Thursday, December 26, 2013

Kuasa Negara Kebiri Pendidikan Agama

Historisitas pesantren sebagai lembaga yang konsisten di jalur pendidikan Islam yang merakyat, selalu dilingkupi dengan jejak keterpinggiran. Keberadan pesantren, pada era kolonial, dianggap ganjalan oleh Belanda lantaran sikapnya yang non koperatif dan konfrontatif. Pesantren pun akhirnya tak diberi ruang. Bahkan, spionase ditebar di mana-mana oleh pemerintah Belanda untuk mengawasi gerak-gerik gerakan pesantren.  Tak hanya memantau rupanya, tahun 1932 sikap Belanda kian tegas. Pemerintah kolonial merilis aturan yang dapat memberangus dan menutup pesantren atau lembaga pendidikan lain yang tidak mengantongi izin, atau materi pelajaran yang diajarkan tidak sevisi dengan pemerintah.

Kebijakan ini jelas menunjukkan pemerintah kolonial tidak memberikan ruang sedikitpun atas pendidikan agama yang diselenggarakan oleh pesantren. Di mata kolonial, pesantren dengan pendidikan agamanya yang diajarkan oleh para kiai, bukan hanya sebagai ancaman terhadap kebijakan keamanan dan ketertiban (rust en orde), tapi juga mengusik masa depan kenyamanan pendudukan dan penjajahan mereka di bumi Nusantara. Langkah sebaliknya, untuk menghalau pendidikan pesantren, pada saat yang sama penguasaan ilmu-ilmu umum melalui sekolah digencarkan oleh Belanda untuk mendukung misinya.  Untuk menghalau model pendidikan penguasaan ilmu agama di pesantren, mereka merintis sekolah-sekolah kolonial.

Di sekolah ini, siswa dibedakan menjadi dua golongan sesuai dengan watak politik kolonial yang membedakan antara bumi putra  dan pihak penjajah. Mereka diajari materi pelajaran umum yang berkembang di dunia Barat. Langkah ini ditempuh sesuai dengan gagasan pemikiran politik Snouck Hurgronje, yang meyakini model pendidikan Barat akan mengalahkan pengaruh Islam di Nusantara melalui pendidikan pesantren.  Sebab, lulusannya nanti akan menjauh dari pengaruh Islam dan mempermudah mempertemukannya dengan cara pandang Barat atau pemerintahan Eropa.

Friday, July 02, 2010

Label (Syariah) Saja Tidak Cukup

Ada 9 fatwa yang dirilis DSN MUI terkait dengan jual beli model murabahah. Sebagai obyek penelitian, fatwa-fatwa tersebut di cross-check dengan kenyataan di lapangan. 
Dan ternyata, penulis menemukan beberapa praktik murabahah di bank syariah yang justru menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Kita sepakat melalui buku ini, jangan sampai label bank syariah hanya dijadikan alat untuk meraup keuntungan, dengan tanpa mematuhi rambu-rambu ke-syariah-aan yang telah ditetapkan. Inilah yang membedakan bisnis syariah dengan bisnis biasa. Dalam bisnis syariah, terdapat keseimbangan gerak vertikal (habl min allah) dan horisontal (habl min nas).

Karya: Fahruroji, Rahmad Dahlan, Abdullah Ubaid
Cetakan: Pertama, Juni 2010
Penerbit: PKSPP, Jakarta

Sunday, March 21, 2010

Simetris Kiai Sahal dan Kependudukan

Media massa terus memproduksi berita mengenai perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran anak, hingga trafficking (perdagangan orang). Peristiwa itu telah menjadi konsumsi hampir tiap hari. Ada kecenderungan grafiknya meningkat setiap tahun. Jika kehidupan keluarga sebagai unit terkecil seperti ’’neraka’’, maka dikhawatirkan melahirkan ’’neraka-neraka’’ yang areanya lebih luas yaitu lingkup negara.

Dengan perkataan lain, kalau kualitas ketahanan keluarga itu buruk, maka buruklah kehidupan negara. Sebaliknya, kalau kualitas ketahanan keluarga baik, maka baiklah kehidupan negara.

Karena itu, perbaikan negara harus bermula dari keluarga. Allah SWT berfirman di dalam Surat At Tahrim (66) ayat 6 yang berbunyi: ’’Yaa ayyuhalladzina amanu quu anfusakum wa ahlikum naaro’’ (Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka).

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa perbaikan dimulai dari unit terkecil: keluarga! Kedua orangtua harus memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Tanpa itu, ajaran apapun yang diberikan pasti dimentahkan. Rasulullah menekankan: Ibda’ binnafsika! (Mulai dari dirimu sendiri!).

Jika orangtuanya saleh, anak biasanya turut saleh, walaupun tidak selalu begitu rumusnya. Sebab, masih ada orangtua nonbiologis yang turut menjadikan hitam putihnya seorang anak. Orangtua nonbiologis itu bisa lingkungan masyarakat, media, dan juga negara.

Namun, keluarga sebagai tempat pembinaan pertama (madrosatul ula) umumnya sangat menentukan. Kalau mahligai keluarga dibangun di atas pondasi keimanan yang kokoh, maka akan melahirkan anak-anak yang tangguh. Bak ikan di tengah lautan, meski di sekelilingnya asin, dia tidak turut asin. Generasi Robbani semacam inilah yang harus senantiasa menjadi spirit. Bukan hanya keimanan yang kokoh, tapi juga kekuatan fisik, kesejahteraan ekonomi, dan kualitas pendidikan. (QS Al-Furqon (25) ayat 74 dan QS Al-Nisaa’ (4) ayat 9.

Ayat-Ayat KB

Buku berjudul Keluarga Maslahah: Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal yang ditulis M Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid ini memberikan gagasan terobosan dalam menciptakan keluarga maslahah (keluarga yang baik). Sebuah rumusan yang berangkat dari tujuan pernikahan untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah (QS Ar-Rum (30) ayat 21). Suami istri saling memberikan ketenteraman satu sama lain.
Salah satu instrumen menarik dari terbentuknya keluarga maslahah di dalam buku ini adalah tentang pentingnya Program Keluarga Berencana (KB). Mengapa KB pilihannya? Berdasarkan perhitungan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bila masyarakat Indonesia tidak menjalankan Program KB, diperkirakan 11 tahun lagi atau pada 2020, penduduk Indonesia mencapai 261 juta manusia (hal.90).

Ledakan penduduk (baby boom) ini akan menimbulkan banyak permasalahan. Di antaranya lapangan kerja menyempit, pengangguran kian meningkat, kemiskinan tidak terkendali dan juga berdampak kepada kemiskinan (hal.72).

Bagi Kiai Sahal, Program KB berarti memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi umat Islam. Dan, memecahkan masalah sosial, berarti melaksanakan perintah Nabi Muhammad (hal.77).

Dengan Program KB, laju pertumbuhan penduduk bisa ditekan. Ini berarti Negara mampu menghemat triliunan rupiah untuk biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan. Selain itu, dengan jumlah kelahiran yang terkendali, target untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan ibu dan anak, pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan perkapita dapat mudah direalisasikan (hal. 91).

Jumlah keluarga banyak yang tidak diimbangi ketersediaan dana (mal) untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah sebuah malapetaka. Berbagai kasus penelantaran anak, anak bermasalah hukum, fenomena anak jalanan, trafficking, dan KDRT merupakan di antara malapetaka itu. Benar apa yang dikatakan Nabi Muhammad bahwa kemiskinan mendekati kepada kekufuran (Kaadal faqru an yakuuna kufron).

Mendekonstruksi Dominasi Tafsir

’’Tafsir KB’’ ala Kiai Sahal telah mendekonstruksi dominasi dan hegemoni tafsir yang berkembang di Indonesia. Selama ini kita didoktrin dengan ayat-ayat maupun hadis tentang perlunya punya keturunan banyak, karena Rasulullah sendiri senang dengan jumlah umatnya yang banyak. Karena itu, mengikuti Program KB, dengan cukup dua anak saja supaya keluarga lebih sejahtera, dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Di antara dalil yang dipergunakan adalah ’’Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka…’’ (QS Al-An-‘am (6) ayat 140). Rupanya kata ’’membunuh’’ ini ditafsirkan dengan ikut Program KB.
Namun, Kiai Sahal berani melakukan sebuah resistensi atas dominasi tafsir sekaligus resistensi terhadap pameo di masyarakat ’’banyak anak banyak rezeki’’. Fikih sosial ala Kiai Sahal ini bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial, dalam perspektif Islam, harus dengan mengintegrasikan hikmah hukum ke dalam alasan hukum (’illatul hukmi). Dengan demikian diperoleh suatu jalan keluar (produk hukum) yang berorientasi pada kemaslahatan umum (rahmatan lil ’alamin).

Mentasbihkan Ayat KB

Dengan demikian, sungguh ’’islami’’ jika pemerintah membentuk UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dengan UU ini akan lebih memperkokoh arah dan tujuan pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana. Ini untuk mendukung pembangunan nasional yang berwawasan kependudukan dan keluarga kecil bahagia sejahtera. Diharapkan, sasaran akhir menuju penduduk tumbuh seimbang 2015 dan mewujudkan keluarga berkualitas dapat tercapai. Generasi-generasi tangguh pun dapat terwujud.

Jangan ragu ’’mentasbihkan atau mensucikan’’ ayat-ayat KB ini. Sebab, ini sudah sesuai dengan tujuan hukum Islam yang lima (maqoshid al-syari’ah), yaitu memelihara akal, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara kehormatan. Kelimanya terkait satu dengan lainnya. Mestinya, dalam penggalian dalil (istimbathul hukmi) atau penafsiran, mengacu kepada yang lima ini untuk mencapai kemaslahatan umum. Menafsirkan secara kontekstual, bukan tekstual dan skripturalistik. (*)

INDOPOS, 14 Maret 2010
Ariyanto, Wartawan Indopos

Judul Buku: Keluarga Maslahah: Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal
Penulis: M Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid
Penerbit: Mitra Abadi Press
Cetakan: Ke-1 Maret 2010
Tebal Buku: 294 Halaman

Berita acara bedah buku di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta.
Kepedulian Kependudukan KH Sahal Didokumentasikan Buku

Sunday, May 31, 2009

Anomali Praktik Beragama

Rasulullah Muhammad pernah bersabda, ”Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Nabi tidak menyebutkan Islam secara spesifik, tapi menyuratkan misi kemanusiaan yang universal. Mengapa Sang Nabi begitu peduli pada akhlak atau moralitas? Tentu, ungkapan ini tidak berdiri pada ruang kosong. Kala itu, kondisi masyarakat Arab menganut sistem kapitalistik-eksploitatif. Menurut Muhammad, sistem ini tidak bermoral sebab yang kuat akan menguasai segala aspek kehidupan ekonomi-sosial-politik, sementara yang lemah terus menjadi kuli. Pada posisi ini, Muhammad diutus untuk membangun dimensidimensi revolusioner bagi pembebasan dan mentransformasi kondisi sosial yang tribal. Maka,jangan heran jika kehadiran Islam membuat kebakaran jenggot para penggede Mekkah saat itu. Mengapa?

Buku Warna Islam Indonesia ini menjelaskan bahwa kalangan kepala suku, bangsawan, dan konglomerat Mekkah sejatinya tidak mempersoalkan agama yang dibawa Muhammad. Mereka bukanlah penyembah berhala yang taat beribadah (hal. 14). Sebaliknya, mereka menentang dan tidak mengakui Muhammad karena dua sebab. Pertama, implikasi ajaran yang dibawa Muhammad menyerang sistem sosial ekonomi yang tribal dan eksploitatif, yaitu menghalalkan penindasan orang kaya kepada orang miskin, yang kuat kepada yang lemah, serta menghalalkan praktik riba.

Sementara Nabi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan ekonomi. Sebagaimana termaktub dalam Alquran,Islam amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua golongan, bukan untuk segelintir orang. Kedua, mengakui kehadiran Muhammad berarti melegitimasi pengakuan politik terhadap Muhammad sebagai penguasa politik baru.Hal ini tampak dalam tradisi berdagang masyarakat Mekkah.

Mereka tidak pernah membiarkan seseorang untuk menguasai segala aset ekonomi-sosialpolitik. Karena itu, di Mekkah tidak dikenal istilah raja. Sebagai gantinya mereka membentuk mala’a, lembaga senat yang terdiri atas perwakilan masing-masing suku. Dengan lembaga ini, semua suku memperoleh kesempatan politik yang sama (hal.14).

Konteks historis di atas menjelaskan, kehadiran Muhammad di tengah masyarakat bukan sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang diembannya, melainkan lebih dari itu. Beliau memobilisasi dan memimpin gerakan sosial untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan. Kalau begitu, bagaimana dengan keberagamaan kita? Abdullah Ubaid Mathraji, penulis buku ini, seakan membelalakkan mata kita.

Di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa ini ternyata banyak terjadi ketimpangan dalam beragama. Agama benarbenar terpukul dan bahkan terpelanting oleh berbagai problematika yang muncul silih berganti tanpa solusi. Raison d’etre diturunkannya agama yang berguna untuk menciptakan perdamaian, keharmonisan, dan ketertiban peradaban umat manusia,seakanmenghilangbegitu saja.

Agama menjadi ironi dan paradoks.Pesan-pesan perenial dan misi kemanusiaan yang dibawanya berbalik arah menjadi triggering factor bagi lahirnya keculasan dan kekacauan. Belakangan ini kasus yang acap mengemuka adalah tuduhan sesat. Stigma sesat ini, bahkan lebih dari sekadar tuduhan, tapi sudah difatwakan.

Fatwa sesat ini menimpa beberapa kelompok seperti Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal, Syiah,dan beberapa golongan yang mem-promote pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Mereka dianggap telah keluar dari pakem agama Islam. Ironisnya, atas dasar fatwa tersebut, beberapa organisasi yang mengatasnamakan pembela Islam, melakukan aksi main hakim sendiri.

Mereka menghancurkan tempat ibadah, meneror jamaah, dan mengusir secara paksa. Buku ini menyajikan dinamika dua kutub yang berseteru secara berimbang, sekaligus suara si korban. Tak hanya itu, buku ini juga menyajikan data empiris kasuskasus serupa.Kejadian seperti ini, menurut Ubaid, mencoreng sejarah kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E.

Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No 39 pada 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyuratkan kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap,sesuai hati nuraninya. Misi Rasulullah yang mengajarkan ”akhlak mulia”lagi-lagi dikebiri oleh pengikutnya.

Pengertian akhlak mulia dicitrakan hanya melalui penampakan kegiatan- kegiatan atau perayaan keagamaan yang bisa dipertontonkan. Misalnya,pergi haji,perayaan Maulid Nabi, Idul Kurban, membangun masjid mewah, dan seterusnya. Tindakan ini bukan berarti tidak baik,tapi ini menjadi buruk jika tidak diimbangi dengan ibadah yang berorientasi horizontal, habl min al-nas.

Bagaimana tidak, korupsi di Indonesia masih saja menggurita, satu per satu pelaku ditahan,masih saja belum bisa memberi efek jera kepada yang lain.Wajar saja jika Indonesia hingga tahun ini masih tergolong negara terkorup di Asia versi lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC).

Belum lagi kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan data Forest Wacth Indonesia (FWI), laju deforestasi di Indonesia salah satu yang terparah di dunia. Sedikitnya 1,9 juta hektare hutan dirusak setiap tahun selama lima tahun terakhir, atau setara dengan luas enam lapangan sepak bola per menit.

Saat ini Indonesia telah kehilangan lebih dari 72% dari wilayah alam utuhnya, dan 40% hutannya telah hancur sama sekali (hal.255). Ini artinya apa? Jelas bahwa praktik beragama di Indonesia masih sebatas ibadah ritual secara vertikal, kebanyakan umat belum mengamalkan ibadah yang berorientasi pada horizontal, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Buku ini menunjukkan berbagai paradoks beragama di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa.(*)

Peresensi,
Ahmad Sulaiman Abduh
adalah alumnus Universitas al- Azhar Mesir,
mahasiswa Kajian Timur Tengah,dan
Islam Pascasarjana Universitas Indonesia

sumber: koran seputar indonesia

Sunday, May 17, 2009

Menuju Era Wakaf Produktif

Wakaf sejatinya mempunyai kedudukan penting di mata umat Islam. Meski begitu, tak banyak umat Islam Indonesia yang menyadari hal ini. Jika disejajarkan dengan instrumen filantropi lain dalam Islam, masyarakat Indonesia lebih mengenal dan familiar dengan Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS), dibanding wakaf. Padahal, pada dasarnya, instrument wakaf tak kalah strategis untuk pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi bangsa, dan kesejahteraan sosial.

Letak strategis itu terlihat, misalnya jika dibanding zakat, salah satu ciri pembeda adalah tugas pengelola. Amil zakat berkewajiban untuk mendistribusikan “seluruh” harta zakat yang terkumpul kepada 8 golongan (mustahiq). Sedang pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap “utuh” dan mengelolanya, yang dapat didistribusikan kepada masyarakat adalah manfaat atau hasil pengelolaan dari harta yang diwakafkan (mauquf).

Nilai stategis wakaf juga dapat ditilik dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada “8 golongan”, maka wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan, untuk kesejahteraan sosial, pemberdayaan, dan membangun peradaban umat. Karena itu, keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh atau kekal, dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir abadi. Karena itu, pahala wakaf tidak akan terputus meski wakif (orang yang berwakaf) sudah tutup usia.

Berdasarkan ijma ulama, inilah yang dimaksud Rasulullah saw. dengan “shadaqah jariyah”, seperti tercermin dalam sabdanya, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim mempertegas, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf. Hakikat wakaf, menurutnya, adalah menahan harta (nilai pokok) dan membagikan hasil pengelolaannya.

Dengan demikian, wakaf mempunyai dua dimensi manfaat yang tak bisa dipisahkan, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan pendistribusian hasil pengelolaan dan mengunduh hasil investasi pahala yang ditanam di dunia untuk dipetik di akhirat kelak. Karenanya, wakaf juga disebut sebagai ibadah sosial. Ini adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Pada titik inilah yang menjadikan pahala wakaf terus mengalir.

Melongok Perwakafan di Tanah Air

Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan di bumi pertiwi ini bukanlah sesuatu yang muhal. Di Indonesia aset wakaf terbilang besar. Sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di negeri ini sebanyak 366.595 lokasi, dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal dalam mensejahterakan rakyat dan memperkuat perekonomian bangsa Idnonesia.

Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).

Hasil penelitian di atas, kalau dicermati, ternyata berbanding lurus. Para nazhir perseorangan yang tradisional (tidak profesional) dan tidak terfokus, yang jumlahnya besar itu, tentu saja tidak mampu mengelola wakaf dengan baik. Akhirnya, mereka belum mampu mengelola aset wakaf ke arah produktif. Mayoritas harta wakaf masih dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif seperti masjid dan kuburan. Dengan begitu, perwakafan di Indonesia masih jauh dari kategori produktif. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan bangsa ini. Di antara masalah-masalah perwakafan yang timbul di lapangan adalah sebagai berikut.

Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud apa adanya seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal diperbolehkannya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi. Seharusnya ini tak terjadi lagi, sebab mekanismenya sudah dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 UU No. 41 tahun 2004 dan PP No. 42 tahun 2006 pasal 49-51.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah. Jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya, bahkan rawan konflik.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan tanah wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid an sich. Padahal, masjid sebenarnya juga bisa diproduktifkan dan menghasilkan ekonomi dengan mendirikan lembaga-lembaga perekonomian Islam di dalamnya, seperti BMT, lembaga zakat, wakaf, mini market, dan sebagainya.

Saatnya Era Wakaf produktif

Melihat kenyataan di atas, kita patut mengelus dada. Di negeri yang berpenduduk Islam terbesar di dunia ini, ternyata wakaf masih belum mampu memberikan dampak sosial yang signifikan. Padahal, di seluruh belahan dunia, “wakaf produktif” sudah jadi paradigma utama dalam mengelola aset. Tak heran, jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif.

Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank wakaf. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (Warees). Warees merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, Warees mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Menarik bukan? Kalau mereka bisa, mengapa negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Mestinya, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika benar-benar serius menangani soal ini. Apalagi, pengembangan wakaf di Indonesia kini sudah menemukan titik cerahnya, sejak disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan.

Wakaf Uang, Inovasi Finansial

Salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah diperbolehkannya wakaf berupa benda bergerak, berupa uang. Tak kalah dengan wakaf tanah, perkiraan potensi wakaf uang di Indonesia juga besar. Bayangkan, dengan logika tamsil yang sederhana, jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan, dan Rp 1,2 trilyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).

Bahkan, menurut asumsi perhitungan Mustafa Edwin Nasution, jika katakanlah jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan antara 500 ribu sampai 10 juta, maka dapat menjaring wakaf uang sekitar 3 Triliyun per tahun. (Mustafa Edwin Nasution, 2005: 43-44).

Wakaf uang, dalam tataran praktis memang lebih mudah dibanding wakaf tanah. Pertama, untuk mendapatkan wakaf uang bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus menunggu jadi tuan tanah yang kaya. Kedua, jaringan atau konter wakaf uang sangat luas. Karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja untuk menyetorkannya. Berdasarkan UU no. 41/2004, wakaf uang disetorkan melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Saat ini menteri agama telah menunjuk 5 LKS sebagai penerima wakaf uang, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah Indonesia.

Keuntungan ketiga, harta yang diwakafkan tidak akan berkurang sedikitpun. Sebab, dana yang diwakafkan, akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertangung jawab, profesional dan transparan. Selain itu, ciri utama wakaf yaitu nilainya tidak boleh berkurang, harus dijaga agar tetap utuh, bahkan nazhir berkewajiban untuk memproduktifkannya.

Wakaf Uang ini didukung secara adminstratif oleh instrumen yang dinamakan Sertifat Wakaf Uang (SWU). Orang yang melakukan wakaf uang, ia akan mendapat SWU. Ini merupakan inovasi baru dalam perbankan syariah di Indonesia. Di antara manfaat dari instrument SWU ini antara lain, pertama, untuk pembiayaan pengembangan wakaf tanah yang dinilai strategis untuk tujuan produktif dan bernilai ekonomis. Ini bisa dilakukan dengan cara menjual SWU untuk penggalangan dana proyek.

Kedua, investasi strategis untuk menghapus kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan SWU, seorang wakif telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasionalisasi social capital market, tapi juga di bidang investasi sosial permanen. Sebab, deposit wakaf uang hanya dilakukan sekali saja, maka nazhir atau bank dapat menginvestasikannya dalam berbagai bentuk investasi, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Berbagai kegiatan investasi inilah yang nantinya akan menciptakan lahan kerja baru, dan berpeluang untuk memberikan kontribusi bagi penguatan ekonomi bangsa.

Jadi, kalau disadari, ternyata banyak hal yang dapat kita manfaatkan sebagai sarana menuju kesejahteraan dan mengikis kemiskinan di negeri ini, yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam. Kalau instrumen zakat sekarang ini sudah berjalan, tentunya potensi wakaf di Indonesia juga harus dikembangkan dan diproduktifkan, agar bisa berjalan seirama dan saling melengkapi demi terciptanya rakyat Indonesia makmur, adil, dan sejahtera. []

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes