Tuesday, January 30, 2007

Tidak untuk Selamanya


Dengan dalih agama, Usep meyakinkan Hesti untuk mau menikah mut’ah, tanpa wali dan saksi. Hesti pun setuju meski tanpa mengantongi restu.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Januari 2005. Gadis berusia 21 tahun itu sontak tertegun. Lelaki yang dicintai ternyata menolak diajak berpacaran. Sebut saja namanya Usep. Berbadan tegap, tingginya 160 centimeter, hidung mancung, dan warna kulit mirip orang Jawa pada umumnya. Hitam manis, kata orang-orang. Usep berpendirian, pacaran itu dilarang keras dalam agama Islam.

Begini lho Islam itu,” Usep mulai menjelaskan, “Pacaran itu dilarang, dan solusinya adalah nikah mut’ah.”
“Apa itu nikah Mut’ah?” tanya wanita itu.

Usep membeber argumentasi. Hubungan antara laki-laki dan perempuan, di luar ikatan pernikahan, itu hukumnya haram. Hubungan ini juga berpotensi menjerumuskan seseorang pada perbuatan zina, hubungan intim antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan. Agar tak terjerumus, Islam menganjurkan nikah mut`ah. Nikah mut’ah adalah nikah berjangka, pernikahan yang dibatasi waktu yang telah disepakati. “Ajaran ini dijelaskan dalam surat al-Nisa ayat 24,” tegasnya.

Ayat tersebut berbunyi, “...fa mâstamta’tum bihî min hunna fa âtû hunna ujûrahunna farîdhah...,” maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban.

Hesti, nama samaran wanita itu, terbelalak mendengar penjelasan itu. Ia baru ngeh kalau dalam agama Islam ada ajaran semacam itu. Ia belum pernah mendengar sebelumnya. Pantas saja, meski sama-sama beragama Islam, Hesti dan Usep berbeda aliran. Usep adalah warga komunitas Syi’ah Ja’fariyah yang memang memperbolehkan nikah mut`ah. Sedang Hesti, seperti kebanyakan warga Indonesia yang mengikuti mahdzab Imam Syafii, atau yang disebut Sunni, ahlussunnah wal jama`ah.

Syi’ah Ja’fariyah juga biasa disebut Imamiyah Itsna `Asyariyah, sekte dalam Syi’ah, komunitas pengikut Ali bib Abi Thalib, keponakan sekaligus menantu Nabi, yang mempercayai dua belas Imam sebagai pemimpin tertinggi. Mulai dari Ali, Hasan, Husain sampai yang terakhir Imam Mahdi al-Muntadzar. Di Indonesia, konon jumlah pengikut sekte ini berjumlah puluhan ribu.

Andai menerima tawaran laki-laki kelahiran tahun 1975 itu, Hesti juga harus siap menjadi istri keduanya. Bulan November 1996, Usep telah melepas masa lajangnya. Kini ia dikaruniai tiga anak: dua laki-laki, dan satu perempuan. Bagi Usep ini adalah hal yang wajar bagi seorang laki-laki. “Lo nggak masalah, lo mencintai gue. Wanita yang belum bersuami berhak mencintai laki-laki yang beristri dan punya anak. Tapi jangan sekali-kali, wanita yang sudah bersuami, mencintai laki-laki yang bujangan atau yang sudah beristri,” katanya.

Usai panjang lebar menjelaskan, Usep berpesan, “Kalau lo mau berbagi kasih sama gue, gue tawarin seperti ini. Kalau lo udah paham, uda siap, lo silahkan hubungin guwe. Lo juga boleh bertanya apapun saja.” Pesan ini jadi renungan mendalam bagi Hesti. Ia tak bisa langsung mengambil keputusan kala itu. Hesti butuh beberapa minggu untuk menjawabnya.

Awal mula pertemuan dua insan yang memadu kasih ini, sebenarnya, tanpa direncanakan. Ini terjadi saat Usep berkunjung ke rumah salah seorang temannya di Ciledug Jakarta Selatan. Usep dikenalkan temannya kepada Hesti. Momen itulah yang membuat pandangan pertama langsung turun ke hati. Meski awalnya Usep tak sadar, kalau Hesti menaruh hati padanya.

Februari 2005. Sore hari selepas kerja, Hesti janjian dengan Usep di kawasan Kebayoran Lama. Di sebuah rumah, yang alamat detilnya dirahasiakan, Hesti mengamini tawaran Usep, nikah mut`ah. Di tempat itu juga, akad nikah berlangsung. Tak ada orang yang terlibat, kecuali pasangan muda-mudi ini. Saksinya siapa dong? Walinya di mana?

Hey..., jangan kaget dulu, tradisi pernikahan di Syi`ah memang berbeda dengan layaknya pernikahan di Indonesia. Wali dan saksi bukan rukun dalam pernikahan ala Syi`ah. Konsep perempuan harus menggunakan wali kalau menikah, ditentang komunitas Syi’ah. Pernikahan adalah milik dirinya sendiri, tak bisa diwakilkan kepada wali. Perempuan yang sehat akalnya adalah wali terhadap dirinya sendiri, sebagaimana laki-laki. Saat ditanya, “Mengapa wali tidak wajib?” Usep menjawab dengan enteng, “Yang nikah ini siapa sih, anaknya apa bapaknya?”

Begitu pula dengan syarat saksi. Keharusan saksi dalam pernikahan tidak bersumber dari ayat al-Qur’an, melainkan tradisi atau fatwa ulama berdasarkan suatu hadis. “Keberadaan hadis itu berfungsi memperjelas kandungan al-Qur’an, bukan menetapkan ajaran baru di luar al-Qur’an,” tegasnya.

Praktik nikah mut’ah di Indonesia biasa disebut nikah kontrak. Syarat-syaratnya hanya tiga: baligh (dewasa), berakal, dan tak ada halangan. Maksud halangan di sini adalah halangan untuk melangsungkan pernikahan, seperti ada pertalian nasab, saudara satu susuan, atau masih berstatus sebagai istri orang lain.

Landasan utamanya surat al-Nisa ayat 24. Ahli tafsir dari Makkah, lahir tiga tahun sebelum Hijriyah, Abdullah bin Abbas, membaca ayat ini dengan bacaan versi lain, dengan menambahkan kalimat ilâ ajalin musammâ (sampai waktu yang ditentukan) setelah kalimat fa mâstamta’tum bihî min hunna. Kalimat tambahan inilah yang menegaskan dengan jelas, ayat ini membicakan nikah mut`ah. Ketika Ibn Abbas membaca kalimat tambahan itu, para sahabat tak ada yang menyangkal. Berarti, sahabat sepakat dengan dua versi bacaan ayat tersebut.

Pernikahan Usep dan Hesti berjalan mulus, meski dijalani diam-diam, tanpa sepengetahuan kedua orang tua Hesti. Banyak poin yang disepakati saat kontrak berlangsung. Antara lain, pernikahan hanya berjangka enam bulan, terhitung dari bulan Februari. Membayar mahar seharga satu gram emas. Usep harus selalu mengantar dan menjemput saat Hesti bekerja. Tak tinggal serumah, dan kalau jalan harus digandeng.

“Kontrak ini hanya diucapkan, tak ada yang tertulis,” papar Usep.

“Bagaimana kalau dilanggar?”

Nggak kenapa-napa,” sampai ada hubungan intim, walaupun di perjanjiannya tidak ada, itu tidak masalah, perkawinan ini kan layaknya hubungan suami istri,” jawab Usep sambil tertawa santai.

Ia memberikan tamsil. Jika dalam kontrak itu, ada satu perjanjian: boleh berhubungan, tapi tidak boleh sampai punya anak. Tapi di tengah perjalanan, eh... kok malah hamil dan punya anak. “Ya tak masalah,” katanya.

Meski begitu, Usep tak mau ingkar kontrak. Hesti tidak mengizinkan Usep berhubungan intim dengannya. Hubungan kedua insan ini layaknya pasangan yang lagi pacaran. Usep pun bisa mengerti. “Ya... paling cuma pegang-pegang... cipika-cipiki... gitu lho...,“ aku Usep. Cipika-cipiki akronim dari cium pipi kanan, cium pipi kiri.

Begitu pula dengan nafkah bulanan. Usep tak punya beban menanggung itu. Ya, lagi-lagi, karena di kesepakatan saat kontrak, tidak ada perjanjian itu. Maka dia pun tak punya kewajiban tersebut. Aktifitas yang wajib dilakoni Usep tiap hari adalah mengantarkan hesti berangkat kerja dan menjeput saat pulang.

Mei 2005. Bahtera rumah tangga pasangan yang sedang berbinar sinar bahagia ini sedikit tergoncang. Ibu Hesti mengetahui pernikahan anaknya dengan cara nikah mut’ah. Sang ayah tidak banyak komentar. Ia setuju-setuju saja dengan pilihan hidup putrinya itu. Ibu gadis itu sempat mendamprat.

Untung, Usep segera datang dan menjelaskan status hubungan, antara dirinya dan Hesti. Tak jauh berbeda dengan caranya saat meyakinkan Hesti. Ibu itu dibeberkan Usep sejumlah pemikiran dalil-dalil agama Islam seputar nikah mut’ah. Atas bantuan Hesti pula, sang Ibu akhirnya bisa memaklumi hubungan anaknya itu.

Paskakejadian itu, hubungan dua sejoli ini tambah mesra. Usep tak perlu canggung-canggung lagi untuk menghabiskan akhir pekan di rumah mertunya di kawasan Ciledug Jakarta Selatan. Begitu pula dengan Hesti. Ia malah sering diajak Usep berkunjung ke rumah istri pertamanya, Hasanova (samaran), di jalan Rasuna Said Jakarta Pusat.

Hesti bekerja pada salah satu perusahaan di daerah Blok M Jakarta Selatan. Sedang Usep bekerja di tempat yang tak menetap. Ia lebih sering bekerja di lapangan daripada di ruangan. Di sela-sela hari libur, Usep menyempatkan diri membawa kedua istrinya untuk berlibur. Blok M adalah pilihan tempat favorit. Melepas lelah sembari jalan-jalan bersama dua wanita pujaan hati merupakan karunia tersendiri bagi lelaki kelahiran Bandung ini.

Meski sama-sama istri Usep, Hesti dan Hasanova berbeda status. Hesti adalah istri hasil nikah mut’ah atau nikah kontrak, yang jangkanya hanya enam bulan. Setelah itu, statusnya sebagai istri hilang begitu saja. Berbeda dengan Hasanova. Statusnya sebagai istri tak terbatas waktu. Ia menikah dengan Usep, bulan November 1996, dengan pernikahan daim. Nikah ini adalah nikah permanen, tak terbatas waktu. Ya seperti galibnya pernikahan-pernikahan di Indonesia.

Juli 2005. Usep dan Hesti berpisah. Waktu itu limit masa kontrak telah habis. Secara otomatis, hubungan pun berakhir. Dalam tradisi Syi’ah, ketika jangka kontrak telah habis, ada tiga kemungkinan yang bisa dilakukan. Pertama, kontrak selesai, hubungan pun usai. Kedua, kontrak diperpanjang lagi. Ketiga, meneruskan ke jenjang pernikahan daim. Tiga kemungkinan itu diserahkan pada pihak wanita. Mau milih yang mana.

Pilihan ini, biasanya dijatuhkan saat tempo kontrak habis, bukan pada saat di awal kontrak. Pada waktu itulah, “Wanita harus mengambil keputusan, memilih antara selesai, diperpanjang, atau ke jenjang nikah daim,“ kata Usep.

Hesti memilih opsi pertama, kontrak selesai hubungan pun usai. Dia tidak mau memperpanjang atau melanjutkan ke nikah daim. Usep sendiri tidak tahu alasan pasti, mengapa ia memilih itu. Usep hanya teringat dengan ucapan Hesti yang terakhir, “Terima kasih atas pengetahuannya yang selama ini saya tidak tahu.” Meski telah berpisah, Usep masih sering komunikasi. Kecuali beberapa bulan terakhir ini. Usep kehilangan jejak nomor hand phone Hesti.

Ketika hendak mewawancarai Hesti, Syir’ah minta nomor kontaknya ke Usep. “Sorry gue juga kagak tahu nomornya yang sekarang. Nomor yang dulu mail box terus,” katanya.

Bagi Usep, nikah mut’ah ini tak punya kelemahan. Justru banyak enaknya. Ia mencontohkan. Saat ini, banyak remaja yang sebenarnya punya kemauan menikah yang tinggi. Tapi, terhalang faktor materi. Maka pacaran sebagai pelarian. Pacaran adalah hubungan yang tidak jelas sampai batas waktu kapan, dan perbuatannya biasanya di luar norma agama Islam. Bahkan ada yang sampai “kumpul kebo”, berhubungan intim tanpa izin menikah. Prinsipnya hanya kesenangan dan pelampiasan.

Berbeda dengan nikah mut’ah. Pergaulan bebas yang haram itu bisa menjadi halal dengan nikah mut’ah. “Daripada orang-orang jajan di jalan, kan mending mut’ah,” katanya. Dengan mut’ah, tambahnya, kehormatan wanita lebih diangkat dan dihormati.

Praktik nikah ini, ditentang Neng Dara Affiah, anggota komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Menurutnya, ini adalah salah satu bentuk praktik kekerasan terhadap perempuan. Meski dengan dalih agama untuk menghargai perempuan, pada praktiknya justru yang banyak menjadi korban adalah perempuan. Andai saja terjadi cek-cok dalam pernikahan, maka istri tidak punya kekuatan untuk menggugat di pengadilan. “Pernikahannya tak diakui, karena tidak tercatat,“ katanya.

Terlepas dari pendapat itu, Usep tetap mantap dengan pendiriannya. Tak punya niat untuk mut’ah lagi? “Kan sekarang belum ada yang mau. Kalau ada yang naruh hati lagi ama gue. Apa salahnya?“ ujarnya sambil tertawa. []

Beda Sunni dan Syi’ah dalam Pernikahan

Perbedaan

Sunni

Syi`ah

Model pernikahan

Nikah permanen

Ada dua jenis: nikah permanen (daim) dan nikah kontrak

Wali

Rukun nikah

Syarat tidak wajib

Saksi

Rukun nikah

Syarat tidak wajib

Prioritas yang harus terpenuhi

Rukun menikah: adanya laki-laki, perempuan, wali, saksi, ijab-kabul, mahar.

Syarat menikah: kedua pasangan adalah baligh, berakal, tidak terhalang, mahar.

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007.

Pernikahan yang “Ditegur” Rasul

Ada banyak jenis pernikahan di zaman Nabi. Rasul tak jarang memperingatkan sahabat agar berhati-hati dan waspada. Bagaimana saja ragamnya?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Segerombol lelaki, tak lebih dari sepuluh orang, bermaksud menemui seorang wanita. Mereka menjumpainya di rumah sederhana. Di sebuah desa tak jauh dari jalan raya. Satu per satu lelaki itu meniduri si wanita. Sudah menjadi kebiasaan.

Usai melampiaskan syahwat, mereka berkumpul di samping wanita pujaan. “Kalian telah mengetahui urusan kalian masing-masing,” kata wanita tersebut. Ungkapan ini mengisyaratkan, suatu ketika di antara lelaki gagah itu harus ada yang bertanggung jawab.

Tak lama, paska kejadian itu, si wanita hamil lalu melahirkan. Ia memanggil salah satu lelaki yang menghamilinya tempo hari. “Ini adalah anakmu, wahai fulan. Berilah nama sesukamu,” ujarnya.

Bayi yang masih merah itu diserahkan kepada Bapaknya. Dan pria yang ditunjuk sebagai bapak tak bisa mengelak dari kenyataan. Apapun resikonya harus ditanggung. Karena aturan yang berlaku memang seperti itu.

Model hubungan seperti ini memang benar-benar terjadi, yaitu pada masa jahiliyah sebelum Islam datang. Hal ini direkam oleh Imam Bukhari (194-256 H) dalam Shahih Bukhari nomor 5127 dan Abu Daud (w. 316 H) dalam Sunan Abu Dawud nomor 2272. dalam hadis itu Nabi melarang, sebab pernikahan ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan menodai kehormatan wanita. Model ini disebut nikah al-rahth, yaitu sejumlah orang berhubungan intim dengan seorang wanita.

Pada masa awal Islam memang ada banyak jenis pernikahan. Waktu itu pernikahan masih dimaknai sebagai sekadar hubungan antara laki dan perempuan, terutama dalam seks. Untuk itulah ada beberapa model yang kemudian dilarang oleh Nabi. Selain nikah al-rahth juga ada beberapa model lain.

Pernikahan Rekayasa
Ceritanya bermula dari seorang sahabat perempuan bernama Maimunah yang ditalak tiga kali oleh suaminya, Majid. Usai mengambil keputusan itu, sang suami merasa bersalah. Istri tercintanya hidup menjanda. Mantan istrinya tersebut tak bisa dikawini lagi. Kecuali dia dinikahi orang lain, kemudian diceraikan suaminya yang kedua.

“Ya! Itulah satu-satunya jalan keluar,” kata Majid. Ia pun merancang strategi, agar dapat merujuk Maimunah. Ia menyuruh Zaid, temannya, untuk menikahi Maimunah. Zaid menerima tawaran itu. Karena sudah sah menikah, keduanya berprilaku layaknya hubungan suami istri. Tak lama setelah itu, Zaid menceraikan Maimunah. Rencana Majid berjalan sesuai rencana. Akhirnya, Majid dapat menikahi Maimunah lagi.

Pernikahan inilah yang dinamakan nikah tahlil. Maksudnya, menikahi wanita yang telah ditalak tiga, setelah berakhir masa iddahnya, lalu menceraikannya kembali untuk diberikan kepada suaminya yang pertama. “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lah,“ sabda Nabi dalam Sunan Turmudzi hadis nomor 1129.

Dalam konteks ini, Zaid berperan sebagai muhallil. Orang yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya. Lalu melakukan kongkalikong dengan mantan suaminya agar mantan istrinya itu dapat dinikahi lagi. Sedangkan muhallal lah adalah Majid. Dialah orang yang telah menjatuhakn talak tiga kepada istrinya, kemudian meminta laki-laki lain menikahinya, lalu menceraikannya kembali, agar suami pertama dapat menikahinya lagi.

Nabi mengumpamakan pelaku pernikahan ini bak binatang rusa. Suatu ketika, Rasulullah sedang berkumpul dengan para sahabat.
”Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?“ Nabi bertanya.
“Tentu saja. Wahai Rasulullah.“
“Ia adalah muhallil...“ sabda Nabi seperti diriwayatkan Ibn Majah.

Nabi tidak memperbolehkan nikah ini sebab pernikahan berlangsung secara tidak wajar dan tidak apa adanya. Tapi, di dalamnya terdapat rekayasa. Inilah poin penting penyebab nikah ini menjadi bermasalah. Kewajaran dan tanpa ada unsur paksaan dalam perkawinan, sejatinya adalah spirit utama membina keluarga yang sakinah, saling terbuka, dan penuh rahmah.


Mencari Bibit Unggul
Tidak berbeda dengan zaman sekarang, dulu orang tua juga menghendaki anaknya menjadi orang besar. Dan hal itu, dalam pandangan mereka karena faktor keturunan. Untuk itu bagi pasangan yang berasal dari kalangan biasa saja memiliki trik tersendiri untuk mencapai keinginannya itu.

Para suami meminta kepada istrinya untuk tidur bersama orang besar yang diinginkannya. “Pergilah kepada si Fulan. Lalu tidurlah bersama dia,” katanya. Setelah peristiwa itu, suaminya tak pernah berhubungan badan dengannya, hingga nampak tanda-tanda kehamilan.

Pernikahan seperti ini disebut dengan nikah istibdha’. Artinya, seorang suami menyerahkan istrinya kepada orang yang diinginkannya, agar sang istri melahirkan anak darinya. Nabi pun tidak mengizinkannya. Simak saja kisah itu dalam Shahih Bukhari bab pernikahan dan Sunan Abu Dawud bab talak.


Saling Bertukar Anak
Pernikahan ini disebut nikah syighar. Yaitu menikahkan seseorang dengan putrinya, dengan syarat orang tersebut juga menikahkah putrinya kepada orang yang menikahkannya itu. Bahasa mudahnya, saling bertukar anak gadis.

Biar mudah dimengerti, taruhlah satu misal. Hamdan punya anak namanya Latifah. Gadis itu dinikahkan dengan Zaid, teman bapaknya. Tapi dengan syarat. Zaid juga harus menikahkan anak gadisnya kepada Hamdan.

Para ulama sepakat soal pengharaman nikah ini, selain alasan ada hubungan darah (mahram), nikah ini juga berpotensi menjadi pemicu perdagangan anak. Nabi dengan jelas melarang pernikahan ini. “Lâ syighâra fî al-Islâm, tidaka ada nikah syighar dalam Islam,” sabda Rasul dalam Shahih Muslim. Al-Turmudzi juga meriwayatkan hadis seirama, Lâ jalaba wa lâ janaba wa lâ syighâra... tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, dan tidak boleh melakukan nikah syighar.


Kawin Kontrak
Berbeda dengan pernikahan yang lazim di masyarakat, pernikahan ini dibatasi tenggat. Jika waktu telah habis, perceraian otomatis terjadi. Tidak ada wali dan saksi dalam pernikahan ini. Yang ada hanya dua pasang insan yang memadu kasih dan syarat mahar yang terlah ditentukan calon istri.

Nikah ini disebut nikah mut’ah. Nabi pernah memperbolehkan. Alkisah, Abdullah bin Mas’ud dan beberapa sahabat Nabi yang lain berperang bersama Rasulullah. Tak seorang yang membawa istrinya dalam medan perang. Salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Bolehkan kami mengebiri diri sendiri?” “Jangan, menikahlah kalian dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu,” jawab Nabi seperti termaktub dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Tapi, ada yang berpandangan, nikah ini lalu diharamkan oleh Nabi. Seperti termaktub dalam riwayat al-Bukhari nomor 1406 dan Ahmad bin Hambal juz 3 halaman 404, “Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan,” sabda Nabi.

Sebagian berpendapat, nikah ini masih diperbolehkan. Zainuddin al-Malibari, pengikut mazhab Syafi’i, dalam kitab fikih Fathul Mu'în (Terbukanya Sang Penolong) menghukumi, nikah mut’ah haram, tapi pelakunya tidak sama dengan zina. Rumit kan? Karena itu, pernikahan ini tergolong kontroversial sampai sekarang. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007.

Doa Tak Sekedar Meminta

Hakikat berdoa tak sekadar relasi meminta-memberi. Berdoa mampu melatih seseorang berfikir positif dan membangkitkan energi bawah sadar.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Langkah gontai Muhajir, sebut saja begitu, terlihat di kejauhan remang-remang malam. Sorot lampu di pinggir jalan mengenai rambut ikalnya yang kelihatan tak disisir. Para tetangga yang kebetulan sedang nongkrong di pinggir jalan menatapnya heran, apa sebenarnya yang terjadi pada diri pria berbadan kurus itu?

Ia hidup di bawah garis kemiskinan. Tinggal di gubuk kumuh kawasan Jakarta Utara. Tamat Sekolah Menengah Pertama, ia pernah nyantri di sebuah pesantren salaf yang tak jauh dari Ibu Kota. Salat lima waktu, tak pernah ia tinggalkan. Baju koko, jenggot panjang, dan celana cekak, layaknya seragam wajib yang tak boleh ditanggalkan.

Gus Hajir, begitu dia biasa dipanggil. Selepas salat isya, bujangan berumur tiga puluh tahun itu selalu berlama-lama di masjid. Tangannya menengadah ke atas dan bibirnya tampak bergerak-gerak. Ia sedang khusuk berdoa.

Tapi, malam itu, Gus Hajir terlihat berbeda. Ia tak terlihat di barisan salat isya. Warga dikejutkan prilakunya yang aneh. Ia masuk gapura desa sembari menggandeng dua wanita cantik yang bukan muhrimnya. Meski diplototi warga, Gus Hajir abai dan langsung masuk rumahnya. Sejak itu, ia terus mengulangi perbuatan tersebut di malam-malam berikutnya.

Gelagat tersebut tak lama diketahui Hasanuddin ketua Rukun Tetangga setempat, yang kebetulan pamannya sendiri. Lalu, Hasanuddin menemuinya.
“Kenapa kamu Jir, tiap malam keluyuran bersama perempuan, belakangan kamu juga tak pernah kelihatan salat di masjid lagi?”
“Saya bosen,”
“Maksudmu?”
“Buat apa ke masjid, kalau tidak bisa merubah hidup saya?”
“Ada apa sebenarnya dengan kehidupanmu?”
“Semua orang tahu, saya ini miskin, sengsara, dan tak punya apa-apa. Tiap hari saya berdoa supaya kaya, tapi nyatanya…?”
“Jadi, kamu menyalahkan Tuhan dan putus asa, karena tak mengabulkan doamu?”
“Iya. Justeru karena itu saya kecewa!”

Hasanuddin tersentak jawaban Muhajir. Mungkin tak hanya Hasanuddin, anda juga kaget dengan pernyataan Muhajir terakhir ini.

Sikap Gus Hajir ini menarik untuk ditelisik. Jika dilihat konteksnya, ia begitu simpel dan instan dalam memahami arti sebuah doa. Baginya, doa adalah permintaan seorang hamba, dan kewajiban Tuhan untuk mengabulkan. Doa seakan daftar permintaan kita yang harus dipenuhi oleh Allah, dari A sampai Z. Layaknya pemesan barang ke sebuah toko grosir. Ada anggapan bahwa terjadi semacam siklus meminta dan memberi secara pasti.

Hal ini barangkali akibar pemahaman yang sepintas terhadap ayat 60 surat al-Mu'min, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan.” Apakah arti dhahir ini yang dimaksudkan Allah? Jika demikian, maka banyak sekali orang yang akan mengalami nasib serupa dengan Gus Hajir.

Para ahli tasawuf, memaknai doa tak sekedar meminta kepada Tuhan. Doa di mata para sufi adalah inti, otak, atau ruh dari segala ibadah. Nabi saw. menyebutnya dengan istilah, mukhkh al-`ibadah, otak ibadah. Begitu tulis Turmudzi (ahli hadis, wafat tahun 259 H) dalam Sunan Turmudzi, Kompilasi Hadis karya Turmudzi. Jadi, berdoa tidak sekedar memohon, meminta, dan mengharap perwujudan keinginan. Tapi, lebih dari itu.

Bayangkan. Andai doa hanya dipahami sebagai relasi meminta dan memberi, antara manusia dan Tuhan. Maka, tak akan ada orang hidup miskin, hina, bodoh, dan menderita di dunia ini. Semua orang ingin kaya, terhormat, pandai dan punya kuasa, sebab Tuhan pasti mengabulkan keinginan hamba-hambanya. Apa mungkin? Lebih aneh lagi. Satu misal, dalam suatu perlombaan. Semua peserta berdoa agar mendapat juara satu. Mungkinkah Tuhan mengabulkan doa semua peserta? Jawabnya pasti tidak mungkin.

Bukan Meminta dan Memberi

Imam al-Qusyairi al-Naisaburi, sufi besar dari Iran wafat tahun 1073 M, memaknai doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. “Doa adalah tempat istirahat bagi siapapun yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit, dan tempat kelegaan bagi para perindu,” tulisnya dalam rujukan kitab-kitab tasawuf Risalah al-Qusyairiyah fi `ilm tasawwuf, kitab al-Qusayairi dalam ilmu tasawwuf. Pemahaman ini mencerminkan, betapa mesranya hubungan manusia dengan Tuhannya, jika ia mau berdoa.

Sebagaimana tergambar dalam surat al-Baqarah ayat 186. Tuhan berfirman, ”Jika hambaku bertanya kepadaku maka sesungguhnya aku dekat. Karena itu, aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepadaku.” Ayat ini tak bisa hanya dipahami sebagai relasi meminta dan memberi, antara manusia dengan Tuhan. Tapi, di dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipahami.

Karena itu, berdoa ibarat “berdialog” dengan dzat yang Maha Kuasa. Rasulullah saw. berpesan, “Allah swt. tidak akan menjawab doa seseorang yang hatinya alpa,” sabdanya dalam riwayat Turmudzi dan Ahmad. Berdoa itu, sekali lagi, tak cukup hanya dengan modal keinginan yang tinggi, tapi juga harus dibarengi dengan ketulusan, keihlasan, dan kerja keras. Orang yang hatinya lupa dengan Tuhan, seperti kata Nabi, doanya tidak akan didengar-Nya.

Bahkan, Imam al-Qusyairi menambahkan, bekerja dan berusaha di jalur yang halal sebagai prasyarat dikabulkannya doa. Ia bersandar kepada pesan Rasulullah. “Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan,” sabdanya.

Berfikir Positif, Memacu Bawah Sadar

Kalimat “perbaikilah kerjamu” dalam hadis tersebut tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan sebab yang dapat mengakibatkan doa terkabul. Dengan kata lain, orang yang bekerja keras dan dibarengi doa, niscaya Tuhan akan mengabulkan keinginan yang dicita-citakan.

Mengapa ada hubungan kausalitas, sebab-akibat, yang kuat? Ahmad Abd al-Jawad, untuk memperkuat argumentasi ini, menyitir ungkapan Nabi, “Jika salah seorang di antara kamu sekalian berdoa, hendaklah dia percaya atas doanya,” kutip al-Jawad dalam al-Du`â al-Mustajâbah min al-Hadîts wa al-Kitâb (Doa-Doa Terkabul dari Hadis dan al-Qur’an). Hadis ini, menurut para sufi, mengisyaratkan, berdoa memberikan sinyal positif dalam diri seseorang. Jadi, seorang sufi selalu dianjurkan berfikir positif dan penuh optimis dalam menghadapi segala sesuatu. Mengapa?

Ada dua alasan. Pertama, berfikir positif merupakan cara berfikir terbuka dan melihat segala sesuatu dengan kaca mata hikmah. Sebaliknya, seorang yang berfikir negatif hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian atau keburukan pada seseorang. Ihwal ini, seorang sufi agung Hasan al-Basri (w. 51 H) berpegangan pada hadis qudsi.

Allah berfirman, “Ana `inda zhanni `abdî bî”, aku ini seperti yang diduga hamba-Ku. Ibnu Hajar (773-852 H) dalam kitab Fath al-Bâri (membuka keagungan Sang Pencipta), menjelaskan dugaan atau sangkaan yang dimaksud adalah dugaan pasti dikabulkan jika berdoa, diterima jika bertobat, diampuni jika memohon ampunan. Imam Nawawi (631-676 H) dalam Syarh Shahih Muslim (penjelasan kitab Shahih Muslim) menambahkan, dugaan akan diberi kecukupan dalam hidup jika ia minta dicukupi.

Hadis di atas mengajak untuk bersikap optimis dalam mengarungi kehidupan. Sekecil apa pun yang kita lakukan, selagi disertai ketulusan dan keuletan, pasti akan diberi balasan oleh Tuhan. Rahmat Allah sangatlah luas, “Maka janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah”, demikian amanat Tuhan dalam surat Yusuf ayat 87. Sikap optimis inilah yang akan memberi dorongan kuat dalam diri seseorang untuk berkarya, berkreasi, dan berprestasi. Andai gagal di tengah jalan, ia tak mudah putus asa. Setiap kegagalan pasti ada hikmah yang dapat teladani.

Kedua, kata-kata positif dalam doa, tanpa disadari, ternyata dapat membangkitkan alam bawah sadar manusia. Menurut ilmu psikologi, pikiran manusia terbagi menjadi dua: pikiran sadar dan pikiran tak sadar. Ibarat orang sedang belajar naik sepeda. Sebelum lancar, dia membagi konsentrasinya untuk menjaga keseimbangan supaya tidak jatuh, memegang stang agar bisa berjalan sesuai arah yang diinginkan, sekaligus konsentrasi kaki untuk menggenjot. Inilah pikiran sadar.

Namun, ketika sudah lancar. Dia tidak perlu lagi konsentrasi penuh untuk menjalankan sepeda. Segalanya berjalan otomatis. Tanpa harus berpikir pun, dia bisa sampai ke tempat yang dituju. Inilah pikiran tak sadar atau bawah sadar. Percaya atau tidak, kata-kata yang pernah terucap atau terdengar ternyata membawa pengaruh besar dalam tingkah laku. Kata-kata tersebut adalah pesan yang tenggelam dalam bawah sadar, dan secara otomatis akan di-replay dalam pikiran seseorang untuk “berbicara pada diri sendiri”.

Misal, suatu ketika, seorang murid Sekolah Dasar menghadapi ujian kelulusan mata pelajaran matematika. Ia pun berdoa dengan untaian kata-kata. “Ya Tuhan-ku Engkau maha cerdik dan bijaksana, karuniailah aku setetes keagungan ilmu-Mu. Tuhanku… aku yakin mampu mengerjakan soal-soal matematika. Beri aku kekuatan!”

Jika kata itu diulang-ulang, niscaya keberanian dan rasa percaya diri akan menyelimuti hati dan pikirannya. Itulah doa. Tanpa disadari, doa mampu “menyihir” seseorang menjadi penuh optimisme, yakin, dan rasa percaya diri. []

Poligami = Makan Pete

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Akhir tahun kemarin isu yang menjadi buah bibir spesial mengenai hubungan antara laki dan perempuan. Pasalnya keputusan dai kondang asal Bandung untuk menikah kali kedua dengan janda cantik, hidung mancung, berkulit halus, kaya lagi... menjadi heboh. Ditambah lagi beredarnya video biru seorang penyanyi dangdut dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pusat. Klop sudah.

Kehebohan itu sampai terasa di salah satu ruangan hotel Borobudur. Di hotel yang bersebrangan jalan dengan Departemen Agama Jakarta Pusat itu, digelar halaqah ilmiah, hari Jumat malam, tanggal 8 Desember. Para tokoh politik dan intelektual tengah berkumpul di ballroom hotel.

Ada Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, salah seorang Ketua PBNU Said Aqil Siraj, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, mantan Menteri BUMN Rozi Munir, pengamat politik Fakhri Ali, mantan juru bicara Gus Dur Adi Masardi, dan masih banyak yang lain.

Mereka bercengkrama dan mendiskusikan buku anyar berjudul Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Saat sesi tanya jawab, sosok pria berambut gondrong, membawa tas pinggang, tubuhnya tidak begitu tinggi, bertanya ke Said Aqil selaku penulis buku tersebut.

“Tadi Bapak berbicara bahwa tasawuf bisa menjadi solusi kemaslahatan. Tasawuf juga lebih mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Sekarang saya bertanya, bagaimana jika poligami dipandang melalui kaca mata tasawuf?,” tanya pria yang berprofesi sebagai wartawan itu.

”Gerr...” Tawa para undangan yang memadati gedung itu pun langsung gemuruh. Said Aqil yang waktu itu bersama istrinya menjawab dengan tenang. ”Saya akan menjawabnya dengan tulus dan ikhlas dari lubuk hati,” kata Said yang langsung disambut tawa hadirin.

Kiai jebolan Umm al-Qura Makkah dengan predikat Summa Camlaude ini mengibaratkan orang yang berpoligami itu sama dengan orang yang makan pete. Pete adalah sejenis buah yang biasa dijadikan lalapan. Rasanya nikmat, dan bikin orang ketagihan. Tapi, efek yang ditimbulkan, wuh...! Bau mulut menjadi tak sedap, dan bisa tercium radius satu meter.

”Jadi, hukum poligami itu kondisional, kayak orang mau makan pete,” terang Said yang, lagi-lagi, disambut tawa hadirin. Kondisional maksudnya adalah jika saatnya tepat, maka boleh-boleh saja. Tapi, jika situasinya tidak tepat, maka hukumnya tidak boleh. “Hmm… Pak Said mah ada-ada saja,” gumam seorang wanita sembari tersenyum sipu, yang berdiri di sudut ruangan itu. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007. 

Delik Agama Harus Dihapus

Matahari condong ke Barat, tanggal 21 Desember, berbagai kelompok agama dan keyakinan berkumpul di rumah No. 34 jalan Cempaka Putih Barat XXI Jakarta Pusat. Ada komunitas Eden, Ahmadiyah, penghayat kepercayaan, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, dan lain-lain. Mereka duduk bersama melakukan refleksi keberagamaan sekaligus syukuran vonis bebas Abdul Rahman, Nabi Muhammad ala komunitas Eden. Rahman adalah salah satu korban, yang selamat, akibat tuduhan penodaan agama. Di sela-sela itu, Abdullah Ubaid Matraji, wartawan Syir’ah, melakukan wawancara dengan Johannes N. Hariyanto, Ketua I Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), seputar kasus-kasus penodaan agama.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Ini sangat kuat terkait dengan perselingkuhan antara agama dan kekuasaan. Jika kekuasaan kawin dengan ekonomi maka jadilah korupsi, dan jika kekuasaan kawin dengan agama, yang terjadi adalah abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan, atas nama agama.

Kaitannya dengan pasal 156a?

Jelas terkait. Itu legalitas hukum yang berlaku. Saya menyebutnya sebagai pasal penghinaan kepada Tuhan. Apa layak orang mengklaim atas nama Tuhan atau agama? Agama itu kan produk tafsir yang multi interpretasi, bukan produk mesin yang baku. Justru yang baku itu adalah hal-hal mengenai prinsip beragama, seperti keadilan, kemanusiaan, saling menghormati, tidak boleh menyakiti, dan lain-lian. Karena itu, delik agama dalam KUHP itu tidak penting.

Berarti, harus di hapus?

Ya.

Mengapa?

Sebab, delik agama bisa dimasukkan pada pasal-pasal lain. Selain itu, hukum itu seharusnya mengedepankan prinsip kemanusiaan dan menjamin hak-hak sipil. Nah, pasal-pasal penodaan agama itu tidak masuk pada wilayah itu, tapi masih berkutat pada simbol-simbol.

Contoh kasusnya bagaimana?

Misal, kalau saya merusak tempat ibadah. Yang dipersoalkan itu seharusnya bukan karena yang rusak itu adalah tempat ibadah. Tapi, bangunan itu adalah milik orang. Ini tidak boleh. Tak peduli bangunan itu untuk apa, sebagai tempat ibadah atau rumah biasa. Karena itu, tidak perlu memasukkan delik agama dalam KUHP. Saya kasih contoh lagi. Setiap orang mendirikan bangunan itu perlu izin. Dan setiap bangunan yang digunakan fasilitas umum, juga harus mendapat izin guna untuk pemakaian. Itu sudah ada aturannya. Jadi, tidak perlu diataur lagi secara khusus mengenai pendirian tempat ibadah.

Adakah kejanggalan lain?

Kalau diteliti, keyakinan agama yang satu dengan yang lain itu tentu ada perbedaan. Yahudi datang sebelum kristen. Islam datang setelah Kristen. Ada banyak hal yang tidak disepakati satu sama lain. Kristen mengkritik Yahudi, Islam mengkritik Kristen, dan seterusnya. Kalau ini dipermasalahkan, ini adalah kebodohan yang tak layak. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007 

Pasal Penodaan Agama, Biang Masalah

Tuduhan penodaan agama terus menelan korban. Pasal 156a KUHP disinyalir sebagai borgol kebebasan berkeyakinan. Bagaimana dengan rencana revisi KUHP?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terletak di jalan Gadjah Mada dipenuhi rasa haru dan tetes air mata. Bibir pria berumur 36 tahun yang menjadi pusat perhatian, terlihat tersenyum simpul, tanda bahagia. Rabu, tanggal 6 Desember, hakim mengetok palu tanda vonis bebas untuknya. Seketika, kerumunan orang berbalut kain serba putih meletakkan jidatnya ke lantai, sujud syukur.

Pria itu adalah Abdul Rahman, yang diyakini komunitas Eden sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad saw. Sementara orang-orang yang berpakaian serba putih adalah para pengikutnya. Rahman dituntut lima tahun penjara karena dianggap melanggar pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama.

Rahman terbilang bernasib baik. Ia tak terbukti bersalah, lalu dibebaskan. Berbeda dengan Lia Aminuddin alias Lia Eden, malaikat Jibril yang diyakini komunitas Eden. Tanggal 29 Juni, ia divonis dua tahun penjara. Ia dikenakan pasal yang sama, dituduh telah melakukan penodaan agama. Lia Eden dan Rahman menyebarkan keyakinan baru, agama Salamullah. Sejak tahun 2003, Salamullah memegang kepercayaan, setiap agama adalah benar adanya. Perkumpulan yang diketuai Lia Eden ini, belakangan dikenal sebagai komunitas Eden.

Keyakinan inilah yang menyebabkan keduanya diseret ke meja hijau. Peneliti The Wahid Institute, Rumadi, ketika hadir di Talkshow Islam Indonesia, kerjasama Syir’ah-Metro TV, pertengahan Desember lalu, berpendapat, keyakinan itu tak bisa diadili, yang bisa diadili adalah ekspresi penganut keyakinan. Satu misal, ada orang punya keyakinan tertentu. Karena menghayati keyakinan itu, ia lalu menganjurkan permusuhan, menimbulkan ancaman, kekerasan, dan ketidakamanan. Orang yang punya ekspresi seperti ini yang harus diadili, bukan keyakinannya.

Kasus yang menimpa Lia dan Rahman adalah jenis kriminalisasi keyakinan. Ini bukanlah hal baru. Kasus-kasus serupa juga telah mencoreng sejarah kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E. Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyiratkan, kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Tapi, apa yang terjadi? Ternyata, pasal-pasal itu “diborgol” oleh satu pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal sumber masalah itu adalah pasal 156a yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”

Pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama, dan dijuluki pasal karet. Identik dengan karet, karena bisa modot dan molor ke mana-mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban atas nama agama.

Tahun 2005, pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut diangap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2. Peristiwa itu mengakibatkan gedung yayasan yang terletak di Desa Kerampilan, Kecamatan Besuk, Probolinggo tersebut diserbu, dirusak massa, dan akhirnya ditutup secara paksa.

Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan, Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.

Tentu masih banyak kasus lain korban pasal penodaan agama. Baru satu pasal saja sudah begini, apalagi jika dijabarkan menjadi beberapa pasal. Bisa jadi, soal kebebasan berkeyakinan di negeri ini kian keruh. Gelagat ini tercermin dari Rancangan KUHP (RKUHP) yang merevisi KUHP lama. Pasal penodaan agama diletakkan pada Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan. Bab ini terdiri dari delapan pasal, yang dibagi dalam dua bagian. Pertama, mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Kedua, mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah.

Ihwal revisi ini, Ketua I Indonesian Conference on Religion and Peace Johannes N. Hariyanto berpendapat, RKUHP ini tidak membawa ke arah yang lebih baik. Justru akan memperpuruk iklim kebebeasan berkeyakinan warga negara. Sebab, “Sasaran RKUHP bukan pada substansi beragama, tapi masih berkutat pada simbol-simbol agama,” ujarnya. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007

Poligami, Maslahat atau Madlarat?

Poligami tak diperintahkan. Ia dibolehkan dengan syarat yang ketat. Praktiknya disesuaikan dengan dampak fositif dan negatifnya.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


“Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, lentera hidup ini”. Penggalan lirik lagu ini tak asing lagi. Abdullah Gymnastiar, biasa disapa Aa Gym, adalah sang empu sekaligus sang pelantun. Melalui resep Menejemen Qalbu (MQ) yang diramunya, nama Aa Gym melambung. Kian hari kian naik daun. Hingga akhirnya, di penghujung tahun ini, Aa Gym memutuskan untuk menikah kali kedua, atau lazim disebut poligami.

Pro-kontra pun hingar-bingar. Wajar saja, sebagai dai kondang, gerak-geriknya menjadi panutan banyak orang. Sementara, poligami adalah satu hal yang problematik di benak masyarakat. Ada yang menerima dengan alasan mencontoh prilaku Nabi saw, ada pula yang menolak dengan dalih merugikan kaum perempuan. Bagaimana duduk perkara masalah ini?

Poligami, sejatinya, telah diatur dalam fikih. “Ini tergolong sunnah fi’liyah, mencontoh perilaku Rasul,” kata Lutfiyah Sungkar, penceramah agama. Ia memperkokoh argumentasi ini dengan mengutip ayat 31 surat Ali Imran. “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu....” Poligami yang dilakukan Nabi, tak asal menikah. Wanita yang dipilih adalah janda-janda yang terlantar karena suaminya gugur di medan perang. “Jadi yang sunah Rasul itu yang seperti ini, bukan poligami dengan perempuan yang masih imut-imut,” tambahnya.

Menurut aktifis Kaukus Perempuan Badriyah Fayumi, masalah poligami tak sekadar halal-haram, sunnah apa makruh. Jangankan poligami, monogami (nikah dengan satu wanita) saja hukumnya dapat berubah. Monogami bisa menjadi haram kalau membawa madlarat bagi salah satu pihak. “Apalagi poligami sebenarnya bukan perintah, hanya sedikit saja dibukakan pintu, sebab ada persoalan sosial,” kata perempuan yang juga berprofesi sebagai pencaramah ini. Bagi Badriyah, konteks turunnya ayat 3 Surat An-Nisa, yang biasa dijadikan dasar bolehnya poligami, adalah dalam rangka melindungi perempuan dan anak yatim. Jika tidak untuk tujuan itu, poligami menjadi bermasalah.

Lutfiyah tetap pada pendirian, hukum poligami itu jelas sunnah. Karena disitir dalam al-Quran dan dicontohkan Nabi. Syaratnya harus adil dan wanita yang dinikahi itu dalam kondisi terlantar dan butuh pertolongan. Pada sisi perlindungan terhadap perempuan, Badriyah sependapat. Spirit poligami hakikatnya adalah perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Jadi, jangan jadikan poligami sebagai justifikasi untuk melegalkan nafsu syahwat yang tak terkendali. Kalau mengedepankan syahwat, maka poligami telah melenceng dari ajaran syariat. “Di samping memenej qalbu, perlu juga memenej syahwat,” tandas wanita yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat pusat itu. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007.

Nikah Sirri Merugikan Perempuan

Nikah sirri secara fiqh diperbolehkan. Namun prakteknya yang tanpa pencatatan secara resmi menjadi permasalahan yang serius.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Karena tak tercatat, nikah sirri dianggap pernikahan ilegal. Tak punya kekuatan apapun di mata hukum. Nikah bawah tangan, nikah rahasia, kawin lari, adalah sebutan lain nikah sirri. Model pernikahan ini bukanlah hal baru. Belakangan menjadi buah bibir, karena melibatkan sejumlah public figure. Hukum nikah sirri, bisa jadi sah menurut agama, tapi tetap tidak sah di mata hukum negara. Hal ini dibenarkan Nurul Huda, penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Pancoran Jakarta Selatan.

KUA selama ini tak menerima praktik nikah siri, kalau pun ada itu sebatas konsultasi. Bahasa mudahnya, KUA tak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan terkait nikah sirri. Resiko ditangggung individu yang bersangkutan. Bahkan KUA tidak mengenal istilah nikah siri. “Kita hanya mengenal istilah nikah tercatat dan tak tercatat,” tegasnya pada acara Talkshow Islam Indonesia, kerjasama Syir`ah-Metro TV.

Husein Muhammad, pakar hukum Islam, pada kesempatan yang sama, berpendapat, sebutan nikah sirri tak dikenal dalam terminologi fikih, hukum Islam. Ini adalah istilah spesifik di Indonesia. Begitu pula dengan syarat pencatatan, yang termaktub dalam UU No.1 tahun 1974. Tak ada dalam kitab-kitab fikih. Ini adalah produk hukum Indonesia dalam rangka menjaga kemaslahatan sosial. “Pencatatan pernikahan ini dapat juga dijadikan instrumen untuk melindungi kaum perempuan,” tandasnya.

Biasanya, yang menjadi korban pernikahan sirri adalah perempuan. Misal, sering dijumpai kasus kekerasan dalam rumah tangga. Korbannya mayoritas dari pihak istri. Kalau memang terjadi demikian, istri tak bisa mengadu ke pihak yang berwajib. Sebab, status perkawinannya tak punya legalitas di mata hukum. Akhirnya, perempuan lagi-lagi menjadi korban.

Shinta, pelaku nikah sirri yang juga hadir di Metro TV, justeru merasa tak ada masalah. Ia berpendapat, nikah sirri adalah sebuah pilihan. “Secara pribadi, saya sudah memikirkan apa yang harus saya lakukan,” katanya. Pendirian ini dikritik Husein Muhammad. “Saya kira, Mbak Shinta juga lemah, meskipun ini adalah pilihan.”

Menurut Husein, tali perkawinan adalah pengikat hubungan dua insan agar tercipta rumah tangga yang sakînah, mawaddah, wa al-rahmah (tentram, penuh cinta, dan kasih sayang). Jika prinsip-prinsip itu tak terpenuhi, maka tali itu menjadi pudar. “Kalau begitu, hak dan kewajiban masing-masing pihak harus bisa saling menjaga,” tegas kiai yang juga anggota Komisi Nasional untuk Perempuan ini. []

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007

3 Januari 1946, Hari Amal Bakti Departemen Agama

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Dua hari paska pembacaan teks proklamasi, rapat sederhana digelar untuk mendiskusikan beberapa kementerian yang akan menopang kerja pemerintah Indonesia yang baru merdeka. Waktu itu, tampak hadir antara lain Kasman Singodimejo, tokoh Muhammadiyah masa awal kemerdekaan, Sutardjo Kartohadikusumo, Wakil Ketua I Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan Latuharhary, Wakil Ketua II KNIP. Mereka adalah panitia yang menggodok pembentukan kementerian yang akan membantu kerja presiden.

KNIP adalah lembaga legislatif setingkat Dewan Perwakilan Rakyat pada awal kemerdekaan. Saat rapat, menginjak pembahasan kementerian agama, Latuharhary keberatan. “Masalahnya siapa yang akan menjadi menteri agama yang dapat diterima semua pihak?” keluhnya. Singkat cerita, akhirnya, kementerian agama ditangguhkan. Untuk sementara, urusan agama dimasukkan dalam kementerian pendidikan dan kebudayaan.

Kurang lebih tiga bulan setelah rapat pembahasan, KNIP menggelar sidang pleno di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tanggal 24-28 Nopember 1945. Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta, wakilnya, serta anggota KNI Daerah (KNID) turut memadati gedung kampus yang terletak di Salemba, Jakarta Pusat itu.

Hasil rapat yang digelar sebelumnya diplenokan di sini. Ruangan menjadi riuh saat pandangan umum dari wakil-wakil KNI Daerah. Mereka menyuarakan berbagai aspirasi yang dibawa dari berbagai daerah. Terutama, saat pandangan umum dari wakil KNI Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. KH. Saleh Suaidi, yang berperan sebagai juru bicara unjuk pendapat, “Hendaknya janganlah urusan agama di negara yang baru merdeka ini diikutkan kepada kementerian pendidikan dan kebudayaan saja, tetapi mestinya didirikan kementerian agama yang khusus dan tersendiri,” usulnya.

Gagasan tersebut, ternyata, mendapatkan dukungan mayoritas, secara aklamasi, dari utusan golongan dan Badan Pekerja (BP) KNIP, semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat tempo dulu. Kementerian ini kemudian disahkan berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor I/SD, tanggal 3 Januari 1946, bertepatan tanggal 24 Muharram 1364 H. Menteri pertamanya adalah Mohammad Rasyidi. Hari lahir ini kemudian dinamai sebagai Hari Amal Bhakti Departemen Agama.

Seiring perjalanan waktu, Depag kini menuai banyak kritikan. Baru-baru ini di aula Sekretariat DPRD Kabupaten Aceh Selatan, tanggal 12 Desember, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Amin Sunaryadi menyatakan, hingga kini Departemen Agama masih menggondol juara lembaga terkorup di Indonesia. Belum lagi, kritik beberapa kalangan, yang menganggap Depag terlalu jauh mencampuri urusan agama, keyakinan, rumah tangga, atau ruang-ruang privat lain warga negara. [AUM/ANTARA/DEPAG]

Syir`ah/edisi 61/Januari 2007