 135, 60:8). Hak hidup (QS. 5:45, 17:33). Hak perlindungan diri (QS. 90:12-17, 9:6). Kedua, hak kehormatan pribadi (QS. 9:6). Hak keluarga (QS. 2:221, 30:21, 4:1, 66:6). Hak keseteraan wanita dan pria (QS. 2:228, 49:13). Hak anak dari arang tua (QS. 2:233, 17:23-24). Ketiga, hak mendapatkan pendidikan (QS. 9:122, 97:1-5). Hak kebebasan beragama (QS. 109:1-6, 2:136, 18:29). Hak kebebasan mencari suaka (QS. 4:97). Hak memperoleh pekerjaan (QS. 9:105, 2:286, 67:15). Keempat, hak memperoleh perlakuan yang sama (QS. 2:275-278, 4:161, 3:130). Hak kepemilikan (QS. 2:29, 4: 29).

Sebegitu mendalam konsep HAM perspektif Islam. Tapi, mengapa pada tataran implementasi masih tergolong rendah? Buktinya, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masih banyak ditemukan kasus-kasus pelanggaran HAM. Siapakah yang salah? Menurut penulis, faktor utama adalah human error (kesalahan pada manusianya). Dari sudut kaca mata agama—dengan pertimbangan berbagai kasus—kita melihat bahwa masyarakat Indonesia kurang mampu memahami agama secara holistik. Pemahaman mereka sebatas keharusan untuk menjalankan ritual-ritual simbolik (seperti sholat, puasa, hari raya, haji, dll), tanpa dibarengi dengan pemahaman yang tersirat dibalik ritual-ritual tersebut.

Karena itu, membumikan nilai-nilai dan pesan perenial ajaran agama adalah keharusan. Yaitu dengan mengedepankan horizon kemanusiaan agama-agama. Dengan sisi kemanusiaan, kita tidak lagi tega untuk memperkosa agama untuk sebuah kepentingan, legitimasi kebohongan, manipulasi tafsir, dan sebagianya. Tapi, agama justru akan memberikan ruh atas kehidupan masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi pada penghormatan hak-hak asasi manusia. []


Sumber: Penulislepas.com, 22 Januari 2005.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes