Monday, November 19, 2007

Al-Qiyadah dan Kriminalisasi Keyakinan

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Nasib nahas kian mendera pengikut al-Qiyadah. Satu persatu pengikut aliran yang mengakui Ahmad Mushaddeq alias H. Salam sebagai Rasul ini diciduk polisi. Atas dasar legitimasi fatwa dari Majlis Ulama Indonesia (MUI), massa di berbagai daerah dengan seenaknya melakukan aksi sweeping terhadap para pengikut aliran ini, bahkan pengerusakan pun menjadi hal yang lumrah.

Ironisnya di beberapa lokasi kejadian, aksi anarkis itu tak dihalau oleh pihak berwajib. Polisi hanya memasang garis polisi di tempat kejadian setelah aksi reda. Tindakan semena-mena terhadap al-Qiyadah dilihat dari kaca mata agama seakan menjadi hal yang sah, bahkan wajib dengan dalih pemurnian ajaran Islam. Hal ini tak lain karena MUI dengan tegas telah menyatakan “sesat” terhadap aliran ini.

Pun demikian secara hukum, pimpinan aliran ini Ahmad Mushaddeq dijerat pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama. Karenanya, polisi tak canggung turut menciduk para pengikut al-Qiyadah. Kejadian semacam ini terus terjadi. Artinya, ini bukan perkara pertama dan bukan pula yang terakhir. Kejadian serupa bisa dipastikan akan merembet pada aliran-aliran lain yang dianggap menyimpang dari pemikiran mainstream.

Lihat saja yang terjadi sekarang, tak lama usai pimpinan agama Salamullah Lia Aminuddin alias Lia Eden keluar dari penjara, kini Mushaddeq diseret ke meja hijau. Kasus yang menimpa Lia bisa saja diwarisi oleh pimpinan al-Qiyadah. Ganjaran yang harus diterima adalah meringkuk di penjara.

Bukan Keyakinan, tapi Tindakan

Kasus Lia dan Mushaddeq, hemat saya, adalah tergolong kriminalisasi keyakinan. Kejadian ini jelas menodai kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E. Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyiratkan, kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Tapi, apa yang terjadi? Ternyata, pasal-pasal itu diborgol oleh satu pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal sumber masalah itu adalah pasal 156a yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”

Pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama, dan dijuluki pasal karet. Identik dengan karet, karena bisa molor ke mana-mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban.

Antara lain, tahun 2006 pasal ini mengganjar Lia Aminuddin dengan dua tahun penjara. Ia dituduh melakukan penodaan agama karena menyebarkan keyakinan baru, agama Salamullah. Setahun sebelum kasus Lia, pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut diangap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2.

Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan, Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.

Menelisik beberapa kasus di atas, saya malah bingung. Mengapa keyakinan kok bisa dikriminalkan? Bukankah keyakinan itu soal hati, sama seperti kita mempercayai adanya Tuhan yang maha besar? Sama-sama tidak bisa dibuktikan secara empiris, tapi hanya bisa diyakini. Jika jeratan hukum itu dialamatkan kepada keyakinan seseorang, maka sasarannya jelas tak tepat, karena keyakinan bersifat abstrak sedangkan hukum harus berpijak pada fakta yang kongkrit.

Karena itu, yang dapat dijerat hukum adalah tindakan atau ekspresi pengikut aliran, bukan keyakinannya. Satu misal, kalau ada salah seorang pengikut aliran tertentu membunuh seorang anak, maka delik hukumnya adalah pembunuhan. Jadi bukan keyakinannya yang disalahkan tapi perbuatannya. Begitu pula dengan kasus al-Qiyadah yang lagi hangat diperbincangkan. Jika memang ada aksi kriminal yang dilakukan oleh pengikutnya, ya silahkan saja diproses secara hukum berdasarkan tindakan yang dilakukan, bukan malah mengadili keyakinannya.

Perkara ini bisa dikiyaskan dengan aksi terorisme yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawan. Saya setuju dengan jerat hukum yang menimpanya yaitu aksi teror dan pembunuhan yang menelan banyak korban. Jadi mereka dihukum karena perbuatannya bukan keyakinan Islam yang mengendap di hatinya.

Mengubah Cara Pandang

Proses hukum semacam itu yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum dalam menangani kasus al-Qiyadah. Kalau tidak, maka korban pasal-pasal penodaan agama kian berderet. Sekali lagi saya tegaskan bahwa agama, keyakinan, dan kepercayaan adalah bersifat abstrak, karena itu identitas “bebas” sudah menjadi karakter sebuah keyakinan dan pilihan bagi seseorang.

Di samping itu, ihwal kebebasan berkeyakinan dan beragama ini juga telah dijamin dalam konstitusi bangsa kita. Tapi, sayangnya masih ada beberapa cara pandang yang menjadi batu sandungan dalam memupuk kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama di tengah masyarakat Indonesia yang plural.

Pertama, fatwa sesat. Kelihatannya memang sepele tapi dampaknya tak terduga, itulah fatwa sesat dari MUI yang selama ini dijadikan legitimasi tindak kekerasan massa atas nama pemurnian agama dari ajaran yang melenceng. MUI sebagai payung umat Islam seharusnya mengayomi perbedaan-perbedaan pendapat di dalamnya. MUI seolah-olah tidak pernah memikirkan akibat dari fatwa yang dikeluarkan. Berapa rumah yang dirusak dan dibakar? Berapa orang yang terintimidasi dan terdiskriminasi? Berapa nyawa yang melayang?

Kedua, pasal penodaan agama dalam KUHP. Pasal ini bisa dibilang biang masalah dari kasus-kasus bernuansa perbedaan pendapat dalam suatu agama dan keyakinan. Gara-gara pasal ini jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta cita-cita kerukunan antarumat beragama di Indonesia menjadi tak tentu arah. Sudah seharusnya orientasi pasal-pasal terkait urusan agama dan kepercayaan dalam KUHP berorientasi pada substansi agama dan kepercayaan yang mengedepankan moralitas dan nilai-nilai humanisme daripada simbol-simbol belaka.

Ketiga, kekerasan massa dan ketegasan polisi. Ada sebuah pertanyaan yang mengganjal, mengapa usai terjadi kekerasan massa berbasis agama polisi biasanya hanya melingkari TKP dengan garis polisi. Bagaimana dengan massa yang melakukan aksi anarkhis? Mereka yang jelas melakukan tindakan kriminal seperti mengintimidasi, merusak, dan membakar, tidak ditangkap dan malah dibiarkan begitu saja. Aneh. Inilah yang menyebabkan banyak pihak yang merasa teraniaya lalu mengajukan gugatan, seperti dilakukan Ahmadiyah dan Wahidiyah.

Tentu saja merubah cara pandang ini bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu panjang untuk dapat menyelesaikan semuanya. Tapi setidaknya masyarakat bisa menyikapi masalah dengan arif dan bijakasana agar kejadian serupa tak terulang. Bukankah memahami perkara dari suatu malasah adalah hal yang dianjurkan dalam proses pembelajaran? Karena itu, al-Qur’an mengajarkan iqra’ (membaca, mencermati, memahami realitas), sebagai langkah manusia untuk memahami fenomena yang ada di sekitarnya terlibih dalam dirinya sendiri. []

Saturday, November 10, 2007

om google

google551f972a3e1556f3.html




Saturday, November 03, 2007

Spirit Multikulturalisme Kaum Muda

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Sebagai epistemologi pola kehidupan bermasyarakat dan kebijakan publik, multikulturalisme belum begitu membumi di Indonesia. Meski negara ini dihuni warga negara yang punya latar belakang beragam, namun konsep kesetaraan antarwarga masih jauh dari harapan. Satu misal, tilik saja surat edaran Mendagri nomor 477/74054 tanggal 18 November 1978. Surat itu hanya mengakui Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu sebagai agama.

Baru pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, presiden RI keempat, surat edaran Mendagri itu dicabut dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Bagaimana nasib warga negara yang agamanya selain enam agama itu? Lebih parah lagi, aturan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan instruksi menteri agama tahun 1978. Dua aturan itu menyiratkan, aliran kepercayaan bukan agama, tapi bagian dari budaya yang harus dibina. Karena itu, kelompok aliran kepercayaan selalu terlunta-lunta dan sering mendapat perlakuan tidak adil.

Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip multikulturalisme yang seharusnya menjadi pijakan dalam kebijakan publik. Dalam Webster’s New World College Dictionary tertulis bahwa multikulturalisme tidak hanya mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di ruang publik. “Konsep ini berorientasi ke arah inklusif, memberdayakan pihak lemah atau tidak bebas nilai, serta menggugah ranah sosial dan intelektual untuk lebih terbuka dan beragam,” kata Mary Rogers dalam Multikultural Experiences, Multicultural Theories, 1996.

Hemat saya, prinsip inilah yang sejatinya melandasi tonggak sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh kaum muda tahun 1928. Mereka bercita-cita besar untuk sebuah kemerdekaan dan kebebasan. Sentimen kedaerahan, suku, agama, dan ras yang mengental waktu itu tidak memupuskan usahnya untuk menyatukan pemuda. Di Pulau Jawa misalnya terdapat Jong Java, di Sumatra dengan Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes di Sulawesi, Jong Ambon di Maluku, Jong Islamic Bond bagi pemuda Islam, dan selanjutnya.

Usaha mereka akhirnya membuahkan kekuatan besar menuju pergerakan nasional untuk kemerdekaan, yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda 1928. Kaum muda dari berbagai daerah di Nusantara menyatukan klaim wilayah dari Sabang sampai Marauke dan menyetarakan berbagai latar belakang warga menjadi bagian dari satu kesatuan nasional yang bernama Indonesia: satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air.

Selang 18 tahun usai pernyataan itu, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta, dan kaum muda lainnya memproklamirkan kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tonggak sejarah penting itu kini berusia 79 tahun. Spirit multikultural yang diusung kaum muda itu seyogyanya kian mengakar dan mampu mengantarkan Indonesia ke gerbang negara maju dan kompetitif. Ironisnya, kaum muda sekarang banyak terjerembab oleh kepentingan politik sektarian yang sesaat. Lihat saja kenyataan ini di beberapa level komunitas yang dihuni para pemuda.

Pertama, kaum muda di level kampus. Bentrok atau tawuran antaramahasiswa dalam satu kampus atau antarkampus tidak terjadi sekali atau dua kali, tapi berulang kali. Baik disebabkan persoalan sepele ataupun persoalan politik kampus dalam memperebutkan kursi Badan Eksekutif Mahasiswa. Kelompok yang menang akan menguasai seluruh fasilitas kampus yang berhubungan dengan kemahasiswaan. Sedang yang lain jadi penonton saja. Belum lagi sikut-sikutan dan rebutan pengaruh antarkader lembaga ekstra kampus yang juga berujung pada tindakan diskriminasi terhadap kelompok yang kalah.

Kedua, kaum muda di level parlemen. Satu sisi kita patut bersyukur, kursi DPR-MPR RI kini banyak diduduki kaum muda mantan aktivis mahasiswa. Namun sayangnya sebagian dari mereka banyak dinilai tidak seirama dengan apa yang telah digembar-gemborkan kala masih mahasiswa. Mereka itu kini banyak terjerat kasus korupsi, politik uang, bahkan ada yang melakukan tindakan amoral. Tak perlu lah saya sebutkan nama satu persatu karena sudah menjadi rahasia umum. Kebijakan parlemen juga banyak tidak pro rakyat, misalnya kenaikan gaji anggota dewan dan fasilitas mewah di tengah kemiskinan yang kian merajalela.

Ketiga, kaum muda di level ormas dan lembaga keagamaan. Sentimen antar ormas yang berujung aksi kekerasan masih kerap terjadi. Misalnya, ormas etnis tertentu berkelahi dengan ormas lain hanya gara-gara rebutan lahan parkir di perkotaan. Kekerasan atas nama agama juga marak. Berawal dari tuduhan sesat kepada salah satu lembaga keagamaan, kemudian massa dari lembaga lain melancarkan aksi kekerasan atas dasar kebenaran sepihak. Kekerasan semacam ini juga masih “menghiasi” toleransi kerukunan antarumat beragama. Kalau kita lihat tayangan berita di televisi, massa masif yang melakukan kekerasan itu adalah anak-anak muda usia produktif , bukan orang tua usia lanjut.

Itu adalah bagian penggalan citra negatif kaum muda masa kini. Tentu saja tidak semua pemuda seperti itu, tapi tanpa menutup fakta yang ada bahwa realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini begitulah adanya. Hampir semua jenis media massa masih dihiasi berita yang tak jauh-jauh dari kenyataan di atas. Karena itu, momentum peringatan Sumpah Pemuda tahun ini seharusnya menjadi titik balik pemuda untuk menemukan jatidirinya, bukan semata sebagai gejala demografis tapi sebagai gejala sosiologis dan historis.

Berarti, kemunculan generasi muda tidak semata hanya untuk mengisi suatu generasi baru dalam masyarakat, tetapi merupakan subjek potensial bagi suatu perubahan dinamis dalam lingkungan sosial kemasyaratan dan kenegaraan. Dengan begitu, spirit multikulturalisme yang diusung kaum muda 79 tahun itu silam itu bisa bergema kembali dan menginspirasi kaum muda untuk mengikis ego sektarian serta bahu-membahu memajukan dan mensejahterakan rakyat Indonesia. []


|refleksi pribadi, sumpah pemuda 28 Oktober 2007|

Arus Balik Jadi Titik Balik Umat

Oleh Abdullah Ubaid Matraji

Dibanding tahun lalu lebaran tahun ini terasa lebih khidmat. Meski ada perbedaan penetapan tanggal satu Syawal 1428 H, namun tak menyebabkan konflik horisontal. Kelompok Islam al-Nadzir misalnya, melaksanakan shalat hari raya lebih cepat dua hari dari penentuan Muhammadiyah, sementara warga Nahdliyyin merayakan Idul Fitri, tanggal 13 Oktober, selang sehari paska Muhammadiyah. Berbeda itu sah-sah saja asal ada pengertian satu sama lain. Perbedaan dalam terminologi agama adalah rahmat, bukan adzab.

Karena itu, tak perlu risau dengan perbedaan. Nabi pernah bersabda, “Ikhtilafu ummati rahmatun,” perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat. Mungkin sudah berulangkali kita dengar sabda itu, tapi kenapa permusuhan karena perbedaan masih sering meletup. Keberadaan rahmat itu harus disyukuri, bukan malah dibenci atau dicurigai yang nanti berujung pada permusuhan, konflik, dan peperangan.

Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan, yaitu berlomba-lomba untuk menolong kaun dhuafa, menyantuni anak yatim, membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan seterusnya. Tuhan juga berfirman, “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikan-Nya satu umat saja, tapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan,” firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 48.

Suasana ini berbeda dibanding lebaran tahun kemarin. Hari raya yang suci itu dilumuri darah kebencian. Pembunuhan mengerikan terjadi selang dua hari setelah hari Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 24 Oktober 2006. Modusnya adalah tuduhan “sesat”. Entah dari mana mulanya tuduhan itu, tiba-tiba saja menyeruak di kalangan warga. Kala itu menimpa jamaah Yayasan Kharisma Usada (Yaskum) di Bobojong, Darmaga, Bogor. Korbannya adalah pimpinan jamaah, ustad Alih.

Selang tiga hari usai kejadian di Bobojong, tuduhan sesat yang berujung aksi anarkisme kembali terjadi di desa Laladon Kedoya, Ciomas, Bogor. Kelompok yang menjadi sasaran adalah jamaah tariqat Haqmaliyah. Tariqat ini merayakan hari raya Idul Fitri lebih cepat tiga hari, 21 Oktober 2006, daripada umat Islam Indonesia pada umumnya. Aksi ini menyebabkan rumah pimpinan tarikat dan musholla tempat jamaah berkumpul rata dengan tanah.

Titik Balik Perbaikan Moral

Kejadian di atas patut dijadikan pengalaman berharga untuk perbaikan di masa kini dan mendatang. Saat ini adalah momentum yang fitri untuk berbenah diri. Setelah orang-orang yang tinggal di kota-kota besar mudik ke kampung halaman untuk menebus kesalahan dengan bermaaf-maafan, kini mereka balik berbondong-bondong ke kota kembali beraktifitas.

Keberhasilan menciptakan suasana harmonis dan toleran saat Idul Fitri di kampung halaman ini harus tetap dijaga. Begitu pula saat arus balik yang kini terjadi, spirit kerukunan dan perdamaian yang dibawa dari kampung itu harus tetap dipertahankan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di tempat mereka bekerja dan hidup bermasyarakat. Hidup di kota besar tentu akan bergumul dengan orang-orang yang beragam latar belakang: agama, etnis, kelompok, dan lain-lain. Karena itu, permusuhan dan konflik sangat gampang tersulut, bahkan sewaktu-waktu bisa terjadi di mana saja.

Ini adalah tugas berat yang harus ditanggung umat beragama di Indonesia, khususnya umat Islam selaku pemeluk agama mayoritas di negeri ini. Lebih-lebih ini masih momentum Idul Fitri, di mana manusia harus melepaskan segala macam ego untuk berjabat tangan sebagai tanda persahabatan dan kasih sayang. Jangan sampai kondisi ini hanya berlangsung di bulan Syawal, tapi juga berimplikasi pada bulan-bulan yang lain.

Kalau kita perhatikan, kerukunan antarumat beragama sepanjang tahun 2007 masih jauh dari harapan. Konflik berbasis agama masih marak. Misal, kasus tuduhan sesat Jamaah Islam Sejati di Lebak Banten; pembubaran diskusi lintas agama di Surakarta; konflik antara Muslim dan Kristiani di Lembah Karmel Cianjur. Bahkan pengerusakan tempat ibadah juga masih banyak terjadi, antara lain pengerusakan masjid Jamaah Ahmadiyah di Bandung, Tasikmalaya, Riau; Gereja Immanuel sukapura, Cilincing, Jakarta Utara dan GKI Jatibening Indah Bekasi.

Ini menunjukkan bahwa tindakan diskriminasi, intoleran, dan kekerasan antarumat beragama terjadi hampir merata di nusantara. Kini, umat Islam saatnya berbenah. Sebagai golongan mayoritas seyogyanya bisa memberikan tauladan yang baik kepada umat lain, bukan malah semena-mena menjadi “polisi agama” yang sok bermoral lalu mensahkan tindakan kekerasan atas nama agama. Oleh sebab itu, momentum arus balik di hari yang fitri saat ini harus diniati sebagai titik baik perbaikan moral.

Umat Islam meyakini, Idul Fitri adalah hari di mana manusia seperti dilahirkan kembali atau terbebas dari dosa, bak kertas putih yang belum terdapat coretan tinta. Ini tercermin dari arti kosa katanya, id artinya kembali dan fitri artinya suci. Kondisi yang fitri ini merupakan momentum tepat untuk memantapkan inti misi kenabian Muhammad saw., yaitu memperbaiki akhlak. “Saya diutus di dunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,” sabda Nabi. Nabi secara spesifik tidak menyebutkan akan mengislam orang kafir, memerangi orang selain Islam, mengeroyok aliran sesat, atau sentimen atas nama agama yang lain, tapi Nabi bertugas untuk meletakkan pondasi moralitas dalam sendi-sendi kehidupan umat beragama.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjabarkan bahwa akhlak yang dimaksud Nabi itu meliputi empat tindakan. Pertama, al-hikmah atau bersikap bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Kedua, al-adalah atau adil dalam bertindak dan memutuskan perkara. Ketiga, al-syaja`ah atau berani mengatakan yang benar. Keempat, al-iffah atau pantang melakukan hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan kemaslahatan. Prinsip ini kedengarannya mudah tapi tak segampang dalam pelaksanaan. Perbaikan akhlak ini, dalam misi kemanusiaan, adalah sarana menuju pembentukan insan kamil.

Titik Balik Menjadi Insan Kamil

Jika akhlak mulia telah terbentuk dalam diri seseorang maka lahirlah insan kamil, manusia sempurna. Maksudnya bukan berarti manusia sempurna itu manusia tanpa salah, tapi manusia seperti dipostulatkan Tuhan dalam al-Quran dengan sebutan al-insan.

Manusia secara individu dalam al-Quran disebutkan dengan dua istilah basyar dan insan. Secara leksikal keduanya bermakna manusia, tapi masing-masing ada spesifikasinya. Pertama, basyar biasa disebut human being, man usia yang sekedar ada. Dalam bahasa arab, manusia yang diistilahkan dengan kata ini berarti manusia biasa, tidak memiliki “kesaktian” apapun. Ia cenderung diam dan menerima apa adanya. Kehadirannya tidak membawa angin perubahan apapun.

Ia bukan tipe ideal, sebab tidak mampu membawa manfaat bagi orang lain. Wujuduhu ka adamihi, keberadaannya tidak berefek. Kata ini dalam al-Quran digunakan untuk menceritakan sesuatu yang datar dan biasa-biasa saja. “Qul innama ana basyarun..”, ungkapan ini menyiratkan bahwa Nabi adalah manusia biasa. Bedanya hanya ia diberikan wahyu. Kata ini lebih merujuk pada manusia biasa yang diliputi unsur-unsur hewani, semisal kenyang, lapar, dan tidur.

Kedua, insan adalah makhluk jadi yang selalu berproses atau human becoming. Jika basyar bersifat statis, insan memiliki karakter bergerak dinamis menuju arah kesempurnaan. Berarti, insan adalah menjadi bukan sekedar ada. Keberadaannya akan membawa manfaat bagi orang lain. Menjadi (becoming) adalah proses bergerak, maju, mencari kesempurnaan, dan merindukan keadilan. Tipe ini adalah tipe manusia ideal. Kata insan mengandung makna spirit ketuhanan, karana ia adalah manusia yang bercita-cita agung.

Kata ini disebut 65 kali dalam al-Quran dan seringkali berbarengan dengan kata nadzar yang berarti merenungkan, memikirkan, mengamati, dan menganalisa. Titik balik umat sebagai insan inilah yang dikehendaki dalam tulisan ini. Karena eksistensinya sebagai insan, maka manusia punya tugas untuk memikul amanah Tuhan di muka bumi. Amanah dalam konteks ini adalah menemukan hukum alam, menguasainya, kemudian memanfaatkannya berdasarkan moralitas insani untuk menciptakan tatanan dunia yang baik dengan keseimbangan ekosistem di dalamnya. Ini juga erat kaitannya dengan tugas manusia sebagai pemimpin yang bertugas untuk menata dan memakmurkan jagad raya.

Harapan arus balik sebagai spirit titik balik umat untuk perbaikan moral dan proses menuju insan kamil semoga saja menjadi tumpuan umat paska merayakan hari raya lebaran. Andai ritual arus balik ini hanya dijadikan momentum kembali ke kota untuk mencari harta semata, niscaya keberadaan kita sebagai umat beragama kian tercerabut. []


|Gang Koweng,20 agustus 2007,23.00|

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes