Sunday, December 26, 2004

Refleksi Natal: Menuju Juru Bebas Manusia

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya, Natal tahun ini masih diwarnai ancaman kekerasan. Untuk antisipasi, pemerintah menghimbau agar masyarakat berhati-hati dan waspada. Tampaknya, ancaman kekerasan saat Natal ini serius, yaitu dengan ditemukannya bom rakitan di tempat-tempat umum. Apalagi, pemerintah AS dan Australia telah mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia, sekitar Natal dan Tahun Baru 2005.

Ironisnya, isu yang berkembang adalah kekerasan atas nama agama (lagi). Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam distigmakan bak sarang teroris. Islam dicitrakan seakan-akan tidak mengenal makna toleransi dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah benar demikian? Bukankah dalam Islam ada konsep ahl al-dzimmah, minoritas (non-Islam) yang harus dilindungi dan dijaga hak-haknya, bukan malah dilukai? (Syadzali, 1992:169).

Orang yang saleh beragama akan beranggapan, bahwa perbedaan dalam ritual adalah bagian dari pluralitas cara pemeluk agama dalam meniti jalan menuju Tuhan-nya. Dalam merespon keberagaman itu, Hazrat Inayat Khan mengkampanyekan gagasan “kesatuan ideal agama-agama”. Baginya, agama ibarat nada-nada. Agama yang satu dengan yang lain memainkan nada yang berbeda. Jika nada-nada tersebut bekerja sama maka terciptalah sebuah harmoni. Jika tidak, maka akan lahir musik yang sumbang (The Unity of Religious Ideals, 1949).

Ini adalah realitas yang menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama adalah keniscayaan atas agama-agama. Karena itu, menurut penulis, memusuhi agama lain bukanlah cermin dari kesalehan dalam beragama. Di samping itu, yang terpenting lagi adalah bagaimana kesalehan itu mampu beranjak dari masjid ke ranah sosial (baca: kesalehan sosial), yaitu bagaimana agama mampu menjadi “juru selamat” manusia, bukan malah menjadi “candu”.

Sikap merasa paling benar, eksklusif, fanatis, dan tidak toleran adalah sikap yang kontraproduktif dengan misi agama itu sendiri. Karena itu, tugas terberat “agamawan” saat ini adalah memberikan pemahaman dimensi kemanusiaan agama-agama, bukan malah—yang sering terjadi—mengajari fanatik terhadap satu agama atau aliran tertentu. Hal ini dikhawatirkan berakibat pada sinkretisasi terhadap agama lain. Bagaimanapun, sisi kemanusiaan harus menjadi pijakan bersama umat beragama. Sebab, pijakan inilah yang akan melahirkan benih-benih umat yang inklusif dan pluralis, bukan umat yang fanatis-parokial dan sok benar.

Dus, momentum Natal tahun ini harus mampu menegaskan bukti otentisitas toleransi antarumat beragama di Indonesia. Sikap arogan, anarkhis, dan fanatik buta dalam agama justru akan menjadikan agama sebagai “limbah sosial”. Realitas ini semakin menjauhkan dari pesan perenial agama, yaitu humanisme universal.

Agama turun bukan untuk diperebutkan kebenarannya (baca: dibela), tetapi untuk membela dan memuliakan manusia (QS. 17:70). Agama juga tidak pernah mengajarkan sikap merasa benar sendiri dan yang lain salah, tetapi bagaimana menghargai orang lain yang berbeda dengan kita (QS. 49:13, 4:1).

Menggugah Sense of Crisis

Kekerasan (agama) yang berulang-ulang setiap tahun seharusnya mendewasakan cara pandang kita dalam bermasyarakat dan beragama. Dengan kejernihan nalar, kita berusaha untuk memahami realitas sosial-beragama yang “ditunggangi”. Kita tidak bisa membiarkan bahwa agama distigmakan sebagai sumber malapetaka. Kita perlu berfikir ulang, sejauh mana agama melakukan pembelaan terhadap manusia dan penciptaan maslahah bagi manusia.

Agenda inilah yang belum membumi. Sehingga, salah satu penyebab krisis yang terjadi di negeri ini adalah pemahaman agama yang tidak berbasis kemanusiaan (teosentris an sich). Bayangkan, di negara yang berketuhanan ini, menurut data Lembaga Transparancy International (TI), orang-orangnya jago korupsi. Dari posisi keenam se-dunia di tahun 2003 menjadi rangking kelima di tahun 2004. Jika demikian, agama telah kehilangan peran sosial-kemanusiaan. Agama hanya mampu melaksanakan ritual-ritual simbolis.

Apalagi, sekarang ini, seringkali agama diseret ke wilayah konflik-sosial dan tindak kekerasan (teror). Sejak kapan agama berubah menjadi provokator kerusuhan dan peledakan bom? Ini merupakan bukti kegagalan terbesar umat beragama dalam merumuskan dan menangkap substansi agama yang selama ini diyakini mampu memberikan kesejukan, keadilan, dan kesejahteraan.

Karena itu, Natal kali ini harus mampu memberikan roh atas kehidupan masyarakat dengan menjunjung tinggi serta menghormati hak-hak asasi manusia. Corak keberagamaan para pemeluk agama juga harus dirubah, dari konflik menuju cara beragama yang lebih emansipatoris.

Selain itu, agama harus disegarkan (refresh), (1) agar menemukan elan vitalnya kembali sebagai pendobrak kejumudan dan “juru bebas” manusia, (2) agar agama tidak hanya respon atas persoalan-persoalan teologis, tetapi juga pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Berarti, agama harus mengalihkan perhatian, dari ‘persoalan langit’ menuju persoalan riil yang dihadapi manusia.

Dengan demikian, wilayah kerjanya adalah terletak pada tataran praksis. Yaitu agama tidak hanya dipahami sebagai ritual-simbolik melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan dan pembelaan atas hak asasi manusia (QS. 106:2-4).

Ingat, problem keberagamaan sekarang bukanlah problem doktrinal, melainkan problem yang bersifat praksis, yaitu problem kemanusiaan. Misalnya, konflik sosial, kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi dan lain-lain. Dalam kondisi seperti ini, agama bukan hanya untuk dijadikan ‘sesembahan’, melainkan untuk menyempurnakan moral dan mengangkat harkat mausia.

Karena itu, dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala bentuk eksploitasi serta hegemoni. Agama mesti dipaksa beranjak dan bertolak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, sehingga mampu memberikan dorongan moral untuk bebas dari segala bentuk belenggu yang menindas.

Dari Individu Menuju Kesalehan Sosial

Dalam konteks ini, ada dua hal yang dapat dijadikan tauladan saat Natal. Pertama, teologi kelahiran Isa al-Masih yang diyakini sebagai juru selamat, akan mengilhami umat beragama untuk menjadikan agama sebagai motor peruabahan sosial dan kontra ‘penindasan’. Hal tersebut senada dengan tesis Weber (1864–1920), bahwa agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia.

Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial di luarnya. Sejalan juga dengan misi profetik Nabi yang paling utama, misi pembebasan. Yaitu membebaskan umat manusia (bukan hanya Islam) dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Karena itu, Nabi dimata umatnya adalah Sang Pembebas. Proses pembebasan inilah yang akan menciptakan transformasi sosial, dari kondisi yang ‘terjajah’ menjadi ‘merdeka’.

Kedua, Perjuangan Isa yang bertubi-tubi dengan penuh kesabaran adalah cermin kekuatan (bukan fanatisme) iman dengan kesalehan sosial. Meski hidup dalam kondisi miskin, marjinal, dan penuh dengan konflik, dendam, dan permusuhan, Isa hadir dengan menebar benih-benih perdamaian.

Dengan semangat Natal, mari kita kikis konflik dan permusuhan. Niscaya hidup rukun dan damai akan terwujud. Jika demikian, maka agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam upaya kesalehan sosial ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). []


Sumber: Indo Pos, 26 Desember 2004.

Wednesday, December 22, 2004

Bom Waktu Janji 100 Hari

Oleh Abdullah Ubaid Matraji
 

Modal kepercayaan (popular mandate) yang telah diberikan rakyat kepada SBY-JK tidaklah kecil, unggul 20 persen dibanding rivalnya. Sekarang saatnya balas budi, apa yang bisa diberikan SBY-JK kepada rakyat? Perubahan apa yang bisa dirasakan oleh rakyat? Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam 100 hari, maka jangan kaget kalau rakyat akan melakukan delegitimasi bahkan menuntut agar SBY-JK mundur.

Jangan-jangan, SBY akan dilumat oleh janji-janjinya sendiri. Tidak sedikit masalah yang harus diselesaikan dalam tempo 100 hari. Apalagi, menurut penulis, SBY tekesan ingin memuaskan semua pihak. Tercermin dengan susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), yang seakan-akan SBY ingin mengakomodir semua kepentingan. Buntut dari kebijakan ini adalah orang-orang yang dari awal mendukung SBY malah ditinggalkan. Misalnya, Partai Demokrat Sulawesi Utara (pendukung setia SBY) mengibarkan bendera setengah tiang sebagai wujud ungkapan rasa kecewa, sebab ‘jago’ mereka gagal terpilih sebagai menteri dalam KIB.

Lebih parah lagi, agenda perioritas SBY-JK yaitu pemberantasan korupsi dan penegakan good governance tidak disokong oleh orang-orang yang handal dan kapabel. Tapi ternyata, pertama, SBY malah mengangkat orang-orang yang punya masa lalu gelap, terkait dengan penggelapan dana dan membagi-bagikan uang dari perusahaan kepada kolega-koleganya di DPR. Bagaimana akan menangkap para koruptor, sementara orang dalam sendiri banyak yang (bekas) koruptor.

Kedua, munculnya nama-nama pengusaha yang pernah terjerat utang milliaran dollar AS dan sampai sekarang mereka termasuk orang-orang yang ‘menyengsarakan’ rakyat. Mereka sama sekali tidak ada kepantasan untuk duduk di kursi kabinet, sebab mempunyai reputasi buruk dan gemar menunggak utang di bank-bank pemerintah. Jangankan melunasi hutang, bisa jadi pemerintahan SBY-JK malah menambah beban utang negara.

Ketiga, SBY masih membiarkan para petinggi partai bercokol di kabinetnya. Bagaimana mereka akan bekerja demi rakyat jika dalam dirinya masih tersemat baju partai yang belum bisa ditanggalkan. Dikhawatirkan nanti dalam kinerjanya masih mementingkan kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat secara luas. Karena itu, SBY harus tegas. Jika tidak demikian, alih-alih mereka memikirkan rakyat justru para kolega partainya menagih ‘jatah kesejahteraan’ melulu.

Keempat, sebagian besar dari komposisi kabinet, diisi oleh orang-orang yang tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dan sebagian besar, mereka tidak mengisi surat pemberitahuan (SPT) pajak dengan benar. Bahkan ada juga yang tidak mengisi daftar harta dan kekayaan (Kompas, 25/10). Bagaimana mereka akan memperbaiki bangsa jika mereka tidak mampu memberikan suri tauladan yang baik?

Bekal kepercayaan rakyat kepada SBY-JK sungguh berat, karena itu harus dipikul secara bersama-sama. Jika yang mikul orang-orangnya tidak solid, satu sama lain tidak ada komitmen komunal, maka tunggu saja keruntuhannya. Senada dengan kasusnya Megawati, saat belum menjadi pemimpin, ia identik dengan wong cilik, kaum marginal, dan tertindas. Tapi, saat dia memimpin, Mega tidak mampu mempertahankan identitasnya bahkan malah mengeluarkan kebijakan yang tidak pro wong cilik. Akibatnya, rakyat apatis dan tidak percaya lagi kepada Mega. Tidak menutup kemungkinan ini juga akan terjadi pada SBY-JK. Apalagi akhir-akhir ini, menurut data IFES, menunjukkan adanya gejala penurunan popularitas. Dari puncaknya sebesar 73 persen pada bulan Juli, menjadi 69 persen pada bulan Agustus, dan terakhir 60 persen pada 20 september.

Sekarang pertanyaannya adalah mampukah SBY membawa ‘angin segar’ bagi rakyat dalam waktu 100 hari? Penulis tidak yakin SBY akan mampu membereskan persoalan dalam waktu sesingkat itu. Pertama, janji 100 hari terkesan seperti ‘lampu aladin’. Kasus-kasus di Indonesia—seperti pembobolan bank BNI, peledakan bom (terorisme), keamanan di Aceh dan Papua, TKI ilegal, pengangguran, harga BBM, lemahnya supremasi hukum dan lain-lain—adalah bukan kasus yang enteng, tinggal bimsalabim langsung beres. Tetapi, butuh konsentrasi serius dan kerja team work yang handal dan profesional. Hitungan 100 hari pertama yang digembar-gemborkan SBY (jangan-jangan) hanya ikut-ikutan ala Barat, khususnya di Amerika Serikat. Biasanya, seusai pemilihan umum dan pemerintah berganti, orang suka bicara tentang: the first hundred days.

Kedua, SBY tidak diperkuat dengan kabinet yang ‘bersih’. Mungkinkah SBY akan membuat kebijakan shock therapy terutama di bidang penegakan hukum, sementara kabinetnya yang diangkatnya masih banyak yang bermasalah? Contoh lain, kemarin (27/10) Presiden memberikan pengarahan kepada Dirjen Pajak Hadi Poernomo di gedung Direktorat Pajak agar mengelolah sistem perpajakan secara profesional. Secara tidak langsung SBY telah mencoreng dirinya, sebab komposisi KIB diisi oleh orang-orang yang tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Lebih ironis lagi, menurut data yang dipaparkan oleh Komite Waspada Orde Baru (Tewas Orba), KIB pimpinan SBY-JK terdapat 34,21 persen anggota kabinet yang teridentifikasi terlibat Orba. Era ini lebih banyak menampilkan kembali tokoh-tokoh Orba jika dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur (33,33 persen) dan Megawati (31,25). Bahkan terdapat lima orang di antara KIB merupakan mantan pejabat tinggi TNI/Polri di era Orba. Mereka adalah Laksamana TNI (pur) Widodo A.S. (Menko Polkukam), Letnan (pur) M. Ma’ruf (Mendagri), Letjen (pur) Sudi Silalahi (Seskab), Brigjen (pur) Taufiq Effendi (Menpan), dan Laksamana Madya (pur) Fredy Numberi (Menteri Kelautan dan Perikanan). Bercokolnya eks Orba di pemerintahan SBY-JK ini memberikan trauma bagi rakyat Indonesia, sekaligus menimbulkan rasa pesimistis akan adanya perubahan.

Ketiga, SBY lebih akomodatif terhadap kepentingan partai politik, dari pada rakyat. Terutama tercermin pada tim ekonomi. Sampai-sampai, para ekonom menyayangkan, karena tim ekonomi KIB tidak mempunyai track record pemihakan pada rakyat. Lalu berbuntut pada respon pasar yang negatif, termasuk ikut merosotnya nilai rupiah. Ternyata, barisan menteri ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi pasar.

Saking ruwetnya, ada yang mengistilahkan KIB sebagai akronim dari Kabinet Indonesia Bingung. Dengan melihat realitas tersebut, penulis pesimis dengan janji 100 hari SBY-JK akan sukses mewujudkan ‘perubahan’, justru yang ada adalah bom waktu yang siap meledak setelah 100 hari (jika) tidak ada perubahan. []


Sumber: Duta Masyarakat, 22 Desember 2004.

Sunday, December 05, 2004

Surat untuk SBY

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Dengan ucapan basmalah dan salam perjuangan, saya awali lantunan suara hati lewat surat ini. Berkenaan dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia, sebagai elemen kecil yang tidak di(per)hitung(kan), saya sungguh tidak bermaksud menasehati, menggurui, bahkan mengkritik Bapak. Saya hanya ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan sebagai wong cilik yang biasa jagongan (ngobrol ringan) dari warung ke warung. Semua yang saya torehkan di sini adalah obrolan dan renungan ringan lagi spontan yang terjadi di warung, bukan layaknya narasumber di forum-forum seminar dengan membawa makalah dan referensi yang seabrek.

Presiden yang mulia.

Kemarin, tepatnya 2 Desember 2004, saya bermain ke kos-kosan teman lama di Jogja. Seperti biasanya, begitu perut keroncongan, saya langsung bertolak menuju angkringan (warung kecil lagi murah di Jogja). Saat itu, memang lagi hangat-hangatnya njagong terpelesetnya pesawat Lion Air. Lucunya, Ketika saya dan teman-teman lagi asyik menghitung orang-orang yang tewas dan yang luka-luka, ujug-ujug, si penjual nyeletuk:

“Mangkanya nama presiden kita mending diganti aja dengan Susilo Bambang Nyudhonyowo, bukan Yudhoyono.”
“Kok begitu Pak?”
“Lha iya toh Mas, awal-awal pemerintahan SBY inikan kan udah banyak makan nyowo (jiwa).”

Jika direnungkan, ungkapan ini memang terbukti. Sejak dilantiknya Bapak, sudah banyak korban yang berjatuhan. Orang Jawa bilang—terlepas dari benar atau tidak—ini adalah tumbal kemenangan SBY. Mulai dari kecelakaan kereta, bus, pesawat, banjir, meninggalnya Munir, sampai dengan gempa di Nabire. Ternyata, terpilihnya Bapak sebagai Presiden Republik Indonesia ini banyak menghilangkan atau mengurangi (nyudo) nyawa manusia. Sehingga tidak salah apa yang dibilang Si penjual tadi, Susilo Bambang Nyudhonyowo.

Bagi saya, tumbal atau apapun namanya itu bukanlah substansi. Yang terpenting adalah mengapa semua ini bisa terjadi? Kelalaian pemerintah kah atau ada penyebab lain? Nah, pada titik inilah yang harus dievaluasi.

Bapak Presiden yang saya hormati.

Sebelumnya saya mohon maaf, kalau ungkapan di atas terlalu lancang dan tidak patut untuk saya ungkapkan. Bukan maksud hati mengotak-atik nama Bapak yang sudah tersohor, tapi saya hanya menceritakan apa adanya. Karenanya, dengan kerendahan hati, izinkan saya untuk melanjutkan menulis.

Kali ini, tepatnya di warung kopi alun-alun kota Gresik (maaf tanggalnya saya lupa). Tak sengaja, saat itu saya satu meja dengan mahasiswa. Suara melengking yang sempat aku tangkap adalah “supremasi hukum”. Biasa, namanya juga mahasiswa ngomongnya agak ndakik-ndakik dan sok idealis. Dengan ngotot dia berkata:

“Sependek pengetahuan saya, hukum itu sejatinya tidak pandang bulu. Siapapun yang dinyatakan bersalah ya harus menerima hukuman. Jika tidak ya harus dibebaskan.”
“Idealnya memang begitu, tapi taukah kenyataan hukum di Indonesia? Nyatanya, amat berbeda dengan realitas di lapangan; sing cilik di injek-injek, sing gede dielus-elus (yang kecil diinjak-injak, yang besar dibelai-belai).” Sahut temannya.

Begitulah sepenggal obrolan yang sempat saya save. Kalau dipikir-pikir, memang benar juga. Menurut saya, jumlah maling kelas teri dengan kelas kakap sama banyak jumlahnya. Tapi mengapa yang nongol di program kriminal layar TV kebanyakan yang kelas teri? Lagi-lagi pencurian, lagi-lagi perampokan, lagi-lagi perkosaan, sampai bosan saya menontonnya. Pertanyaan saya kepada Bapak, kapankah rakyat disuguhi dengan tontonan kriminalitas maling-maling kelas kakap (untuk tidak mengatakan kelas Akbar)?

Kalau hanya menangkap maling-maling kampungan (lokal), saya juga bisa (maaf kalau agak sombong). Sebab menurut saya, Persoalannya bukan bisa atau tidak bisa, yang jadi penghambat adalah keberanian (wani opo ora?). Saya yakin, jika ada keberanian (sudah tentu beserta niat) semuanya akan mudah. Bagaimana menurut Bapak Presiden? Benar tidak?

Meski jauh dari harapan, terus terang, saya salut dengan Bapak. Tertangkapnya Abdullah Puteh adalah bukti konkrit konsistensi dan keseriusan Bapak. Saya berharap, Bapak tidak hanya berhenti sampai di titik ini, tapi bagaiamana keberhasilan Bapak ini menjadi pemicu semangat untuk mengganyang koruptor-koruptor di negeri ini.

Di lain waktu, senin 15 November 2004, tidak seperti biasanya, saat nangkring di warung kopi depan rumah selalu banyak orang yang ngobrol ngalor-ngidul. Saat itu sepi, hanya aku dan penjaga warung. Entah pada ke mana orang-orang kampung.

Bapak tahu tidak, ketika itu saya termenung begitu ngenes dan mengelus dada. Karena tahun ini, Indonesia masih terjerembab dalam the best five negara terkorup di dunia, versi lembaga Transparancy International (TI). Ditaruh di manakah moral dan agama yang tersemat apik dalam tubuh manusia Indonesia. Sungguh memalukan. Saya sebagai rakyat saja malu, masak Bapak tidak merasa?

Saya tegaskan, pemberantasan korupsi tidak dengan “deklarasi-deklarasi” tapi dengan action. Kalau boleh saya melakukan kritik, saat era Mega-Hamzah, ada dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang mendeklarasikan gerakan anti korupsi (NU dan Muhammadiyah), tapi apa hasilnya? Ternyata nihil. Maka dari itu, strategi pemberantasan korupsi harus ditata ulang. Bukan begitu Bapak?

Begitu susahnya nanganin korupsi, sampai orang-orang membuat kesimpulan, “kurupsi sudah men-tradisi.” Kenapa? Sebab dilakoni bareng-bareng; dari mulai pamong desa sampai dengan pamong negara. Saya punya usul, bagaimana kalau Bapak membangun penjara khusus korupor di tengah-tengah pasar (keramaian) dengan “model transparan”, agar penghuninya dapat disaksikan oleh semua orang yang lalu-lalang. Ini adalah bagian dari sangsi sosial yang harus diterima.

Terus terang, saya kok tidak setuju dengan ide me-nusakambangan-kan para terpidana korupsi. Menurut saya, mereka di sana itu keenakan. Mau ngapa-ngapain tidak ada yang tahu, jauh dari keramaian, dan tidak menutup kemungkinan, mereka yang berada di sana serasa di “surga”. Bagaimana tidak, menjenguk saja ada yang pake’ halikopter, betapa istimewanya napi-napi itu. Setujuhkah Bapak?

Presiden yang terhormat.

Tak terasa, sudah banyak hal yang saya ungkapkan, Bapak tidak perlu menanggapi uneg-uneg saya, pasalnya memang tidak pantas untuk ditanggapi. Ini hanyalah sebatas pepesan dan ide-ide gila ala warung-warung kampung(an), yang bukan berasal dari tempat megah serta dipenuhi oleh orang-orang yang jas-jasan dan dasian. Kendati remeh, apa yang saya ungkapkan adalah realitas yang terjadi di akar rumput, yaitu rakyat kecil (termasuk saya) yang kemarin saat pemilu adalah termasuk orang-orang yang mencoblos Bapak. Saya tidak rela jika kepentingan rakyat kecil dibuldoser oleh kepentingan “teman-teman” Bapak. Sebab, sejatinya, kita adalah satu, Indonesia.

Sungguh Bapak, saya tidak ingin persatuan dan kesatuan bangsa ini tersembelih dan tercabik-cabik oleh kepentingan oknum-oknum yang hipokrit dan tidak bertanggung jawab. Saya mengharap kepada Bapak Presiden untuk tidak menyelesaikan tumpukan PR bangsa ini dengan sendiri, karena tidak mungkin. Maka, seandainya saya jadi Bapak, pertama, saya akan merangkul dan melibatkan seluruh komponen bangsa—bukan hanya golongan saya—untuk turut serta membangun dan merestorasi Indonesia. Kedua, memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat (non-goverment) untuk melakukan “kontrol” atas pemerintah, yaitu sebagai postulat dari civil society.

Akhirnya, saya nyuwun agungipun pangapunten (mohon maaf yang sebesar-besarnya) jika saya dinilai agak lancang dan kurang andap ashor (tawadlu’). Terima kasih atas perhatiannya dan semoga apa yang Bapak lakoni tidak bertentangan dengan “hasrat” wong cilik. Itu saja. []

Sumber: Buletin AMBANG dan Arsip Blora Center, 5 Desember 2004.

Thursday, September 16, 2004

Perlawanan terhadap Hegemoni

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Aksi-aksi terorisme di Indonesia umumnya dituduhkan kepada kaum fundamentalis. Deretan nama-nama seperti Imam Samudra, Amrozi, Azhari, dan Noordin Moh Top adalah bagian dari kaum fundamentalis. Sebenarnya, ada apa dengan mereka sehingga tega melakukan tindakan-tindakan terorisme yang ahumanis?

Label-label seperti terorisme, ekstremisme, radikalisme, integrisme, revivalisme, tradisionalisme, skripturalisme, dan sebagainya sering digunakan untuk mewakili gejala fundamentalisme yang ada. Begitu pula dengan label Islamisme, acap dipakai sejak Revolusi Iran meletus di tangan sekte Syi’ah (1978-1979) dan kembali dipertegas secara “fantastik” oleh runtuhnya Menara Kembar World Trade Center di New York.

Dalam hal ini, Karen Amstrong memandang fundamentalisme sebagai bentuk spiritualitas yang disajikan untuk melawan (embattled), yang muncul sebagai respon atas krisis yang dirasakan.

Dengan kata lain, yang dimaksud Karen adalah bentuk kekhawatiran bahwa modernitas akan mengikis bahkan memberangus keyakinan (religius) dan moralitas. Sedangkan Jeffrey K. Hadden dan Anson Shupe dalam Secularization and Fundamentalism Reconsidered cenderung melihat fenomena fundamentalisme sebagai pernyataan terhadap otoritas yang diklaim ulang berlandaskan tradisi suci untuk digunakan sebagai obat penangkal bagi masyarakat yang telah menyimpang dari tambatan budayanya.

Kalau begitu, benarkah tradisi suci keagamaan menuntut para pemeluknya untuk bertindak konfrontatif, bahkan ekstrem? Ataukah kelahirannya lebih distimulasi oleh faktor-faktor profan?

Banyak yang beranggapan bahwa teks (doktrin) suci agama yang dipegang secara amat ketat dengan tanpa memberikan ruang hermeneutik merupakan lahan subur tumbuhnya gerakan fundamentalis. Tetapi, benarkah demikian? Menurut Fred Haliday (Al Islam wa Khurafat al Muwajahah; Al Din wa al Siyasah fi al Syarq al Awsath: 1997) dalam tanggapannya atas revolusi sekte Syi’ah Iran, sesungguhnya faktor-faktor duniawilah (sosial-politik) yang secara dominatif lebih melandasi dan mendorong meletusnya revolusi Iran dibanding faktor (doktrin) agama.

Corak pemikiran Ayatullah Khomaeni, pimpinan revolusi dan spiritual Iran, memang fundamentalistik jika dikaitkan dengan klaim yang berakar pada teks-teks suci. Namun, jika ditinjau ulang, sesungguhnya struktur pemikiran Khomaeni justru lebih bersandar pada background sosial kontemporer dan dialektika politik modern.

Tak lain, hal itu ditengarai dengan realitas kekuatan hegemoni Barat yang sangat kuat menggenggam segala segmen kehidupan global. Negara-negara Islam -setidaknya merujuk pada mayoritas warga negara yang muslim- hampir seluruhnya hanya menyandang predikat bagian dunia ketiga. Sebuah predikat yang cukup untuk menandai keterpurukan negara-negara tersebut, baik dari segi budaya, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, maupun lebih jauh lagi, peradaban.

Sikap vis-à-vis antara fundamentalisme Islam dan dunia Barat sangat telanjang untuk dilihat. Bahkan, lebih menampar lagi, Cak Nur (Islam Kemodernan dan Keindonesiaan: 1992) memandang bahwa inti ideologi fundamentalisme Islam adalah anti-Westernisme.

Fundamentalisme bangkit dalam masyarakat-masyarakat yang dibelenggu oleh kesan-kesan kapitalisme. Itu akibat imperialisme dan perubahan hubungan-hubungan sosial yang mengiringi kebangkitan kelas kapitalis lokal yang disokong oleh kerajaan kapitalis global.

Jadi, kapitalis adalah musuh utama fundamentalis. Permusuhan itu bukan atas dasar perbedaan tafsir atau hermeneutik yang fundamental vis-à-vis liberal, tetapi lebih disebabkan konstelasi sosial dan pertarungan politik global. Teror bom di beberapa wilayah lokal—termasuk Indonesia—tak lain merupakan bagian dari skenario global. Karena itu, aksi-aksi terorisme yang dilancarkan oleh kaum fundamentalis tidak sepenuhnya dinilai negatif. Sebab, fundamentalisme mempunyai andil besar dalam membakar semangat darah juang umat untuk bangkit dari keterpurukan, serta bagian dari upaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Barat.

Bahkan, ia secara konkret telah menempati frontline perlawanan umat atas hegemoni Barat. Tetapi, yang perlu dikritisi adalah bentuk perlawanan yang mereka gunakan, yaitu jauh dari nilai-nilai humanisme. Akibatnya, gerakan resistensi tersebut malah kontraproduktif dan berbuntut kecaman.

Sekarang, yang terpenting adalah bagaimana gerakan radikalisme (pro-kekerasan) menjadikan gerakan yang berdasar atas nilai-nilai humanisme (nir-kekerasan). Ini harus dibuktikan bahwa eksistensi agama bukanlah yang seperti dipersepsikan oleh Si hantu berjenggot Karl Marx (agama adalah candu masyarakat) dan Si gila Nietzsche (Tuhan telah mati).

Untuk keluar dari stigma dan tuduhan tersebut, pertama, harus ada keseimbangan antara dua orientasi kehidupan, teosentris dan antroposentris. Sebab, selama ini, agama selalu diajarkan dan dipahami sebagai sesuatu yang melangit dengan janji-janji yang abstrak: pahala, dosa, surga, neraka dan lain-lain. Makanya, harus ada penekanan pada dimensi kemanusiaan agama-agama (antroposentris). Dengan harapan agar agama memiliki ketegasan dalam hal pembelaan manusia. Kedua, menumbuhkan semangat teologi pembebasan (theology of liberation) dengan tetap berpijak pada epistemologi humanisme. Pemahaman agama yang antroposentris—sebagaimana di atas—akan semakin memudahkan kita untuk melakukan passing over terhadap realitas ketertindasan atau keterbelengguan menuju “gerakan” untuk pembebasan (from theology to revolution). []


Sumber: INDO POS, 16 Sept 2004.

Tuesday, August 10, 2004

Presiden Pilihan Rakyat: Antara Sipil dan Militer

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Pasca lengsernya Soeharto, rakyat (baca: rakyat kecil) belum bisa merasakan ‘hidup harmonis’ layaknya era Orba (rezim militer). Hal ini terlihat dengan fenomena instabilitas ekonomi, politik, dan sosial yang berlarut-larut. Rupiah anjlok, tatanan politik yang morat-marit, serta kondisi sosial yang riuh dengan konflik dan kerusuhan. Dengan kondisi semacam ini, rakyat berkesimpulan bahwa rezim sipil tidak mampu membawa ‘perubahan’.

Maka, jangan heran jika rakyat merindukan kepemimpinan militer. Kerinduan rakyat dengan figur militer ini terbukti saat pemilihan presiden putaran pertama. Di mana suara terbanyak diraih oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), sementara pasangan Wiranto-Wahid, yang juga dari kalangan militer, masih agak mendingan berada pada urutan ketiga.

Kenapa yang unggul bukan Megawati, Amien Rais, atau Hamzah Haz? Rakyat menilai bahwa kepemimpinan sipil ternyata tidak bisa memberikan nilai plus, yaitu keluar dari krisis. Figur sipil tidak mampu menangani problematika sosial-kemasyarakatan dengan cepat dan efisien. Terbukti dengan menumpuknya kasus yang belum terselesaikan, sehingga terkesan pemerintah (sipil) tidak mampu. Habibie, Gus Dur, dan Megawati —yang dianggap representasi sipil— tidak mampu berbuat apa-apa dalam stabilitas politik dan keamanan. Akibatnya, jargon “sudah terbukti, sudah teruji” yang dipakai Megawati saat pemilihan presiden putaran pertama kurang menarik simpati rakyat untuk mendulang suara. Karena rakyat tahu bahwa Megawati memang sudah terbukti dan teruji “tidak berhasil”, kenapa harus dipilih lagi?

Saat ini, rakyat butuh ketenangan, keamanan, dan bebas dari ketakutan (teror). Menurut persepsi rakyat, yang mampu mengatasi masalah ini adalah militer, bukan sipil. Sebagaimana saat Orba, mereka merasa ‘tentram’. Tak bisa dipungkiri, rakyat Indonesia masih gandrung dengan hal-hal yang instan, meski hakikatnya adalah bak candu. Ketika ada masalah, maka harus diselesaikan secara cepat (instan). Rakyat terbiasa dengan berfikir jangka pendek, mereka belum mampu berfikir dengan paradigma yang holistik dan berwawasan ke depan.

***

“Apapun masalahnya, senjata solusinya.” Itulah adagium sekaligus stigma yang tersemat dalam diri militer. Apakah benar demikian? Terlepas dari benar atau salah, itulah yang digemari oleh rakyat, yaitu ketegasan—meski dengan senjata (baca: tidak harus dengan damai). Padahal, menurut penulis, sejatinya gejolak dan instabilitas bukanlah suatu problem, akan tetapi dialektika sosial yang tidak bisa ‘diharmoniskan’ secara instan. Jika dipaksa untuk cepat selesai, maka akan menuai keharmonisan yang sesaat, dan jangan heran jika akan bergejolak di kemudian hari.

Maklum, rakyat belum bisa menerima nalar seperti ini. Rakyat hanya bisa menilai dan melihat dari permukaan, sehingga konstruksi nalarnya terpancang pada hal-hal yang instan. Nalar yang digunakan adalah nalar “asal-asalan”; asal harga turun, asal gampang nyari kerja, asal tidak ada keributan, asal sembako murah dan seterusnya. Nalar seperti inilah yang belum mampu dijawab oleh pemerintah pasca Soeharto. Akibatnya, rakyat berkesimpulan bahwa pemerintahan sipil lemah dan rapuh, dan butuh pemimpim yang tegas dan tangguh. Maka wajar-wajar saja jika kepercayaan rakyat kepada sipil pun rontok, dan rindu dengan militer (lagi).

Bukti kerinduan rakyat dengan figur militer (Susilo Bambang Yudhoyono) ini diperkuat dengan hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang dipublikasikan ke media massa (27/7), dengan responden 1.190 orang, menyimpulkan bahwa SBY akan mendapat suara sekitar 68 persen pada pemilihan presiden putaran kedua. Dengan asumsi, secara kepribadian, seperti tegas, perhatian, dan berwawasan luas, SBY lebih unggul dibanding Megawati. Data ini juga diperkuat dengan hasil polling Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang berkesimpulan, kubu SBY memiliki modal awal perolehan suara relatif lebih besar daripada pasangan Megawati (Kompas, 28/7).

***

Lalu pertanyaannya kemudian, apakah hasil polling di atas bisa terbukti saat Pilpres putaran kedua, sipil kalah oleh militer?

Belum tentu, sebab hilangnya kepercayaan rakyat kepada sipil diakibatkan lemahnya pemerintahan sipil dalam menangani problematika yang dihadapi rakyat, yang tercermin dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak pro terhadap rakyat (kecil). Masih ada tenggang waktu yang lama (satu setengah bulan) untuk memperbaiki citra Megawati (sipil). Dan ini merupakan kesempatan “emas” bagi Megawati yang berkedudukan sebagai orang yang sedang berkuasa (incumbent) untuk menarik simpati rakyat.

Karena itu, pada Pilpres putaran kedua nanti, Mega punya peluang lebih besar untuk menarik simpati rakyat daripada SBY. Dengan posisi Mega yang sekarang ini, incumbente, maka bisa jadi masa kampanye putaran kedua bagi Mega adalah setiap hari, dan kesempatan ini tidak dimiliki oleh SBY. Karena itu, Mega bisa saja melenggang pada putaran kedua, jika: pertama, Mega mampu menarik simpati rakyat lewat pendekatan langsung, bukan hanya lewat koalisi elit. Sebab inilah yang menjadi catatan besar kekalahan pasangan Wiranto-Wahid (Golkar-PKB). Koalisi yang dibangun Wiranto hanya pada tingkatan elit, sementara akar rumput terlepas. Kejadian ini harus dijadikan pelajaran bagi Megawati.

Kedua, mampu memberikan kontribusi yang konkrit, berupa kebijakan yang ‘menyentuh’ rakyat. Dalam artian, kebijakan Mega harus terasa ‘manis’ di lidah rakyat. Misalnya dengan menangkap aktor kasus 27 Juli, mengadili para koruptor, menurunkan harga dan seterusnya. Mega harus mampu menutupi kelemahan pemerintahannya, dan membikin prestasi yang luar biasa di mata rakyat. Sebab, banyak kegelisahan rakyat yang belum terobati oleh Megawati, sehingga wajar jika rakyat (sipil) harus mencari ‘dokter’ lain dari luar golongan (militer).

Jelas, kerinduan rakyat akan militer bisa sirna dengan kebijakan Megawati yang pro rakyat. Berarti, sipil atau militer bukanlah hal yang signifikan dalam benak rakyat. Siapapun yang dapat membawa Indonesia dalam ranah yang lebih harmonis dan stabil, itulah yang diidolakan rakyat. Sebab, selama ini rakyat menginginkan “perubahan sosial”, bukan “perebutan kekuasaan”. Jika demokrasi yang dijalankan hanya berkisar pada “perebutan”, tanpa ada tanggung jawab untuk melakukan “perubahan”, maka jangan harap rakyat akan percaya dengan semuanya, sipil atau militer. []


Sumber: Duta Masyarakat, 10 Agustus 2004.

Wednesday, May 19, 2004

Terbebas dari Kekerasan

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Penyerbuan kampus UMI Makasar, gejolak konflik di Ambon, dan “penertiban” pendukung Abu Bakar Ba’asyir merupakan bagian dari warna-warni kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Kekerasan seakan tidak bisa terlepas dari kehidupan bangsa Indonesia yang (katanya) adil dan beradab. Tindak kekerasan tidak lagi menjadi sesuatu yang alami, tetapi timbul akibat dari tindakan yang diciptakan oleh kelompok tertentu yang menginginkan instabilitas.

Ketika ada ketidaksefahaman, maka tindak kekerasan sudah menjadi sesuatu yang tak dapat dielakkan lagi. Ini pertanda bahwa rasa kemanusiaan bangsa ini semakin hari kian rapuh. Patut kiranya kita menanyakan, ke mana spirit humanisme dalam diri manusia; cinta sesama, tolong menolong, gotong royong, dan hidup berdampingan secara harmonis dan dinamis. Pembelaan terhadap “manusia” belum pernah ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di republik ini pun hanya bisa melakukan penyuluhan, dan rekomendasi-rekomendasi saja, tidak lebih dari itu. Mereka tidak pernah diberi wewenang untuk melakukan pembelaan yang lebih tegas.

Sungguh sangat menggelisahkan. Apalagi kebanyakan peristiwa selalu dikaitkan dengan nuansa politis. Jika tidak menguntungkan dirinya secara politis, maka peristiwa itu akan ditelantarkan atau tidak digubris. Contoh, aksi kekerasan yang baru-baru ini terjadi, kenapa buntut dari isu yang muncul adalah tolak presiden dari militer? Ini adalah tanda tanya besar. Jangan-jangan kekerasan-kekerasan yang terjadi, bukanlah hal yang alamiah konflik individu/kelompok. Akan tetapi ada indikasi ke arah penciptaan setting kepentingan kelompok tertentu. Atau jangan-jangan ada hubungannnya dengan konflik elit untuk memperebutkan jabatan.

***

Begitu pula dengan komitmen kebangsaan dan budaya komunalisme yang sudah mulai mengalami degradasi. Munculnya konflik yang terjadi belakangan ini paling tidak ada dua sebab. Pertama, euforia kebebasan yang selama ini dikekang. Masyarakat Indonesia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari warga yang bebas untuk berekspresi dan mengartikulasikan jati dirinya. Prinsip kebebasan yang mereka anut adalah kebebasan dengan sebebas-bebasnya, tanpa harus memandang apakah bertentangan dengan kepentingan orang lain atau tidak. Yang menjadi masalah adalah ketika semangat untuk bebas dan merdeka ini tidak tersalurkan pada hal-hal yang positif. Tentunya, hal ini akan menggiring pada tingkah pola yang negatif dan malah kontra-produktif dari tujuan semula, tentang makna kebebasan itu sendiri, yaitu bebas dari (free from) segala bentuk keterkungkungan dan bebas untuk (free for) bersikap dan berekspresi. Kebebasan—yang berbasis kemanusiaan—merupakan bentuk perlawanan terhadap “hegemoni” kekuasaan, ideologi, kebudayaan dan agama yang hipokrit.

Kedua, ketidakpuasan pihak-pihak tertentu atas realitas politik yang terjadi. Ketidakpuasan ini muncul akibat (di)tergesernya otoritas politik oleh pihak lain (baca: rival politik). Dalam logika pertarungan, maka muncullah “dendam politik” yang selanjutnya dilampiaskan kepada rakyat awam dengan jalan memprovokasi. Sungguh ironis, dan harus cepat ditangani, sebab bangsa ini sudah merindukan dewa penolong (untuk tidak mengatakan Satrio Paningit atau Ratu Adil) yang akan menyolidkan dan merajut semangat nasionalisme yang (masih) tercecer.

Harapan di Tengah Badai

Komponen bangsa yang—bisa dibilang—masih kocar-kacir ini harus mulai dirakit kembali. Begitu pula dengan nasionalisme kebangsaan yang “sobek” harus dijahit kembali, sebab hal ini merupakan wujud dari implementasi komitmen NKRI. Lalu, dengan jalan apakah harapan ini bisa terwujud? Apakah kita masih gandrung dengan cara-cara kekerasan? Harus disadari, aksi-aksi yang berbau militeristik bukan menyelesaikan masalah, bahkan membikin keruh.

Tak ayal, badai yang menghantam perdamaian bangsa ini, salah satunya, adalah budaya kekerasan. Berbicara tetang kekerasan, penulis ingat dengan Johan Galtung (peneliti dan penulis buku-buku perdamaian), yang menegaskan bahwa kekerasan tidak hanya berupa fisik, tetapi juga psikologis. Kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental dan mengacak otak.

Selain itu, lanjut Galtung, ada kekeraasan yang sifatnya tersembunyi. Ini ibarat bara dalam sekam, yaitu tidak kelihatan namun bisa dengan mudah “meledak” kapan saja. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah (unstable equilibrium). Konsep ini terbukti saat pemerintahan Soeharto berkuasa, di situ ada kekerasan yang tersembunyi. Tampak dari luar seakan-akan stabilitas terjaga, padahal di dalamnya menyimpan kompleksitas kebobrokan bangsa yang ditutupi. Kejadian sesungguhnya adalah situasi keseimbangan yang goyah sehingga sangat mudah meletus menjadi serangkaian kasus, seperti kerusuhan Mei 98, peristiwa Tanjung Priok, Lampung, serta kasus-kasus yang lain.

Semua ini adalah tanggung jawab kita bersama, terutama para generasi muda. Sebab merekalah yang akan merancang arah bangsa ke depan. Dari paparan di atas, jelas bahwa bangsa ini sudah lelah dengan legalisasi cara-cara kekerasan dengan warna-warni apologi. Dari sini, perlu kiranya untuk membangunkan spirit humanisme (baca: rasa kemanusiaan) yang sempat mati suri. Dan juga perlu adanya “penyadaran” tentang pentingya nilai-nilai kemanusiaan dan bukan nilai-nilai primordialisme yang selama ini mereka “sembah”.

Pertama, membumikan budaya dialogis di kalangan masyarakat Indonesia. Apapun masalahnya harus ditangani dengan (oto)kritis-dialogis dan bukan konfrontatif. Cara-cara yang non-dialogis bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru membikin “kekerasan tersembunyi” sebagaimana di atas. Kedua, menyadarkan masyarakat tentang makna humanisme universal, bukan sekedar primordialisme yang sempit (lokal). Sebab cara pandang yang sempit akan menimbulkan pola pikir yang sempit pula.

Jadi, ketika budaya dialogis sudah membumi dan spirit humanisme telah tertanam, maka masyarakat Indonesia secara step by step akan terbebas dari budaya kekerasan. []


Sumber: Harian Merdeka, 19 Mei 2004.

Tuesday, March 23, 2004

Politik Perempuan: Tersandung Mitos Geneologis

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Dibanding sebelumnya, Pemilu kali ini cukup membukakan gerbang oase politik perempuan. Tinggal bagaimana sepak terjang perempuan dalam memanfaatkan peran dan peluang tersebut. Jangan sampai perempuan—lagi-lagi—hanya dijadikan bulanan-bulanan oleh laki-laki. Konsekuensinya, quota 30 persen di legislatif yang dijanjikan dalam UU No. 12/2003 harus dapat menuntut adanya kesadaran partai-partai politik untuk memberikan hak politik kepada para pendukungnya yang perempuan.

Dan yang harus diperhatikan pasca perebutan kursi legislatif di Pemilu nanti adalah tatakala perempuan telah duduk di kursi legislatif. Jangan sampai keberadaan mereka hanyalah artifisial belaka. Makanya, harus difungsikan semaksimal mungkin agar tidak melenceng dari mainstream perjuangan perempuan.

Sebagai laki-laki, saya sangat membanggakan peran politik perempuan pada Pemilu 1999 dan 2004, yang sontak melesat jauh dibanding era-era sebelumnya. Semisal pada era demokrsi terpimpin, dari 10 parpol konstestan Pemilu hanya seorang perempuan yang menjabat di posisi ketua umum, yakni Hj. Ratu Aminah Hidayat sebagai pimipinan parpol IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Setelah itu tak seorang pun perempuan yang menduduki jabatan ketua umum atau sekjen parpol selama hampir 30 tahun-an.

Sekarang, mereka bukan sekedar menjadi caleg (calon legislatif), tapi mereka juga menempati jabatan nomor wahid di jajaran partai politik. Misalnya, Megawati Soekarno Putri (Presiden dan ketua PDI-P), Sukmawati Soekarno Putri (ketua PNI), Rachmawati Soekarno Putri (ketua pelopor), dan Hardiyanti Rukmana (capres). Jika kita lebih teliti dan cermat dalam menganalisa nama-nama tersebut, mengapa figur-figur perempuan yang muncul masih ada sangkut pautnya dengan orde-orde yang dulu pernah berkuasa? Realitas inilah yang akan disoroti dalam tulisan ini.

Bagi penulis, sosok perempuan Indonesia yang muncul di posisi “atas” saat pemilu 2004 bukan—sepenuhya—akibat kapabilitas dirinya sendiri. Tapi ada faktor lain, yaitu faktor geneologis. Sebut saja nama Megawati, Rachmawati, dan Sukkmawati bisa langsung melejit dan mendapatkan dukungan yang tidak sedikit, tak lain karena dompleng ke bokapnya, Soekarno. Selain itu, ada juga nama Siti Hardiyanti Rukmana yang—bisa jadi—menjadi rival kuat Mega di Pemilu mendatang, juga tak lain akibat ketiban pulung dari bapaknya, Soeharto.

Realitas politik perempuan Indonesia memang terlihat begini adanya. Jika memang benar, maka perempuan masih belum bisa membongkar kospirasi rezim laki-laki, sebab popularitas perempuan Indonesia masih mengekor pada Bapaknya (baca: laki-laki). Dengan kata lain, perempuan belum bisa mandiri.

Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud merendahkan perempuan, akan tetapi mencoba untuk memberikan sketsa dan ilustrasi tentang masyarakat kita yang belum sadar dan melek politik, khususnya kalangan akar rumput (grass root). Mereka lebih sering terjebak dengan mitos-mitos yang—dulu pernah—mapan.

Misalnya, sosok Soekarno (Orla) akrab dengan mitos Ratu Adil, Soeharto (Orba) terkenal dengan mitos Bapak Pembangunan, Habibie lengket dengan Kemajuan Teknologi, Gus Dur masyhur dengan mitos Pemersatu Nasional, dan PDI-P kental dengan mitos Sang Korban.

Mitos-mitos yang dikonstruk penguasa itu tidak bisa hilang dari mindset rakyat, bahkan terus (semakin) melekat. Sehingga, setelah lama ditinggal (baca: lengser) masih ada perasaan rindu dan mengelu-elukan figur yang dikultuskan. Anehnya, di Indonesia, keangkuhan mitos-mitos itu diwarisi oleh anak perempuan mantan penguasa. Sebagaimana yang telihat sekarang, popularitas nama Mega, Rahma, Sukma, Tutut—ternyata—dapat mengalahkan popularitas seudara-saudaranya yang cowok.

Jadi, tidak hanya budaya patriarki saja yang menjadi ganjalan perempuan. Mitos geneologis juga turut menghambat laju gerakan (politik) perempuan Indonesia. Kenapa demikian? Sebab, ada stigma yang berkembang di masyarakat, bahwa keunggulan kepemimpinan perempuan Indonesia menjadi bermakna jika dirinya dan arah perjuangannya telah dianggap sebagai bentuk personifikasi dari nilai-nilai kultural perjuangan Bapaknya. Dengan kata lain, pemimpin perempuan yang muncul merupakan bentuk reinkarnasi dari Bapaknya. Jadi, mitologisasi di Indonesia sudah menggurita dan benar adanya.

Lalu, pertanyaannya sekarang adalah figur perempuan manakah yang bisa mengalahkan popularitas dan kharismatik anak-anak perempuan mantan penguasa? Di sinilah—antara lain—letak kelemahan kesadaran politik rakyat Indonesia, yaitu terjangkit “mitologisasi”. Untuk bisa sembuh dari penyakit ini, rakyat harus diberikan obat penawar, yaitu demitologisasi (peniadaan mitos). Gagasan ini yang diharapkan bisa membukakan pintu gerbang kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu kultus individu dan mitos geneologis. Siapapun figurnya tak kan ada lagi embel-embel kecuali sesuatu yang terpancar dari dirinya sendiri.

Setidaknya, ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan untuk memuluskan proyek demitologisasi ini. Pertama, memberikan penyadaran kepada akar rumput tentang pentingnya pemahan sejarah secara proporsional dan fairness. Agar rakyat terbebas dari buta politik. Sebab, selama ini rakyat selalu menjadi “obyek” dari proyek hegemoni penguasa. Kedua, mengubah paradigma dan logika berfikir rakyat tentang faktor geneologis dalam pembentukan potensi atau kemampuan intelektualitas seseorang. Langkah ini diharapkan dapat meruntuhkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang terlalu menomorsatukan faktor geneologis. Kalau bapaknya orang pinter ya sudah barang tentu anaknya juga pinter. Dalil-dalil pembodohan inilah yang juga harus dibabat.

Ketiga, membumikan budaya kritis. Hal ini untuk mengikis budaya masyarakat Indonesia yang cenderung sami’na wa atho’na (baca: nurut dan manut). Kenapa? Agar terjalin dan terwujudnya kontrol masyarakat terhadap negara. Dengan demikian, kultus individu dan mitos geneologis lambat laun akan sirna dari mindset dan logika berfikir masyarakat Indonesia.

Tentunya, kita tidak menginginkan pemimpin yang cuma bisa mengandalkan kharismatik dirinya, apalagi kharismatik dari faktor geneologis. Pemimpin yang handal adalah pemimpin yang mandiri, berdedikasi tinggi, serta wawasan kerakyatan.

Jika perempuan Indonesia belum bisa mandiri, maka jangan berharap mampu memperjuangkan hak-haknya, meski memperoleh target 30 persen. Bisa jadi, perempuan-perempuan yang duduk di kursi legislatif hanya sebatas berperan sebagai pengumpul suara (vote gater) dan wayang yang dimainkan oleh dalang laki-laki. []


Sumber: Pelita, 23 Maret 2004.

Friday, March 19, 2004

Memata-matai Militer

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Sudah sekian lama bangsa ini mengalami lika-liku derita dan durjana yang tak kunjung usai. Mulai dari krisis ekonomi, politik, kepercayaan (trus) sampai dengan stabilitas keamanan. Apalagi, sekarang ini kondisi perpolitikan Indonesia kian memanas, sebab banyak kepentingan yang gentayangan menjelang pemilu 2004. Pada pemilu mendatang, sebagian kalangan ada yang mencurigai kembalinya peran politik militer. Tapi, apakah hal itu benar-benar terbukti?

Bangsa ini sudah mengalami trauma yang berkepanjangan (baca: dilema) dengan peran militer di era orde baru. Dengan dwi fungsi (dual function) ABRI-nya, militer tidak hanya bertanggung jawab dalam masalah pertahanan keamanan negara tetapi juga peran politik praktis. Dengan kata lain, militer punya hak untuk melegitimasi atau mendelegitimasi penguasa. Akibatnya, segala permasalahan bangsa yang bergejolak acap diselesaikan dengan cara-cara militeristik (kekerasan).

Seharusnya militer, dalam hal ini TNI, mampu mengartikulasikan dan mangaplikasikan amanat salah satu pendiri TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang menegaskan, tentara adalah alat negara bukan alat penguasa. Lebih jauh, amanat ini merujuk kepada keharusan TNI untuk tetap setia kepada seluruh rakyat dan bukan kepada kepentingan segelintir orang.

Tampaknya, TNI sekarang sudah mulai sadar dan mengenali jati dirinya. Hal ini tercermin dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto saat peringatan HUT ke-58 TNI (5/10/2003). Dia menandaskan, peringatan ini akan digunakan sebagai momentum “reinkarnasi” jati diri TNI dalam sistem politik nasional. Pernyataan tersebut mendapat banyak komentar dari berbagai kalangan. Sebab, pernyataan TNI akan menarik diri dari kancah politik praktis, menjaga jarak dengan seluruh kekuatan politik, serta tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang, bukanlah hal yang baru. Meski demikian, pernyataan itu merupakan angin segar di tengah situasi politik yang kian memanas menjelang digelarnya pesta rakyat, bulan depan.

Sejak pasca gerakan reformasi 1998, konsep dwi fungsi ABRI—yang awalnya digagas untuk mengatasi kurangnya tenaga sipil yang layak untuk mengisi jabatan pemerintahan itu—mulai digugat. Mulai banyak suara protes yang mempertanyakan konsep yang digagas oleh Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal (Besar) Abdul Haris Nasution itu.

Saat itu, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, pun tampaknya tanggap dengan tuntutan tersebut. Wiranto (saat itu Menhankam) segera menyusun blue print kembalinya ABRI (TNI) ke barak, dengan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (kini Jendral Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu konseptornya. Namun, usaha kembali ke jati diri itu pun bukan perkara yang mudah. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah niat TNI itu tulus, atau hanya usaha untuk mengurangi hujatan yang banyak diarahkan kepada institusi yang bermarkas di Cilangkap itu.

Tekad TNI ini membutuhkan sokongan dari berbagai pihak, agar tidak ada yang coba-coba menarik TNI (lagi) untuk kepentingan sesaat. Sebagaimana—contoh kasus—saat legitimasi presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sontak menurun, menjelang kejatuhannya pertengahan 2001, Gus Dur berusaha menarik TNI (fraksi TNI/Polri) untuk mendukungnya. Namun, TNI yang saat itu sudah dipimpin Jenderal Endriartono Sutarto, memilih bersikap netral dan hanya mengawal proses politik yang terjadi. Sejak itu, berkali-kali Endriartono menyatakan TNI tidak akan kembali menjadi pemain di lapangan (politik) dan hanya akan melakukan tugas pokoknya saja.

Kita patut mengacungi jempol dan mendukung bulat tekad TNI untuk kembali ke barak dan ogah lagi main politik praktis. Di samping itu, kita juga harus tetap waspada dan kritis terhadap langkah TNI. Sebab, ada yang memprediksi, kemungkinan terjadinya chaos pada pemilu 2004 adalah potensi besar kembalinya militer menjadi penguasa di Indonesia. Artinya, ketika sipil tidak tidak bisa menunjukkan kemampuannya membawa negara ini ke arah yang lebih baik, bahkan terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, maka jangan salahkan jika militer mengambil alih kekuasaan negara.

Ternyata, masih banyak kemugkinan yang bakal terjadi saat pemilu nanti, terutama peran serta militer, apakah ia benar-benar pulang dan tak kembali atau hanya berbasa-basi? Makanya, April nanti merupakan “ujian” bagi TNI, apakah ia benar-benar konsekwen dengan komitmen untuk tidak berpolitik (lagi). Begitu pula di parlemen kelak, fraksi TNI/Polri sudah dipastikan tidak ada lagi. Ketegasan Panglima TNI dalam memberikan “fatwa” politik begitu mencengangkan warga sipil. Betapa tidak, TNI yang dulu menjadi kaki tangan elit politik yang berkuasa, sekarang justru malah ke barak.

Perlu diingat, bahwa fatwa tersebut hanya berlaku bagi kalangan militer yang masih aktif. Sedang pensiunan tentara (purnawirawan), ia tetap mempunyai hak yang sama dengan warga sipil, dipilih dan memilih. Di titik inilah yang menarik untuk ditilik. Secara langsung, TNI memang tidak berpolitik, tapi bagaimana dengan menjamurnya purnawirawan di partai-partai politik? Lalu, adakah indikasi yang mengarah ke perluasan “jaringan militer” di parlemen lewat partai politik, karena TNI tidak dapat jatah kursi lagi di parlemen? Gejala inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan sekaligus kekhawatiran sebagian kalangan terkait dengan motif kembalinya peran politik militer—secara tidak langsung—saat pemilu 2004. Benarkah? Wallahu a’lam. []


Sumber: Buletin Nalar Edisi 2/Th.III/2004.

Wednesday, March 10, 2004

Menganggit Kampanye Pemilu 2004

Oleh Abdullah Ubaid Matraji 
 

Menjelang Pemilu 2004, terutama saat kampanye, banyak kalangan yang menghawatirkan terjadinya aksi kekerasan di bumi Indonesia. Indikasi ini mulai tampak pada akhir Oktober 2003, drama kekerasan masa antarpartai dimulai. Dan Bali “terpilih” sebagai panggung kekerasan politik. Peristiwa bentrok antarmasa Partai Golkar dan PDI-P di Buleleng Bali telah menjadi babak pembuka.

Semoga saja itu adalah “kekerasan Pemilu” yang pertama dan yang terakhir. Kita tidak ingin kekerasan semacam itu berbuntut dan merembet ke daerah-daerah lain. Sebab daerah-daerah yang lain juga sangat rentan dengan gesekan politik, yang berbuntut bentrokan, tawuran, bahkan pembunuhan.

Sebut saja kota Jepara. Sudah beberapa kali kota Ukir ini mencatat “lembaran hitam” dalam kasus kekerasan menjelang Pemilu yang menelan korban jiwa. Kasus Dongos yang memakan korban 4 nyawa serta kebakaran rumah dan mobil menjelang kampanye Pemilu 1999. Peristiwa ini mencuat ke seluruh dunia karena mendapat liputan luas dari pers internasional. Menjelang Pemilu Juni 1999, di Desa Bandungharjo, Kecamatan Keling, juga pecah bentrokan antarkelompok yang minta korban lima nyawa.

Sesudah itu, secara sporadis muncul bentrokan antarkelompok dari wilayah terpisah yang membawa korban jiwa. Jepara kembali dibuat geger. Kiai Shodiq, pemimpin Pondok As-Salafiyah, Karetan, Dukuh Gendola, Desa Raguklampitan, Kecamatan Batealit, Jepara, tewas dengan luka senjata tajam dan luka bakar setelah diserbu massa bertopeng.

Jika ditilik lebih cermat, kekerasan di daerah-daerah (sebagaimana di Jepara) seakan bukan hal yang aneh lagi, apalagi menjelang Pemilu. Seolah-olah masyarakat Indonesia sudah “kedagingan” (meminjam Istilah Gus Mus) dengan kerusuhan dan kekerasan. Walau begitu, apapun alasannya kita tidak ingin bangsa ini selalu marak dengan “iring-iringan” kekerasan.

Kemungkinan Rusuh

Meski sudah diantisipasi, tidak menutup kemungkinan letupan-letupan kekerasan akan meluap. Dari peristiwa Buleleng, kita dapat membaca beberapa kemungkinan yang bakal terjadi saat kampanye nanti. Paling tidak ada dua problem serius yang dihadapi masyarakat Indonesia terkait dengan kemungkinan rusuh.

Pertama, problem pendidikan (politik). Secara akademis, pendidikan di Indonesia belum bisa merata. Pendidikan yang “layak” hanya bisa dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat. Jika dibandingkan, masyarakat yang terdidik akan lebih sedikit daripada yang tidak terdidik. Problem ini menampakkan realitas yang jomplang dalam dunia pendidikan. Jadi, masyarakat Indonesia masih lemah dalam hal pendidikan.

Akibatnya, kesadaran berpolitik dan berdemokrasi pun terasa timpal. Realitas di lapangan menyatakan, kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum melek politik. Mereka masih tergolong intelektual tradisionalis (istilah Gramsci). Yaitu masyarakat yang tidak peka terhadap kondisi bangsa, pro status-quo serta kehilangan kesadaran karena terbuai oleh rayuan kooptasi penguasa. Jadi, mereka tidak sadar kalau mereka hanya dibuat “mainan” oleh elit politik.

Kedua, problem kultural. Mengenai hal ini, Kuntowijoyo (Esai-esai Budaya dan Politik: 2002) bertutur, masyarakat Indonesia masih terjerat kultur “mitologisasi”. Masyarkat belum bisa melepaskan mitos-mitos yang terekam dalam backmind mereka. Misalnya, presiden ke-1, Soekarno, masyhur dengan Ratu Adil yang mempu membawa rakyat Indonesia dari krisis dan ketertindasan menuju gerbang kemerdekaan. Soeharto, sosok yang dikenal dan dikagumi sebagai Bapak Pembangunan (father of development) yang berkuasa selama 32 tahun. Serta mitos teknokrat pada B.J Habibie, mitos Pemersatu Nasional pada Gus Dur, mitos Sang Korban pada Megawati, bahkan disintegrasi bangsa disebabkan oleh mitos; Cargo Cult (pemujaan kapal muatan), yang merangsang munculnya gerakan separatisme di Aceh, Papua, dan Riau.

Kultur mitologisasi inilah yang turut memperlemah budaya kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Tak lain, disebabkan oleh faktor mitos yang sudah mendarah daging. Kalau sudah demikian, maka “fanatisme” adalah sebuah jawaban. Jika massa pendukung partai mengedepankan fanatisme, maka arogansi massa tidak bisa dikendalikan.

Kondisi seperti inilah yang menyebabkan massa partai ibarat “bara dalam sekam”. Sedikit tersenggol langsung terbakar. Jika memang demikian adanya, maka tidak menutup kemungkinan hari-hari kampanye akan diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan.

Kampanye Dialogis-Argumentatif

Kita tahu, titik tolak pergantian tonggak kepemimpinan Bangsa ini adalah lewat Pemilu. Tentunya, kita tidak ingin mengotorinya dengan bau anyir darah. Penulis berharap, pada Pemilu nanti, elit-elit partai harus dapat merubah strategi kampanye mereka.

Menarik simpati massa dengan hasutan dan provokasi hendaknya diubah dengan model kampanye dialogis-argumentatif. Yaitu dengan mengedepankan proses dialogis (bukan sekedar pengerahan massa) dan memberikan argumen yang logis (bukan persuasif) kepada massa. Lalu pertanyaannya adalah kenapa harus dialogis-argumentatif?

Pertama, model ini merupakan tandingan dari model persuasif (bujukan) dan—sekedar—pengerahan massa. Cara-cara seperti ini (persuasif) akan gampang menanamkan fanatisme buta serta mengobarkan api permusuhan yang berbuntut kerusuhan dan aksi kekerasan. Dan jika ada gesekan antarmassa sedikit saja, maka api permusuhan langsung menyala.

Jadi, saat kampanye massa harus diberikan argumentatif yang logis, dan jangan sampai ada penggiringan massa ke realitas-persuasif. Kampanye model dialogis-argumentatif diharapkan akan mengikis klaim superioritas dan anggapan paling benar atas partai tertentu.

Kedua, kampanye model ini akan lebih memerioritaskan pada sosialisasi program partai dengan tanpa “menyentil” sentimen massa (misalnya dengan mengangkat sentimen perbedaan suku, ideologi, atau manipulasi simbol-simbol agama).

Sebab, yang sering menyulut permusuhan dan pertikaian adalah memanas-manasi massa dengan menggunakan berbagai sentimen. Akibatnya, kampanye bukan melakuakan sosialisasi program partai, tapi malah “mengangkangi” agama, misalnya, sebagai dasar legitimasi partai, dan memanipulasi tafsir (baca: bias tafsir).

Untuk Pemilu mendatang, kita tidak ingin insiden-insiden buruk terjadi lagi. Bangsa ini sudah “gerah” dengan keterpurukan, mari kita bangun bangsa ini dengan tanpa kekerasan. Demi “perubahan” Indonesia dan optimisme Pemilu 2004, maka segala bentuk konflik kepentingan elit politik yang berimbas pada tindakan kekerasan terhadap publik harus dapat dicegah, atau paling tidak diminimalisir. Karena itu, dibutuhkan partisipasi publik sebagai penjaga “komitmen perdamaian” untuk tidak melegalkan praktek-praktek kekerasan dengan mengatasnamakan siapapun dan apapun. []


Sumber: Duta Masyarakat, 10 Maret 2004.

Wednesday, January 21, 2004

Penjajahan Nalar Politik dan Hegemoni Media

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Penggunaan SMS (Short Message Services) dalam polling memang menyulut pro dan kontra dari berbagai kalangan. Yang menjadi titik permasalahan adalah tentang akurasi dari hasil yang diperoleh, apalagi penggunaan metode ini dipraktikkan oleh media elektronik (baca: televisi) untuk memilih presiden.

Persoalan ini menjadi ”sensitif” karena dari hasil polling tersebut akan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap publik, berkaitan dengan penentuan capres manakah yang ”laku” dan ”tidak laku”. Psikologis massa akan merasa down saat capres yang dijagokan ternyata mendapat nomor urut buncit, begitu pula sebaliknya. Bagi masyarakat yang belum mengerti manakah capres yang paling ideal, dengan melihat hasil polling via SMS di televisi bisa jadi ia dengan mudah secara spekulatif akan mengambil kesimpulan, bahwa capres ideal adalah yang mendapat suara terbanyak.

Metode ini memang banyak mengandung kelemahan jika dibandingkan dengan metode polling yang lain. Jika dihitung, berapa persenkah masyarakat Indonesia yang mempunyai hand phone (HP)? Menurut data Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, masyarakat yang memiliki HP hanyalah 10 persen dan hanya 20 persen darinya yang aktif menggunakan HP untuk mengisi polling. Kalau memang demikian, akuratkah hasil polling via SMS?

Polling yang awalnya digunakan untuk mengetahui-atau paling tidak mendekati-fakta, tapi dengan adanya metode SMS justru malah menjauhkan masyarakat dari realitas yang sesungguhnya. Begitu pula dengan presiden yang terpilih, ia pun hanya akan menjabat sebagai presiden di layar televisi.

Dalam hal ini, yang mempunyai andil dalam mempengaruhi publik adalah media. Lewat polling via SMS—secara tidak langsung—media akan dijadikan sebagai ajang kampanye terselubung oleh kandidat presiden. Melihat kenyataan yang seperti ini, bisa jadi, fungsionaris partai berlomba-lomba untuk mengerahkan massanya untuk melakukan serangan SMS ketika ada polling di televisi.

Pihak yang diuntungkan adalah partai-partai politik yang basis pendukungnya berada di strata ekonomi menengah ke atas dan berada di perkotaan. Kenyataan ini tidak bakalan terjadi pada masyarakat yang ekonominya lemah, khususnya di pelosok pedesaan. Boro-boro mereka mau ikut polling lewat SMS, lha wong HP saja tidak punya, seandainya punya pun tidak dapat digunakan, karena tidak ada sinyal. Melihat kondisi yang seperti ini sungguh naif sekali, kalau polling lewat SMS dikatakan akurat dan representatif.

Belum lagi dimungkinkan ada kongkalikong dengan media terkait, hal semacam ini memang patut dicurigai. Jika memang demikian, maka kaburlah garis demarkasi antara media (milik publik) dan politik (milik golongan). Tak lain, ini merupakan salah satu bentuk penjajahan nalar politik yang terselubung lewat media.

Penulis tidak menginginkan, media yang dijadikan pusat informasi dan pendidikan politik publik justru berbelok arah menjadi ”agen” dari sebuah ”kepentingan”. Kalau tidak segera ditindak, hal ini akan berakibat pada hilangnya hak publik untuk mengakses informasi yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi.

Netralitas media sangat ditekankan dalam masalah ini, sebab posisi media dijadikan sebagai ”taruhan demokrasi”. Satu sisi, media sebagai pengawal demokrasi yang akan mendobrak bias-bias informasi, dan juga sebagai salah satu alat kontrol terhadap pemerintah. Namun, pada sisi lain, media juga punya peluang besar untuk melakukan manipulasi informasi (baca: pembohongan publik).

Secara tegas, penulis tidak setuju dengan polling capres via SMS. Karena banyaknya sinyalemen yang lebih mengarah pada pembohongan publik—lewat media—daripada pendidikan politik. Buktinya, saat ada tayangan iklan rokok pemerintah selalu memberikan disclaimer (misalnya, ”merokok dapat menyebabkan kangker”), tapi mengapa pemerintah tidak memberikan disclaimer saat ada polling via SMS di televisi (misalnya, ”jangan percaya seratus persen pada polling”, atau dengan ungkapan lain)? Apa bedanya iklan rokok dengan polling via SMS, kedua-duanya mempunyai dampak negatif terhadap masyarakat. Rokok akan merusak kesehatan, sedangkan polling SMS jelas-jelas hanya akan menyesaatkan publik.

Penjajahan Nalar

Jelas, fenomena ini merupakan salah satu bentuk penjajahan nalar politik lewat hegemoni media. Menurut Eko Prasojo, Manager Pelaksana Selo Sumardjan Research Centre FISIP-UI, kasus ini merupakan bagian dari kampanye melalui strategi komunikasi di media. Cara ini juga akan merangsang timbulnya beberapa masalah, pertama, terjadinya overlaping peran antara kepentingan politik dan idealisme media. Media jangan sampai dijadikan ajang permainan politik di belakang layar, yaitu antara media dengan partai tertentu.

Kedua, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mengatur kampanye di media, maka dikhawatirkan adanya penguasaan media oleh partai tertentu. Dan tidak menutup kemungkinan, mereka juga akan melakukan promosi dan obral janji lewat media, entah itu bentuknya talk show, debat, polling via SMS dan lain-lain.

Pada titik ini, teori ”hegemoni” Antonio Gramsci layak untuk dikedepankan. Bagaimana polling via SMS di televisi dijadikan ajang rebutan antar pendukung partai untuk mengunggulkan capresnya dan merendahkan capres yang lain? Kalau memang persaingannya itu seimbang (semua rakyat bisa terlibat) tidak jadi masalah, tapi bagaimana kalau tidak seimbang?

Dengan melihat kenyataan seperti ini, bagi Gramsci, media bukan berarti ”jahat”, tetapi bagaimana kita mampu mengetahui bahwa ada muatan-muatan politis yang terselubung-di media-yang tidak disadari oleh masyarakat bawah. Lain halnya dengan intimidasi dan doktrinasi, hegemoni lebih terkesan ”halus”, sehingga orang akan menerimanya sebagai suatu kewajaran (padahal tidak wajar).

Dari pemahaman ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa masyarakat harus memahami tentang relasi penjajahan nalar politik dan hegemoni media. Sebab kalau tidak, media justru akan keluar dari frame ”budaya komunikasi” masyarakat (demokratis), dan berbelok arah menjadi agent of imperialism.

Karena itu, kalau memang perintah tidak memberikan disclaimer saat acara polling berlangsung, maka—paling tidak—teori ”hegemoni” Gramsci akan menolong kita untuk memahami proses politik dibalik polling capres via SMS. []


Sumber: Sinar Harapan, 21 Januari 2004.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes