Friday, January 25, 2008

Membincang Multi-Tafsir Ahlussunnah wal Jamaah-nya NU

Kalau warga NU ditanya, “Islam model apakah yang anda ikuti?” Jawabnya pasti kompak, “Ya tentu, Islam sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah.” Lain halnya jika mereka disodorkan pertanyaan, “Ahlussunnah wal Jamaah itu apa?” Nahdliyyin yang satu dengan yang lain bisa dipastikan punya jawaban yang tidak satu. Memang, dekade belakangan ini, term Ahlussunnah wal Jamaah, yang disingkat Aswaja, di lingkungan NU tidak lagi berlaku tafsir tunggal, tapi berkembang sesuai dengan komunitas warganya. Nahdliyyin di lingkungan pesantren, dalam memaknai Aswaja, tidak menutup kemungkinan berbeda dengan kalangan akademisi NU, atau kiai-kiai yang aktif di struktural ataupun kultural, dan juga anak-anak muda yang dilahirkan dari “rahim” NU.

Aswaja pada periode awal NU, seperti dibakukan Hadratus Syeikh Hasyim Asyari dalam Qanun Asasi NU, mengacu pada Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi; dan madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, dalam ranah fikih; serta dua opsi yaitu al-Ghazali dan al-Junaidi dalam aras tasawuf. Inilah yang disebut dengan “Madzhab Ahlussunnah wal Jamaah”. Di samping itu, Mbah Hasyim juga menulis Risalah Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan penjabaran aswaja, mulai dari sejarah, bid’ah, sampai dengan amaliahnya. Karya Mbah Hasyim ini masih terbilang pengantar, dan belum cukup detil.

Untuk melangkapinya, KH Ali Maksum Krapyak tampil dengan karya Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kitab ini yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Mbah Maksum menjelaskan secara detail menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya. Karya ini seakan-akan menjadi karya jami`-mani` dalam diskursus aswaja di zamannya.

Tafsiran yang berbeda, dan lebih kontekstual, pernah digagas KH. Ahmad Shiddiq. Pada tahun 1969, kala menjabat sebagai Ketua Wilayah Partai NU Jawa Timur, ia menyusun konsep Metode Berfikir Nahdlatul Ulama. Ini bak standar maindset atau frame cara berpikir Nahdliyyin dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusan ini, dalam perkembangannya, tak sepopuler Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah­-nya Mbah Maksum.

Setelah masa itu, doktrin aswaja mengalami stagnasi atau “tidur panjang”. Tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahaminya. Bahkan, berkembang klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kental sempat melekat di kalangan pengikut aswaja. Keyakinan itu berdasarkan hadis yang mensuratkan bahwa satu-satunya golongan dalam Islam yang selamat adalah ahlussunnah wal jamaah. Hal ini membuat orang takut untuk memunculkan tafsiran baru aswaja dalam rangka merespon konteks kekinian.

Tak terduga, perdebatan aswaja kembali menyeruak justeru di penghujung abad 20, yang secara kebetulan atau tidak, berbarengan dengan atmosfir tradisi kritis yang merupakan pemanasan transisi pemerintahan orde baru ke orde paling baru yang disebut reformasi. Kala itu, wong NU dikejutkan KH. Said Aqil Siradj dengan gagasan aswaja sebagai “manhaj al-fikr” (metode berfikir) bukan sebagai madzhab. Sontak, riuh perdebatan aswaja kembali melesat di jagad NU. Bahkan, Kang Said waktu itu mengalami “pengadilan pemikiran” pada forum halaqah PBNU (1996), sebab ia dianggap “menabrak pagar” doktrin aswaja yang sudah mapan.

Usai peristiwa itu, interpretasi aswaja menggelinding bak bola salju. Berbagai halaqah, diskusi, seminar, dan lokakarya digelar di mana-mana untuk membincang kembali apa itu sebenarnya aswaja. Umpan Kang Said ini ternyata mendapat sambutan meriah di kalangan anak muda NU. Bagi kaum muda, manhaj al-fikr ini dapat dikembangkan menjadi rumusan doktrin teologis yang progresif-revolusioner yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Tapi, sayangnya, ide itu berkembang menjadi sangat abstrak dan tanpa koridor yang jelas. Siapapun berhak untuk menafsir dan memberikan interpretasi sesuai dengan kepentingannya dengan mengatasnamakan aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Prototipe dari kelompok anak muda ini akhirnya menjadi bias dan bercitra negatif (di sebagian kalangan NU), misalnya liberal, pro-Barat, sekuler, kiri, dan sebagainya. Karena itu, gagasan ini menjadi kontra-produktif jika dibiarkan, dan akan menemukan relevansinya jika diarahkan menjadi perbincangan yang konstruktif. Kalau memang aswaja itu menjadi manhaj al-fikr, kalau begitu harus ada konsep epistemologis yang jelas. Begitu juga harus dibarengi dengan rumusan metode berfikir, secara rigid dan teoritis, sebagai pisau analisa untuk menjawab berbagai persoalan kekinian dalam aspek kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Gagasan manhaj al-fikr tak sepenuhnya diamini. Beberapa tokoh NU juga menafsir aswaja dengan ritme berfikir, latar belakang, dan tujuan yang berbeda. Antara lain, KH. Ma’ruf Amin, KH. Tholhah Hasan, dan KH. Nuril Huda. Tentu masih banyak tokoh NU lain yang tidak mungkin semuanya disebutkan di sini. Bahkan belum lama ini, PWNU Jawa Timur merumuskan aswaja NU secara kolektif melalui Halaqah Khittah Nahdliyah. Hasilnya dirumuskan menjadi buku Ahlussunnah Waljamaah an-Nahdliyah yang ditulis oleh tim dengan pen-tashih KH. Miftachul Akhyar (Wakil Rais Syuriah) dan KH. Hasyim Abbas (Katib Syuriah). Buku ini mengulas berbagai masalah dari sudut pandang Aswaja an-Nahdliyah, seperti persoalan hukum, akidah, akhlak, sikap kemasyarakatan dan kebangsaan, sikap berbangsa dan bernegara, dan tradisi.

Kalau begitu, menyimpulkan aswaja ala NU ini bukan perkara mudah, terutama bagi kalangan pesantren yang tidak terlalu sering mengikuti gonjang-ganjing pemikiran di luar dunia pesantren. Beberapa pemikiran aswaja yang mengemuka di atas tak lain merupakan percikan-percikan lokal dan individual, yang tentu tidak etis jika mengklaim sebagai representatif dari genuine pemikiran aswaja NU. Yang ada hanyalah aswaja ala Mbah Maksum, ala Kang Said, ala Kiai Makruf, ala PWNU Jawa Timur, dan seterusnya. []

Monday, January 21, 2008

If I Had 1 Billion Rupiah

I want to buy a home in Jakarta City for my family so we can all live together. They live in a small village in East Java now. I will also build a society reading house in some villages to improve the society skills, based on their local basic needs, such as agriculture, home industry and plantations. Therefore, I need a lot of money to buy books and literature related to those studies. I believe this will increase cultural understanding between villagers and Indonesian societies. Of course, it will bring me happiness because civil education is one of my hobbies and part of my dreams. I am very glad to discuss or do something focused on civil education. So if I have an opportunity, I always spend time and money on that subject.

My challenge is how to manage money because I can't do it well. Generally I spend my money but forget what I spent it on. This is especially true when I meet my friends or help someone else. That's why people call me the philanthropist who doesn't keep track of his finances. [just writing]
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes