Tuesday, December 26, 2006

Tuduhan “Sesat” Ditebus Nyawa

Pembunuhan terjadi di Bobojong, Bogor, terhadap seorang warga yang dituding sesat. Banyak fakta yang belum terungkap. Ada yang menyebut bukan masalah agama pemicunya, tapi kecemburuan sosial.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


“Kok rasanya begini?” perasaan hati Hasiri Muttaqin dilanda gundah. Ia mencoba menepis perasaan itu dan tetap naik mimbar menyampaikan khotbah shalat Idul Fitri 1427 Hijriah, hari Selasa 24 Oktober lalu, di lapangan Yayasan Kharisma Usada Mustika (Yaskum) yang berada di Kembangan Baru, Jakarta Barat. Di atas mimbar Hasiri merasa hambar. Tak seperti biasanya.

Keesokan harinya, pembina Yaskum itu memutuskan berangkat bersama keluarga ke Garut, Jawa Barat. Di kota dodol itu, pria kelahiran Bangkalan, Madura tersebut berniat silaturahmi dan berziarah ke makam Muhammad Syamsu Bulganon Abdullah, sesepuh Yaskum sekaligus mertuanya. Hari Kamis malam, perasaan resah gelisah malah menjadi-jadi tak karuan. Ia pun tak kuasa tidur hingga larut malam. “Ada apa ini?” hati kecilnya kembali bertanya-tanya.

Tanda tanya itu terjawab ketika Muhammad Mamat Hasbullah, salah satu pimpinan Yaskum, menghubunginya lewat telepon.
“Ada kejadian di Bogor,” katanya di ujung telpon
“Kejadian apa?” tanya Hasiri.
“Itu ada murid Pak Munir yang di Bogor dikeroyok massa lalu meninggal.” Jawab Mamat seperti diceritakan Hasiri kepada Syir`ah.

Pak Munir itu nama panggilan dari Munir Anwar, ketua Yaskum cabang Cipondoh Tangerang. Sedangkan murid Pak Munir yang dimaksud adalah Mohammad Alih Sobari. Warga kampung Bobojong, desa Petir, kecamatan Darmaga, kabupaten Bogor ini sehari-hari bekerja di ladang dan beternak ikan gurame. Sejak tahun 1999 ia aktif sebagai anggota Yaskum.

Yayasan ini sudah melakukan kegiatan sejak 1969. Pendirinya Muhammad Syamsu Bulganon Abdullah (alm.), atau biasa dipanggil Aki Syamsoe. Garapan utamanya pembinaan mental dan spiritual. Baru tahun 1996 berbadan hukum dan diberi nama Yaskum. Dalam aktifitasnya, kata Hasiri, Yaskum tidak merambah soal-soal fikih. Tapi, lebih pada aksi sosial, antara lain pengobatan baik secara medis maupun spiritual, penanganan korban narkoba, memberikan beasiswa, dan mendirikan usaha mandiri. Kini, jumlah anggotanya kurang lebih 4 juta orang yang tersebar di 27 provinsi.

Malam, 26 Oktober, menjadi malam kemalangan bagi Alih. SEbulang dari acara tahlilan pukul 19.30 WIB, pria berusia 40 tahun itu shalat Isya di masjid Uswatun Hasanah, masjid tak jauh dari rumahnya. Jaraknya sekitar 45 meter. Usai shalat Alih berniat pulang ke rumah. Begitu keluar, Alih langsung dihadiahi pukulan dan tendangan oleh beberapa orang, kopiahnya jatuh ke tanah dan ia tersungkur.

Alih sempat melarikan diri, tapi langsung ditangkap oleh massa yang sudah menunggunya. Berdasarkan penyelidikan Kepolisian Sektor Darmaga, Bogor, waktu itu ada sekitar 250 massa yang berasal dari tiga kampung: Bobojong, Sempur, dan Ijul.

Kemudian, Alih diseret kurang lebih 200 meter dari masjid menuju villa kosong. Di villa yang terletak di perbatasan kampung Bobojong dan desa Petir itulah Alih dipukul ramai-ramai. Golok, kayu, batu, secara tak beraturan bersarang ke tubuh dan wajah bapak dua orang anak ini.

Darah Alih tak terbendung, mengalir deras membasahi pelataran villa milik warga Jakarta bernama Syamsul Bahri, yang sudah lama tak berpenghuni itu. Alih babak belur dan tergolek merintih lirih. Tak jelas ia melafalkan apa, bibirnya tampak bergerak-gerak tanpa suara. Massa yang masih kalap itu menyeret Alih ke kantor kepala desa. Di tengah perjalanan, ada mobil angkutan kota (angkot) melintas, lalu berhenti seketika. Melihat si korban, supir angkot terperanjat. Ternyata, yang babak belur itu adalah rekannya.

Tanpa pikir panjang, Alih dimasukkan ke dalam angkot. Tapi, massa tiba-tiba merangsek ke mobil itu. Mereka tahu kalau sopir itu ternyata pengikut Alih yang bernama Uca. Sembari menyetir mobil yang ditumpangi jasad Alih, Uca dihujani pukulan dan tamparan lewat jendela mobil. “Uca pun terus tancap gas hingga lolos,” kata Muhammad Bulganon Amir, Ketua umum Yaskum.

Menurut versi sumber lain massa tidak sampai memukuli Uca. “Ada beberapa orang yang mau memukul tapi tak jadi karena ada yang melarang,” katanya.

Mobil yang dikendarai Uca tadi akhirnya bertemu mobil ambulan di daerah kampung Jadipa, di depan masjid jami Al-Mubarok, kurang lebih 1,5 kilometer dari tempat kejadian.

Jasad pria yang juga mahir mengobati orang sakit itu dipindah ke mobil ambulan dan dibawa meluncur ke rumah sakit Palang Merah Indonesia Bogor. Di rumah sakit itu Alih dipastikan tak bernyawa. “Sejak suami saya keluar rumah untuk tahlilan, saya tidak tahu lagi, tahu-tahu dia sudah meninggal. Tak tahu meninggalnya jam berapa dan ketika di mana,” kata Mintarsih dengan lirih saat ditemui Syir’ah di kediamannya.

Sejak peristiwa itu, aura warga dan suasana kampung Bobojong mencekam. Tak terdengar suara keras apalagi tawa anak-anak di kampung itu saat Syir’ah investigasi ke lokasi kejadian. Hujan rintik-rintik turun mengiringi langkah setapak demi setapak. Puluhan pasang mata menatap Syir’ah dengan tajam. Wajahnya mengunjuk roman curiga juga takut. Tepat di belakang masjid Uswatun Hasanah, ada sosok pria setengah baya mengaduk-ngaduk pasir dan semen. Syir’ah mendekat, menyapa, dan bertanya?

“Apa benar peristiwa yang menimpa Pak Alih terjadi di sini?” tanya Syir’ah sembari menunjuk ke masjid.

“Saya tidak tahu, tidak tahu...” jawab pria itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.

Hujan semakin deras dan lebat. Syir’ah pun menepi di rumah salah seorang warga. “Saya tidak tahu apa-apa Mas... jangan tanya saya,” ujar si pemilik rumah yang membuat Syir’ah tersentak dan heran. Niatnya hendak berteduh malah disangka akan bertanya. Bahkan, beberapa rumah warga yang mulanya pintunya terbuka, begitu melihat Syir’ah yang bawa tas ransel dan menenteng kamera, langsung menutup pintunya. “Brak...!”

Sejenak Syir’ah kebingungan harus mencari informasi pada siapa. Nampaknya ada semacam aksi tutup mulut. Akhirnya Syir’ah mampir di kedai kecil dekat masjid untuk menghela nafas sembari minum teh hangat. Tak terduga, di kedai itulah pintu informasi terbuka lebar.

Penjaga kedai bernama Neneng. Wanita belasan tahun berkulit putih ini ternyata masih ada hubungan darah dengan Alih. Ibunya adalah saudara kandung Mintarsih, istri Alih. “Main aja Mas ke rumah Pak Alih, keluarganya terbuka kok,” anjur Neneng.

Syir’ah lalu menuju rumah Mimin, panggilan akrab Mintarsih (30 tahun). Seorang anak remaja menyambut di depan pintu. “Itu ibu saya,” kata Alfiansyah, usia 15 tahun, putra sulung Alih. Sosok wanita berkulit sawo matang, tinggi badan sekitar 150 sentimeter, dan rambutnya panjang terurai mempersilahkan Syir’ah masuk. Perutnya buncit sedang hamil.

Di tempat berukuran 5X4 meter itu Syir’ah beramah-tamah dengan Mimin dan dua orang anaknya. Anaknya yang kedua bernama Aldevianti, berusia tujuh tahun.

Peristiwa sebulan yang lalu tak pernah dilupakan Mimin. Apalagi saat ditinggal Alih, Mimin tengah berbadan dua, dengan usia kehamilan empat bulan. “Saya tak habis pikir, mengapa mereka tega membunuh suami saya, apa kesalahan dan dosa-dosa dia?” kata Mimin dengan suara lirih. “Saya juga tidak mengerti, kata orang-orang, suami saya menyebarkan aliran sesat,” imbuhnya.

Menurut Muhammad Iqbal Iskandar, pengasuh pesantren Hidayah al-Bayan yang berada di desa Bobojong, tuduhan itu muncul dari warga Bobojong. Ada beberapa kegiatan yang menyebabkan tuduhan sesat itu dialamatkan kepada Alih. Antara lain, kalau tengah malam ada ritual dzikir yang disebut “laporan ke Tuhan”.

Dengan dasar itu Syir’ah bertanya pada Mimin, “Apa yang dilakukan Ustad Alih saat tengah malam?”

Sebelum menjawab, wanita kelahiran Bobojong ini mengklarifikasi. “Suami saya kok dipanggil ustad sih?, Alih itu bukan ustad, dia orang biasa,” katanya. Warga Bobojong biasa memanggilnya Abang atau Kakak.

Mimin lalu menjelaskan apa yang dilihat ketika tengah malam. Alih, anggota Yaskum itu kalau tengah malam, menurut Mimin, sering tidak tidur. Kalau ada teman-temannya, dia mengajak mereka untuk dzikir kepada Tuhan dan shalat Tahajud. Lampu ruangan dimatikan. “Kata suami saya, biar lebih khusyuk,” urai Mimin.

Menurut Hasiri, pembina Yaskum, bacaan dzikir yang digunakan anggota Yaskum tidak ada yang berbeda, layaknya bacaan masyarakat yang lain. “Mulai dari allâhu akbar sampai lâ haula walâ quwwata...” kata Hasiri saat ditemui Syir’ah di studio Metro TV sambil menyodorkan lembaran bacaan dzikir yang berlaku di Yaskum.

Selain itu, Alih juga dituduh mengajarkan ritual shalat yang cukup dengan niat saja. Giliran Muhammad Bulganon Amir angkat bicara. Ia menjelaskan kepada Syir’ah ketika ditemui di kantornya di Kembangan Baru Jakarta Barat 25 Nopember lalu. Abang Ebul, panggilan akrabnya, malah balik bertanya. “Kenapa banyak orang shalat tapi kelakuannya masih bejat?” Baginya, ini akibat menjalankan shalat hanya sebatas ritual. Shalat itu harus dilandasi dengan kesadaran, dan kesadaran itu butuh proses.

Dalam kasus Alih, Abang Ebul memberi tanggapan. “Apa benar dia menyebarkan shalat hanya dengan niat, sementara dia dibunuh habis shalat di masjid,” tandasnya.

Menurut Mimin, suaminya juga kerap dituduh menyebarkan ajaran yang melarang orang menunaikan haji ke Makkah, tapi cukup di Cipondoh Tangerang saja. Abang Ebul kembali menjelaskan dengan fakta. Ia memanggil salah seorang anggota Yaskum, yang kebetulan berada di dekatnya. Ia lalu bertanya ke sosok perempuan tua yang masih kelihatan enerjik itu.

“Bu, tahun lalu kan Ibu baru saja haji. Waktu itu Ibu haji ke mana?” tanyanya santai. “Ya ke Makkah lah.” Jawab perempuan itu sembari terheran. Abang Ebul terdiam sejenak. “Kalau melarang haji bagi orang yang tak mampu itu memang benar, tapi kalau melarang orang haji ke Makkah itu baru fitnah,” tegasnya.

Hingga kini, Majelis Ulama Indonesia belum memberikan keputusan ihwal Alih. “Masalah ini kami limpahkan ke pusat dan masih dalam proses pengkajian,” kata Ketua MUI Kabupaten Bogor Ahmad Mukri Aji saat dihubungi Syir’ah pertengahan Nopember.

Rencana warga Bobojong untuk menghakimi Alih ini bukan kali pertama. Tahun 2005, warga sudah mau mengusir Alih. Untung saja, waktu itu dia diselamatkan oleh salah seorang warga lalu dibawa pergi ke wilayah Tangerang, Banten. Alih selamat. Selang beberapa bulan, sekitar tiga bulan, Alih balik lagi ke Bobojong. Kasak-kusuk warga pun kembali merebak.

Menurut versi Iqbal masyarakat setempat melihat ada perbedaan ritual yang dilakukan Alih dan anak buahnya. Kemudian mereka tak bisa menerima sesuatu yang berbeda dan akhirnya ditanggapi dengan emosi. “Kayaknya mereka sudah kesal dengan Alih,” kata alumnus Universitas Ibnu Khaldun ini.

Berbeda hal dengan analisis Abang Ebul. Menurutnya, tragedi yang menimpa Alih dipicu rasa iri atau dengki. Pria yang umurnya sudah berkepala lima ini memandang kasus ini dari sudut sosiologis. Alih itu orang kampung yang biasa-biasa saja, tidak lebih pintar dari ustad-ustad di daerah sekitar.

Namun ia dikenal pandai mengobati orang. Setahu Mimin, Alih tidak buka praktik khusus. Tapi banyak orang yang datang minta disembuhkan penyakitnya. “Alhamdulillah sembuh,” kata Mimin. Dari saudara, tetangga bahkan orang luar kampung juga datang meminta tolong.

“Tapi, mengapa Alih lebih sering didatangi orang-orang, bahkan dari luar desa?” tanya Abang Ebul. Pada titik inilah kecemburuan sosial itu bercokol. “Karena itu, kasus ini harus dituntaskan secara hukum, dan dalangnya juga harus tertangkap,” tegas pria berdarah Aceh ini.

Meski sudah ada empat tersangka yang diciduk polisi, mungkin butuh cukup waktu untuk mengungkap kasus Alih hingga ke akarnya. Masih banyak kabut gelap yang merintangi.

Yang jelas istri Alihlah yang paling menderita. Orang yang menjadi satu-satunya tumpuan keluarga telah tiada. “Maksudnya membunuh itu apa? Saya bingung suami saya dibunuh sampai mengerikan,” kata perempuan yang sedang hamil lima bulan itu. []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Penganjur Shalat di Atas Tanah Minta Dialog

Pendapat Mahrous Ali yang melaksanakan shalat di atas tanah banyak bertentangan dengan masyarakat umum dan guru-gurunya. Meski begitu, ia tetap membuka lebar pintu dialog.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Di sebuah rumah kecil di tepi sawah desa Tambak Sumur kecamatan Waru kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, Mahrous Ali (51 tahun) tinggal bersama keluarganya. Sejak tahun 2003, Mahrous mengubah salah satu kamarnya yang berukuran 4X5 meter menjadi masjid. Ubin yang terpasang rapi, satu persatu dicongkeli hingga terlihat tanah di bawahnya.

Melihat kelakuan aneh itu, Hasyim Hambali (48 tahun), mertua Mahrous, yang rumahnya berdempetan heran, apalagi rumah itu pemberiannya. Ia menegur, “Rumah bagus-bagus kok malah diteteli (dicongkeli) ubinnya?” Mahrous menjawab, “Ruangan ini akan digunakan shalat di atas tanah.” Hasyim sontak kaget.

Rumah Hasyim dan Mahrous adalah satu rangkaian. Ukurannya kurang lebih 7,5 X 32 meter. Rumah agak besar itu lalu dibagi menjadi tiga. Tiga perempat untuk kediaman kiai Hasyim dan sisanya dibagi dua. Ruang tengah untuk keponakannya, dan ruang paling belakang untuk putrinya bernama Faizah, yang kini disunting Mahrous.

Hubungan menantu dan mertua itu mulanya berjalan mesra. Kalau ada undangan ceramah atau pengajian, Hasyim yang juga pemangku pesantren Al-Syafi’iyah sering melimpahkan ke Mahrous. Tapi, lama-kelamaan banyak pendengar yang komplain ke Hasyim, banyak isi ceramah Mahrous yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat umum. “Orang-orang bilang omongan Pak Mahrus banyak yang nyeleneh,” kata Hasyim.

Gelagat kenyelenehan Mahrous dirasakan Hasyim sejak tahun 2003, yang puncaknya pada pencongkelan ubin rumahnya dan mewajibkan shalat di atas tanah, tak boleh pakai keramik, karpet, atau sajadah. Pada tahun itu pula, Mahrous mendirikan Jamaah Darul Qur’an, yang hingga kini jamaahnya tak kurang dari 40 orang.

Pendapat Mahrous ihwal shalat di atas tanah bukan tanpa dasar. Sebelum mengeluarkan fatwa itu, ia meneliti tata cara shalat Rasul dalam kitab-kitab hadis. Ternyata, “Tempat sujud Rasulullah dan para sahabat adalah langsung ke tanah,” tegas Mahrous.

Misalnya hadis yang diriwayatkan Imam Muslim (wafat tahun 261 H) dalam bukunya Shahih Muslim, kutip Mahrous. Suatu ketika, mendung menyelimuti masjid lalu hujan tak tertahan membasahi masjid. Saking derasnya, air mengalir deras dari atap masjid, yang waktu itu atapnya masih terbuat dari pelepah kurma. Akibatnya, masjid menjadi becek dan berlumpur.

Kemudian, Rasulullah dan para sahabatnya datang untuk menunaikan shalat shubuh tanpa tikar dan sajadah. “Aku lihat bekas tanah lumpur berada di dahi Rasulullah,” kata Abu Sa’id al-Khudri, salah seorang sahabat.

Lebih dari itu menurut pengakuan Mahrous kepada Syir’ah, dalil utama yang digunakan dasar mengambil keputusan hukum adalah hadis yang berbunyi, “waju’ilat li al-ardh masjidan wa thahûrâ, fa ayyumâ rajulin min ummatî adrokathu al-sholâh fal-yusholli,” bumi ini dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci, siapa pun yang menjumpai waktu shalat maka shalatlah.

Hujjah ini dibantah Hasyim Hambali, gurunya. “Mahrous salah menempatkan dalil,” sergahnya. Hadis yang dikutip Mahrous itu berasal dari kitab Shahih Bukhari (kompilasi hadis shahih versi Imam Bukhari) nomor hadis 335. Keterangan hadis ini telah dijelaskan secara gamblang Ibnu Hajar (ahli hadis lahir 773 Hijriah) dalam Fath al-Bârî (Membuka Tabir Sang Pencipta), juz satu halaman 582, yang menjadi penjelas Shahih Bukhari.

Hadis tersebut menjelaskan ihwal diperbolehkannya tayammum, bersuci dengan debu, sebagai pengganti wudu dengan air. Karena itu, tak bisa dijadikan dalil kewajiban shalat di atas tanah.

Konteks hadis, kutip Hasyim, berkisah tentang keistimewaan umat Nabi Muhammad, dibanding umat terdahulu. Ketika telah datang waktu shalat, tapi tidak ditemukan tempat permanen, dan tidak menemukan air, maka diperbolehkan bersuci dengan debu, lalu shalat di atas tanah.

Anjuran shalat di atas tanah bukan satu-satunya ajaran Mahrous yang berbeda dengan warga setempat. “Mahrous memang unik,” kata salah seorang warga desa Tambaksumur yang tak mau disebut namanya. Dulu, kalau shalat ia selalu mengikatkan sorban di kepalanya. Kurang lebih setahun ini, Mahrous berubah pikiran. Ia melarang anggota jamaahnya shalat memakai sorban. Apa pasal?

Bapak dari 11 anak ini menjawab enteng, “Karena saya baru menemukan hadisnya, dulu belum ketemu.” Rasulullah dan para sahabatnya tak pernah pakai sorban saat shalat. Ia juga mengutip pendapat salah seorang Imam mahdzab empat, Imam Syafi’i. “Saat engkau shalat biarkan rambutmu turun ke tanah untuk ikut sujud kepada Allah,” kata Syafi’i seperti disitir Mahrous. Karena itu, kalau rambut diikat dengan kopiah atau sorban itu justru menyalahi tuntunan.

Dan tak perlu kaget, jika hendak berkunjung ke rumah Mahrous, jangan sekali-kali membawa bungkusan nasi dengan lauk tahu, tempe, atau telur. Sebab Mahrous mengharamkan makanan itu.

Tahu dan tempe, menurut pria kelahiran Telogojero Kebomas Gresik Jawa Timur ini, berasal dari cuka, melalui proses peragian. Sementara cuka terbuat dari hamr (arak), dan hamr adalah najis. Karena itu, tahu dan tempe juga najis dan haram dimakan.

Kalau telur, apa juga najis? “Oh, tidak,” tegasnya. Telor haram dimakan karena hakikat telur adalah janin. Sedang janin adalah cikal bakal binatang. Dalam hal ini, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk memelihara makhluk hidup, untuk keseimbangan ekosistem. Jadi, telor juga haram dimakan. Selain alasan itu, Mahrous juga pernah meneliti kitab-kitab hadis terkait soal ini. Ia berkesimpulan, selama hidup Rasulullah dan para sahabat tidak pernah makan telur.

Syir’ah lalu bertanya, kenapa pendapat Pak Mahrous dinilai orang banyak nyeleneh? “Terserah orang mau bilang apa, yang penting saya hanya meniru perilaku Rasul apa adanya seperti dalam hadis-hadis,” jawabnya.

Pemikiran Mahrous ini lama-kelamaan tidak hanya diketahui warga Tambaksumur, tapi sudah menyebar ke penjuru Nusantara. Media massa lokal dan nasional memberitakan pemikiran pria yang sejak kecil tinggal di lingkungan keluarga Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Kontroversi itu lalu membahana. Hingga puncaknya pada bulan September lalu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Ali Maschan Moesa mengeluarkan pernyataan, “Keyakinan itu tidak benar. Jadi harus segera diluruskan,” tandasnya.

Menurutnya, 90 persen warga Tambaksumur adalah orang NU. Karenanya, ia harus turun tangan. “Saya khawatir, kalau masyarakat terpancing lalu melakukan aksi anarkis,” katanya.

Sementara itu warga Tambaksumur sendiri sebenarnya tidak ambil pusing dengan perilaku Mahrous dan jamaahnya. Bahkan ada yang beranggapan, wujûduhu ka adamihi, keberadaan Mahrous itu tidak berarti apa-apa bagi warga.

Di mata warga Tambaksumur Ahmad Shohifan, aktifitas Jamaah Darul Qur’an sama sekali tidak mempengaruhi warga Tambaksumur. Justru jamaahnya berasal dari luar desa. “Kalau pun ada itu cuma satu orang, tetangganya sendiri,” kata warga RT. 2, RW 1, Tambaksumur itu.

Saat investigasi, Syir’ah tak cukup sekali ke rumah Mahrous. Pasalnya, pria yang hanya mengenyam pendidikan agama ini menyimpan banyak tanda tanya. Terutama soal latar belakang pemikirannya yang kontroversi itu. Menurut pengakuan Mahrous, pemikiran-pemikirannya itu murni dari ijtihad dia sendiri. Bahkan, “Pemikiran saya ini berbeda dengan guru-guru saya,” kisahnya.

Salah satu guru pria kelahiran tanggal 28 Desember 1957 itu adalah Abdullah Faqih, kiai khos yang berasal dari pesantren Langitan Tuban, Jawa Timur. Sejak usia remaja Mahrous nyantri dengan kyai Faqih.

Mahrous dikenal sebagai santri yang cerdas. Selang dua tahun, Mahrous pergi ke Makkah untuk mempelajari al-Quran dan hadis. Ia ikut ngaji di majlis taklim sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, ulama kenamaan di Makkah, yang wafat pada tanggal 29 Oktober 2004. Guru utamanya adalah syaikh Muhammad Yasin bin Isa bin Udiq al-Fadani, wafat di Makkah tahun 1989 M. Ulama asal Padang, Sumatra Barat ini dikenal sebagai ulama yang dirujuk seluruh dunia, terutama mengenai sanad-sanad (silsilah dari guru hingga sahabat atau Rasulullah) pelbagai ilmu.

Saat belajar pada syaikh Yasin ini, Mahrous memperoleh ijazah sanad untuk ribuan kitab-kitab hadis dan fiqih. Berdasar atas kemampuan dan pengalamannya berguru pada ulama-ulama besar inilah ia berani untuk mengeluarkan pendapat sendiri, meski harus bertentangan dengan gurunya.

Tapi, “Kalau kiai Faqih memanggil, saya siap datang ke Langitan untuk berdialog,” katanya. Bahkan, ia mengungkapkan keinginannya untuk dialog secara fair dan terbuka dengan Majelis Ulama Indonesia, tokoh-tokoh syuri’ah NU, atau majelis tarjih Muhammadiyah.

Sebelum Syir’ah pamitan, Mahrous berpesan, “Bila ada temen-teman dari NU atau kalangan mana pun yang menemukan hadis bahwa sahabat shalat di atas tikar, saya akan lihat hadisnya, dan saya akan ucapkan terima kasih, karena membantu saya menemukan hadis yang sampai sekarang belum saya jumpai.” []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Melejitkan Kecerdasan Emosi

Qana`ah tak sekadar sikap pasif menerima apa adanya, tapi ada proses evaluasi pembelajaran. Juga, berpotensi meningkatkan kecerdasan emosi.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Moncong senapan yang sewaktu-waktu bisa memuntahkan timah panas tak sedikit pun membuat gentar Mahatma Gandhi. Tokoh pejuang kemerdekaan India itu tetap tenang dengan tangan kosong. Modalnya kesabaran, anti kekerasan. Bahkan hingga ia meregang nyawa, 30 Januari penghujung era 40-an.

Seseorang memberondongnya dengan peluru senapan. Dada pria yang hanya berbalut kain putih itu berlubang. Tubuhnya terkapar. Para pengikutnya panik, tapi dengan sergap menolong sang pemimpin yang sudah ambruk. Saat itu amarah mereka mungkin mendidih di ujun ubun-ubun. Tapi pesan pria yang bernama asli Mohandas Karamchand Gandhi ini meredam mereka. Di ujung usianya, pria berkepala plontos itu berpesan, agar orang-orang yang menolongnya mau membebaskan dan mengampuni sang penembak gelap.

Gandhi dikenal sebagai pembela hak-hak warga India yang masih berada di bawah koloni Inggris. Pria kelahiran 2 Oktober 1869 itu adalah pelopor perjuangan swadesi, perjuangan berlandaskan spirit cinta dan kasih.

Prinsip perjuangan tanpa kekerasan yang ia gagas, berhasil meledakkan semangat perlawanan rakyat untuk memboikot industri-industri Inggris di India. Konsistensi perjuangan yang tanpa pamrih membuat rakyat Sungai Gangga patuh, lalu membangkang penjajah.

Gandhi bukanlah seorang sufi. Ia pemeluk Hindu yang punya prinsip anti kekerasan, tak mudah mengumbar amarah. Komitmen itu dalam agama Islam layaknya sikap seorang sufi. Amarah, rakus, dan takabur, adalah pantangan besar bagi seorang sufi. Rasulullah saw pernah berpesan, siapapun yang mempunyai tiga karakter berikut, maka Allah akan memelihara dan melindungi dengan rahmat-Nya, serta memasukkan dalam kecintaan-Nya. Apa itu? “Jika diberi ia bersyukur, jika mampu membalas ia memaafkan, dan jika marah ia bersikap tenang,” sabdanya seperti diriwayatkan al-Hakim.

Sufi besar dari Naisabur, Iran, Abul Qasim al-Qusyairi (986-l073 M), menyebut ciri-ciri orang dalam hadis tersebut sebagai karakter qana`ah. Begitu pula dalam firman Allah ayat 13 Surat al-Infithar: sesungguhnya orang yang berbakti itu pasti berada dalam surga yang penuh kenikmatan. “Kata kenikmatan yang dimaksud adalah qana`ah di dunia,” tegasnya dalam al-Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tashawwuf, kitab al-Qusyairi dalam ilmu tasawuf. Apakah qana`ah itu, kok sampai diumpamakan sebagai al-na`îm, surga penuh kenikmatan.

Menerima apa adanya, itulah definisi umum qana`ah. Biasa juga dipahami sebagai sikap pasrah dengan kondisi yang dialami. Pasif, lembek, tak berdaya, dan mudah menyerah adalah persepsi kebanyakan orang terhadap karakter sifat ini. Pemaknaan qana`ah sejatinya tak sesederhana itu. Seorang sufi biasanya mempraktikkan sikap “menerima apa adanya” dengan dua cermin.

Yang Lalu Biarlah Berlalu

Pertama, orang yang qana`ah tak akan menyesali apapun yang telah terjadi. “Ambillah tiap kejadian itu untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pengertian,” firman Tuhan. Ayat kedua dalam surat al-Hasyr inilah yang dijadikan patokan para sufi dalam menyikapi peristiwa menyedihkan atau sebuah kesalahan yang telah berlalu. Nasi sudah menjadi bubur, yang lalu biarlah berlalu. Begitu kata pepatah.

Tidak menyesali bukan berarti tidak peduli. Kejadian yang tak diinginkan yang telah terjadi itu tak perlu ditangisi. Tapi, dievaluasi. Mengapa sampai terjadi? Apa penyebabnya? Bagaimana agar tak terjadi lagi? Itulah antara lain pertanyaan yang harus dipecahkan.

Untuk melatih sikap ini kepada muridnya, seorang guru sekolah dasar membawa segelas susu manis ke dalam kelas dan menaruhnya di atas meja.
“Siapa yang doyan susu?” tanya guru itu.
“Saya... saya… saya Pak…,” suara itu terdengar sahut menyahut.
“Kalau begitu, yang mau susu ambil sendiri ke depan.”

Anak-anak langsung berhamburan maju ke depan berebut segelas susu di meja pak guru. Dan… “Pyar…!” gelas itu pecah. Semuanya terdiam, bahkan ada yang menangis, gara-gara tak jadi kebagian susu kesukaannya itu.

Kejadian ini sengaja didesain guru tersebut untuk memberikan pelajaran kepada anak didiknya. Ia kemudian menjelaskan. Gelas yang pecah dan susu yang tumpah ke tanah tidak akan kembali lagi. Semua telah terjadi. Karena itu, tidak perlu ditangisi dan disesali. Guru tersebut lalu memancing dengan pertanyaan: mengapa susu tadi bisa tumpah? Apakah penyebabnya? Bagaimana agar tidak terjadi lagi?

Setelah itu, anak-anak mengerti dan dapat menyimpulkan. Lain kali kalau mau mengambil sesuatu mereka mesti hati-hati dan tak berebut. Harus bersabar dan bergiliran. Qana`ah, dalam kasus ini, berarti tak hanya menerima kenyataan secara pasif, tapi ada proses evaluasi sebagai pembelajaran yang berharga.

Amarah Membawa Petaka

Kedua, orang yang qana`ah tak terbesit sedikit pun niat balas dendam. Amarah timbul karena perasaan ‘tidak puas’ dan ‘tidak terima’, lalu berubah menjadi dendam membara. Dendam tak akan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah baru. “Siapapun yang mampu menahan amarah, Allah akan menahan siksa kepadanya, dan siapapun yang mampu menjaga lisannya, Allah akan menutupi kekurangannya,” tegas Nabi seperti diriwayatkan Thabrani.

Ihwal ini, orang-orang sufi juga meneladani kisah dalam riwayat al-Turmudzi. Ada seorang lelaki datang menghadap Nabi saw. Ia bertanya, ya Rasulullah pelayanku telah berbuat kesalahan kepadaku, apakah boleh saya memukulnya? “Maafkanlah dia sehari semalam tujuh puluh kali,” jawab Nabi.

Hadis ini menandaskan, amarah itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada kontrol. Orang yang tak bisa menahan amarah biasanya lepas kontrol dan berujung petaka. Jadi, meredakan amarah dengan memaafkan bukan berarti membiarkan kesalahan, tapi berstrategi lebih matang menghindar dari petaka.

Ilmu kedokteran juga memandang, amarah justru membawa petaka bagi kesehatan. Gara-gara amarah yang tak terkontrol, tubuh manusia akan kehilangan energi. Lesu, gugup, letih, dan kesal adalah efek negatif yang ditimbulkan amarah. Peredaran darah berjalan cepat, denyut jantung pun bertambah cepat. Akibatnya jantung menjadi lemah.

Selain alasan medis, orang yang bersikap qana`ah lebih hati-hati dalam berfikir dan lebih matang dalam berstrategi. Ini tercermin dalam kisah Umar dan Yusuf, sebut saja begitu. Mereka dua sahabat karib. Saat usia remaja, Umar jatuh cinta pada Aminah. Begitupun Yusuf. Laki-laku itu juga menaruh hati pada dara yang jadi bunga desa di kampungnya itu. Lantaran adanya persaingan kedua perjaka ini persahabatan mereka agak berjarak. Singkat cerita, sang dara yang jadi rebutan lebih memilih Yusuf sebagai teman hidup.

Ini pukulan berat buat Umar. Ia naik pitam. Ingin sekali ia meninju muka yang dulu jadi sahabatnya sejak kecil itu. Untung ia mengurungkan niat. Ia tak meneruskan hasrat yang menjurus ke arah dendam kesumat itu. Haluan hidupnya diputar seratus delapan puluh derajat. Ia rela melepas Aminah.

Umar bertekad memacu dirinya dengan berbagai keahlian dan kemampuan. Ia kembali melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya ia menjadi seorang doktor. Tidak hanya itu tentunya, teman hidup pun ia peroleh melebihi segala-galanya jika dibanding Aminah.

Dua cermin di atas, tidak dendam dan tidak menyesal, merupakan ciri khas seorang sufi yang qana`ah, seperti digambarkan ulama dari Universitas Azhar Mesir Muhammad Al-Ghazali Al-Saqa dalam Jaddid Hayâtak, perbaruilah kehidupanmu. “Jika tamak adalah kezaliman, maka qana`ah adalah sebuah kemuliaan,” tegas ulama yang wafat tanggal 9 Maret 1996 itu.

Melatih Kecerdasan Emosi

Qana`ah dalam lelakon sufi menduduki tempat yang begitu mendasar. Saking pentingnya Nabi pernah mengatakan, “Qana`ah itu laksana harta yang tak pernah sirna,” katanya dalam riwayat Thabrani. Salah seorang sufi pernah ditanya, Siapakah orang yang paling qana`ah di antara umat manusia? Ia menjawab, yaitu orang yang paling berguna bagi umat manusia dan tidak rakus.

Abu Yazid al-Bistami juga pernah di tanya seseorang, “Bagaimana anda bisa sampai pada kedudukan sekarang ini? “Aku mengumpulkan harta kekayaan dan mengikatnya dengan tali qana`ah. Lalu aku menempatkannya dalam ketepil keikhlasan, dan setelah itu aku lontarkan ke samudera yang berlimpah maaf dan kasih sayang,” jawabnya. Berarti, putus asa dan dendam jelas-jelas sirna dalam diri seseorang yang mampu bersikap qana`ah. Bisa juga dikatakan, qana`ah adalah menghadapi emosi dengan “kepala dingin”.

Jika dikaji lebih dalam, menurut ilmu psikologi, ekspresi seperti marah, sebal, frustasi, cemburu, iri hati, sedih, gembira, sayang adalah macam-macam emosi. Mengenali dan mampu mengendalikan emosi, adalah salah satu ciri manusia dewasa dan berkepribadian matang. Anak-anak belum punya kecakapan ini. Karena itu, wajar saja jika ada anak yang menunjukkan emosinya dengan meletup-letup, seperti menangis meraung-raung di tengah keramaian jika keinginannya tak terpenuhi.

Menurut Peter Salovey dan John Mayer, psikolog dari Universitas Harvard dan New Hampshire di AS, kemampuan mengenali dan mengendalikan emosi itulah yang dinamakan kecerdasan emosi atau emotional intelligence (EI).

Jadi, orang dewasa yang tidak dapat mengenali dan mengendalikan emosinya sendiri adalah orang-orang dengan EI rendah. Untuk pemetaan lebih jelas, ada lima wilayah kecerdasan emosi, yaitu: (1) mengenali emosi sendiri, (2) mampu mengelola emosi itu sesuai situasi dan kondisi, (3) bisa memotivasi diri dengan emosinya, (4) bisa mengenali emosi orang lain, dan (5) mampu membina hubungan baik dengan orang lain.

Emosi adalah sesuatu yang liar dalam diri manusia, karena itu harus dikendalikan. Pengendalian emosi dalam konteks ini bukan berarti menekan bahkan menghilangkan emosi, tapi bagaimana memenej emosi dengan baik. Caranya yaitu, pertama, dengan belajar menghadapi sesuatu dengan pertimbangan matang. Setiap kejadian harus dipikirkan plus minusnya. Jangan sekali-kali bertindak dengan asal-asalan tanpa landasan yang kokoh.

Kedua, memberikan respons terhadap situasi yang dihadapi dengan pikiran maupun emosi yang proporsional. Emosi itu harus sesuai dengan situasi dan diekspesikan dengan cara yang dapat diterima lingkungan sosial. Jangan seenaknya sendiri. Kegagalan pengendalian emosi biasanya terjadi karena kita kurang mau bersusah payah menimbang sesuatu dengan “kepala dingin”. []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Upaya Mengikis Diskriminasi

Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang esensinya untuk menghapus diskriminasi, ternyata masih ditemukan beberapa celah.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang dijadikan landasan konstitusi bangsa ini, dengan jelas memberikan jaminan hak asasi kepada warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Namun, spirit kebebesan ini sering tumpang tindih dengan peraturan-peraturan di bawahnya. Akibatnya, jaminan yang termaktub dalam pasal 28E ayat 1 dan 2 UUD itu bak janji tanpa bukti.

Tilik saja surat edaran Mendagri nomor 477/74054 Tanggal 18 Nopember 1978. Surat itu hanya mengakui Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu sebagai agama. Baru pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, presiden RI keempat, surat edaran Mendagri itu dicabut dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Bagaimana nasib warga negara yang agamanya selain enam agama itu? Haknya pasti teramputasi.

Lebih parah lagi, aturan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan instruksi Menteri Agama tahun 1978. Dua aturan itu menyiratkan, aliran kepercayaan bukan agama, tapi bagian dari budaya yang harus dibina. Karena itu, kelompok aliran kepercayaan selalu terlunta-lunta dan sering mendapat perlakuan tidak adil. Ini diakui Engkus Ruswana, salah seorang penghayat kepercayaan.

Hingga kini, kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk Engkus ditandai dengan tanda strip. Gara-gara tanda ini, Engkus sering menerima perlakuan diskriminasi di masyarakat. Engkus pernah dituduh mantan anggota Partai Komunis Indonesia, bahkan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang kurang beradab, karena tidak punya agama.

Meski terkesan sepele, tanda strip itu juga berimbas pada perkawinannya. Sejak menikah tahun 1995, Engkus tak pernah berhasil mengurus akte perkawinannya. Tanpa disadari, ini ternyata berakibat buruk kepada buah hatinya. Masyarakat kebanyakan menyebut anaknya sebagai anak haram. Untuk menghilangkan stigma itu, Engkus mengurus akte kelahiran di kelurahan. Engkus memohon agar nama kedua orang tua buah hatinya itu dicantumkan dalam akte kelahiran.

Seribu jurus sudah dikeluarkan, tapi hasilnya belum juga sesuai keinginan. Akte itu hanya tertulis, “Telah lahir ... dari seorang perempuan.” Jadi nama ibunya tidak dicantumkan. “Anak saya dianggap anak haram,” keluh Engkus saat hadir sebagai narasumber pada acara Talkshow Islam Indonesia kerjasama Syir’ah dan Metro TV.

Problem yang timbul akibat soal administrasi kependudukan ini jika dibiarkan tentu akan berlarut-larut. Karena itu, lahir Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, disingkat RUU Adminduk, untuk menghapus diskriminasi dan ketidakadilan warga negara terkait administrasi kependudukan.

Ketua Tim Perumus RUU Adminduk Sayuti Asyathri mengatakan, hakikat dari undang-undang ini adalah penghapusan segala bentuk diskriminasi. “Wilayah kerjanya meliputi dua bidang,” katanya kepada Syir’ah. Pertama, pendaftaran penduduk. Ini mencakup apapun yang terkait kependudukan, seperti perubahan alamat, perpindahan penduduk, dan pendataan penduduk, yang termasuk di dalamnya antara lain biodata, KTP, dan surat keterangan kependudukan lainnya.

Kedua, pencatatan sipil. Setiap peristiwa penting yang dialami penduduk semuanya akan tercatat. Antara lain kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, perubahan nama, hingga perubahan status kewarganegaraan, termasuk kelahiran dan kematian setiap Warga Negara Indonesia di luar negeri.

Benarkah RUU yang kini masih dibahas Komisi II DPR RI dengan Departemen Dalam Negeri serta Departemen Hukum dan HAM ini telah mencerminkan kesetaraan? Ternyata tak semulus yang diharapkan.

Pencatatan Kartu Keluarga (KK) bagi penganut kepercayaan ternyata tak tersurat dalam RUU itu. Pada pasal 68 ayat 1 RUU Adminduk disebutkan, “Kartu keluarga paling sedikit memuat keterangan nomor KK, nama lengkap kepala keluarga, alamat, nama anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan dan pekerjaan.” Aliran kepercayaan tidak disebut di situ. Idealnya, rumusan pasal 68 (1) RUU Adminduk disempurnakan dengan menambahkan kata “kepercayaan” setelah kata agama.

Ihwal pengakuan aliran kepercayaan sebagaimana agama, ternyata juga menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat. Kiai sepuh Nahdlatul Ulama asal Jember Abdul Muchid Muzadi menolak tegas rencana pemerintah untuk mensejajarkan aliran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dengan agama. Ia menilai rencana itu berpotensi menyulut masalah baru atau konflik dalam kehidupan sosial-beragama masyarakat Indonesia.

Melihat gelagat itu, peneliti The Wahid Institute Rumadi menanggapi, penolakan itu sebenarnya salah persepsi, tidak tepat sasaran. Sebab, mengakui aliran kepercayaan dalam kolom agama itu bukan berarti menyamakan posisi agama dengan aliran kepercayaan. “Tapi, hak orang-orang yang memluk agama atau aliran kepercayaan itu yang disetarakan, bukan agama atau aliran kepercayaannya,” katanya kepada Syir’ah. []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Tak Peduli Agama atau Alirannya Apa

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Menurut rencana, akhir tahun ini RUU Administrasi Kependudukan segera disahkan. Pembahasan semakin alot karena muncul beberapa masalah yang menyebabkan pro dan kontra. Bagaimana polemik itu terjadi? Dan, apa yang dipermasalahkan? Berikut ini petikan wawancara Abdulah Ubaid Matraji, wartawan Syir’ah, dengan Peneliti The Wahid Institute Rumadi, saat dihubungi melalui telpon di sela-sela aktifitasnya mengikuti acara Annual Conference di Bandung, Jawa Barat.

Bagaimana perkembangan RUU Adminduk saat ini?
Perkembangan terakhir yaitu soal kolom agama dalam administrasi kependudukan. Yang boleh dicantumkan itu hanya enam agama yang diakui, atau agama lain selain enam juga bisa masuk. Begitu pula dengan aliran kepercayaan. Banyak pihak yang menentang ketika dimasukkan dalam kolom agama.

Menurut Anda?
Pemerintah itu seharusnya mengadministrasi seluruh warga negara, apa pun jenis agamanya dan kepercayaannya. Nah, sekarang ini muncul ketidaksetujuan soal dimasukkannya aliran kepercayaan dalam kolom agama. Ini seolah-olah menyamakan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan. Itu yang diributkan banyak orang. Padahal sebenarnya tidak ada masalah.

Maksudnya?
Ya jelas. Intinya kan hanya memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom agama, bukan soal menyamakan kedudukan agama dan aliran kepercayaan. Ini yang harus dipahami. Masalahnya justru terletak pada aturan yang dirujuk RUU Adminduk dalam memasukkan agama, yaitu Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Kalau begitu, yang masuk dalam kolom agama ya hanya enam agama saja: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Bagaimana dengan warga negara Indonesia yang memeluk agama selain enam tadi? Seperti Sinto, Sich, Bahai, dan lain-lain.

Ada berapa faksi dalam perdebatan itu?
Sementara ada dua. Faksi pertama hanya ingin memasukkan enam agama resmi versi pemerintah. Dan faksi kedua ingin memperjuangkan kesetaraan semuanya. Jadi, tidak hanya membatasi enam agama saja, tapi semua jenis agama dan keyakinan harus dicatat.

Idealnya bagaimana?
Semua agama dan aliran kepercayaan harus dimasukkan dalam catatan administrasi kependudukan. Jadi pencatatan administrasi itu tidak perlu melihat agama dan keyakinannya apa, yang penting dia warga Indonesia. Hak sebagai warga negara itu melekat pada orang yang memang sebagai warga negara, bukan karena dia memeluk agama apa atau kepercayaan apa. Sekali lagi saya tegaskan, yang harus dilayani adalah siapa pun warga negara Indonesia, bukan karena dia memeluk agama atau keyakinan tertentu. []


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Pak Ustad Melarang Haji

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Dzul Hijjah, dalam penanggalan Hijriyah, biasa juga disebut bulan Haji. Pada bulan ini, umat Islam berbondong-bondong menuju kota suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Abdul Munir dan Istrinya tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dua sejoli yang baru dikarunia satu anak ini berniat naik haji. Sebelum melakoni niatnya itu, ia berkonsultasi dengan orang pintar di kampungnya. Ustadz Rahmat, begitu dia biasa disapa warga.

“Apa benar, katanya kamu mau naik haji?” tanya ustad Rahmat.
“Iya ustadz.”
“Syaratnya sudah dipenuhi?”
“Alhamdulillah sudah. Saya punya kelebihan harta, karena itu saya gunakan untuk menyempurnakan rukun Islam.”
“Baiklah. Saat ini, berapa jumlah tetanggamu yang masih miskin?”
“Banyak….”
“Anak-anak yang putus sekolah?”
“Juga tak kalah banyaknya.”
“Kalau begitu, jangan naik haji dulu deh!”
“Lho kok…? Munir terperanjat dan seketika kepalanya dipenuhi tanda tanya.

Ustadz jebolan lembaga pendidikan di Timur Tengah itu lalu menjelaskan dengan santun dan penuh wibawa. Ia menyitir hikayat Abdullah bin Mubarak, tokoh generasi tabi’in yang terkenal dengan kesalihan ilmunya.

Saat memimpin rombongan kafilah haji berangkat ke Mekkah, Abdullah bertemu seorang wanita di tengah perjalanan. Ia tertegun, wanita itu ternyata menyuapi anaknya dengan daging bangkai.

“Apakah kamu tidak tahu kalau bangkai itu haram dimakan?” tanya Abdullah.
“Saya mengerti,” jawab wanita itu.
“Lalu mengapa kamu makan?”
“Ini sudah terpaksa. Tidak ada makanan lain.”

Mendengar penjelasan tersebut, tokoh yang wafat tahun 181 H itu mentitahkan kepada rombongan untuk mengurungkan perjalanan dan menyerahkan perbekalan kepada wanita malang itu. “Tak wajib haji selagi ada yang melarat,” ungkap Abdullah seperti ditulis Ibnu Abi Syaibah Al-Kufi (159-235 H) dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, kompilasi Ibnu Abi Syaibah.

Melalui kisah ini, ustad Rahmat menghimbau Munir, ibadah itu tidak hanya berorientasi ketuhanan tapi juga kemanusiaan. Membantu pendidikan anak-anak yang putus sekolah dan menyantuni fakir-miskin itu juga anjuran agama yang juga mesti ditunaikan. “Masak kamu enak-enakan naik pesawat, sementara tetanggamu kelaparan,” sindir ustad Rahmat.

Munir pun manggut-manggut. Ia lalu mengurungkan niat Haji, dan memanfaatkan hartanya untuk memberi beasiswa kepada anak-anak putus sekolah, dan pembinaan keterampilan, serta santunan keluarga fakir-miskin. [AUM]


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

28 Desember 1999, Homo Homini Lupus di Halmahera

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Konvoi truk bergerak memadati jalanan di Halmahera, Maluku Utara. Iring-iringan kendaraan yang mengangkut ribuan massa itu mengelilingi desa demi desa. Tak ada reaksi apa-apa saat mereka melewati desa yang dihuni mayoritas kristiani, atau yang biasa dinamakan “desa kristen”. Paling, hanya suara yel-yel yang terdengar nyaring.

Tapi, begitu melewati “desa muslim”, massa turun dari truk. Dan sekelompok kawanan tiba-tiba menyiram rumah penduduk dengan bensin lalu membakarnya. Suasana seketika berubah menjadi kacau, riuh, dan gaduh. Penduduk pun berhamburan keluar rumah. Sejak itu, yang bertepatan tanggal 28 Desember 1999, tragedi pembantaian manusia atas manusia di Halmahera meletus.

Penduduk muslim yang terjepit mencari perlindungan di masjid. Tanpa ampun, massa yang sedang kalap itu lalu menyiram masjid dengan bensin dan membakar hidup-hidup penduduk yang menyelinap di dalamnya. Akibatnya, tak kurang 800 pria dewasa muslim tewas di tiga desa di kecamatan Tobelo, Halmahera Utara.

Aksi massa ini disinyalir beberapa kalangan berasal dari kelompok yang beberapa hari sebelum penyerbuan melakukan perayaan Natal di Tobelo, tanggal 25 Desember. Halmahera adalah pulau terbesar di kepulauan Maluku. Prosentase pemeluk agama penduduk pulau yang terletak di provinsi Maluku Utara ini sekitar 80 persen beragama Islam, dan sisanya beragama Kristen.
Jika ditilik, praktik homo homini lupus, pembantaian manusia atas manusia, bukanlah kali pertama di pulau yang memiliki tanah seluas 17.780 kilometer persegi itu. Tragedi ini adalah runtutan aksi kekejaman kemanusiaan yang sebelumnya terjadi. Bisa dikatakan, ini adalah aksi balas dendam.
Tanggal 3 sampai 4 November 1999 tercatat, warga minoritas Kristen di Tidore kabupaten Halmahera Tengah dibantai oleh pasukan jihad. Tak kurang dari 240 rumah penduduk kristiani dirusak dan dibakar. Tak lupa, gereja-gereja di wilayah itu juga dibumi-hanguskan pasukan yang terdiri dari umat Islam itu.
Kerusuhan Tidore belum reda, kejadian serupa menimpa warga Kristen kecamatan Payahe Kabupaten Halmahera Tengah. Dari tanggal 7 sampai 11 Nopember 1999 tercatat, 300 orang meninggal dunia, serta gereja dan sekolah Kristen diobrak-abrik oleh pasukan Jihad.
Apa pasal kok jadi runyam begini? Tak ada alasan jelas hingga kini, masih sebatas telaah dan dugaan. Pada permukaan, memang ada kesan perang antaragama. Sejatinya, konflik di Halmahera tidak bisa dipandang parsial, tapi terkait erat dengan perseteruan di kepulauan Maluku secara lebih luas, terutama karena persoalan politik dan ekonomi.
Dan anehnya, menurut keterangan beberapa saksi, aksi-aksi kekerasan dan pembantaian di Halmahera itu terjadi sepengetahuan aparat keamanan. Tapi, aparat tinggal diam. [AUM/BERBAGAI SUMBER]


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

"Sumbu Pendek" Sang Teroris

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Aksi teror tak selalu bertautan dengan keyakinan atau ideologi pelaku. Kasus peledakan bom di restarurant cepat saji A&W Plaza Kramat Jati Jakarta Timur bulan lalu setidaknya membuktikan tesis ini. Pelakunya, Muhammad Nuh, diduga kuat tak ada hubungannya dengan jaringan Nurdin Mohammad Toop. Bahkan, menurut keterangan penyidik, Nuh dinyatakan kurang waras.

Nuh, dalam insiden tanggal 11 November itu, tidak punya motivasi yang jelas. Ia termasuk kategori "orang sakit". Orang yang sedang sakit, dalam kaca mata psikologi, biasanya bertingkah aneh dan tidak logis. Misal, mati bunuh diri di tempat keramaian untuk mencari sensasi. Ia tidak punya tujuan besar, kecuali untuk mencari kepuasan.

Itulah hasil analisis Guru Besar Psikologi Islam Ahmad Mubarok, yang diungkap saat tayangan Talkshow Islam Indonesia, pertengahan November. Ia menambahkan, orang yang teralienasi dan berpendidikan rendah gampang sekali mencari jalan pintas semacam itu.

Pernyataan ini dibantah narasumber kedua Al Chaidar, dosen dan peneliti dari Universitas Malikussaleh Aceh. Menurutnya, aksi-aksi teror itu semuanya bermuatan ideologis, tak terkecuali yang dilakukan Nuh. Bisa dibilang, ada motivasi keagamaan yang diyakini sebagai pembenar aksi teror yang dilancarkan. "Ada ayat-ayat al-Quran atau hadist Nabi yang selalu dijadikan dasar legitimasi," paparnya.

Imam Samudra, misalnya, dengan jelas mengutip ayat al-Quran dan hadis Nabi sebagai pijakan aksinya. Baca saja buku Aku Melawan Teroris karyanya, semua akan tampak jelas. Keyakinan keagamaan menjadi motivasi yang kuat. Atau, bisa juga dilihat dalam vcd hasil rekaman pengakuan para pelaku.

Untuk meredam terorisme, Al Chaidar punya tiga resep. Pertama, menghadapi dengan kekuatan fisik atau perang. Cara ini biasanya menuai kegagalan, karena akan menambah masalah baru. Kedua, dengan negosiasi dan perjanjian damai. Model ini belum pernah diterapkan. Dan terakhir, caranya dengan debat atau dialog terbuka. Forum ini untuk menjembatani gagasan yang berbeda, tapi merasa saling benar.

Di ujung acara, Al Chaidar juga membenarkan, keyakinan agama bukan dalih semata wayang, faktor psikologis juga punya andil melahirkan teror-teror baru. [AUM]


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Menghakimi Pemikiran Sesat

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Belum genap seminggu ditinggal bulan Ramadhan, warga kampung Bobojong desa Petir kecamatan Darmaga kabupaten Bogor menjadi kalap. Di hari yang masih fitri itu tanah Bobojong dilumuri darah Muhammad Alih Sobari, tanggal 26 Oktober. Usai menjalankan shalat Isya di masjid Uswatun Hasanah, tak jauh dari rumahnya, Alih tiba-tiba dihadiahi bogem, pukulan, dan tendangan oleh massa hingga ajal menjemput.

Apa pasal? Alih dituduh menyebarkan aliran sesat di kampung pedalaman yang jauh dari jalan raya itu. Tuduhan itu berakhir harus dibayar dengan nyawa.

Aksi main hakim sendiri ini, bukan kasus kali pertama. Sebelumnya, kejadian serupa juga menimpa, antara lain, Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Bogor, Lia Eden di Jakarta, tarekat Siratal Mustaqim di Nusa Tenggara Barat. Tindakan massa yang brutal itu acap berdalih memberantas pemikiran atau aliran sesat.

Atas kejadian yang menimpa Alih, pembina Yayasan Kharisma Usada Mustika (Yaskum) M. Hasiri Muttaqien yang hadir saat Talkshow Islam Indonesia menyayangkan. Ia kecewa dengan tuduhan-tuduhan sepihak yang tidak beralasan itu. Mestinya, jika Alih dinyatakan sesat, paling tidak ada konfirmasi ke level pusat. "Kami tak tahu apa-apa, tiba-tiba saja dengar kabar Alih telah meninggal," sesalnya. Alih adalah salah seorang anggota Yaskum ranting Bobojong.

Abdul Muqsith Ghazali, konsultan rubrik fikih majalah Syir`ah, berpendapat bahwa devinisi "sesat" sebenarnya sering kali terjadi bias, antara tafsir mayoritas dengan kelompok minoritas. Kasus di Bogor itu lebih menggambarkan dominasi mayoritas terhadap kaum minoritas. Artinya, belum tentu ajaran yang diajarkan oleh Alih itu sesat. Itu hanyalah persepsi mayoritas.

Kalau begitu, siapa yang punya otoritas untuk mengatakan sesat atau tidak sesat? "Sepeninggalan Nabi Muhammad tidak ada lagi orang yang punya otoritas untuk menyatakan sesat atau tidak," tegas Muqsith. Terlebih dalam kasus Bobojong ini, tidak ada hal-hal yang dilanggar menyangkut prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Muqsith bahkan menduga, ini bukan murni persoalan agama, bisa jadi dipicu oleh persoalan sosial, ekonomi, atau politik.

Agar tak terulang lagi, tambah Muqsith, untuk menyelesaikan kasus semacam ini harus ditempuh dengan jalur hukum, dan jangan sekali-kali main hakim sendiri. Usul ini pun diamini Hasiri. [AUM]


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Menarik Agama dalam Konflik

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Kekerasan demi kekerasan tampak terus menerus menetes membasahi tanah air Indonesia. Kekerasan di Poso Sulawesi Tengah yang mulai mereda, kini kembali terusik. Bulan Oktober lalu, aparat Brimob bentrok dengan warga dan mengakibatkan dua warga sipil tewas. Kekerasan di Poso, selintas, tampak akibat pertikaian dua kubu, Islam dan Kristen.

Benarkah adegan kekerasan itu terjadi karena sentimen agama? Mengapa agama sangat mudah dipelintir dan dipolitisir? Awal November lalu, Syir`ah mengangkat topik ini dalam Talkshow Islam Indonesia di Metro TV.

"Agama itu sangat melekat pada manusia sehingga mudah sekali ditarik dalam konflik," kata Rohaniawan Katolik Frans Magnis-Suseno mengawali pembicaraan. Pemahaman keagamaan yang melekat pada seseorang sangat berpengaruh pada cara pandang dalam menghadapi realitas. Karena itu, agama mampu memberikan dorongan psikologis kepada seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik.

Problemnya adalah terletak pada pemahaman keagamaan yang sempit dan fanatik, yang kadung kaprah dianggap baik. Menurut Romo, pemahaman model ini mampu membentuk dorongan psikologis seseorang untuk membatasi diri dari kelompok lain dan merasa benar sendiri. Di sinilah benih-benih konflik bercokol. Maka, tak begitu sulit membangunkan segala macam prasangka dan kecurigaan yang jauh-jauh hari sudah tertanam itu. Begitu disulut, segeralah meletup.

Orang-orang seperti di atas, menurut pandangan Said Aqil Siradj, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sejatinya belum memahami betul misi agama. "Percuma saja masjid dan gereja di bangun besar-besar, menghabiskan puluan milyar, tapi tingkah laku umatnya masih jauh dari nilai-nilai agama yang sebenarnya," katanya. Kalau ada fanatisme dan kekerasan kok dilakukan orang yang beragama, berarti ia jauh dari hakikat agama.

Tak ada agama manapun yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Tak terkecuali, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi cinta dan kasih sayang. Said lalu menyitir kisah tauladan dari sebuah hadis.

Said mengisahkan ada orang Islam bertengkar dengan orang Yahudi. Lalu, orang Islam tadi berhasil membunuhnya. Mendengar kejadian itu, Nabi pun geram dan berkata, "Man qatala dzimmiyyan fa`ana khosmuhu, siapapun yang sekali lagi membunuh non-muslim maka ia akan berhadapan dengan saya," kata Nabi seperti ditirukan Said.

Pada akhir diskusi, Romo dan Said senada, agama bukan faktor utama penyebab konflik. Agama hanya ditarik ke wilayah konflik untuk memperkeruh dan mendramatisir suasana. Ada faktor utama sebenarnya yaitu politik dan ekonomi. [AUM]


Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.

Sunday, November 26, 2006

Kerjasama Antaragama, Penawar Islamphobia


Abduljalil Sajid intlektual muslim asal Pakistan, tinggal di Inggris, berdialog secara eksklusif kepada Syir’ah ihwal keadaan umat Islam di Barat. Merebak Islamphobia yang berakibat buruk bagi umat Islam di sana

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Awal bulan kemarin, Syir`ah kedatangan tamu dari Inggris. Menurut rencana, ia akan berkunjung ke kantor redaksi dan berdiskusi ihwal persoalan umat Islam di dunia. Hari kamis, tanggal 5 Oktober, pukul 16.00 WIB, pertemuan itu rencananya digelar. Sayangnya, pertemuan itu urung dilaksanakan di jalan Asem Baris Tebet Jakarta Selatan.

Sehari sebelumnya, intelektual dari negeri sepakbola itu merubah rencana awal. Pria yang juga seorang mufti di Inggris ini akhirnya mengundang Syir’ah di Wisma Syahidah Ciputat, hari Kamis pukul 09.00 WIB. Pagi itu, wartawan Syir’ah Abdullah Ubaid Matraji menunggu Sang Tamu di ruang lobi gedung yang terletak di samping kampus pasca sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Selang satu jam, muncul sosok pria berkulit bule dari lift. Badannya besar dan tegap. Hampir tiga puluh persen mukanya ditumbuhi rambut lebat. Panjang jenggotnya tak kurang dari empat senti meter. Dialah tamu yang ditunggu-tunggu itu. Nama panjangnya Imam Dr. Abduljalil Sajid.

Di Inggris, Sajid bergabung dengan jaringan kerjasama antaragama, namanya The Inter Faith Network for the United Kingdom, untuk membangun pola hidup yang harmonis antarumat beragama. Jaringan ini didirikan sejak tahun 1987, yang menghimpun lebih dari seratus organisasi dari berbagai agama dan keyakinan di Inggris. Sajid sendiri berasal dari Imam and Mosques Council, organisasi para imam dan masjid di Inggris.

Ada kesepakatan bersama yang diperjuangkan kelompok itu. Antara lain: saling menghormati kebebasan individu dalam beragama dan berkeyakinan, bekerja sama untuk mencegah konflik dan tindak kekerasan, serta menghormati tradisi masing-masing agama: dari soal pakaian, makanan, hingga etika sosial.

Sepanjang obrolan terasa keprihatinannya dengan kondisi umat Islam belakangan ini. Kian hari kian terpojokkan dan terhimpit. Di beberapa negara Barat bahkan ada yang mensahkan razia dan sweeping terhadap umat Islam. “Islam gandrung kekerasan”, “Islam agama teroris”, “Islam tidak berprikemanusiaan”, dan banyak lagi slogan miring atas Islam. Hal ini membawa rasa pedih yang mendalam bagi umat Islam, terutama kalangan minoritas muslim di Barat, seperti dirinya. Tuduhan-tuduhan itu selalu dilandaskan pada peristiwa 9/11 yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Centre di New York tahun 2001.

Jamila Sajid, istri intelektual kelahiran Pakistan itu juga tak luput dari sasaran. Ia mengaku sering mendapat telepon kaleng dan intimidasi dari orang yang tak dikenal. Begitu pula dengan masjid-masjid tempat ia beribadah di kawasan Brigton Inggris. Juga tak luput dari sasaran aksi balas dendam orang-orang non-muslim. “Kurang lebih satu bulan penuh saya takut keluar rumah,” katanya seperti diceritakan Sajid.

Paska tragedi 9/11, di Barat muncul istilah Islamphobia, ketakutan orang-orang Barat yang berlebihan terhadap Islam. “Langkah apa yang Anda lakukan melihat situasi waktu itu?” tanya Syir’ah dengan bahasa Arab.

Imam masjid yang juga Ketua Dewan Muslim untuk Keharmonisan Agama dan Rasial ini menjawab dengan bahasa Inggris. Ia menunjukkan kepada Syir’ah buku berwarna biru. Ada gambar ledakan yang menyemburkan api di covernya. Sembari menenteng buku itu, ia menerangkan.

“Untuk menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya, saya melakukan investigasi,” katanya. Sajid melihat, yang bersuara nyaring saat itu adalah media-media orang Barat yang miskin perspektif Islam. Karena itu, Islam seakan menjadi terdakwa tanpa proses pengadilan. Ia mengambil sample (contoh) 19 muslim dari negara yang berbeda-beda untuk diwawancarai soal-soal seputar terorisme. Hasil investigasi itu, ia tuangkan dalam buku berjudul Why Teror, Is There No Alternative?, seperti yang dipegang di tangannya tersebut.

Apa kata mereka? “Saya menyimpulkan bahwa mereka sepakat, terorisme adalah propaganda Barat untuk melemahkan kekuatan umat Islam,” tegas imam masjid yang juga ketua World Conference of Religion and Peace itu.

Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba pembicaraan terputus sejenak. Tangan Sajid mengambil majalah Syir’ah yang tergeletak di atas meja di depannya.
“Islam Indonesia?,” tanyanya.
“Ya, menemukan kembali Islam Indonesia,” jawab saya.

Majalah itu adalah Syir’ah edisi khusus ulang tahun bulan September 2005. Ia mengkritik istilah “Islam Indonesia” yang digunakan Syir’ah.
“Bukan Islam Indonesia. Yang benar adalah Muslim Indonesia,” kritiknya.
Lalu, Syir’ah tanya balik, “Apa beda kedua istilah itu?”

Ia menjelaskan. Islam itu satu, yang jadi rujukan juga sama: al-Quran dan hadis. Jadi, tidak ada istilah Islam Indonesia. Lain halnya dengan “muslim Indonesia”. Kalau muslim Indonesia itu baru benar. Sebab, orang muslim itu banyak ragamnya: mulai dari cara beribadah, bermuamalah (bergaul dengan sesama manusia), sampai dengan memahami ayat-ayat al-Quran.

Perbedaan-perbedaan itu, menurut Sajid, tak lepas dari kondisi ruang dan waktu masing-masing tempat. Jadi, muslim Indonesia dalam mempraktekkan ajaran agama Islam berbeda dengan muslim Lebanon, berbeda dengan muslim Amerika, dan seterusnya. “Itulah yang disebut keragaman dalam Islam,” terang mantan anggota komisi muslim Inggris dan Islam phobia itu.

Pria yang sehari-hari menggeluti multikulturalisme dan isu-isu agama itu kemudian menaruh kembali majalah Syir’ah dan melanjutkan pembicaraan yang terputus tadi. “Karena itu, umat Islam harus bersatu,” kata Sajid memfokuskan lagi pembicaraan. Bersatu bagaimana?

Ia mencontohkan kekuatan United States of Amerika (USA). USA mampu menghimpun negara-negara di benua Amerika untuk menjadi kekuatan di dunia: satu mata uang (Dollar), satu kebijakan luar negeri, dan satu militer. Begitu pula dengan negara-negara di Eropa. Mereka berhimpun dalam European, dan mengeluarkan satu mata uang (Europ), kebijakan luar negeri, dan militer. Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim belum bisa bersatu?

Sajid menyadari, menyatukan umat Islam itu tak semudah layaknya menyatukan negara-negara di Amerika atau Eropa. Umat Islam punya latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari geografi, etnis, bahasa, sampai ragam tradisi lokal yang berkembang di negara masing-masing. “Ini adalah tugas utama umat Islam yang harus kita usahakan bersama,” terang intelektual yang sudah 34 tahun membina keluarga di Inggris ini.

Untuk bisa maju dan bersatu, umat Islam tidak perlu merasa superior, merasa paling unggul dan benar sendiri. Apalagi, harus melakukan tindakan-tindakan yang destruktif, aksi-aksi kekerasan. Menurut Sajid, Umat Islam harus mampu menjaga hubungan baik dengan umat agama-agama dan kepercayaan lain. Apa maksud? Agar kesalahan persepsi “orang luar” tentang Islam tidak terjadi lagi, dan yang terpenting adalah menciptakan hubungan yang harmonis atas dasar kemanusiaan. []


Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Multikulturalisme ala Pesantren

Sebagai subkultur dari masyarakat, pesantren menyimpan banyak keunikan, terutama ketika menyapa tradisi dan merespon keragaman.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tempat mirip padepokan yang lazim terkesan adem ayem itu tiba-tiba dituding sebagai sarang teroris yang mensahkan aksi kekerasan atas nama agama. Penghuninya dicap ekslusif, jumud, kaku, dan tidak toleran. Ya, pesantren, nama tempat itu. Syak wasangka ini marak sejak tertangkapnya Imam Samudra dan Amrozi cs, tiga tahun silam, sebagai pelaku peledakan bom. Ironisnya, mereka ternyata jebolan pesantren. Wajar saja jika tudingan dialamatkan ke institusi ini.

Benarkah tudingan itu? International Center for Islamic and Pluralism (ICIP), belum lama ini, mengadakan penelitian untuk menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan?

Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI).
Tema-tema yang diteliti seputar wacana multikulturalisme, semisal toleransi, demokrasi, gender, dan syariat Islam.

Hasil penelitian menunjukkan, pemahaman sejumlah kalangan pesantren di Jawa Barat, belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan multikulturalisme. Hal ini diungkap tim peneliti ICIP dalam seminar dan workshop bertajuk “Persepsi Komunitas Pesantren di Jawa Barat terhadap Isu-isu Keagamaan dan Multikulturalisme”, bulan Januari silam, di kawasan Depok, Jawa Barat.

Kalau begitu, betul bahwa pesantren anti keragaman dan tidak toleran? Jangan bergegas ambil kesimpulan. Tim peneliti ICIP justru menemukan hal lain yang menarik. Kalangan pesantren ternyata belum familiar dengan istilah multikulturalisme. Konsep apakah ini?

Kamus besar berbahasa Inggris Webster’s New World College Dictionary mengartikan, multikulturalisme adalah sebuah paham atau sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, gender, agama ataupun yang lain. Konsep ini tidak hanya mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di ruang publik.

Merangkul Keragaman

Kaitannya dengan pesantren, multikulturalisme adalah spirit alamiah yang telah tumbuh berkembang sebelum istilah ini dikenal. Ditilik dari segi namanya saja, pesantren terkesan unik. Nama lembaga yang menjadi lokus pendidikan Islam di Indonesia ini bersumber dari bahasa Sansekerta, “sastri” artinya orang yang mendalami kitab suci.

Pesantren, dalam konteks budaya Indonesia kuno, adalah tempat pemeluk agama Hindu dan Budha mempelajari dan mendalami kitab sucinya. Istilah ini kemudian diadopsi oleh Islam. Berarti, kalangan pesantren tak gamang bergaul dengan agama lain.

Pada sisi lain, pesantren yang disebut antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz sebagai komunitas “Islam santri” itu juga tidak sungkan-sungkan berpelukan dengan kalangan “Islam abangan”, kalangan yang mengaku Islam tapi jarang melakukan syariat dan cenderung kejawen.

Ini pernah dipraktikkan Pesantren Tegalrejo. Tahun 1986, saat acara kataman, pesantren yang tergolong salafi (tradisional) ini mengadakan pesta seni dan dakwah. Perbagai kesenian rakyat diberi panggung dan dipersilahkan unjuk kebolehan. Mulai dari jatilan, wayang, ketoprak, reog, orkes dangdut sampai dengan hadrah dan samroh.

Kataman adalah pesta perpisahan para santri yang sudah lulus dan akan menduduki posisi kiai di desa masing-masing, dan juga bagi santri yang naik kelas. Acara yang dinilai nyeleneh itu mengundang tanya masyarakat, “Pesantren kok mengundang orang-orang yang biasa maksiat, nggak pernah salat?” Mendengar desas-desus itu, Muhammad, salah satu pengasuh, akhirnya menjelaskan di sebuah forum pengajian.

Menurutnya, kesombongan atau takabbur adalah sifat yang buruk. “... janganlah sekali-kali meyakini, hanya kita yang sekarang menjalankan salat lima waktu dalam sehari ditakdirkan masuk surga. Mereka yang sekarang sedang bermain jatilan mungkin saja ditakdirkan masuk surga, dan kita mungkin dilemparkan dalam neraka karena penuh kesombongan...” katanya seperti ditulis Bambang Pranowo dalam Islam Faktual, antara Tradisi dan Relasi Kuasa (1998).

Sikap Muhammad itu menunjukkan cara pandang yang egaliter, mensejajarkan antara kalangan santri dan kalangan abangan. Ia tidak merasa lebih benar dari yang lain, apalagi sampai menyalahkan. Pesantren yang berdiri sejak tahun 1944 ini didirikan kiai Chudlori, wafat tahun 1977. Sepeninggalnya, pesantren yang terletak di Magelang Jawa Tengah ini dipangku oleh kedua putranya, Abdurrahman (lahir 1942) dan Muhammad (lahir 1946).

Menjadi Subkultur Masyarakat

Abdurrahman Wahid, mantan presiden RI yang juga aktif bergelut di dunia pesantren, dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (2001) menyebut realitas pesantren dengan istilah “subkultur”. Maksudnya, keberadaan pesantren selalu berada dalam lingkup budaya tertentu.

Pesantren yang satu dengan yang lain pasti tidak sama, tergantung lokasi dan budaya masyarakat setempat. Meski begitu, bukan berarti pesantren mengidentikkan diri dengan budaya setempat. Tapi, pesantren tetap punya karakter khas hasil kreasinya sendiri yang berakar dari tradisi lokal, seperti di contohkan Pesantren Tegalrejo di atas.

Karena itu, perbedaan pendapat di dunia pesantren hal yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkan pun tidak satu mahdzab. Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi adalah menu sehari-hari santri saat kegiatan musyawarah atau bahtsul masail. Menariknya, dinamika perbedaan pendapat itu berjalan sesuai dengan logika dan koridor perdebatan masing-masing, tanpa menyalahkan satu sama lain.

Bahkan, di kalangan pesantren dikenal kaidah fiqh, al-ijtihâd lâ yunqaddu bi al-ijtihâd, ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Misal, dalam satu masalah, ada perbedaan pendapat. Maka, bukan berarti pendapat yang satu lebih benar dari yang lain karena lebih akhir ijtihadnya atau alasan lain. Santri diberikan keleluasaan untuk memilah dan memilih manakah yang sesuai untuk dijalankan.

Dulu, pendiri dua pesantren besar di Jombang Jawa Timur pernah beda pendapat, Kiai Bisri Syamsuri (Pengasuh Pesantren Denanyar) dan Abdul Wahab Hasbullah (pengasuh Pesantren Tambak Beras) dalam menyikapi hukum drumband. Waktu itu, santri-santri putri di beberapa pesantren di Jombang berkeinginan untuk membentuk grup drumband. Gelagat ini tak lama tercium oleh Bisri. Sontak saja dia naik pitam, “Perempuan tidak boleh main drumband. Dikhawatirkan nanti auratnya kelihatan,” tegas pendiri Pesantren Denanyar Jombang itu.

Larangan Bisri itu lantas dilaporkan para santri ke Wahab. Mendengar laporan para santri, ia bergegas menemui Bisri, yang juga adik iparnya sendiri itu. “Nggak apa-apa wong masih pakek kerudung kok, nggak seperti Gerwani (organisasi perempuan PKI). Pokoknya, auratnya tidak kelihatan,” kata pendiri Pesantren Tambakberas Jombang itu kepada Bisri. Dan akhirnya grup drumband pun jadi terbentuk.

Meski tadinya melarang, saat pertunjukan drumband digelar, Bisri ternyata ikut menyaksikan. Ya, begitulah dinamika perbedaan pendapat di kalangan pesantren. Berbeda boleh saja asal saling menghargai dan tanpa menyalahkan. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Mengelola “Rumah Tuhan”

Tipe-tipe masjid sangat beragam, tergantung lokasi dan pengelolaan. Sayang, kualitas khatib dan keuangan masih saja menjadi batu sandungan.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Angka tujuh ratus ribu tidaklah sedikit. Itu adalah data jumlah masjid di Indonesia tahun 2002. Bagaimana mengelola masjid sebanyak itu? Ragamnya apa saja? Anggarannya dari mana? Punya kelemahan apa tidak?

Untuk mendapatkan data awal seputar itu Syir’ah harus mondar-mandir ke Departemen Agama (Depag). Mulanya Syir’ah ke bagian humas untuk melapor sebelum meluncur ke ruang kepala subdirektorat (kasubdit) kemasjidan di lantai enam. Beberapa deret komputer menyala tanpa pengguna. Hanya ada dua orang di ruangan sore itu. Satu sedang menulis, satu lagi membaca koran. “Besok pagi saja Mas, orang kasubdit kemasjidan sudah mau pulang,” kata salah seorang bagian humas di lantai dasar itu.

Hari itu Syir’ah belum berhasil. Keesokan harinya, Syir’ah lebih beruntung. Kasubdit Kemasjidan Hiemyar Jam’an bisa ditemui, namun sayang ia tak mau diwawancarai langsung waktu itu. “Tulis saja pertanyaan-pertanyaan terus kasihkan ke saya,” pinta Hiemyar.

Meski begitu, Syir’ah akhirnya berhasil memperoleh data wawancara dengan Mudzakir, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, dan sebuah buku pemberian Hiemyar berjudul Kriteria Tipologi Masjid (2004) karya Ahamad Buwaethy.

Kepada Mudzakir Syir’ah mula-mula bertanya bagaimana pengelompokan masjid-masjid itu? “Ratusan ribu masjid itu, jika dikelompokkan berdasarkan wilayah, maka hanya mengerucut menjadi enam tipe masjid,” ujar Mudzakir mengawali paparan. Pertama, masjid negara: masjid di tingkat pemerintahan pusat dan dibiayai sepenuhnya oleh negara. Masjid jenis ini hanya ada satu, masjid Istiqlal.

Kedua masjid nasional: masjid di tingkat provinsi yang diajukan gubernur kepada Menteri Agama untuk dibuatkan surat keputusan menjadi sebutan masjid nasional. Ketiga, masjid raya: juga di tingkat provinsi tapi surat keputusannya diajukan melalui kantor wilayah Depag setempat kepada Gubernur.

Keempat, masjid agung: masjid yang berada di tingkat kabupaten atau kota. Kelima, masjid besar: masjid yang berlokasi di tingkat kecamatan. Dan terakhir: masjid jami, masjid yang berpusat di tingkat desa atau kelurahan.

Tipologi itu, menurut Mudzakir, sesuai dengan keputusan Menteri Agama nomor 391 tahun 2001. Selaku ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmidzi Taher memberi penjelasan tipologi ala DMI. DMI adalah organisasi keagamaan yang bergerak khusus untuk menangani masjid. Berdiri sekitar tahun 1970-an. Kini DMI mempunyai cabang di seluruh provinsi dan kabupaten.

Jika berdasarkan pengelolaannya, masjid itu ada tiga tipe. Pertama, masjid pemerintah, masjid yang dikelola dan pengurusnya ditunjuk oleh pemeritah. Pembiayaan masjid ini semua ditanggung pemerintah, baik dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Misalnya masjid Jakarta Islamic Centre. Masjid yang terletak di kawasan Tanjung Priok Jakarta Timur ini didirikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dan pembiayaannya ditanggung seratus persen oleh Pemda.

Kedua, masjid swasta, masjid yang didirikan dan dikelola oleh lembaga swasta, seperti masjid di gedung-gedung perkantoran dan di kampus. Pendanaan masjid ini biasanya dibebankan secara penuh kepada lembaga yang mendirikan. Misal tipe ini adalah masjid Bimantara di Kebon Siri Jakarta Pusat. Masjid ini didirikan oleh Yayasan Bimantara, lalu dikelola oleh Usaha Gedung Bimantara. Pendanaannya digantungkan pada Yayasan Bimantara dan para dermawan.

Ketiga, masjid masyarakat umum, masjid yang didirikan atas inisiatif warga, tidak ada pemilik tunggal. Pengurus masjid ditetapkan berdasarkan musyawarah antarwarga. Semua pembiayaan bersumber dari swadaya masyarakat. Masjid Raya Villa Inti Persada adalah tamsil tipe ini. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap masjid yang terletak di kawasan Tangerang Banten ini sangat besar. Lebih dari 90 persen masjid ini dibiayai hasil iuran masyarakat

Lalu, bagaimana cara membina masjid yang begitu beraneka ragam? Secara umum, Depag memiliki wewenang untuk membina masjid-masjid itu. Pembinaan ini meliputi: motivasi, bimbingan, dan regulasi. “Motivasi” dalam soal ini bisa berbentuk pemberian dana bantuan, dana rehabilitasi dan pembangunan, bisa juga berbentuk non-materi, seperti pelatihan-pelatihan.

Kalau “bimbingan” lebih pada pengembangan kapasitas sumber daya pengelola masjid. Misalnya dengan menerbitkan buku-buku panduan, atau workshop, pelatihan, dan orientasi. Sedangkan “regulasi” memberikan rambu-rambu yang terkait dengan masjid. Misalnya penggunaan pengeras suara, bagaimana jika berdampingan dengan rumah ibadah agama lain, dan lain-lain.

“Pembinaan ini berguna untuk pengelolaan dan pengembangan masjid agar sesuai dengan fungsi yang diemban,” kata Mudzakir. Untuk itu, ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan masjid.

1) Aspek idarah (pembenahan perkantoran), meliputi pembinaan organisasi, kelembagaan, personalia, administrasim, dan lain-lain. 2) Aspek imarah (memakmurkan masjid), meliputi pembinaan peribadatan, majlis taklim, kursus-kursus, dan keterampilan. 3) Aspek ri`ayah (pemenuhan fasilitas), meliputi pembangunan perpustakaan, kelengkapan masjid, dan sarana pra sarana yang lain.

Depag dalam menjalankan tugas-tugas itu membentuk Badan Kesejahteraan Masjid, disingkat BKM. BKM ini tersebar dari pusat sampai ke desa-desa. Tujuan inti BKM adalah mengeimplementasikan idarah, imarah, dan ri’ayah di lapangan. Misalnya, menyalurkan bantuan baik fisik maupun non-fisik, membantu peningkatan perpustakaan, balai kesehatan, dan seterusnya.

Kepengurusan BKM terdiri dari beberapa unsur, antara lain: pegawai Depag di daerah, Majelis Ulama Indonesia dan DMI.

DMI memiliki beberapa fungsi, antara lain mengelola uang bantuan. Maksudnya adalah memenej penyaluran bantuan uang agar tepat guna, sesuai sasaran, dan tidak terjadi penyelewengan. “Kalau tidak diatur akan jadi fitnah,” kata Tarmidzi. Selain itu, DMI juga memberikan pengayaan tentang materi khutbah kepada khatib-khatib.

Program ini untuk meningkatkan kemampuan khatib. Tarmidzi bercerita kepada Syir’ah soal kegerahannya saat mendengar khutbah khotib yang tidak berkualitas. Khatib seperti ini biasanya terlalu menyederhanakan masalah dan tidak mampu mencari solusi problem yang dihadapi umat.

Satu contoh, masalah kemiskinan hanya dipecahkan dengan cara kembali ke sistem zaman Nabi. Kalau ada khatib yang gemar bernostalgia dalam menyelesaikan masalah, Tarmidzi suka bergumam, “Memang yang hadir di sini tukang becak semua kali ya….”

Bagi Ahmad Yani, penulis buku Manajemen Masjid (1999), kasus ini adalah salah satu kendala yang menjadi kelemahan masjid. Selain itu, “Pengurus yang tertutup dan berpihak pada satu golongan tertentu juga bagian dari kelemahan masjid,” tulis Yani. Jika ditemukan kasus ini, Tarmidzi menyarankan agar ditegur dengan halus, “Janganlah begitu… masjid ini milik semua masyarakat, milik umat,” Tarmidzi mencontohkan cara menegur yang sopan.

Tapi, kelemahan masjid yang paling fundamental adalah soal pendanaan. Mengapa? “Karena umat Islam itu miskin-miskin.” terang Tarmidzi. []


Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Menggawangi Masjid, Mendengar Aspirasi

Masjid harus difungsikan sebagaimana mestinya. Masukan dari masyarakat menjadi pertimbangan penting bagi pengurus masjid.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Gundah gulana menyelimuti warga Tanjung Priok Jakarta Timur. Pasalnya Kramat Tunggak, salah satu perkampungan di sana menjadi pusat operasi Wanita Tuna Susila (WTS). Sejak tahun 1990, mereka bersama ulama mendesak pemerintah agar menutup tempat lokalisasi wanita tuna susila itu. Untung Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tanggap. Ia pun mengabulkan tuntutan warga.

Melalui SK Gubernur DKI nomor 496 tahun 1998, secara resmi Panti Sosial Karya Wanita Teratai Harapan Kramat Tunggak dinyatakan ditutup. Lalu, lahan seluas 10,9 hektar itu dimanfaatkan untuk pembangunan masjid. Tepatnya pada bulan Maret tahun 2003 masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) diresmikan.

Masjid ini tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tapi sebagai pusat kegiatan keislaman, yang melayani hajat hidup umat Islam. “Pak Gubernur berharap, JIC menjadi simpul pusat peradaban Islam di Asia Tenggara bahkan dunia,” kata Koordinator Humas Rudi Syamsudin berapi-api. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini memiliki empat fungsi: pendidikan dan pelatihan, sosial budaya, informasi dan komunikasi, dan pengembangan bisnis.

“Idealnya fungsi masjid memang harus begitu, jadi tidak melulu sebagai tempat ibadah,” tegas Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmidzi Taher kepada Syir’ah. Ia menggambarkan, fungsi masjid itu mencakup tiga wilayah garapan: agama, politik, dan ekonomi.

Jika diprosentasikan, fungsi agama ini dibagi menjadi empat porsi: keimanan, ibadah, sejarah para pejuang Islam, dan masalah yang dihadapi umat Islam beserta solusinya. Selain agama, fungsi politik juga penting, mengapa? Umat Islam harus melek politik, biar tidak selalu dibohongi. Bahkan, di zaman Nabi, masjid dijadikan sarna untuk mengatur strategi perang. Ini bagian dari agenda politik.

Sedangkan fungsi ekonomi, lebih bermanfaat untuk mengembangkan masjid dan membangun perekonomian umat. Nabi pernah bersabda, Kefakiran itu sangat dekat dengan kukufuran. “Karena itu, pengembangan ekonomi juga tak kalah penting,” tegas Tarmidzi.

Hamami Zada, koordinator kajian dan penelitian Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama justru menghawatirkan fungsi politik dalam masjid. Menurut pemantauannya, fungsi politik ini sudah kebablasan. Ia menemukan beberapa indikasi yang mengarah pada pendidikan politik tidak fair yang didalangi pengurus masjid.

Saat di temui Syir’ah usai shalat tarawih di Masjid Raya Villa Inti Persada, Pamulang Tangerang, Hamami mengatakan, pendidikan politik di beberpa masjid sekarang ini sudah masuk ke wilayah pendidikan ideologi atau penggiringan ke partai politik tertentu. “Ini tidak fair,” kata dosen Universitas Islam Negeri Jakarta itu.

Gelagat ini ternyata diamini oleh masyarakat. Salah satunya Zainul Arifin Adam, warga Sumber Rejo Paiton Probolinggo Jawa Timur. Ia juga mengendus gelagat seperti yang diutarakan Hamami. Saat dikonfirmasi Syir’ah via telpon, ia memaparkan, ini biasa terjadi di masjid-masjid yang dikuasai oleh pengurus yang cara beragamnya secara ekstrim, merasa paling benar sendiri. Bisa disebutkan contoh masjidnya? “Tak perlu saya sebut lah, ada pokoknya...,” ujarnya enteng.

Ihwal kasus ini Tarmidzi memberi tanggapan. Menurutnya, ada kesalahan dalam pengelolaan masjid. Fungsi politik itu harus dijalankan secara fair, tidak berat sebelah. Bahkan, untuk kampanye pemilihan kepala daerah pun sah-sah saja, asal semua calon-calon itu diberikan porsi yang sama. Jangan sampai calon dari kelompok tertentu saja yang diundang. “Kalau pengurus masjid tidak mengizinkan (kampanye dalam masjid secara proporsional dan berimbang) itu justru tidak sesuai dengan konsep Islam,” tegasnya dengan nada menukik.

Karena itu, pengelolaan masjid secara cermat dan profesional merupakan hal penting bagi para pengurus untuk menjalankan fungsi masjid yang sesungguhnya. Untuk menunjang itu, pengurus Masjid Bimantara biasanya menyebarkan “angket evaluasi” kepada jamaah. Ini dilakukan untuk mengetahui masukan dari jamaah dan mengukur keberhasilan program yang dicanangkan pengurus.

Pertengahan bulan lalu Syir’ah berkunjung ke masjid Bimantara yang terletak di Jalan Kebon Siri Jakarta Pusat pada pertengahan bulan Ramadhan, sore hari menjelang ta’jil (buka puasa). Di samping kanan masjid, ada ruang kecil bercat putih, pintunya terbuat dari besi. Di ruang pengurus yang berukuran 8 x 5 meter itu wawancara berlangsung. Tapi sayang, nama pengurus yang menjadi narasumber tak dapat disebut di sini, karena permintaannya pribadi. “Saya tak biasa masuk media Mas...” alasannya.

Angket evaluasi di masjid ini memang digunakan sebagai sarana komunikasi antara pengurus masjid dengan para jamaah. Banyak usulan jamaah yang masuk melalui angket ini. Bagaiamana pengurus masjid merespon?

Biasanya, angket para jamaah itu menjadi pertimbangan khusus dalam rapat-rapat pengurus. “Kalau memang menarik dan membawa manfaat ya tentu bisa kita jalankan...” katanya. Misalnya, masukan untuk pengajian rutin bidang fiqih. Mulanya, kajian ini sudah sampai pertengahan, bab munakahat (pernikahan). Tapi, ternyata jamaah masih banyak yang belum paham bab thaharah (tata cara bersuci). Mereka pun mengusulkan agar pelajaran kembali diulang. Akhirnya, bab thaharah diulang lagi.

Banyaknya pastisipasi ini juga terlihat dari jumlah jamaah. Saat rutin hari kerja jumlahnya sekitar 200 jamaah. Bahkan, ketika shalat Jumat, jamaah bisa membludak mencapai 1500 hingga 2000 orang. Kok bisa begitu? Ya, jamaah masjid ini tidak hanya karyawan gedung Bimantara, tapi banyak juga dari unsur masyarakat sekitar Kebon Sirih.

Ini juga terjadi di masjid Babur Rusydi, masjid Universitas Islam Jakarta. Meski notabene masjid kampus, masjid yang terletak di bilangan Utan Kayu Jakarta Timur ini juga diramaikan warga sekitar. Misalnya, saat shalat tarawih. Selain mahasiswa, masjid juga dipenuhi oleh warga. Mereka juga tak jarang memberikan masukan jika ada sesuatu yang dirasa kurang pas.

Tepatnya bulan Ramadhan tahun 2002. Usai shalat tarawih salah satu warga ada yang bilang, “Imam shalat tarawih kalau baca al-Qur’an kurang fasih,” katanya seperti dikisahkan Saefuddin Mubarok, wakil rektor bidang kemahasiswaan kepada Syir’ah. Mendengar omongan bernada protes itu, pengurus masjid membikin jadwal giliran imam tarawih yang diisi mahasiswa Fakultas Agama. “Kalau mahasiswa fakultas agama kan terjamin...,” kata bapak dari tiga orang anak ini. Berdasar kejadian itu, kebijakan ini tetap berlaku hingga kini.

Warga juga sering protes soal kenyamanan masjid. Misalnya, sound sistem yang tidak nyaring atau karpet yang sudah kumal. Sedang partisipasi mahasiswa itu lebih pada kegiatan meramaikan masjid. Misalnya, membuat acara kawin masal, sunatan masal atau peringatan hari-hari besar Islam.

Masjid Jakarta Islamic Centre agaknya berbeda dengan yang lain. Pengurus masjid JIC tak menunggu masukan masyarakat. Pengurus malah mengajak masyarakat berdiskusi untuk kemajuan bersama. Masyarakat yang istiqamah berjamaah selalu dipantau pengurus. Sesekali dia diajak untuk menyusun program. “Kita selalu butuh masukan dari mereka,” kata Rudi. Selain itu, pengurus juga menghimpun Taman Pendidikan al-Qur’an yang ada di daerah sekitarnya untuk bersama-sama memanfaatkan gedung JIC.

Mengapa JIC lebih pro-aktif ke masyarakat? “Masyarakat atau jamaah itu kan biasanya komentar di belakang. Daripada ngomong di belakang kan mending di depan pengurus,” ujarnya dengan logat Betawi yang kental. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Toleransi dari Bilik Pesantren

Pesantren tak hanya menyimpan ajaran toleransi, tapi juga menganut lima falsafah hidup yang mirip Pancasila dalam membangun hubungan yang harmonis. Apa sajakah itu?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Menjaga nilai-nilai yang baik dari tradisi lampau dan mengambil yang lebih baik dari masa kini adalah kredo besar yang diusung pesanten. Pesantren tak mengenal cara belajar agama secara kilat. Para santri mempelajari berbagai disiplin ilmu secara mendalam. Sebut saja tafsir, hadis, tasawuf, ushul fiqih (dasar-dasar hukum Islam), nahwu, shorof (ilmu tata bahasa Arab), balaghah (Ilmu keindahan bahasa Arab), dan lain-lain. Usai memahami khazanah situ, santri baru ngeh dan dapat melihat betapa nilai-nilai Islam justru mendorong pola hidup toleransi.

Lili Zakiyah Munir, Direktur Center For Pesantren and Democracy Studies, mengungkapkan statemen itu saat acara talkshow Islam Indonesia di Metro TV dengan tema Belajar Toleransi dari Pesantren. Hal ini diamini Fuad Al-Anshori, Santri sebuah pondok pesantren bernama Al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia merasakan hal serupa di pesantennya yang terletak di Parung Bogor itu.

Fuad bahkan sering melihat kalangan non-muslim bertamu ke pesantren yang diasuh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar ini. Tamu-tamu itu diterima dengan lapang dada. Mengapa? Fuad menjelaskan sembari menyitir sabda Nabi, “ihtarim al-dhuyûf walau kâna kâfiron,” hormatilah tamu walapun itu seorang kafir.

Ia lalu berkisah. Pesantren Nurul Iman pernah didatangi delapan orang pendeta utusan Yeni Zannuba Wahid, putri Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Mereka ingin mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu mereka menginap selama tiga hari. Setelah bergaul di pesantren yang jumlah santrinya tak kurang dari 9000 itu, mereka baru sadar, ternyata Islam adalah agama penuh toleransi dan damai.

Mengapa harus dengan cara damai? “Ketika di Thaif (sekarang Ethiopia), Rasulullah berdakwah dengan santun,” Fuad mencontohkan. Nabi dilempari batu dan dicaci-maki. Lalu, malaikat datang untuk menghancurkan penduduk Thaif. Tapi, Nabi justru menolak, dan berdoa “Allâhummahdi kaumî fainnahun lâ ya’lamûn.” Ya Allah, tunjukkanlah kaumku bahwasanya mereka tidak mengetahui.

Praktik keagamaan di pesantren Nurul Iman ini kian menegaskan statemen Zakiyah di atas. Bahkan, menurut Zakiyah, ada filsafat kehidupan di pesantren yang dia bahasakan sebagai “pancasilanya pesantren”. Yakni, tawâsuth (berada di tengah moderasi) kemudian tawâzun (seimbang menjaga keseimbangan), kemudian tasâmuh (toleransi), `adâlah (keadilan), terakhir tasyâwur (musyawarah). “Jadi lima nilai inilah yang menjadi ciri khas pesantren,” ujarnya. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Medium Pengentasan Kemiskinan

Zakat yang berpotensi mengentaskan kemiskinan adalah yang dilakukan dengan pendampingan dan pemberdayaan.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Rakyat miskin yang tinggal di kolong-kolong jembatan, anak-anak jalanan, orang-orang cacat dan lanjut usia yang meminta-minta di pusat keramaian, masih menjadi pemandangan kita sehari-hari, terutama di Ibu Kota. Belum lagi, deretan rumah kumuh di bantaran sungai dan rakyat miskin yang tinggal di pedalaman juga bagian dari realitas kemiskinan yang belum beranjak.

Nah, di tengah komplekstias masalah itu, zakat diusung beberapa kalangan sebagai cara alternatif pengentasan kemiskinan. Secara definitif, zakat yaitu mengeluarkan sebagian harta dalam jumlah dan perhitungan yang telah ditetapkan agama. Perintah ini termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 43, ...Wa âtû al-zakâta..., dan tunaikanlah zakat.

Jika zakat digagas sebagai solusi kemiskinan, sejauh mana konsep ini dapat diejahwantahkan?

Menurut Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Irfan Abu Bakar, model penyaluran zakat itu ada dua. Pertama, diserahkan secara langsung, dari muzakki (orang yang zakat) ke mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tanpa perantara. Kedua, diserahkan ke lembaga independen. Jadi, muzakki tidak memberikan langsung kepada mustahiq, tapi dikelola lembaga sebagai perantara.

Jika diprosentasekan, menurut hasil penelitian CSRC tahun 2005, maka 85% masyarakat menyalurkan zakatnya secara langsung, dan 15% diserahkan kepada lembaga. Saat tim peneliti CSRC bertanya, mengapa tidak diserahkan ke lembaga? Responden mayoritas menjawab, karena ingin menyalurkan zakat ke mustahiq yang telah dikenalnya. “Jadi ada perasaan tenang kalau sudah menyerahkan langsung ke mustahiq yang dikenal dekat,” kata salah seorang responden yang dikisahkan kembali oleh Irfan.

Ini dibenarkan Ahmad Juwaini dari Dompet Dhuafa (DD), lembaga swasta yang bergerak di pengelolaan zakat. Penyaluran zakat melalui lembaga pengelola masih tergolong minim. Juwaini menandaskan, ada tiga program yang dijalankan DD. Pertama, bersifat charity, bantuan langsung tunai. Kedua, bersifat pengembangan sumber daya manusia. Ketiga, bersifat pemberdayaan ekonomi.

DD lebih memperioritaskan dua program terakhir. Sebab, kedua program itu tidak sekedar memberikan bantuan, tapi membina dan mendampingi mustahiq agar mampu memanfaatkan bantuan untuk mentas dari kemiskinan. “Tak sekedar charity yang hanya memberi tanpa pemberdayaan,” tegasnya. Ya, mustahil memang, bisa keluar dari kemiskinan hanya gara-gara diberi zakat tunai, tanpa adanya pendampingan dan pemberdayaan. []

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Mati Sangit atawa Mati Syahid?

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tradisi mudik dan arus balik saat lebaran laksana kewajiban bagi orang udik yang bekerja di Jakarta. Ini juga dialami Siti Wulandari, sebut saja begitu. Warga desa Gelap Laren Lamongan Jawa Timur ini mudik bersama Joko Prayitno, pria pujaan hatinya. Sepasang muda-mudi ini belum genap sebulan menikah.

Sekitar dua minggu mereka berlebaran di kampung. Enam hari di Lamongan dan sisanya ia habiskan di Kota Pahlawan, tempat orang tua Joko tinggal. Usai bertemu famili dan handai tolan, plus berbulan madu, mereka pun kembali ke Ibu Kota naik kereta ekonomi.

Sehari-hari, Siti biasa mangkal di Terminal Senen. Jadi preman? Tentu bukan, ia membuka warung Pecel Lele di kawasan Jakarta Pusat itu. Sang Suami sehari-hari mengajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri 12, jauh dari tempat tinggalnya di bilangan Kwitang Jakarta Pusat.

Begitu sampai di Jakarta, pasutri itu menuju kontrakannya di bantaran sungai Ciliwung. “Hah..! Masya`allah..!” Siti dan Joko tercengang. Apa pasal? Kurang lebih lima belas deretan rumah didekatnya dilahap si jago merah saat fajar menyingsing. Sedikitnya tujuh orang meninggal dan sepuluh orang luka-luka.

Saat itu juga, Joko mengajak Siti melakukan sujud syukur.
“Untung saja rumah kita tidak kena Mas. Meski mati sangit, semoga mereka masuk surga” kata Siti lirih usai sujud syukur.
“Iya. Tapi kamu jangan ngawur, ngomong sak udelmu dewe (seenaknya), mati sangit..! mati sangit..!,” sahut suami Siti yang pernah nyantri di Jombang Jawa Timur itu.
“Benar kan mati sangit, kan tubuhnya terbakar api?”.
“Mereka bukan mati sangit, tapi mati syahid.”
“Lho kok?” Siti terperanjat.

Joko kemudian menjelaskan kepada istrinya yang hanya belajar sampai kelas enam Sekolah Dasar itu. Joko mengutip sabda Nabi yang pernah diceritakan kembali oleh ahli hadis dari Mesir Ibnu Hajar al-Asqalani (1372-1449 M) dalam Isti`dâd liyaum al-ma`âd (persiapan menjelang hari kiamat).

“Orang yang mati syahid—selain yang mati di medan perang di jalan Allah—itu ada tujuh. 1) orang yang mati karena sakit perut, 2) orang yang mati karena tenggelam, 3) orang yang mati karena menyandang penyakit busuk, 4) orang yang mati karena terserang penyakit lepra, 5) orang yang mati terbakar, 6) orang yang mati di bawah reruntuhan, dan 7) wanita yang mati saat melahirkan.”

Mendengar keterangan tersebut, Siti tersentuh dan terenyuh oleh kepandaian sang pangeran hati itu. Ia lalu memeluk dan ciuman kasih sayang pun mendarat di jidat Joko, “Clup...!” [aum]

Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

Saturday, November 25, 2006

Manajemen Waktu ala Sufi

Orang merasa gembira dengan hari-hari yang dilaluinya. Padahal, hari-hari itu adalah usia manusia dan karunia Tuhan yang tak mungkin kembali lagi.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sebut saja Ahmad Jaelani, karyawan salah satu perusahaan swasta di Ibu Kota. Bapak dua orang anak ini jago ilmu komputer. Ketika di bangku kuliah, ia pernah menggondol juara di bidang yang digeluti itu. Decak kagum kawan-kawannya pun bertaburan, bahkan tak sedikit orang yang menaruh hati.

Tapi, ada yang aneh saat ia terjun di dunia kerja. Ranum mukanya tak sumringah lagi seperti dulu. Murung dan gampang marah. Jalannya lunglai, tak bertenaga. Biasanya, begitu tiba di kantor, tak lama kemudian ia menyandarkan kepala di meja dan matanya terpejam. Tak heran, jika amukan bos adalah menu tiap hari yang mau tak mau harus ia santap.

“Tugasmu sudah selesai?” tanya bosnya.
“Besok.. Pak,” jawab Jaelani.
“Bagus..!! Teruskan..!!” sindir bosnya dengan sinis.

Jawaban itu selalu diulang-ulang Jaelani pada kesempatan yang berbeda. Ia sosok yang tidak biasa kerja dengan deadline, batas waktu. Ia terbiasa kerja sesuka hati, tergantung mood. Sementara tuntutan perusahaan, ia harus bekerja dengan cepat dan tepat waktu. Perusahaan tidak mau rugi. Entah kenapa, pria yang kini berumur 29 tahun itu tetap saja tak beranjak dari kebiasaannya. Si Bos akhirnya tak tahan lalu memecat Jaelani.

Jaelani adalah “tamsil kegagalan” akibat kurang mampu mengelola waktu. Untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan, waktu adalah kunci utama. Allah berkali-kali dalam firman-Nya bersumpah dengan menggunakan waktu, “Demi masa.” Tidak kurang dari sepuluh kali, allah menyebut di surat yang berbeda-beda. Antara lain: Wa al-`ashri (demi masa), wa al-laili (demi malam), wa al-fajri (demi waktu fajar) dan wa al-dhuha (demi waktu dhuha).

Ukuran Tingkat Kesalehan

Saking pentingnya waktu, ulama kelahiran Damaskus, kini Syiria, Ibnu Qayyim al-Jauzi (1292-1350 M) dalam Al-Fawâ`id (beberapa faidah), mengelompokkan orang-orang sufi didasarkan atas kemahiran mereka dalam mengelolanya.
Pertama, model orang yang hanya bisa menuntaskan hal-hal yang wajib saja. Perkara yang sifatnya sunnah atau tambahan, tidak begitu banyak dikerjakan. Karena itu, ada sisa waktu yang terbuang tanpa guna.

Kedua, jenis orang yang usai menjalankan kewajiban, ia juga giat mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan yang positif. Tapi, kelompok ini menitikberatkan perbuatannya pada lahiriyah saja, tidak mengikutsertakan hati yang pasrah karena Allah.

Ketiga, tipe orang yang mengarahkan kelebihan waktunya—setelah menjalankan hal-hal yang wajib dan sunnah—untuk melakukan perbuatan positif disertai niat tulus lillahi ta’ala, semata-mata karena Allah. Orang yang masuk kategori tingkat ketiga ini disebut sosok manusia hakikat, manusia yang mampu memaksimalkan karunia Tuhan dan berhasil hidup seimbang.

Kisah-kisah sufistik klasik sering bertutur tentang urgensi mengelola waktu dalam kehidupan sehari-hari. Misal, Ibnu Qudamah (1147-1223 M) pernah bertutur dalam kitab Al-Tawwâbîn (orang-orang yang taubat).

Alkisah, Shilah bin al-Syam, seorang tabiin (generasi setelah Sahabat) tidak mau menyia-nyiakan waktunya. Ia gemar berkelana mencari ilmu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Setiap melintasi sekelompok anak muda yang nongkrong dan bersenda gurau di pinggir jalan, ia selalu memberikan nasihat berupa renungan pertanyaan.

“Jika ada orang yang siang hari pergi tanpa tujuan dan malam harin ia tidur pulas, maka kapan ia sampai pada tujuan?” tanya sufi yang hobi berkelana itu.

Pertanyaan ini selalu diulang kala ia melewati kelompok anak-anak muda itu. Suatu hari, ketika ia mengucapkan nasihat itu, tiba-tiba seorang pemuda ada yang menyahut. “Hai kawan-kawan, yang dimaksud Bapak ini adalah kita. Mari kita renungkan! Bukankah di waktu siang kita habiskan waktu untuk bermain-main dan malam harinya kita tidur pulas?”

Rupanya pemuda itu sudah bisa menangkap maksud ungkapan tabiin tersebut. Kala itu juga, ia bertaubat di jalan Allah dan berjanji pada diri sendiri, tidak akan menyia-nyiakan waktu tanpa tujuan pasti. Ia kemudian menjadi murid Shilah bin al-Syam hingga akhir hayatnya.

Pesan Nabi Soal Waktu

Jelas kan..., tak ada keuntungan bagi orang yang menyia-nyiakan waktu. Sebab, “Waktu itu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya maka engkau yang akan dipotong-potong oleh waktu.” Begitu sabda Nabi dalam riwayat al-Baihaqi. Maksudnya, jika manusia tidak mampu mengelola waktu dengan baik, maka ia akan digilas oleh zaman, dan yang ada hanyalah penyesalan di hari kemudian.

Dalam diriwayatkan al-Nasa’i, Nabi pernah berpesan kepada umatnya, “Manfaatkan lima hal sebelum datang lima hal yang lain.” Apa itu? 1) Muda sebelum tua, 2) sehat sebelum sakit, 3) kaya sebelum miskin, 4) waktu luang sebelum sibuk, 5) hidup sebelum mati.

Ada dua alasan mendasar mengapa waktu begitu penting bagi kehidupan manusia. Pertama, waktu adalah kesempatan yang tidak mungkin dapat kembali. Kedua, tugas kita biasanya lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Karena itu, kita harus dapat mengelola dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Orang yang teledor dan tidak mampu memenej waktu dengan baik, maka ia sangat dekat dengan kegagalan.

Ibaratnya begini. Ada seorang dermawan yang memberi santunan kepada kita senilai 1 juta rupiah tiap hari. Uang itu harus diambil hari itu juga. Jika yang diambil hanya setengah, 500 ribu misalnya, maka sisanya akan hangus. Apa yang akan kita lakukan? Kita pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Uang 1 juta itu akan kita ambil keseluruhan saban hari, tanpa sisa sedikitpun.

Nah, begitu pula dengan waktu. Waktu laksana mutiara yang bertebaran di mana-mana. Kita berebut mengambilnya atau hanya berpangku dagu menyaksikan orang yang berlomba-lomba menghimpun mutiara.

Spirit Keseimbangan

Surat al-`Asr ayat 1-3 Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh....”

Ayat ini mengisyaratkan agar manusia mengelola waktunya dengan amalan seimbang, antara kehidupan ukhrawi (iman) dan duniawi (amal saleh). Inilah yang dijadikan patokan para sufi dalam memanfaatkan waktu. Berarti, bisa dikatakan, orang merugi yaitu orang yang selalu beribadah kepada Allah, tapi ia lupa tidak berbuat baik kepada manusia. Begitu pula sebaliknya.

Imam Haramain (419-478 H), ahli fiqih dan guru Imam Ghazali, adalah sosok yang tidak mau menyia-nyiakan waktu. “Saya tidak tidur kecuali karena memang tertidur dan saya tidak makan kecuali dalam kondisi yang benar-benar lapar,” kata ulama yang dikenal zuhud itu, seperti disitir Tajuddin al-Subki, seorang sufi yang meninggal tahun 771 H, dalam Tabaqat al-Syafi’i al-Kubra dan Ibnu Asakir (499-571 H) dalam Tabyin Kadzibil Muftari (penjelasan dustanya pendusta).
Begitu pula dengan Muhammad bin al-Hasan (132-189 H) seperti diceritakan dalam kitab Miftah al-Sa’adah wa Mishbah al-Siyadah (kunci kebahagiaan dan lampu kemuliaan) karya Tasykubri Zadah. Sebagian besar waktu murid imam Abu Hanifah ini dibaktikan untuk kemajuan ilmu.

Kalau malam, ia suka menurunkan buku-buku dari rak, lalu diletakkan di sekelilingnya. Waktu malam yang sunyi itu selalu ia habiskan untuk melahap buku. Apabila ia bosan membaca buku tertentu, ia akan mengambil buku yang lain. Jika ngantuk tiba, maka tak segan-segan ia mengusap mukanya dengan air. “Sesungguhnya rasa kantuk itu karena panas,” ujarnya.

Memenej Waktu

Nikmat dahsyat yang Allah berikan kepada manusia, salah satunya, adalah nikmat waktu. Orang kalau sudah lupa waktu, maka ia akan lupa dengan dirinya. Kalau sudah lupa diri maka ingat Tuhan adalah sesuatu yang muhal. Rasulullah jauh-jauh hari telah mengingatkan agar manusia itu mahir dalam mengelola waktu. Sebab, di hari akhir nanti, kita akan mempertanggungjawabkan waktu yang telah kita habiskan.

“Kedua kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari kiamat, hingga ia ditanya empat perkara: usianya, untuk apa dia habiskan; masa mudanya, bagaimana ia habiskan; hartanya dari mana ia dapatkan dan pada jalan apa dia keluarkan; serta ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya.” Demikian sabda Nabi seperti diriwayatkan Al-Bazar dan al-Thabrani.

Karena itu, kita harus mensyukuri dan manfaatkan waktu dengan cerdas. Bagaimana caranya? Pertama, menetapkan tujuan dan cita-cita hidup. Setidaknya, kita mampu menjawab pertanyaan berikut: “Apa yang saya inginkan dalam hidup ini?” Karena itu, “Apa yang harus saya lakukan?”

Kedua, melakukan perencanaan. Tanpa perencanaan, target akan susah diraih. Rencana ini ada dua: jangka pendek dan jangka panjang. Agar tidak meleset, kegiatan direncanakan sedetail mungkin: mulai dari harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan seterusnya.

Ketiga, menetapkan skala prioritas. Jika tak tahu prioritas, kita biasanya mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Jadi, kuncinya adalah mendahulukan yang lebih penting, dan jangan pernah bilang, “Ah... entar saja deh..”, kalau memang bisa dikerjakan saat itu juga.

Kini, kita patut bertanya pada diri kita masing-masing. Benarkah saya sibuk? Perkara apa yang menyibukkan saya? Sudahkah kesibukan itu bermakna bagi saya, atau sekedar hura-hura dan buang-buang umur? [Dari berbagai sumber]


Syir`ah, Edisi 59, November 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes