Thursday, July 13, 2006

Mempelajari NU dari Konteks

Apresiasi ‘NU Tua’ terhadap ‘NU Muda’

Judul Buku: Mengenal Nahdlatul Ulama. Penulis: Abdul Muchith Muzadi. Penerbit: Masjid Sunan Kalijaga, Jember. Cetakan: Februari 2004 (I), Juli 2004 (II), Desember 2005 (III)


Oleh Abdullah Ubaid Matraji

“Menjadi NU harus pula menjadi Indonesia” tegas Mbah Muchith, sapaan akrab KH. Abdul Muchith Muzadi, sebagaimana dikutip Ayu Sutarto (2005) dalam buku Menjadi NU Menjadi Indonesia. Ungkapan singkat itu sekilas menampakkan kejembaran paradigma kebangsaan Mbah Muchith. Terkesan begitu luwes dan terbuka, sehingga tidak terjebak pada fanatisme agama apalagi kelompok organisasi, sebagaimana yang marak akhir-akhir ini. Jelas, jika ungkapan tersebut dibalik, “Menjadi Indonesia harus pula menjadi NU”, maka maknanya pun akan berbalik 180 derajat, berubah menjadi fanatisme buta yang mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan.

Keberadaan organisasi yang berdiri sejak 1926 ini memang tak terlepas dari bumi merah putih. Dari era revolusi fisik pra-kemerdekaan hingga detik ini, kiprah NU selalu mewarnai gegap-gempita perjalanan bangsa. Karena itu, NU seringkali dijadikan obyek kajian oleh berbagai kalangan. Bejibun buku dan tulisan seputar NU disajikan sebagai hasil kajian dan penelitian. Namun, berbeda dengan buku-buku lain yang lebih dulu, buku Mengenal Nahdlatul Ulama karya Mbah Muchith ini adalah hasil interpretasi subyektif atau pengalaman pribadi tokoh yang bertahun-tahun bergelut dan bergulat dengan NU. Tanpa melebih-lebihkan, buku ini bisa dikatakan sebagai ‘kesaksian sejarah’.

Mempelajari ormas ini tidaklah segampang yang kita pikirkan, untuk bisa membedah jeroane NU dibutuhkan waktu lama. Melalui buku ini, kita akan berlayar mengarungi samudra NU dengan menggunakan kapal kepunyaan Mbah Muchith. Maksudnya, interpretasi doktrin-doktrin dan teks sejarah di sini adalah versi Mbah Muchith. Pembacaan NU yang dilakukan Mbah Muchith, dalam buku ini, tidak semata-mata berdasarkan teks, tapi diperkaya dengan pengalaman empiris yang selalu bertautan dengan konteks kala itu. Di sinilah letak kekuatan buku ini dalam upaya ‘memperkenalkan’ NU sekaligus menepis kesan-kesan atau image yang kadung kaprah di masyarakat.

Mengorek Khittah dan Orientasi Organisasi
Perkenalan awal: seputar khittah, fungsi, dan posisi NU. Dibanding soal-soal lain, term khittah akhir-akhir ini menjadi buah bibir dan perdebatan sengit di kalangan NU. Pasalnya, pengertian dan interpretasi terhadap landasan ini sangat beragam dan debatable. Sehingga biasa terjadi, ada perdebatan dua faksi yang beda pendapat, tapi keduanya ngakunya sama-sama berdasarkan khittah. Bagaimana menyikapi beda pendapat semacam ini, dan apa itu sebenarnaya khittah?

Buku kecil, Khittah Nahdliyyah (1979) karya KH. Achmad Siddiq, dalam sejarahnya, adalah cikal bakal rumusan khittah NU. Khittah ini kemudian dijadikan alasan epistemologis mengapa orientasi NU berfusi (lagi) menjadi organisasi sosial keagamaan an sich, bukan partai politik. Buku tersebut, ternyata kala itu, mendapat respon positif dan membangkitkan antusiasme generasi muda NU. Lalu, mereka mengadakan ‘Pertemuan 24’ (1982). Pertemauan ini merekomendasikan tim tujuh, yang akhirnya berhasil merumuskan dokumen “NU menatap masa depan”. Disusul dengan Musyawarah Alim Ulama NU (1983) di Situbondo, dan Muktamar ke-27 (1984) di tempat yang sama, akhirnya berhasil menetapkan rumusan (naskah) Khittah Nahdlatul Ulama (tanpa kata-kata ‘Kembali Kepada’ atau embel-embel ‘1926’). (Lihat naskah Khittah NU, hasil muktamar ke-27 di Situbondo). Hal ini untuk memperjelas istilah yang sudah ghalib digunakan publik. Biasanya, ada sebutan ‘kembali kepada khittah 1926’. Padahal, sejak dirumuskan (1982-1983) sampai diputuskan (1984), hanya ada istilah ‘Khittah NU’, tanpa embel-embel lain. Perlu dicatat, kata Mbah Muchith, naskah khittah NU itu lahir tahun 1984 saar muktamar ke-27, tapi hakekatnya sudah eksis jauh sebelum itu.

Secara etimologi, khittah berarti garis-garis yang ditempuh atau diikuti. Sedangkan menurut terminologi, khittah NU berarti rambu-rambu yang harus ditaati atau garis-garis haluan yang harus ditempuh oleh orang-orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita-cita, sehingga terbentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Menurut tokoh eks komandan kompi pasukan Hizbullah (1947) ini, saat itu khittah NU memang tidak dirumuskan secara sistematis, namun bagi generasi awal NU hal tersebut bisa dipahami, dihayati, dan diamalkan dengan konsekwen. Namun berbeda dengan generasi ‘NU muda’ sekarang ini, mungkin karena bentangan waktu yang begitu panjang, sehingga interpretasi khittah menjadi beragam. Lebih lanjut dikatakan, generasi muda mutlak memerlukan pemahaman dan penghayatan terhadap khittah NU, tapi sistematika dan kerangka teoritik dalam khittah tersebut belumlah memadahi. (hlm. 18). Akhirnya, beda pendapat adalah hal yang tak terhindarkan.

Khittah NU hakikatnya memang tidak cukup difahami hanya dengan membaca AD/ART NU dan berbagai dokumen yang jumlahnya amat terbatas. Mengapa? Karena hakekat khittah itu tumbuh secara gradual yang tidak lepas dari konteks (konsisi intern dan ekstern organisasi serta realitas-sosial saat itu). Dalam konteks ini, perlu dijelaskan, bahwa dalam rumusan khittah juga dimasukkan beberapa inovasi. Misalnya, wawasan NU tentang Negara Kesaruan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, UUD 45, dan soal-soal baru yang belum disentuh sebelumnya. Adalah maklum, karena selain bersumber dari faham Islam ahlussunnah waljamaah, khittah NU juga merupakan hasil eksplorasi dan penggalaian intisari perjalanan sejarah khidmat NU yang begitu panjang dan penuh liku-liku.

Ini bisa kita telusuri melalui naskah khittah NU. Fungsi khittah adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. (Butir 2, poin a). Substansi khittah yaitu faham Islam ahlussunnah waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. (Butir 2, poin b). Sedang unsur-unsur lain dalam khittah disebutkan, bahwa khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. (Butir 2, poin c).

Butir-butir di atas harus mejadi pegangan bagi seluruh warga NU, khususnya para generasi muda yang akan memegang tongkat estafet. Dengan pemahaman terhadap khittah secara komprehensif dan mendalam, otomatis akan mengantarkan kita pada aktualisasi fungsi dan posisi NU. Pertama, sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyah Diniyah). Pada posisi ini, NU berfungsi sebagai kanal perjuangan para ulama dan pengikutnya untuk memlihara, melestarikan, dan mengembangkan ajaran Islam haluan ahlussunnah waljamaah. Serta mempersatukan langkah semua elemen dalam perjuangan cita-cita demi terciptanya kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). (butir 1, alinea 2 dan 3). Kedua, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (Jam’iyah Diniyah wa Ijtima’iyah). NU dan warga Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan. Satu sama lain harus memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), saling tolong menolong, baik sesama warga negara yang berlaian aliran (non-NU) maupun yang berlaian agama (non-Islam). (Butir 8, alinea 1-4). Ketiga, organisasi yang mengemban fungsi pendidikan (Jam’iyah Tarbiyah). NU berusaha untuk memberikan pencerahan dan penerangan kepada warga negara Indonesia agar mampu memahami dan menyadari hak-hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara. (Butir 8, alinea 5). Keempat, organisasi independen. Secara organisatoris, NU adalah organisasi independen yang tidak menginduk atau terikat dengan organisasi kemasyarakatan atau organisasi politik manapun. Setiap warga NU adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi undang-undang. (Butir 8, alinea 6).

Aswaja dan Penyegaran dalam Bermadzab
Pokok bahasan ini merupakan perkenalan lanjutan dalam buku Mengenal Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah waljamaah yang disingkat ‘aswaja’ adalah postulat dari ungkapan Rasulullah saw., “Ma ana alaihi wa ashabi”. Berarti, golongan aswaja adalah golongan yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah beserta sahabatnya. Sekelibat ungkapan tersebut memang nampak sederhana, namun persoalannya adalah bagaimanakah kita bisa menilai bahwa suatu amalan itu benar-benar sesuai dengan ajaran dan amalan yang dilakukan Nabi? Bukankah masih butuh interpretasi? Dan tentu, hasil interpretasi itu tidak akan tunggal. Untuk itu, menurut NU sebagaimana yang dipaparkan Mbah Muchith, diperlukan haluan ‘madzab’ sebagai petunjuk jalan. (hlm. 28).

Pada titik ini, dalam intern NU, terjadi pergolakan pemikiran antara NU tua dengan NU muda. Bagi kalangan anak muda NU, konsepsi Aswaja yang digelindingkan oleh pendiri NU, untuk era sekarang ini, sudah terasa cukup sempit dan tidak berelevansi. Konsep itu, secara sederhana sebagaimana dalam naskah khittah NU (butir 3, poin b), menyatakan: Islam aswaja adalah Islam yang menganut salah satu dari empat madzhab dalam fikih (Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali), menganut salah satu dari dua madzhab dalam teologi (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), serta menganut salah satu dari dua madzhab dalam tasawuf (Al-Ghazali dan Al-Junaidi). Dengan demikian, siapapun yang berfikih selain menggunakan salah satu dari empat madzhab tersebut, atau berteologi selain dari dua madzhab, atau bertasawuf selain dari dua madzhab, maka secara otomatis tidak termasuk golongan aswaja ala NU.

Dulu, konsep tersebut memang relevan, tapi ketika didudukkan pada kompleksitas problem mutakhir yang kian multidimensional, kiranya patut ditinjau ulang. Pada tataran fikih, misalnya, keempat madzhab yang diresmikan NU—menurut kalangan anak muda NU—sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas persoalan saat ini. Namun, seringkali kita memaksakan diri untuk secara terus-menerus ‘mengembalikan’ kompleksitas persoalan mutakhir ini pada empat madzhab. Selain itu, dengan adanya pembatasan madzab, kita akan terkungkung pada satu alur pemikiran, bahkan bisa terjerumus dalam fanatisme, pengkultusan satu madzab tertentu, dan menganggap pemikiran lain yang berbeda tidak sesuai dengan aswaja.

Di sinilah, antara lain, letak poin-poin yang harus dikaji ulang oleh kalangan NU. Diantara tawaran alaternatif yang sempat mencuat dari kalangan NU muda, yaitu aswaja sebagai ‘manhaj al-fikr’ (metode/cara berfikir), bukan lagi sebagai sistem beragama yang mengharuskan bermadzab. Tawaran ini bermaksud, ingin membebaskan warga NU dari keterkungkunagan madzab, fanatisme, dan pengkultusan. Orientasi yang dingin digapai manhaj al-fikr antara lain (1) kemerdekaan individu dalam berijtihad, (2) menciptakan metode-metode baru yang inovatif dan progresif dalam berijtihad, (3) memberikan peluang tajdid bagi pemikiran-pemikiran baru yang berorientasi pada ‘kemaslahatan publik’ dan ‘pembebasan dari ketertindasan’, (4) memperluas cakupan ilmu dan lahan garapan, tidak hanya soal-soal fikih-teologi-tasawuf (keagamaan an sich), tapi dengan manhaj al-fikr, aswaja tumbuh subur dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan lebih bersifat inklusif.

Melihat fenomena ini, tokoh NU yang dikategorikan ‘liberal’ oleh Mujamil Qomar dalam buku NU Liberali ini berpendirian: meski ada efek samping yang ditimbulkan, sistem bermadzab tetap penting dan relevan hingga kini. (hlm. 29). Untuk menjawab realitas kekinian dan meluruskan tuduhan atau anggapan miring tentang bermadzab, Mbah Muchith mempunyai beberapa alasan tersendiri.

Pertama, agar tidak out of date, harus ada usaha untuk meningkatkan kualitas dan bangunan epistemologis dalam bermadzab. Ini bisa dibangun melaui beberapa cara. Antara lain: (a) menguasai secara mendalam unsur-unsur syariah dan akidah Islam, (b) memahami perkembangan dan kebutuhan zaman, dan (c) menemukan metodologi yang tepat. Cara ini disinyalir dapat mengurangi efek negatif akibat bermadzab.

Kedua, fanatisme sejatinya tidak bersumber dari madzab. Dengan bermadzab, berarti kita telah menentukan pilihan, madzab siapa yang akan kita ikuti. Secara otomatis, kita juga sadar dan akan menghormati orang lain yang menentukan pilihan madzab yang berbeda dengan kita. Kalau mau jujur, fanatisme atau gerakan radikalisme di Indonesia justru muncul dari kalangan—yang mengklaim dirinya kelompok modernis—anti madzab (yang penting Islam), yang pada hakikatnya justru mengukuhkan munculnya ‘madzab baru’. Lebih lanjut, Mbah Muchith menegaskan, bahwa para pendiri madzab adalah orang-orang yang terbuka dan toleran (anti fanatisme). Jikalau ada fanatisme di kalangan orang bermadzab, tak lain, itu semata-mata disebabkan kedangkalan pengetahuan, dan ini ghalibnya terjadi pada kalangan masyarakat awam.

Ketiga, bermadzab ‘tidak sama dengan’ anti tajdid (pembaruan). Tajdid tidak hanya bermakna sebagai upaya melestarikan agama dari pemalsuan, penyimpangan, dan pendistorsian, tapi tajdid juga berarti perbaikan dan reinterpretasi yang harus dicanangkan dan diimplementasikan secara metodologis dan sistematis, tidak boleh grusa-grusu (tergesa-gesa tanpa pertimbangan). Selain itu, dalam NU juga dikenal prinsip, al-muhafadhatu ala al-qadimi al-salih, wa al-akhdzu ala al-jadidi al-ashlah (menjaga ‘barang lama’ yang baik, dan mengambil ‘barang baru’ yang baik). Kalau begitu, mana bukti bahwa NU yang bermadzab berarti anti tajdid? Sungguh tuduhan yang tak berdasar. Bagi Mbah Muchith, tajdid tidak semata-mata menghendaki ‘asal baru’, tetapi perubahan ke arah perbaikan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

Keempat, menutup pintu ijtihad bukanlah hakikat ajaran dalam sistem bermadzab. Jika ada kemampuan dan kesungguhan, bermadzab justru memberiakan ruang terbuka untuk ijtihad. Ijtihad sejatinya adalah ‘spirit pencarian dan penggalian’, serta merupakan bagian ‘tak terpisah’ dari bermadzab. Karena itu, bermadzab tidak selalu harus dipertentangkan dengan berijtihad, keduanya merupakan rangkaian yang proporsional. Dengan demikian, hemat Mbah Muchith, sesungguhnya setiap orang itu pasti bermadzab, baik madzab manhaji (mengikuti metode ijtihad) maupun madzab qauli (mengikuti hasil ijtihad). Berarti, kalau tidak bermadzab Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, mungkin bermadzab Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab, Fazlur Rahman, Ali Abdul Raziq, atau tokoh-tokoh yang lain. Jelas sudah, bermadzab berarti tidak alergi terhadap ijtihad. Semakin pesat peradaban, maka semakin diperlukan banyak ijtihad.

Gagasan urgensi ijtihad ini membuktikan, Mbah Muchith yang tergolong kalangan NU tua ini ternyata masih sarat pemikiran progresif, tak kalah terbukanya dengan kalangan NU muda. Beliau mencita-citakan adanya arus pemikiran baru atau pembaruan arus pemikiran ke arah yang positif-konstruktif, serta relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ijtihad (ala madzab manhaji) yang dikonsepsikan oleh Mbah Muchith, bukan asal-asalan, tapi harus bermuara pada karakter aswaja (hlm. 29), yaitu tawassuth dan i’tidal (obyektif dan berkeadilan), tasamuh (toleran terhadap perbedaan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat: manusia-Tuhan-alam), dan amar ma’ruf nahi munkar (membela kemaslahatan dan menentang kemadlaratan).

NU dan Politik: Absurditas Khittah?
Pada bagian akhir buku Mengenal Nahdlatul Ulama, Mbah Muchith memperkenalkan dan mengajak pembaca untuk melanglangbuana di dunia absurd, NU dan politik, suatu perhelatan yang tak kunjung usai. Disadari atau tidak, sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, NU kerap diombang-ambil oleh sebuah kepentingan (invisible hand). Meski NU sudah ‘talak tiga’ dengan gerpol (baca: gerakan politik praktis), NU kadang masih saja terseret arus gigantisme politik praktis, mungkin akibat pesonanya yang masih tetap menggiurkan. Hingga kini, NU acap dihadapakan pada dua pilihan, tetap dijalur gerakan sosial keagamaan atau ditambah jalur politik (sosial-keagamaan plus).

Fakta di lapangan mengindikasikan, garis demarkasi yang membedakan antara NU dengan politik sungguh begitu absurd dan multi-interpretatif. Karena itu, pergumulan dan pergulatan bagaimana semestinya kiprah ‘politik NU’ di pentas nasional kerap mendatangkan kontroversi. Satu contoh, kasus pencalonan KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) sebagai Wakil Presiden dalam pemilu 2004. Sebagian kalangan menuduh, Hasyim telah mempolitisasi NU dan mengkhianati khittah, namun kalangan lain justru mendukungnya. Ini adalah realitas di lapangan yang tak terelakkan. Entah apakah perbedaan pendapat itu akibat interpretasi yang sengaja dibuat-buat untuk melegitimasi atau akibat rumusan khittah yang masih absurd? Yang jelas, NU tidak dilahirkan sebagai partai politik, namun mempunyai ‘kekuatan politik’ yang sangat besar.

Dalam kancah politik, NU sudah banyak makan asam dan garam. Fenomena jatuh-bangun dalam lintasan dan patahan sejarah merupakan pengalaman ijtihad politik NU yang patut dipelajari (hlm. 35-37).

(1) Pada zaman penjajahan Belanda: NU dengan tegas menyatakan anti-penjajahan, dan membuat gerakan under ground di pesantren-pesantren untuk merebut kemerdekaan; NU juga menolak kewajiban milisi (menjadi tentara Hindia Belanda) yang diterapkan untuk pemuda Indonesia. (2) Zaman penjajahan Jepang. Waktu itu, ketika Jepang membekukan seluruh organisasi rakyat, tokoh NU—membuat strategi—bersama dengan tokoh-tokoh lain memperlihatkan sikap kooperatif dengan Jepang. Strategi ini sengaja dilancarkan supaya mendapat kesempatan lebih luas untuk berhubungan dengan rakyat dalam rangka mempersiapakan gerakan grassroot merebut kemerdekaan. (3) Era revolusi fisik: NU bahu-membahu dengan seluruh lapisan masyarakat dalam mengisi kemerdekaan dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai Masyumi.

(4) Seusai revolusi fisik: NU keluar dari Masyumi dan berubah ‘kelamin’ menjadi partai politik. Pemilu 1955, NU berhasil memperoleh 45 kursi di DPR. Sejarah mencatat, saat itu, NU berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik nasional yang diperhitungkan. (5) Era orde lama: partai NU pernah direpotkan dengan gerakan ‘Nasakomisasi’. Ikut kabinet Nasakom, dituduh komunis; tidak ikut, Soekarno akan berjalan tanpa NU dan menggantikan posisi NU dengan kekuatan lain, yang bisa jadi kekuatan tersebut tidak mampu merepresentasikan umat Islam dan warga nahdliyyin. Akhirnya, NU memilih gabung dengan kabinet bentukan Soekarno. (6) Era orde baru: NU memfusikan fungsi politiknya kepada Partai Persatuan Pembangunan (1973). Karena sering dikebiri, dikadali, dan didiskriminasi, tahun 1984 NU membebaskan diri dari keterikatannya dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan manapun (lahirnya khittah NU dalam muktamar ke-27 di Situbondo).

(7) Orde reformasi: NU memberikan kesempatan kepada warganya untuk mendirikan partai politik, sebagai penyalur lidah rakyat umumnya dan warga nahdliyyin khususnya, yaitu dibentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan Mbah Muchith adalah salah satu tokoh pendirinya—di samping Gus Dur, Gus Mus, Kiai Ilyas Ruhyat, dan Kiai Munasir Ali. Menurut Mbah Muchith, hubungan NU dengan PKB adalah hubungan historis, aspiratif, dan kultural, bukan hubungan organisatoris struktural. Karena itu, pilihan politik warga NU di PKB bukanlah kebijakan yang qath’i (pasti nan abadi), tapi sewaktu-waktu bisa berubah. Maka tak heran, saat pemilu 2004, Hasyim Muzadi justru digandeng oleh PDI-P, yang notabene partai tersebut tak ada kaitan dengan NU. Begitu pula dengan banyaknya kader-kader NU yang bertaburan di partai-partai lain, selain PKB.

Bilik-bilik bangunan NU memang tak pernah sepi dari aktifitas politik. Perang urat-syaraf itu kembali menganga saat pagelaran ‘pesta demokrasi’ 2004. Lagi-lagi soal hubungan NU dan politik. Kasak-kusuk ini dipicu oleh beberapa aktifitas politik warga NU yang, menurut sebagian kalangan, dianggap melenceng dari khittah. Pertama, fenomena rangkap jabatan. Banyaknya pengurus NU yang juga tercatat sebagai pengurus partai. Jadi, mereka punya peran ganda: sosial kemasyarakatan di NU dan peran politik di partai. Masalahnya, mereka cenderung menggunakan NU sebagai alat politik untuk memuluskan kepentingan politik partainya, jadinya ya NU ditunggangi. Kedua, klimaknya adalah saat Hasyim (dari NU) bersedia digandeng Megawati (dari PDI-P) untuk menjadi pasangan capres dan cawapres. Dan yang menyedihkan, Hasyim tidak bersedia melepaskan jabatan sebagai ketua PBNU (hanya berstatus ‘non-aktif’, yang berarti selepas pemilu bisa menjabat kembali). Ini kemudian diikuti dengan pembentukan tim sukses yang melibatkan pengurus struktural NU dari tingkat pusat sampai ranting.

Pro-kontra ini setidaknya dibidani oleh dua kubu. (1) kubu pro Hasyim. Dimotori oleh mayoritas para Pengurus Besar NU dan pengurus struktural dari wilayah sampai ranting yang sepakat dengan pencalonan Hasyim. (2) kubu kontra Hasyim. Sebagian besar think-tank-nya berasal dari ‘anak-anak muda NU’ yang bergiat di kampus, LSM, lembaga kajian dan penelitian, dan juga terdapat beberapa kiai muda. Mereka menamakan dirinya sebagai pembela dan penegak khittah. Lagi-lagi, persoalan ini adalah percekcokan antara ‘orang tua’ dengan ‘anak muda’ (layaknya bapak dengan anaknya). Lalu, bagaimanakah sejatinya politik NU (pasca khittah) menurut Mbah Muchith?

Jika dipetakan secara sederhana, NU mengenal tiga jenis orientari dalam berpolitik. Pertama, politik kebangsaan. Peran ini dimainkan NU saat perjuangan revolusi fisik dan awal-awal kemerdekaan. Bagi NU, NKRI adalah keputusan paripurna. Karena itu, NU tidak pernah melakukan pemberontakan dan terlibat dengan gerakan separatis. Kedua, politik kerakyatan. Pada posisi ini, NU lebih berkonsentrasi pada bidang: pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pendampingan buruh, petani, dan kaum marjinal. Kegiatan-kegiatan ini terfokus pada penguatan civil society di akar rumput, yang merupakan bagian dari politik keseimbangan kekuatan, rakyat vis-à-vis penguasa (negara). Ketiga, politik kekuasaan. Peran pertama kali adalah ketika NU masih gabung dengan Masyumi. Saat itu, banyak pengurus NU yang terlibat dalam perebutan jabatan, baik di eksekutif maupun legislatif. Kecenderungan ini semakin kuat, tatkala NU keluar dari Masyumi (1952) dan berubah menjadi partai politik. Dari ketiga orientasi tersebut, manakah yang semestinya dijalanakan NU?

Mbah Muchit berpendapat, soal pilihan orientasi berpolitik (kebangsaan atau kerakyat atau kekuasaan) tidaklah substansial. Justru yang pokok dan harus dipahami, bahwa NU adalah organisasi yang mandiri, tidak menjadi bagian dari organisasi lain, baik organisasi politik atau kemasyarakatan. (hlm. 37). Lebih lanjut, tokoh yang dijuluki pakar khittah ini juga mengemukakan kritik, mengapa orang berkoar-koar mengkritik NU ketika NU ‘dekat’ dengan parpol, sementara orang-orang pada tutup mulut ketika NU ‘dekat’ dengan organisasi kemasyarakatan. Padahal, dalam khittah jelas-jelas termaktub, “NU sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak boleh terikat dengan organisasi politik atau kemasyarakatan manapun juga.” Kemudian dilanjutkan dengan alinea berikutnya, “Setiap warga NU mempunyai hak-hak politik yang dilindungi undang-undang. Dan, dalam menggunakan hak politiknya, warga NU harus bertanggung jawab penuh. Dengan demikian, dapat ditumbuhkan sikap hidup demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mampu mengembangkan menkanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.” (Naskha Khittah, Butir 8 alinea 6 dan 7).

Jadi, pada intinya, timbulnya perseteruan dua kubu di atas adalah adanya perbedaan pemahaman khittah, yang tidak dilanjutkan dengan musyawarah mufakat. Karena itu, gerakan tersebut berkembang dan menggelinding bak bola salju. Tentunya, semua ini merupakan bagian dari pahit-manis perjuangan NU dalam mewujudkan Indonesia sebagai baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur dan upaya menciptakan masyarakat Indonesia sebagai the good society. Jadi, tidak ada yang perlu disalahkan, sebab yang penting adalah dinamika saling koreksi, kritik, dan kontrol masih tetap ‘hidup dan tumbuh subur’ di tubuh NU.

Ikhtitam
Menurut kalangan luar NU, Fachry Ali misalnya, pernah mengatakan, peran organisasi NU dan Muhammadiyah dalam histoire mentalitè (sejarah kesadaran) masyarakat Indonesia, lebih berhasil memainkan “peran politik”—daripada partai-partai politik Islam itu sendiri—tanpa menjadi organisasi politik secara resmi. Publik jauh lebih mendengar seruan-seruan moral dan intelektual NU dan Muhammadiyah, daripada kekuatan-kekuatan politik resmi. (Fachry Ali, Islam dan Pemberdayaan Politik Umat, Makalah Diskusi Serial bidang Politik International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 16 Januari 2003). Ini membuktikan, meski bukan parpol, NU mempunyai kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

Terkait dengan peran politk NU, ada baiknya kita menilik hasil keputusan Muktamar ke-28 di Krapyak Jogja. Di situ dipaparkan, “Pedoman Berpolitik bagi Warga NU”, yang terdiri dari 9 poin. Menurut Mbah Muchith, keputusan inilah yang harus dijadikan kiblat atau acuan berpolitik warga NU. (hlm. 38). Antara lain: Pertama, berpolitik bagi warga NU mengandung arti, keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Ketiga, perbedaan pandangan antara aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai satu sama lain. Sehingga dalam berpolitik, persatuan dan kesatuan di lingkungan NU tetap terpelihara.

Hemat saya, keberadaan ‘naskah khittah’ (hasil Muktamar ke-27) dan ‘Pedoman Berpolitik bagi Warga NU’ (hasil Muktamar ke-28), ternyata belum aplikatif dan masih sangat general. Di sinilah letak kritik saya terhadap buku ini. Pada pokok bahasan ‘hubungan NU dan politik’ yang kerap menjadi polemik, justru buku ini tidak menyuguhkan penjelasan secara rigid dan aplikatif terhadap kedua landasan berpolitik warga NU tersebut—berbeda dengan ulasan bab-bab lain yang cenderung mendalam dan memberikan perspektif anyar. Seharusnya, landasan yang masih general itu, dipreteli dan dikupas satu-persatu secara rigid dan aplikatif di lapangan sebagai rambu-rambu berpolitik warga NU.

‘Ala kulli hal, buku ini tetap penting dibaca oleh semua kalangan (NU maupun non-NU) dan menarik untuk dijadikan referensi dalam kajian-kajian seputar NU. Sebab, segala perspektif dalam buku ini, merupakan pandangan tokoh senior NU, yang—sejak tahun 1941—telah merasakan pahit-manis berjuang dan berkhidmat kepada publik melalui jalur NU. Buku ini juga merupakan bagian dari apresiasi pemikiran intelektual kalangan ‘NU tua’ dalam menilik, menelisik, dan menanggapi berbagai perkembangan kenyelenehan mutakhir pemikiran NU, yang acap dimotori generasi anak-anak muda NU. Di samping itu, buku berwarna hijau tua ini juga mengajak pembaca untuk selalu memaknai dan memahami realitas sosial sesuai dengan konteks. Sebab, semuanya itu hadir tidak dalam ruang hampa.

Di kalangan NU, penulis buku ini masyhur dengan berbagai sebutan: pakar khittah, literatur hidup NU, ensiklopedi NU yang berjalan, dan lain-lain. Hebatnya, di usianya yang tergolng udzur ini (81) beliau tetap berkarya dan malah dikategorikan berada di barisan ‘NU liberal’. Ulasan realitas sosial dan lika-liku perjalanan NU, ditambah dengan sosok penulis yang fenomenal, justru menjadikan buku ini ‘berbeda’ dan ‘lebih bergizi’, serta mempunyai ‘keunikan khas’ jika disandingkan dengan buku-buku tentang NU yang lain. []


Taswirul Afkar, Juni 2006.

Merestorasi Kembali Gerakan Mesianisme

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Istilah ‘mesias’ pada abad ini sudah jarang dikenal. Beberapa abad lalu, sekitar abad 19 dan permulaan abad 20, istilah ini pernah ngepop di kalangan rakyat Indonesia. Mesias tak lain merupakan personifikasi atau postulat dari kepercayaan rakyat akan kedatangan ‘sosok’ yang dianggap mampu menebar keadilan dan ketentaram. Sebagai the sociology of hope, meminjam istilah sosiolog Desroche, mesias berkembang menjadi faham bahkan mitos (menjadi mesianisme) yang memberikan spirit perjuangan rakyat untuk ber-amar makruf nahi munkar demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan di muka bumi.

Dalam konteks kultural, mesianisme menjadi gerakan kontra-kultur, yang berfungsi antagonistis terhadap keberadaan kukltur yang talah mapan (established culture). Bahkan mesianisme ini berkembang subur menjadi simbolisme yang menjiwai gerakan protes dan perlawanan rakyat atas hegemoni. Antara lain: Cargo Cult di Irian Jaya (1860-an), Ratu Adil di Cilacap (1920-an), Tambakmerang di Wonogiri (1935), dan Kyai Djati Kusuma di Jawa Tengah (1954). Terlepas dari pro dan kontra, hemat saya, gerakan ini menarik untuk dicermati. Sebab, (1) mampu mempengaruhi nalar berfikir rakyat untuk membela keadilan dan kesejahteraan yang ‘diimajinasikan’, dan (2) gerakan ini tidak berhenti pada tataran ide, tapi bergerak pada tataran praksis bersama-sama elemen lain dalam mewujudkan cita-cita kemakmuran.

Gerakan ini, dalam kajian sosiologi, mirip dengan bentuk praksis gagasan Karl Manheim yang masyhur, yaitu ideologi dan utopia. (B. Turner, 1995). Ideologi dimaknai sebagai sistem gagasan yang mencoba menyembunyikan dan melestarikan keadaan kini dengan menginterpretasikannya dari sudut pandang masa lalu. Sedang utopia adalah sistem gagasan yang melampaui kekinian dengan memusatkan pandangan masa depan. Bedanya hanya tipis; Manheim cenderung membenturkan antara dua sistem gagasan, tapi messianisme justru menggabungkan keduanya sebagai political will atau power dalam perubahan sosial. Berarti, masa lalu adalah elan vital bagi amunisi perjuangan untuk melompat ke arah masa depan yang diidamkan.

Terus terang, penulis tertarik dengan gerakan ini karena sifatnya yang komprehensif dan eksistensial. Artinya, gerakan ini tidak elitis, menyapa dan melibatkan semua kalangan, tidak fragmentis ataupun sektoral, serta tidak kategoris ataupun polaristis. Dan juga perlu dicatat, sebagai ideologi dari gerakan sosial, mesianisme memuat secara inhern sifat radikal dan revolusioner. Karena itu, gerakan mesianisme kian subur jika berada di tangah-tengah ‘kekacauan sosial’—seperti di negara kita ini. Jelas, kekacauan sosial di sini cakupannya luas, tidak hanya kekerasan fisik tapi juga bentuk-bentuk penindasan non-fisik, semisal hegemoni, korupsi, penjualan aset-aset negara, penghapusan subsidi, kemiskinan, kelaparan, dll.

Konsep gerakan ini memang terbilang kuno, yang mungkin tidak aplikatif jika dibiarkan apa adanya, jadi perlu ada penyegaran. Kalau dulu gerakan ini bisa massive karena adanya mitos masyarakat primitif pada lahirnya “sosok” yang mendapat wahyu atau—dalam sosiologi Barat disebut—charisma. Maka kini latar belakang spirit gerakan ini harus dirasionalkan. Jadi pemicunya bukan lagi sosok atau figur yang dimitoskan, tapi substansi dari ajaran yang dibawa sosok yang diidealkan itu, yaitu keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan lain-lain. Sehingga sampai kapan pun spirit dari gerakan ini akan terus bergelora dan bertenaga, “di mana ada ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keculasan yang lain, maka di situ gerakan pembebasan mesianisme pasti berlangsung.” Karena mengalami pergeseran orientasi, gerakan ini selanjutnya penulis sebut sebagai neo-mesianisme.

Tradisi Agama sebagai ‘Mesias Baru’
Titik temu neo-mesianisme dengan agama-agama adalah perjuangan menegakkan keadilan. Tidak jauh berbeda dengan dulu, mitos ‘sosok’ itu dialihkan pada tradisi keagamaan yang lebih dapat dirasionalkan dan mudah diterima masyarakat kontemporer. Makanya, tak heran jika sosiolog Durkheim menempatkan agama dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Form of Religious Life (1912/1965), sebagai posisi yang sentral dalam kajian fakta-fakta sosial. Sebab ia yakin, bahwa agama merupakan fakta sosial yang mempunyai kekuatan (forces) lebih dibanding yang lain. (Tendzin Takla dan Whitney Pope, 1985). Lebih lanjut dia berpendapat, masyarakat dan agama adalah ‘kesatuan kolektif’ yang menciptakan fakta sosial berupa ‘kesadaran kolektif’ yang kuat untuk melakukan perubahan.

Saya yakin, agama tidak bicara soal eskatologi an sich. Tapi lebih jauh juga berbicara (baca: mengajarkan) soal-soal kemanusiaan yang profan. Dan ghalibnya agama-agama mempunyai spirit teologis dalam melawan kemunkaran dan menegakkan kebajikan. Peristiwa ‘exodus’, misalnya, dalam perjanjian lama diyakini umat Kristiani mempunyai arti teologis yang mendalam. Peristiwa politik ini dimaknai sebagai ‘pendobrak penderitaan’ akibat hubungan antarmanusia dalam struktur lama (status quo) yang opresif dan menindas. Exsodus dapat diartikan longmarch, yaitu suatu desakralisasi terhadap praktek-praktek sosial yang tadinya menindas dan melegalkan perbudakan, diubah menjadi pola hidup manusia secara wajar: di mana setiap individu bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan nasibnya sendiri. Jadi, jika ada kesemena-menaan dan pembatasan kehendak individu yang menjurus pada tindakan opresif, semangat ini akan menyembul kepermukaan dengan sendirinya, kemudian berpostulat sebagai gerakan sosial untuk pembebasan.

‘Karbala’, misal lain, dalam tradisi Islam juga berdimensi mesianis. Karbala—terutama bagi kalangan Syi’ah—adalah sikap berani mati dan menantang maut demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Perjuangan keadilan melawan kemunkaran tersebut merupakan personifikasi perjuangan Husain (putra Ali bin Abi Tahalib) dalam menegakkan keadilan melawan kecongkakan dan keculasan Yazid (pemimpin bani Umayyah) di Karbala. Akhirnya, Husain kalah lalu disembelih oleh Yazid. Begitu pedihnya perjuangan, apapun harus dipertaruhkan termasuk nyawa demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat secara luas. Sikap senantiasa siap menjadi ‘martir’ adalah efek yang luar biasa dari Karbala. Tentunya masih banyak contoh lain dari tradisi keagamaan yang mampu menggelorakan semangat juang dan membangkitkan imajinasi dalam gerakan neo-mesianisme.

Gerakan ini sampai kapanpun memimpikan dunia baru, negeri gemah ripah lohjinawi, toto tentrem kerto raharjo, di masa depan. Mungkin mimpi itu hanya remang-remang bagi generasi sekarang, tapi emosi juang dan aspirasinya akan selalu menjadi daya gerak yang kuat dalam pembentukan sejarah.

Neo-Mesianisme, Teologi Pembebasan ala Indonesia
Amerika Latin tak lain merupakan embrio awal gerakan teologi pembebasan. Teologi pembebasan ala Gustavo Merino Gutierez ini mengembangkan dua gagasan (A theology of Liberation: History, Politic and Salvation, 1974). Pertama, gagasan soal sekularitas dunia. Maksudnya, desakralisasi dunia dari perlindungan dan perwalian agama. Berarti, selaku orang beragama seyogyanya sadar akan tugas dan kedudukan dirinya dalam proses sejarah, yaitu sebagai agen dari peruabahan sosial. Diri manusia juga merdeka penuh dalam menentukan nasibnya. Kedua, gagasan keselamatan. Gagasan ini menyadarkan akan adanya ‘panggilan keselamatan’ terhadap kemanusiaan yang satu dan hidup di dunia yang satu pula. Doktrin keselamatan Kristiani ini dijadikan tugas luhur menolong dan membela sesama manusia dalam memperjuangkan keadialan, dengan tanpa pandang ‘bulu’ dan simbol-simbol yang lain (beyond the symbols).

Pertanyaannya, apakah perbedaan teologi pembebasan ala Gutierez dengan gerakan neo-mesianisme? Sepintas memang sama, yaitu sama-sama menjadikan agama sebagai elan vital, yang melayani ummat dalam konteks pembebasan. Tapi, sejatinya ada perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya.

Pertama, kerangka epistemologis gerakan. Teologi pembebasan berasal dari doktrin Tuhan atau ajaran agama secara “universal” yang ditasirkan menjadi doktrin revolusioner. Ajaran ini bersumber dari teks-teks atau kitab suci agama. Misalnya, doktrin keselamatan, amar makruf nahi munkar, menegakakan keadilan, membela orang lemah, dan lain-lain. Sedangkan neo-mesianisme berakar pada tradisi-tradisi agama. Maksudnya, doktrin pembebasan tidak diperoleh secara langsung dari kitab suci, tapi melalui kultur religiutsitas “lokal” masyarakat. Umat Islam di Jawa (baca: Islam Kejawen), misalnya, punya tradisi ‘Syuroan’. Tradisi ini berlangsung tiap tanggal 10 Muharram untuk mengenang syahid-nya sayyidina Husain di Karbala, yang biasanya dikemas dengan berbagai ritual ataupun ruwatan. Nah, tradisi semacam ini digunakan oleh gerakan neo-mesianisme seabagai ‘martir’ untuk melawan ketidakadilan.

Kedua, letak sentrum gerakan. Teologi pembebasan ghalibnya dimotori oleh kaum elit agamawan. Sebab, keterbatasan rakyat kecil (awam) dalam menerjemahkan dan menginterpretasikan ajaran agama secara mendalam dari teks kitab suci. Jadi motor penggeraknya adalah pendeta, pastur, ulama, biksu, dan elit-elit agamawan yang lain. Hal ini sebagaimana terjadi di Peru, Iran, Korea Selatan, Hongkong, dll. Sedangkan neo-mesianisme menjadikan masyarakat awam (wong cilik) sebagai sentrum pergerakan. Sebab, tradisi-tradisi keagamaan itu begitu melekat dalam emosional mereka, sesuai dengan gaya lokalitas masing-masing. Tinggal bagaimana pola tersebut kemudian diarahkan menjadi gerakan praksis di lapangan.

Meski bernafaskan ‘teologi-eskatologis’, hemat saya, gerakan neo-mesianisme berkarakter ‘sosial-futuristik’ yang di dalamnya terdapat ‘perjuangan kelas’. Yaitu gerakan sosial kelas tertindas melawan kelas penindas, dengan berbasis lokalitas tradisi agama. Walhasil, penulis berharap, gerakan ini setidaknya mampu memperkaya dan memperkuat gerakan civil society di akar rumput. []

Duta Masyarakat, Februari 2006. Aku lupa tanggal berapa tulisan ini dimuat.

19 Juli 711 M, Lembaran Baru di Spanyol

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sejak tahun 597 M, daratan Eropa dikuasai oleh bangsa Gotic, bangsa barbar dari Jerman, Eropa Timur. Penguasa terakhirnya adalah raja Roderick, penguasa kerajaan Visigoth di Andalusia, kini disebut Spanyol. Ia dikenal sebagai raja yang kejam, sadis, dan otoriter. Akibatnya: kondisi sosial, politik, dan ekonomi negara yang terletak di Eropa Barat Daya itu tidak menentu.

Di tengah carut-marut itu, sebagian besar penduduk yang beragama Kristen dan Yahudi mengungsi ke daratan Afrika. Kala itu, Afrika adalah daerah yang terkenal makmur dan menjunjung semangat toleransi yang tinggi. Karena itu, mereka dapat berteduh serta mendapatkan keamanan dan ketentraman hidup di tanah nenek moyang sahabat Nabi yang berdarah Negro itu, Bilal bin Rabah.

Dari sekian banyak pengungsi, ada yang bernama Julian. Ia adalah Gubernur Ceuta, daerah di Andalusia, yang putrinya, Florida, telah dinodai oleh Roderick. Karena tak kuasa melawan, ia memohon kepada Musa bin Nushair, Gubernur Afrika Utara untuk membebaskan negerinya dari cengkraman raja yang culas itu.

Atas persetujuan Al-Walid bin Abdul Malik, Khalifah keenam Bani Umayyah yang berkedudukan di Damaskus (kini Syiria), Musa bin Nushair memerintahkan Thariq bin Ziyad untuk memimpin 7.000 pasukan menuju Andalusia. Thariq adalah budak yang dimerdekakan oleh Musa bin Nushair, kemudian masuk Islam dan dipercaya sebagai panglima perang.

Tanggal 3 Mei 711 M, Thariq menyeberangi selat Andalusia dengan kapal, kurang lebih sejauh 13 mil. Setelah mendarat, Thariq mengumpulkan seluruh pasukannya di atas sebuah bukit karang, tingginya 425 m dari permukaan laut. Kini bukit itu dinamai Jibraltar atau Jabal Thariq (bukit Thariq).

Di tempat ini Thariq memerintahkan pasukannya untuk membakar seluruh kapal yang mereka gunakan. Lalu ia berseru, “Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan: menaklukkan negeri ini lalu tinggal di sini, atau kita semua akan binasa.”

Seruan itulah yang membakar darah juang pasukan Thariq. Terbukti, pada hari Ahad, 28 Ramadhan atau 19 Juli 711 M, Thariq berhasil melumpuhkan pasukan musuh yang berjumlah 25.000 orang, dan menancapkan panji-panji keadilan di bumi Andalusia.

Peristiwa ini merupakan pintu awal berkembangnya peradaban Islam di Spanyol, dan Eropa pada umumnya. Negeri ini, kala itu, telah melahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka. Semisal, Al-Zahrawi: pencetus teknik operasi di dunia kedokteran, Al-Zarqalli: penemu alat pengukur jarak bintang dari horison bumi, Ibnu Rusyd: pemikir yang membangun relasi antara ilmu pengetahuan-agama-etika, dan lain-lain. Pemerintahan Islam di wilayah ini mampu bertahan selama 8 abad. [AUM/Kotasantri]

Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

Kekerasan Terpuji dan Kekerasan Tercela

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Kendati mulanya tidak percaya hukum, kini FPI dan FBR mulai menggunakan jalur-jalur hukum. Betulkah ada sinyal-sinyal tobat dari aksi kekerasan?


Gugatan itu tercatat dengan nomor 3268/K/IX/2005/SPK Unit III tertanggal 22 September 2005. Tidak seperti biasanya memang. Respon FPI dalam kasus foto bugil
Anjasmara di pameran seni rupa CP Biennale 2005 itu tidak menggunakan kekerasan. Tapi dengan somasi.

Mungkin saat itu adalah hari baik bagi aktor pemeran Si Cecep ini. “Untung saja dia tidak langsung digrebek atau dihujani pentungan oleh lasykar FPI,” kelakar pengamat Intelijen Wawan H. Purwanto saat ditemui Syir’ah di Plaza Kalibata Jakarta Selatan. Pameran yang bertajuk Urban/Culture itu digelar di Museum Bank Indonesia Jakarta. Sedianya, pameran ini berlangsung selama satu bulan, mulai dari 5 September-6 Oktober, tapi karena ada masalah jadi terpaksa distop di tengah jalan.

Foto yang menjadi sumber masalah itu adalah hasil kolaborasi karya pelukis Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar, dengan mengangkat tema Adam dan Hawa di Taman Eden. Dalam foto itu, Anjas yang berperan sebagai Adam tidak sendirian. Ia ditemani Hawa, yang diperankan oleh model jelita Isabela Yahya.

Saat mendatangi Polda Metro Jaya, Jakfar tidak sendirian. Selain bersama-sama puluhan lasykar, ia juga didampingi penasihat hukum FPI Amir Jusuf Ali SH. Ia menandaskan, visualisasi Nabi dengan foto telanjang telah menyesatkan dan menghina umat Islam karena Adam adalah Nabi pertama yang digelari alaihi al-salam, jaminan keselamatan dari Allah. Selain Anjas, FPI juga melaporkan Isabele, Dafy Linggar, dan penyelenggara pameran.

Kasus ini tidak berbuntut panjang, semuanya telah dibereskan melalui jalur hukum. Pada tanggal 13 Pebruari 2006, kuasa hukum FPI Sugito SH telah mengirimkan surat pencabutan gugatan ke Direktorat Reserse Kriminal Polda Metro Jaya bernomor 307/BHFPI/U/II/2006.

Mekanisme hukum seperti ini juga pernah ditempuh FPI saat bersitegang dengan majalah Playboy, tapi tidak semulus kasus FPI-Anjas. Bulan oktober 2005, sekelompok anak muda gaul dan enerjik menemui ketua FPI Habib Riziq di suatu tempat dekat seketariat FPI di Petamburan Jakarta Timur. Mereka ingin berkonsultasi secara baik-baik tentang rencananya untuk menerbitkan majalah Playboy.

Rizieq memberikan dua saran, tentang nama dan isi majalah. Soal nama, ia menganjurkan mereka agar tidak menggunakan nama Playboy karena konotasinya tidak bisa dipisahkan dari unsur pornografi. Sedang terkait dengan isi, Rizieq menganjurkan penggagas Playboy yang terdiri atas para anak muda berusia antara 20 hingga 30 tahun itu untuk tetap menjunjung tinggi norma-norma agama.

Tampaknya saran itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tanggal 6 April lalu, Playboy tetap terbit tanpa ada perubahan nama dan isi. Rizieq pun geram. Nasehatnya tidak digubris. Selang seminggu, Riziq menggerakkan ratusan massa FPI ke arah Maskas Besar Polri. Di tempat itu, ia mengadukan sembilan orang kepada polisi. Mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam produksi Playboy Indonesia plus 26 perusahaan yang beriklan di majalah itu ke polisi.

Krak.. krak.. krak.! Di depan kamera para wartawan, Rizieq geram lalu menyobek majalah itu berkali-kali. “Ini majalah laknat.” Begitu teriaknya.

Matahari telah bergeser, sudah tidak tepat di atas kepala lagi. Massa bergerak ke Kejaksaan Agung, lalu menerangsek ke Jalan TB Simatupang Cilandak Jakarta Selatan. Begitu pas di depan kantor Playboy di gedung ASEAN Aceh Fertilizer (AAF), massa tak kuat menahan emosi. Tiba-tiba.. prang..!! tar.., prang..!! dar.. dar.. dar.. Batu-batu itu beterbangan dari kerumunan ratusan massa menghantam kaca gedung APP.

Para karyawan yang sebagian besar wanita itu tampak ketakutan. Diam-diam, sambil mengendap-endap, mereka meninggalkan Gedung AAF lewat pintu belakang. Untung saja tidak ada yang memergoki. Aksi pengerusakan ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar 20 menit. Setelah kaca-kaca gedung itu pada remuk, lasykar-lasykar itu membubarkan diri.

Kekerasan lagi.. kekerasan lagi.. Nampaknya, organisasi yang telah tersebar di 24 profinsi ini tidak punya niat untuk menjadi ormas yang baik-baik dan bertobat dari aksi-aksi kekerasan. Bagaimana sebenarnya fenomena ini?

“Lho.. anda jangan salah pengertian,” sela Ahmad Shabri Lubis. Kekerasan itu ada dua, kekerasan terpuji dan kekerasan tercela. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI adalah kekerasan terpuji. Sebab, dalam rangka nahi munkar, mencegah kemungkaran.

Ia mengaku meniru kelakuan Rasulullah Muhammad. Saat peristiwa Fathu Makkah Rasulullah pernah menghancurkan 365 berhala di sekitar Ka’bah. Nabi juga pernah memimpin perang sebanyak 28 kali untuk membela agama. “Apakah ini dinamakan kekerasan?” tanyanya balik. Inilah yang dimaksud dengan kekerasan terpuji itu. Untuk membenarkan sikapnya, dia juga mengutip surat al-Taubah ayat 73. “Hai Nabi, lawanlah orang-orang kafir dan munafik itu, dan bersikaplah keras terhadap mereka.”

Selain FPI, Forum Betawi Rempug juga agak melunak belakangan ini. Sejauh mana keseriusan mereka? “Kita lihat saja nanti perkembangannya,” ujar mantan ketua umum PP Muhammadiyah A. Syafii Maarif .

Somasi berbalas somasi adalah kisah perseteruan ketua umum FBR Fadloli El Muhir dan Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Bermula dari talk show. Dialog yang digelar Metro TV 1 Mei lalu itu ternyata ada buntutnya. Pada acara itu, Fadloli berulang kali menyatakan, “Peserta pawai Bhineka Tunggal Ika pada 22 April 2006 sebagai perempuan iblis, bejat, dan perusak moral bangsa.” Mendengar ucapan itu, emosi mantan ibu negara Sinta Nuriyah sontak naik.

Merasa nama baiknya dicemarkan, Sinta pun mensomasi pria berdarah asli Betawi itu, 18 Mei lalu. Dalam waktu 3x24 jam, Sinta meminta Fadholi agar menarik pernyataannya dan meminta maaf. Tiga hari telah lewat, tapi tak ada perkembangan apa-apa. Somasi itu tak digubris. Karena tidak ada tanggapan, Sinta pun melaporkan pengasuh pesantren Ziyadatul Mubtadiin itu ke Polda Metro Jaya pada Senin 22 Mei. Fadloli dijerat dengan pasal 156 KUHP tentang penyebaran permusuhan dan kebencian atas ras, keturunan, dan agama.

Begitu tahu dirinya dilaporkan, mantan aktivis Himpunan Mahasisswa Islam ini akhirnya naik pitam juga. Ia pun merasa nama baiknya sebagai kiai dan ketua ormas dicemarkan oleh istri Abdurrahman Wahid itu. Ia pun bermaksud membalas.

Selang sehari, ormas yang berkantor di Wisma Nusantrara Kuningan ini melaporkan wanita kelahiran Jombang itu ke Polda Metropolita Jaya. Pelapornya adalah Sekretaris Korwil VIII FBR Ahmad Irsan. Dalam laporan bernomor LP 1942 itu dinyatakan, istri tokoh NU tersebut dinilai pelapor telah menghina dan mencemarkan nama baik Fadloli, seperti dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Terkait dengan laporan istri Gus Dur, pria yang juga wakil ketua Badan Musyawarah Betawi itu diminta hadir ke Polda Metro Jaya, Kamis 8 Juni lalu. Tapi, ia menampik panggilan itu. Para pengacaranya menilai, polisi tidak memiliki dasar memanggil kliennya. Sebab, Fadloli tidak melakukan tindak pidana. “Seharusnya polisi juga tidak menerima laporan dari Sinta karena laporan itu harus cukup bukti,” ujar Suhana Natawilwana, salah seorang kuasa hukum Fadholi.

Perbincangan somasi bak bola salju. Walhasil, 12 Juni lalu Fadloli datang ke markas Polda Metro Jaya untuk memenuhi panggilan polisi. Ia tidak sendirian. Ia bersama 2 pengacara, 3 saksi, dan 7 pengikutnya. “Kami dimintai keterangan atas laporan yang sebelumnya telah kami buat,” kata Pengacara FBR, Suhana Natawilana, di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta. Hingga kini perkara ini belum tuntas.

Hal serupa juga dilakukan FBR dalam kasus penghinaan al-Qur’an oleh mantan presiden RI Abdurrahman Wahid, 13 Juni lalu. Jam 10.15 WIB rombongan orang-orang dengan mengenakan pakaian serba putih dan bersorban tiba di Mabes Polri untuk menggugat Gus Dur. Selain bos FBR, juga ada perwakilan dari FPI, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Hizbit Tahrir Indonesia, serta kiai-kiai dari Jateng, Jatim dan Jabodetabek.

Mereka ditemui Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Pol Makbul Padmanegara di aula Bareskrim Mabes Polri. Gugatan ini adalah reaksi atas pernyataan Gus Dur pada acara Kongkow Bareng Gus Dur di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, yang mengudara saban Sabtu pukul 10.00 sampai 12.00 WIB, lalu ditulis di situs Jaringan Islam Liberal dan dimuat kembali oleh koran Duta Masyarakat 6 April 2006. Saat itu Gus Dur berkelakar. “Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Al-Qur’an, ha-ha-ha…,” ia tertawa terkekeh-kekeh.

Soal ini, Syir’ah bertanya kepada Fadloli. Mengapa dalam kasus Sinta Nuriah dan Gus Dur, FBR cenderung tidak anarkis? “Jangan salah sangka, FBR itu tidak selalu pakai cara-cara kekeran,” tegas Fadloli. Dalam bertindak, FBR menggunakan dua tahapan. Pertama FBR melalui jalur hukum. Tapi, jika jalur ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, atau bertolak belakang dengan kenyataan dan keadilan, maka tidak ada jalan lain kecuali menggunakan cara kedua, dengan kekuatan massa.

Wakil penasehat pusat pengurus Pencak Silat Putra Setia ini yakin, FBR tidak pernah melakukan tindakan anarkis, tapi hanya sekadar menghajar orang-orang yang pro kezaliman. “Dalam penegakan kebenaran, tidak dikenal istilah anarkis.”

Khusus untuk menghadapi orang-orang semisal Gus Dur dan Sinta Nuriyah, yang kita lawan adalah pemikirannya bukan fisiknya. “Gimana kita lawan Gus Dur secara fisik, dia kagak bisa ngeliat... Begitu juga dengan Sinta, kalau pakai fisik kagak mungkin.. kan orangnya uda gempor...,” cetusnya enteng dengan logat Betawi. []

Tulisan ini adalah tulisan awal saya sebelum diedit oleh Redaksi Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

"Polisi Swasta" di "Negeri Barbar"

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Aneh tapi nyata. Semua agama bermuara pada satu tujuan, perdamaian. Tapi, atas nama agama pula telah terjadi begitu banyak aksi kekerasan.


Allâhu akbar..! prang..ng..!!! Allâhu akbar..! tar.r..r..!!! Gemuruh dan suara sahut-menyahut takbir itu memecah keheningan sepanjang Jl. Latuharhari Jakarta, lima tahun silam. Percis suasana jamaah haji saat adegan lontar Jumrah di Mina Makkah. Ada kerumunan massa berpakaian serba putih dan mereka melemparkan batu ke arah yang sama. Bedanya, mereka ini tidak menyandang pakaian ihram dan sasaran lontarnya adalah kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (komnas HAM).

Hampir tidak ada kaca yang tersisa di gedung itu. Semuanya luluhlantak. Mulai dari jendela lantai satu dan dua, lampu-lampu taman, serta pos pengamanan depan. Lasykar-lasykar itu datang dengan mengendarai tiga truk, beberapa mobil bak terbuka, serta puluhan sepeda motor. Begitu sampai di depan kantor komnas HAM, tanpa ba bi bu mereka langsung turun dari kendaraan, dan menghajar gedung bercat putih dan berkaca riben hitam itu.

“FPI menuntut agar Komnas HAM dibubarkan,” tegas Alwi Usman, wakil kepala staf laskar FPI kepada wartawan. Dari Komnas HAM, mereka meluncur ke kantor Kepolisian Sektor Mampang. Lalu mampir ke Kafe Jimbani.

Lho FPI kok nongkrong di kafe? Bukan begitu. Lasykar-lasykar itu mengobrak-abrik bagian luar dan dalam kafe yang terletak di Jalan Kemang Raya Jakarta Selatan itu. Lalu, mereka juga merusak belasan papan iklan Bir Bintang atau Anker Bir yang mereka temui di sepanjang Jalan Wijaya I Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Sekali dayung, dua sampai tiga pulau terlampaui. Begitu kata pepatah yang sesuai dengan rentetan aksi FPI ini. Dari tahun ke tahun, sejak berdirinya 1998, FPI tak lekang dari aksi-aksi semacam ini.

Misal, dua tahun silam, Lasykar FPI menyerbu dan merusakkan pintu gerbang depan pekarangan Sekolah Katolik Sang Timur Tangerang Banten. Mereka datang sambil mengacung-acungkan senjata, berteriak-teriak, dan memerintahkan para Suster agar menutup sekolah Sang Timur. Baru-baru ini, akhir Mei lalu lasykar FPI Bekasi merusak warung remang-remang di Kampung Kresek Jatisampurna Bekasi. Dengan modal senjata pentungan kayu, mereka mengobrak-abrik sebelas warung. Saat petugas keamanan setempat berusaha menghadang penyerangan itu, mereka malah ditantang.

Ahamad Syafii Maarif mantan ketua umum PP Muhammadiyah muak melihat tingkah organisasi kemasyarakatan (ormas) model begini. Apalagi tindakan mereka mengaku-ngaku berlandaskan perintah agama. Ia menjuluki mereka sebagai “preman berjubah”. Kostumnya boleh pakai jubah dan berpeci putih, tapi kelakuannya percis preman: suka berantem, egois, dan merasa paling berkuasa.

Sedang jika mereka bertindak dengan mengatasnamakan membantu aparat kepolisian karena dianggap lamban dalam bertindak, ia menjulukinya sebagai “polisi swasta” yang kerjaannya main hakim sendiri. Begitulah tutur pria yang kini menjabat sebagai direktur eksekutif Maarif Institute ini.

Gara-gara tindakan yang selalu main hakim sendiri itu, ketua umum FPI Habib Rizieq kena getahnya. Tanggal 11 Agustus 2003, ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan hukuman tujuh bulan penjara. Bukti kuat kesalahan Rizieq adalah adanya surat tertanggal 5 Mei 2000 yang ditandatanganinya selaku ketua umum. Dalam surat itu, tertulis instruksi yang ditujukan pada seluruh anggota FPI untuk melakukan gerakan anti maksiat dengan menutup dan memusnahkan tempat maksiat.

Nasib sama juga dialami amir Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir. Tanggal 3 Maret tahun kemarin, ia dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom tahun 2002 di Bali, yang memakan korban sedikitnya 202 orang meninggal dan 209 orang cedera. Ia didakwa sebagai pemimpin besar Jama’ah Islamiyah (JI) yang memotivasi sejumlah pemboman di tanah air. Karena itu, ia dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan (30 bulan) penjara. Dan baru tanggal 14 Juni lalu, ia dibebaskan.

Jama’ah Islamiyah ini berdiri sekitar Januari 1993, setelah organisasi Negara Islam Indonesia (NII) atau DI/TII pecah. Tokoh gerakan NII Abdullah Sungkar bersama Ba’asyir pernah melarikan diri ke Malaysia, Februari 1985. Pada saat itulah mereka mulai merintis JI. Menurut pengakuan salah seorang mantan pimpinan JI Nasir Abbas yang juga veteran pejuang Afganistan, Sungkar adalah pemimpin besar JI sebelum Abu Bakar Ba'asyir.

Hingga kini, keberadaan organisasi ini terbilang masih misterius. Orang-orang JI disinyalir punya hubungan dekat dengan kelompok Al-Qaeda pimpinan Osamah bin Laden di Afganistan.

Ormas MMI yang juga dikepalai oleh Ba’asyir tidak jarang terlibat dengan aksi-aksi kekerasan. MMI tercatat, antara lain, pernah terlibat konflik antar-agama di Ambon. Joko Wibowo alias Abu Sayaf, yang Januari lalu ditangkap oleh tim Detasemen 88 Antiteror, adalah anggota Laskar Mujahidin yang pernah dikirim ke Ambon pada tahun 2000 lalu. Selain itu, belakangan ini MMI juga melakukan sweeping majalah Playboy di sejumlah toko buku di solo dan penyegelan Fahmina Institute di Cirebon.

Nama ormas, selain FPI dan MMI, yang pernah disebut presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono suka main kekerasan adalah Forum Betawi Rempug (FBR). Demikian seperti dikutip oleh Sekjen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Sonny T. Danaparamita usai bertemu presiden di istana negara kepada wartawan.

Belum lama ini, Pebruari tahun lalu, puluhan orang berseragam FBR mengkroyok pedagang Pasar Senen Jakarta Pusat. Korbannya bernama Waridin, salah seorang pedagang. Insiden ini bermula dari salah paham urusan jual beli. Terus berkembang pada cekcok dan adu fisik. Adu jotos itu terjadi pagi hari antara pedagang dengan tiga anggota FBR.

Karena tidak ingin berlarut-larut, si pedagang itu ingin menyelesaiakan permasalahan secara damai. Tapi, sore harinya sekitar 30 orang berseragam FBR datang lagi. Dan .. tiba-tiba Praa..a..k.!! pukulan-pukulan maut itu mendarat di kepala Waridin. Selain itu, tangannya juga tertusuk benda tajam cukup dalam dan parah. Akibatnya, salah satu otot lengan kanannya putus, sehingga jari tengah tangan kanannya tidak bisa digerakkan ke atas.

Aisul Yanto, warga masyarakat Ciledug Jakarta ini punya pengalaman pribadi dengan organisasi yang bermula dari kumpulan majlis taklim ini. Bulan Maret lalu, ia sedang menggelar pameran tepat di samping kantor Akademi Jakarta (AJ) di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Saat itu, ia duduk bersandar dinding di samping lukisan-lukisan karyanya. Namun, sontak ia terperanjat. Ratusan orang bergerombol sambil berteriak-teriak menerangsek ke arahnya. “Bakar Akademi Jakarta... bakar sarang anjing-anjing Zionis itu...”. Begitu koar-koar yang sempat mampir di telinganya.

FBR kecewa dengan hasil pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta yang digelar oleh AJ. Mereka ingin mengobrak-abrik kantor AJ dan sekitarnya. Aisul pun geram. “Hei jangan ngawur kalian! Ini lagi ada pameran lukisan, awas kalau ada lukisan yang rusak!” ancam Aisul sambil memegangi tangan salah satu anggota FBR yang sudah menyentuh lukisannya.

Untung, FBR tidak jadi mengobrak-abrik AJ dan segera menarik diri. Hanya pot bunga saja yang dipecah dan kantor AJ disegel silang dengan kayu. Akhirnya, massa bergerak di depan gedung bioskop 21 TIM dan merusak kantor Dewan Kesenian Jakarta. “Saya baru ngeh, ternyata mereka benar-benar preman,” tambahnya.

Nada ini juga disuarakan oleh Iwan Nuryan pekerja wiraswasta yang tinggal di Ciampelas Bandung. Ia tidak setuju dengan aksi-aksi kekerasan yang liar. “Mereka semua harus segera ditertibkan,” usulnya.

Di tengah stigma miring terharap ormas-ormas itu, Ngadimen punya pendapat berbeda. Warga Ciputat Tangerang yang biasa jualan mie pangsit ini mendukung langkah FPI cs. “Siapa yang berani memberangus kemaksiatan dan orang-orang mendem (mabok) di jalanan kalau bukan FPI,” ujarnya. Menurut pengakuannya, saat jualan ia sering dipalakin preman yang lagi mabok. Nah, “Kalau ada FPI kan kita jadi aman,” katanya sambil terkekeh.

Meski begitu, ia mengaku sedikit kecewa dengan FPI. Ia pernah menyaksikan lasykar FPI membubarkan secara brutal acara Dangdutan yang digelar warga kampung Ciputat Molek Tangerang, dua tahun lalu. “FPI seharusnya tidak sekasar itu..., masak kita nggak boleh goyang-goyang dikit, joged kan gak pa pa buat refresing,” katanya.

Bagi Buya Syafii, panggilan Syafii Maarif, tindakan ormas yang mengandalkan fisik dengan legitimasi dalil-dalil al-Qur’an dan hadits justeru akan ‘membunuh’ masa depan Islam. Pria berdarah Sumatera Barat ini juga mengamati perubahan orientasi dalam ormas-ormas itu.

Ormas yang dulu dikenal garang dan selalu melakukan kekerasan kini mulai menggunakan cara-cara lembut. Misal: saat merespon pernyataan Gus Dur, al-Qur’an itu kitab porno. FPI bersama FBR, MMI, dan HTI berbondong-bondong mengadukan Gus Dur ke Polri. Selain itu, saat menyikapi kasus logo yang dipakai grub band Dewa dan juga kasus foto bugil Anjasmara, FPI menggunakan jurus somasi.

FBR dan MMI pun demikian. Baru-baru ini, Fadloli bersedia mendatangi markas Polda Metro Jaya untuk diperiksa, terkait dengan ‘somasi balik’ yang diajukan kepada Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Yang juga menarik adalah respon MMI atas pro-kontra di masyarakat soal RUU APP. MMI dengan jitu mengirimkan somasi kepada Gubernur Bali dan menyampaikan legal opinion kepada Pansus RUU APP.

Syafii Maarif kembali berkomentar. Lama-kelamaan mereka juga sadar dan letih dengan kekerasan yang selama ini mereka agung-agugkan. Sebab, Aksi-aksi kekerasan pasti akan bertemu pada satu muara, kegagalan.

Bahkan, Shabri Lubis juga menyadari, di FPI memang ada penyesuain kira-kira sejak dua tahun terakhir ini. “FPI tidak lagi menekankan pada metode perjuangan melalui gerakan massa dan kelaskaran,” paparnya.

Pengamat Intelijen Wawan H. Purwanto menyambut positif perubahan itu. Harus berubah memang. Jika tidak, mereka akan mudah disusupi oleh kepentingan pihak ketiga atau oknum. Jadi, perbuatan mereka tidak murni lagi. “Kalau sudah tidak murni berarti ada kelompok yang berkepentingan, bila ada kelompok yang berkepentingan pasti ada benturan kepentingan, dan jika ada benturan kepentingan maka yang terjadi adalah aksi-aksi anarkisme,” tuturnya.

Karena itu, bila masyarakat tidak percaya dengan hukum dan masih saja suka main hakim sendiri, maka negeri ini akan menjadi ‘negeri barbar’, yang kuat menindas yang lemah. Bahkan dia memprediksi, dalam jangka panjang negeri ini akan dikuasai oleh kelompok-kelompok ‘geng’, seperti yang kini terjadi di Brazil. []

Tulisan ini adalah tulisan awal saya sebelum diedit oleh Redaksi Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

Allah Memberi "Bunga" Kepada Ali

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Beberapa tahun lalu umat Islam pernah disibukkan soal pro-kontra ‘bunga bank’. Satu pihak menghukumi boleh (mubah), pihak yang lain justru mengharamkannya. Entah mana yang lebih benar. Ya.. perbedaan pendapat itu kan wajar dalam Islam. Nabi bilang, “Ikhtilafu ummati rahmatun,” perbedaan adalah rahmat.

Di sini tidak bermaksud untuk mengorek-ngorek soal lama itu, apalagi terlibat dukung-mendukung pendapat. Sama sekali tidak. Berikut ini hanyalah penggalan kisah yang pernah terjad di zaman Rasulullah saw. yang terkait dengan ‘bunga pinjaman’ uang, seperti dirilis dalam Al-Mawa'izh al-Ushfuriyah karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfuri.

Alkisah, istri Ali bin Abi Thalib Fatimah sedang memintal bulu-bulu domba untuk ditenun. Beberapa saat kemudian, Ali datang dari rumah baginda Rasulullah.

“Adakah makanan yang bisa saya makan, wahai wanita mulia?” tanyanya kepada Fatimah.
“Demi Allah aku tak memiliki apa-apa. Hanya ada uang enam dirham, yang sebenarnya akan saya belikan makanan untuk anak-anak: Hasan dan Husain.”
“Ya udah, mana uang itu. Biar saya yang membelikannya.”

Begitu Fatimah memberikan uang, Ali langsung ngacir keluar rumah untuk membeli makanan. Di tengah perjalanan, Ali ketemu dengan seorang pengemis.“Ya tuan, kasihanilah kami, semoga Allah membalas kebaikan tuan,” rintih pengemis itu.

Karena iba dan niat tulus untuk menolong, Ali memberikan seluruh duit yang dipegangnya. Lalu, Ali pulang dengan tangan hampa. Ketika Fatimah tahu suaminya tidak membawa pulang makanan, ia menangis.
“Mengapa engkau pulang tanpa membawa apa-apa?” tanyanya sambil sesenggukan.
“Wahai wanita mulia, saya telah memberikan uang itu kepada pengemis.”
“Baiklah kalau begitu,” Fatimah mengangguk.

Ali kemudian bermaksud keluar untuk menemui Rasulullah. Tapi, tiba-tiba ada orang menuntun unta.
“Ya Abu Hasan—panggilan lain Ali—belilah unta ini,” tawarnya
“Saya tidak punya duit,” jawab Ali.
“Gampang itu.. uangnya bisa belakangan..”
“Berapa kau jual.”
“Seratus dirham.”
“Baiklah, saya beli.”

Selang beberapa langkah, ada orang lain yang menemui Ali. Lalu menawar unta yang barus saja dibelinya itu.
“Berapa kau jual unta itu?”
“Tiga ratus dirham,” jawab Ali.
“Baiklah.” Orang itu memberikan uangnya lalu membawa unta itu.

Ali melanjutkan perjalanan menemui Rasulullah di masjid. Ia bercerita kepada Nabi tentang peristiwa yang baru saja dialami. Kemudian Nabi bersabda:
“Berbahagialah engkau, Ali. Engkau telah meminjamkan uangmu kepada Allah. Kemudian Allah telah memberikan ‘bunga pinjaman’: tiap satu dirham menjadi 50 dirham.”

Memberi harta kepada orang yang membutuhkan, dalam Islam, itu ibarat meminjamkan harta kepada Allah. Lain kali... Allah pasti mengembalikannya plus ‘bunga pinjaman’.[]

Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

Menembus Sekat-sekat Islam dan Hindu

Dunia sufi adalah dunia keseimbangan. Spiritualisme dan intelektualisme merupakan perantara ampuh untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dara Sikhoh telah membuktikan itu.


Oleh Abdullah Ubaid Matraji

“Siapakah nanti yang akan menggantikan singgasanaku ini?” pikir Shah Jehan suatu ketika. Ia adalah raja kesohor penguasa kerajaan Mughal di India. Hingga kini, peninggalannya menjadi salah satu keajaiban dunia, Taj Mahal. Wajar jika ia berpikiran demikian, ia memang belum dikaruniai anak dari istri tercinta Mumtaz Mahal.

Karena itu, ia berkeinginan dikaruniai Allah seorang putra sebagai penerus kerajaan. Hasrat yang menggebu-gebu itu mendorongnya untuk aktif berziarah serta berdoa, bertawasul mencari berkah, ke makam seorang sufi besar Hazrat Moinuddin Christi di Ajmer India.

Usaha keras itu akhirnya berbuntut sukses. Tahun 1615 M ia dikarunia seorang putra. Hari itu adalah hari yang paling bahagia dalam hidup Sheh Jehan. Ia sengaja membagi kebahagiaan itu kepada pegawai kerajaan dan rakyat-rakyatnya. Di Delhi ibu kota kerajaan, raja secara spesial menggelar acara perayaan atau tasyakuran akbar untuk menyambut kelahiran putranya.

Sang pangeran itu adalah Dara Shikoh. Nama ini berasal dari bahasa Persia Dârâ Syikûh, artinya penguasa kemuliaan. Sejak kecil, ia dikenal sebagai putra raja yang alim. Cocok dengan namanya. Ia pun belajar agama dari tokoh-tokoh agama yang tersohor di negara itu. Pelajaran yang ditekuni adalah al-Quran, sastra Persia, dan sejarah. Dari sekian guru-gurunya, yang paling berpengaruh yaitu Mullah Abdul Latif Saharanpuri. Dialah yang mengantarkan Dara berkenalan dengan khazanah sufisme dalam tradisi agama-agama.

Bagi Dara, Abdul Latif adalah guru yang membetot kesadaran dan memompa adrenalinnya untuk terus belajar dan bersemangat dalam mengarungi samudra ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya ia jatuh cinta dan menaruh perhatian pada kajian-kajian sufistik, bahkan banyak berhubungan secara langsung dengan pakar-pakar ilmu tasawuf dari agama Islam dan Hindu.

Antara lain: Shah Muhibullah, Shah Dilruba, Shah Muhammad Lisanullah Rostaki, Baba Lal Das Bairaqi, dan Jagannath Mishra. Diantara tokoh-tokoh ini, yang paling digandrunginya adalah Hazrat Miyan Mir, seorang sufi Qadiriyah dari Lahore India. Tokoh ini dikenal sebagai pembangun pondasi The Golden Temple atau Kuil Emas di Amritsar Punjab India.

Kuil ini adalah kuil terbesar milik kaum Sikh di India. Kaum Sikh adalah kaum yang menganut agama Sikh, agama yang muncul sekitar lima abad lalu. Berbeda dengan agama Hindu, Sikh tidak mempercayai banyak dewa, melainkan hanya satu Tuhan yang ucapan-ucapan-Nya disampaikan oleh orang suci yang disebut sebagai Guru.

Bersentuhan dengan Miyan Mir, membuat Dara kian ketagihan dengan ilmu tasawuf. Ia pun kemudian bergabung dengan kelompok sufi tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dikembangkan, bahkan ada yang berpendapat didirikan, oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M). Komunitas ini adalah kawah candradimuka atau tempat pergulatan intelektual Dara Shikoh. Ia tumbuh dan berkembang menjadi sosok sufi yang tidak hanya terlena dengan keagungan Tuhan, ia menjadi pemikir yang haus ilmu pengetahuan.

Sufi yang Produktif
Menginjak usia 25 tahun, Dara meluncurkan buku Safînah al-Auliyâ, perahu para wali. Dalam buku perdananya itu, ia menekankan pentingnya ‘petunjuk’ dalam lelakon ajaran-ajaran sufi.

Ia meyakini, seseorang itu dapat memperoleh pengetahuan tasawuf hanya lewat bimbingan guru spiritual. “Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya tanpa pembimbing. Karenanya, setelah Nabi, tidak ada lagi orang yang dekat dengan Tuhan kecuali para wali.”

Buku kedua karyanya adalah Sakînah al-Auliyâ, ketentraman para wali. Di sini ia banyak berbicara seputar kelompok tarekat Qadiriyah di India. “Tidak ada yang menarik saya melibihi Qadiriyah, yang memenuhi semua aspirasi spiritual saya,” katanya. Karya ini dirampungkan Dara saat berusia 28 tahun.

Ia juga menulis Hasanah al-‘Ârifîn, aforisme atau teladan para mistikus. Dara mengupas 107 tokoh sufi dari berbagai kelompok spiritual. Pada sisi lain, ia mengkritik ulama-ulama egois yang hanya fokus pada ritual yang formalis. Para ulama saat itu banyak yang mempolitisasi agama demi kepentingan diri sendiri, kepentingan duniawi.

Lewat buku ini, dara ingin membuka kedok ‘kebohongan’ orang-orang yang berjubah agama, serta mereka yang kerap menjual-belikan fatwa untuk kepentingan kelompok tertentu atas nama agama. Dara menulis:
Semoga dunia terbebas dari kebisingan para ‘ulama’,
Tak ada seorangpun yang harus membayar untuk setiap fatwa!

Salah satu karyanya yang mengejutkan adalah koleksi puisi, yang berjudul Iksîr al-`Azam, eliksir atau obat ketetapan hati. Sajak-sajak berikut ini setidaknya menggambarkan pemikirannya tentang Tauhid, keesaan Tuhan.
Lihatlah di mana pun kamu melihat, semuanya adalah Dia
Wajah Tuhan ada di mana pun wajahmu kau hadapkan.

Apapun yang kau miliki, selain diriNya adalah obyek semata
Apapun selain dirinya memiliki keberadaan yang fana
Keberadaan Tuhan sebagaimana Lautan tak bertepi
Manusia ibarat busa dan gelombang di airNya

Pertemuan ‘Dua Lautan’
Pemikiran Dara yang cukup berpengaruh dan menyedot perhatian khalayak adalah tentang confluence of the two oceans, pertemuan ‘dua lautan’, Islam dan Hindu. Sebelum mengkaji agama Hindu, ia mempelajari bahasa Sanskerta, bahasa kitab suci agama Hindu Weda. Garis demarkasi atau jurang pemisah antara Islam dan Hindu, kala itu, memang begitu mencolok. Keduanya merasa paling benar sendiri dan menyalahkan satu sama lain. Itulah ibarat dari dua lautan yang dimaksud.

Ia menerjemahkan kitab-kitab induk agama Hindu, yaitu Bhagavad-Gita, Yoga Vasishtha, dan Upanisad. Terjemahan ini merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi pengembangan kajian-kajian spiritualitas dan filsafat Hindu di hari kemudian. Di antara ketiga kitab tersebut, Dara banyak menemukan hal-hal menarik di Upanishad.
Upanisad yaitu intisari filosofi dari kitab Weda. Suatu tema yang menonjol dalam kitab ini adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari kenyataan, diri manusia. Brahman adalah segi obyektif, makro-kosmos atau alam semesta. Upanisad mengajar bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa atau mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman. Konon, di masa silam diperkirakan ada 1008 karya Upanishad ini, namun kini tinggal beberapa saja.
Minat Dara untuk meneliti agama Hindu tidak tanggung-tanggung, ia menerjemahkan 52 Upanishad ke dalam Bahasa Persia. Ia menjelaskan, rahasia terbesar dalam Upanishad adalah pesan ke-esa-an Tuhan (monoteisme), yang identic dengan ajaran tauhid dalam al-Quran.

Pencarian pesan monoteisme dalam agama Hindu ini berawal dari keyakinan Dara pada al-Quran yang menyatakan, “Tuhan telah mengutus para Nabi sejak dahulu kepada setiap bangsa untuk menyembah hanya kepada-Nya.” (QS. 13: 7). Maka tak heran jika—dalam Sirr al-Akbar, rahasia agung—dia melihat kemungkinan, adanya tokoh Hindu yang sesungguhnya dia adalah Nabi, begitu pula dengan kitab suci Hindu juga berasal dari wahyu Tuhan.

Nah, hasil kajiannya ini ia tuangkan dalam buku berjudul Majma al-Bahrain, himpunan dua lautan. Tepatnya, saat ia berusia 42 tahun. Buku yang terdiri dari 22 bab ini merupakan klimaks dari pergolakan pemikiran sufistik di benak Dara.

Ia menemukan kesamaan konsep antara Hindu dan Islam dalam bingkai sufistik. Misal, Istilah Hindu tentang ‘mukti’, identik dengan konsep sufi Islam tentang ‘peleburan diri’ dalam Tuhan. Juga, konsep sufisme Islam tentang `isyq (Cinta), identik dengan maya pada monotheisme Hindu. Menurut Dara, dari cinta lahirlah Jiwa Agung: dalam tradisi Sufi dikenal sebagai Muhammad, dan dalam Hindu dikenal nama Mahatma atau Hiranyagarba.“Mistisme dalam Islam dan Hindu adalah seimbang,” tulisnya.

Jelas, Dara ingin menunjukkan keindentikan doktrin-doktrin Hindu dan Islam tentang tawhîd dalam buku tersebut. Ia juga memandang, bahwa kebijaksanaan terdalam dalam Upanisad dan al-Quran adalah sama, karena berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Baginya, Upanisad adalah kitab yang oleh al-Quran disebut sebagai sebuah kitab yang tersembunyi (Q 56: 78). Jadi ia adalah salah satu kitab suci yang harus diketahui oleh seorang Muslim, sebagaimana ia harus mengetahui Taurat, Zabur, dan Injil.
Dara Shikoh menulis, “Semua kitab suci, termasuk Weda, berasal dari satu sumber. Kitab-kitab suci itu adalah suatu komentar terhadap satu sama lain. Bahkan, kedatangan Islam tidak membatalkan kebenaran keagamaan yang terkandung dalam Weda atau menggantikan pencapaian-pencapaian orang-orang Hindu.”
Sayang sekali. Pada puncak perkembangan intelektualnya ia justru menjumpai batu sandungan. Tahun 1657 ayahnya terjangkit penyakit serius, sehingga tampuk kekuasaan harus segera berganti. Ini menjadi pemicu sengketa perebutan kekuasaan antara putra-putra Shah Jehan, Dara Shikoh dan adiknya, Aurangzeb.

Pertikaian ini berujung pada 8 Juni 1658, dan kemenangan ada di pihak Aurangzeb. Setelah berkuasa, Aurangzeb memfitnah kakak tertuanya itu, dengan tuduhan kafir dan pelaku bid`ah, akibat pikira-pikirannya yang dinilai nyeleneh atau ngawur itu. Dara akhirnya dieksekusi mati melalui keputusan pengadilan yang dikeluarkan adiknya sendiri tahun 1659, dan dikubur di komplek pemakaman kerajaan di Humayun Delhi India. [Dari berbagai sumber].

Syir'ah, Edisi 55, Juli 2006.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes