Tuesday, March 23, 2004

Politik Perempuan: Tersandung Mitos Geneologis

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Dibanding sebelumnya, Pemilu kali ini cukup membukakan gerbang oase politik perempuan. Tinggal bagaimana sepak terjang perempuan dalam memanfaatkan peran dan peluang tersebut. Jangan sampai perempuan—lagi-lagi—hanya dijadikan bulanan-bulanan oleh laki-laki. Konsekuensinya, quota 30 persen di legislatif yang dijanjikan dalam UU No. 12/2003 harus dapat menuntut adanya kesadaran partai-partai politik untuk memberikan hak politik kepada para pendukungnya yang perempuan.

Dan yang harus diperhatikan pasca perebutan kursi legislatif di Pemilu nanti adalah tatakala perempuan telah duduk di kursi legislatif. Jangan sampai keberadaan mereka hanyalah artifisial belaka. Makanya, harus difungsikan semaksimal mungkin agar tidak melenceng dari mainstream perjuangan perempuan.

Sebagai laki-laki, saya sangat membanggakan peran politik perempuan pada Pemilu 1999 dan 2004, yang sontak melesat jauh dibanding era-era sebelumnya. Semisal pada era demokrsi terpimpin, dari 10 parpol konstestan Pemilu hanya seorang perempuan yang menjabat di posisi ketua umum, yakni Hj. Ratu Aminah Hidayat sebagai pimipinan parpol IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Setelah itu tak seorang pun perempuan yang menduduki jabatan ketua umum atau sekjen parpol selama hampir 30 tahun-an.

Sekarang, mereka bukan sekedar menjadi caleg (calon legislatif), tapi mereka juga menempati jabatan nomor wahid di jajaran partai politik. Misalnya, Megawati Soekarno Putri (Presiden dan ketua PDI-P), Sukmawati Soekarno Putri (ketua PNI), Rachmawati Soekarno Putri (ketua pelopor), dan Hardiyanti Rukmana (capres). Jika kita lebih teliti dan cermat dalam menganalisa nama-nama tersebut, mengapa figur-figur perempuan yang muncul masih ada sangkut pautnya dengan orde-orde yang dulu pernah berkuasa? Realitas inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.

Bagi penulis, sosok perempuan Indonesia yang muncul di posisi “atas” saat pemilu 2004 bukan—sepenuhya—akibat kapabilitas dirinya sendiri. Tapi ada faktor lain, yaitu faktor geneologis. Sebut saja nama Megawati, Rachmawati, dan Sukkmawati bisa langsung melejit dan mendapatkan dukungan yang tidak sedikit, tak lain karena dompleng ke bokapnya, Soekarno. Selain itu, ada juga nama Siti Hardiyanti Rukmana yang—bisa jadi—menjadi rival kuat Mega di Pemilu mendatang, juga tak lain akibat ketiban pulung dari bapaknya, Soeharto.

Realitas politik perempuan Indonesia memang terlihat begini adanya. Jika memang benar, maka perempuan masih belum bisa membongkar kospirasi rezim laki-laki, sebab popularitas perempuan Indonesia masih mengekor pada Bapaknya (baca: laki-laki). Dengan kata lain, perempuan belum bisa mandiri.

Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud merendahkan perempuan, akan tetapi mencoba untuk memberikan sketsa dan ilustrasi tentang masyarakat kita yang belum sadar dan melek politik, khususnya kalangan akar rumput (grass root). Mereka lebih sering terjebak dengan mitos-mitos yang—dulu pernah—mapan.

Misalnya, sosok Soekarno (Orla) akrab dengan mitos Ratu Adil, Soeharto (Orba) terkenal dengan mitos Bapak Pembangunan, Habibie lengket dengan Kemajuan Teknologi, Gus Dur masyhur dengan mitos Pemersatu Nasional, dan PDI-P kental dengan mitos Sang Korban.

Mitos-mitos yang dikonstruk penguasa itu tidak bisa hilang dari mindset rakyat, bahkan terus (semakin) melekat. Sehingga, setelah lama ditinggal (baca: lengser) masih ada perasaan rindu dan mengelu-elukan figur yang dikultuskan. Anehnya, di Indonesia, keangkuhan mitos-mitos itu diwarisi oleh anak perempuan mantan penguasa. Sebagaimana yang telihat sekarang, popularitas nama Mega, Rahma, Sukma, Tutut—ternyata—dapat mengalahkan popularitas seudara-saudaranya yang cowok.

Jadi, tidak hanya budaya patriarki saja yang menjadi ganjalan perempuan. Mitos geneologis juga turut menghambat laju gerakan (politik) perempuan Indonesia. Kenapa demikian? Sebab, ada stigma yang berkembang di masyarakat, bahwa keunggulan kepemimpinan perempuan Indonesia menjadi bermakna jika dirinya dan arah perjuangannya telah dianggap sebagai bentuk personifikasi dari nilai-nilai kultural perjuangan Bapaknya. Dengan kata lain, pemimpin perempuan yang muncul merupakan bentuk reinkarnasi dari Bapaknya. Jadi, mitologisasi di Indonesia sudah menggurita dan benar adanya.

Lalu, pertanyaannya sekarang adalah figur perempuan manakah yang bisa mengalahkan popularitas dan kharismatik anak-anak perempuan mantan penguasa? Di sinilah—antara lain—letak kelemahan kesadaran politik rakyat Indonesia, yaitu terjangkit “mitologisasi”. Untuk bisa sembuh dari penyakit ini, rakyat harus diberikan obat penawar, yaitu demitologisasi (peniadaan mitos). Gagasan ini yang diharapkan bisa membukakan pintu gerbang kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu kultus individu dan mitos geneologis. Siapapun figurnya tak kan ada lagi embel-embel kecuali sesuatu yang terpancar dari dirinya sendiri.

Setidaknya, ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan untuk memuluskan proyek demitologisasi ini. Pertama, memberikan penyadaran kepada akar rumput tentang pentingnya pemahan sejarah secara proporsional dan fairness. Agar rakyat terbebas dari buta politik. Sebab, selama ini rakyat selalu menjadi “obyek” dari proyek hegemoni penguasa. Kedua, mengubah paradigma dan logika berfikir rakyat tentang faktor geneologis dalam pembentukan potensi atau kemampuan intelektualitas seseorang. Langkah ini diharapkan dapat meruntuhkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang terlalu menomorsatukan faktor geneologis. Kalau bapaknya orang pinter ya sudah barang tentu anaknya juga pinter. Dalil-dalil pembodohan inilah yang juga harus dibabat.

Ketiga, membumikan budaya kritis. Hal ini untuk mengikis budaya masyarakat Indonesia yang cenderung sami’na wa atho’na (baca: nurut dan manut). Kenapa? Agar terjalin dan terwujudnya kontrol masyarakat terhadap negara. Dengan demikian, kultus individu dan mitos geneologis lambat laun akan sirna dari mindset dan logika berfikir masyarakat Indonesia.

Tentunya, kita tidak menginginkan pemimpin yang cuma bisa mengandalkan kharismatik dirinya, apalagi kharismatik dari faktor geneologis. Pemimpin yang handal adalah pemimpin yang mandiri, berdedikasi tinggi, serta wawasan kerakyatan.

Jika perempuan Indonesia belum bisa mandiri, maka jangan berharap mampu memperjuangkan hak-haknya, meski memperoleh target 30 persen. Bisa jadi, perempuan-perempuan yang duduk di kursi legislatif hanya sebatas berperan sebagai pengumpul suara (vote gater) dan wayang yang dimainkan oleh dalang laki-laki. []


Sumber: Pelita, 23 Maret 2004.

Friday, March 19, 2004

Memata-matai Militer

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sudah sekian lama bangsa ini mengalami lika-liku derita dan durjana yang tak kunjung usai. Mulai dari krisis ekonomi, politik, kepercayaan (trus) sampai dengan stabilitas keamanan. Apalagi, sekarang ini kondisi perpolitikan Indonesia kian memanas, sebab banyak kepentingan yang gentayangan menjelang pemilu 2004. Pada pemilu mendatang, sebagian kalangan ada yang mencurigai kembalinya peran politik militer. Tapi, apakah hal itu benar-benar terbukti?

Bangsa ini sudah mengalami trauma yang berkepanjangan (baca: dilema) dengan peran militer di era orde baru. Dengan dwi fungsi (dual function) ABRI-nya, militer tidak hanya bertanggung jawab dalam masalah pertahanan keamanan negara tetapi juga peran politik praktis. Dengan kata lain, militer punya hak untuk melegitimasi atau mendelegitimasi penguasa. Akibatnya, segala permasalahan bangsa yang bergejolak acap diselesaikan dengan cara-cara militeristik (kekerasan).

Seharusnya militer, dalam hal ini TNI, mampu mengartikulasikan dan mangaplikasikan amanat salah satu pendiri TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang menegaskan, tentara adalah alat negara bukan alat penguasa. Lebih jauh, amanat ini merujuk kepada keharusan TNI untuk tetap setia kepada seluruh rakyat dan bukan kepada kepentingan segelintir orang.

Tampaknya, TNI sekarang sudah mulai sadar dan mengenali jati dirinya. Hal ini tercermin dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto saat peringatan HUT ke-58 TNI (5/10/2003). Dia menandaskan, peringatan ini akan digunakan sebagai momentum “reinkarnasi” jati diri TNI dalam sistem politik nasional. Pernyataan tersebut mendapat banyak komentar dari berbagai kalangan. Sebab, pernyataan TNI akan menarik diri dari kancah politik praktis, menjaga jarak dengan seluruh kekuatan politik, serta tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang, bukanlah hal yang baru. Meski demikian, pernyataan itu merupakan angin segar di tengah situasi politik yang kian memanas menjelang digelarnya pesta rakyat, bulan depan.

Sejak pasca gerakan reformasi 1998, konsep dwi fungsi ABRI—yang awalnya digagas untuk mengatasi kurangnya tenaga sipil yang layak untuk mengisi jabatan pemerintahan itu—mulai digugat. Mulai banyak suara protes yang mempertanyakan konsep yang digagas oleh Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal (Besar) Abdul Haris Nasution itu.

Saat itu, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, pun tampaknya tanggap dengan tuntutan tersebut. Wiranto (saat itu Menhankam) segera menyusun blue print kembalinya ABRI (TNI) ke barak, dengan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (kini Jendral Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu konseptornya. Namun, usaha kembali ke jati diri itu pun bukan perkara yang mudah. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah niat TNI itu tulus, atau hanya usaha untuk mengurangi hujatan yang banyak diarahkan kepada institusi yang bermarkas di Cilangkap itu.

Tekad TNI ini membutuhkan sokongan dari berbagai pihak, agar tidak ada yang coba-coba menarik TNI (lagi) untuk kepentingan sesaat. Sebagaimana—contoh kasus—saat legitimasi presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sontak menurun, menjelang kejatuhannya pertengahan 2001, Gus Dur berusaha menarik TNI (fraksi TNI/Polri) untuk mendukungnya. Namun, TNI yang saat itu sudah dipimpin Jenderal Endriartono Sutarto, memilih bersikap netral dan hanya mengawal proses politik yang terjadi. Sejak itu, berkali-kali Endriartono menyatakan TNI tidak akan kembali menjadi pemain di lapangan (politik) dan hanya akan melakukan tugas pokoknya saja.

Kita patut mengacungi jempol dan mendukung bulat tekad TNI untuk kembali ke barak dan ogah lagi main politik praktis. Di samping itu, kita juga harus tetap waspada dan kritis terhadap langkah TNI. Sebab, ada yang memprediksi, kemungkinan terjadinya chaos pada pemilu 2004 adalah potensi besar kembalinya militer menjadi penguasa di Indonesia. Artinya, ketika sipil tidak tidak bisa menunjukkan kemampuannya membawa negara ini ke arah yang lebih baik, bahkan terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, maka jangan salahkan jika militer mengambil alih kekuasaan negara.

Ternyata, masih banyak kemugkinan yang bakal terjadi saat pemilu nanti, terutama peran serta militer, apakah ia benar-benar pulang dan tak kembali atau hanya berbasa-basi? Makanya, April nanti merupakan “ujian” bagi TNI, apakah ia benar-benar konsekwen dengan komitmen untuk tidak berpolitik (lagi). Begitu pula di parlemen kelak, fraksi TNI/Polri sudah dipastikan tidak ada lagi. Ketegasan Panglima TNI dalam memberikan “fatwa” politik begitu mencengangkan warga sipil. Betapa tidak, TNI yang dulu menjadi kaki tangan elit politik yang berkuasa, sekarang justru malah ke barak.

Perlu diingat, bahwa fatwa tersebut hanya berlaku bagi kalangan militer yang masih aktif. Sedang pensiunan tentara (purnawirawan), ia tetap mempunyai hak yang sama dengan warga sipil, dipilih dan memilih. Di titik inilah yang menarik untuk ditilik. Secara langsung, TNI memang tidak berpolitik, tapi bagaimana dengan menjamurnya purnawirawan di partai-partai politik? Lalu, adakah indikasi yang mengarah ke perluasan “jaringan militer” di parlemen lewat partai politik, karena TNI tidak dapat jatah kursi lagi di parlemen? Gejala inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan sekaligus kekhawatiran sebagian kalangan terkait dengan motif kembalinya peran politik militer—secara tidak langsung—saat pemilu 2004. Benarkah? Wallahu a’lam. []


Sumber: Buletin Nalar Edisi 2/Th.III/2004.

Wednesday, March 10, 2004

Menganggit Kampanye Pemilu 2004

Oleh Abdullah Ubaid Matraji 
 

Menjelang Pemilu 2004, terutama saat kampanye, banyak kalangan yang menghawatirkan terjadinya aksi kekerasan di bumi Indonesia. Indikasi ini mulai tampak pada akhir Oktober 2003, drama kekerasan masa antarpartai dimulai. Dan Bali “terpilih” sebagai panggung kekerasan politik. Peristiwa bentrok antarmasa Partai Golkar dan PDI-P di Buleleng Bali telah menjadi babak pembuka.

Semoga saja itu adalah “kekerasan Pemilu” yang pertama dan yang terakhir. Kita tidak ingin kekerasan semacam itu berbuntut dan merembet ke daerah-daerah lain. Sebab daerah-daerah yang lain juga sangat rentan dengan gesekan politik, yang berbuntut bentrokan, tawuran, bahkan pembunuhan.

Sebut saja kota Jepara. Sudah beberapa kali kota Ukir ini mencatat “lembaran hitam” dalam kasus kekerasan menjelang Pemilu yang menelan korban jiwa. Kasus Dongos yang memakan korban 4 nyawa serta kebakaran rumah dan mobil menjelang kampanye Pemilu 1999. Peristiwa ini mencuat ke seluruh dunia karena mendapat liputan luas dari pers internasional. Menjelang Pemilu Juni 1999, di Desa Bandungharjo, Kecamatan Keling, juga pecah bentrokan antarkelompok yang minta korban lima nyawa.

Sesudah itu, secara sporadis muncul bentrokan antarkelompok dari wilayah terpisah yang membawa korban jiwa. Jepara kembali dibuat geger. Kiai Shodiq, pemimpin Pondok As-Salafiyah, Karetan, Dukuh Gendola, Desa Raguklampitan, Kecamatan Batealit, Jepara, tewas dengan luka senjata tajam dan luka bakar setelah diserbu massa bertopeng.

Jika ditilik lebih cermat, kekerasan di daerah-daerah (sebagaimana di Jepara) seakan bukan hal yang aneh lagi, apalagi menjelang Pemilu. Seolah-olah masyarakat Indonesia sudah “kedagingan” (meminjam Istilah Gus Mus) dengan kerusuhan dan kekerasan. Walau begitu, apapun alasannya kita tidak ingin bangsa ini selalu marak dengan “iring-iringan” kekerasan.

Kemungkinan Rusuh

Meski sudah diantisipasi, tidak menutup kemungkinan letupan-letupan kekerasan akan meluap. Dari peristiwa Buleleng, kita dapat membaca beberapa kemungkinan yang bakal terjadi saat kampanye nanti. Paling tidak ada dua problem serius yang dihadapi masyarakat Indonesia terkait dengan kemungkinan rusuh.

Pertama, problem pendidikan (politik). Secara akademis, pendidikan di Indonesia belum bisa merata. Pendidikan yang “layak” hanya bisa dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat. Jika dibandingkan, masyarakat yang terdidik akan lebih sedikit daripada yang tidak terdidik. Problem ini menampakkan realitas yang jomplang dalam dunia pendidikan. Jadi, masyarakat Indonesia masih lemah dalam hal pendidikan.

Akibatnya, kesadaran berpolitik dan berdemokrasi pun terasa timpal. Realitas di lapangan menyatakan, kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum melek politik. Mereka masih tergolong intelektual tradisionalis (istilah Gramsci). Yaitu masyarakat yang tidak peka terhadap kondisi bangsa, pro status-quo serta kehilangan kesadaran karena terbuai oleh rayuan kooptasi penguasa. Jadi, mereka tidak sadar kalau mereka hanya dibuat “mainan” oleh elit politik.

Kedua, problem kultural. Mengenai hal ini, Kuntowijoyo (Esai-esai Budaya dan Politik: 2002) bertutur, masyarakat Indonesia masih terjerat kultur “mitologisasi”. Masyarkat belum bisa melepaskan mitos-mitos yang terekam dalam backmind mereka. Misalnya, presiden ke-1, Soekarno, masyhur dengan Ratu Adil yang mempu membawa rakyat Indonesia dari krisis dan ketertindasan menuju gerbang kemerdekaan. Soeharto, sosok yang dikenal dan dikagumi sebagai Bapak Pembangunan (father of development) yang berkuasa selama 32 tahun. Serta mitos teknokrat pada B.J Habibie, mitos Pemersatu Nasional pada Gus Dur, mitos Sang Korban pada Megawati, bahkan disintegrasi bangsa disebabkan oleh mitos; Cargo Cult (pemujaan kapal muatan), yang merangsang munculnya gerakan separatisme di Aceh, Papua, dan Riau.

Kultur mitologisasi inilah yang turut memperlemah budaya kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Tak lain, disebabkan oleh faktor mitos yang sudah mendarah daging. Kalau sudah demikian, maka “fanatisme” adalah sebuah jawaban. Jika massa pendukung partai mengedepankan fanatisme, maka arogansi massa tidak bisa dikendalikan.

Kondisi seperti inilah yang menyebabkan massa partai ibarat “bara dalam sekam”. Sedikit tersenggol langsung terbakar. Jika memang demikian adanya, maka tidak menutup kemungkinan hari-hari kampanye akan diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan.

Kampanye Dialogis-Argumentatif

Kita tahu, titik tolak pergantian tonggak kepemimpinan Bangsa ini adalah lewat Pemilu. Tentunya, kita tidak ingin mengotorinya dengan bau anyir darah. Penulis berharap, pada Pemilu nanti, elit-elit partai harus dapat merubah strategi kampanye mereka.

Menarik simpati massa dengan hasutan dan provokasi hendaknya diubah dengan model kampanye dialogis-argumentatif. Yaitu dengan mengedepankan proses dialogis (bukan sekedar pengerahan massa) dan memberikan argumen yang logis (bukan persuasif) kepada massa. Lalu pertanyaannya adalah kenapa harus dialogis-argumentatif?

Pertama, model ini merupakan tandingan dari model persuasif (bujukan) dan—sekedar—pengerahan massa. Cara-cara seperti ini (persuasif) akan gampang menanamkan fanatisme buta serta mengobarkan api permusuhan yang berbuntut kerusuhan dan aksi kekerasan. Dan jika ada gesekan antarmassa sedikit saja, maka api permusuhan langsung menyala.

Jadi, saat kampanye massa harus diberikan argumentatif yang logis, dan jangan sampai ada penggiringan massa ke realitas-persuasif. Kampanye model dialogis-argumentatif diharapkan akan mengikis klaim superioritas dan anggapan paling benar atas partai tertentu.

Kedua, kampanye model ini akan lebih memerioritaskan pada sosialisasi program partai dengan tanpa “menyentil” sentimen massa (misalnya dengan mengangkat sentimen perbedaan suku, ideologi, atau manipulasi simbol-simbol agama).

Sebab, yang sering menyulut permusuhan dan pertikaian adalah memanas-manasi massa dengan menggunakan berbagai sentimen. Akibatnya, kampanye bukan melakuakan sosialisasi program partai, tapi malah “mengangkangi” agama, misalnya, sebagai dasar legitimasi partai, dan memanipulasi tafsir (baca: bias tafsir).

Untuk Pemilu mendatang, kita tidak ingin insiden-insiden buruk terjadi lagi. Bangsa ini sudah “gerah” dengan keterpurukan, mari kita bangun bangsa ini dengan tanpa kekerasan. Demi “perubahan” Indonesia dan optimisme Pemilu 2004, maka segala bentuk konflik kepentingan elit politik yang berimbas pada tindakan kekerasan terhadap publik harus dapat dicegah, atau paling tidak diminimalisir. Karena itu, dibutuhkan partisipasi publik sebagai penjaga “komitmen perdamaian” untuk tidak melegalkan praktek-praktek kekerasan dengan mengatasnamakan siapapun dan apapun. []


Sumber: Duta Masyarakat, 10 Maret 2004.
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes