Sunday, October 26, 2008

Tanah Wakaf untuk Lahan Pertanian Abadi

Pertanian merupakan salah satu sektor penopang kehidupan yang strategis. Sayangnya bidang ini belakangan tampaknya sepi peminat. Apalagi, kini harga gabah cenderung tak bersahabat dengan petani. Selain itu, profesi ini juga dianggap ketinggalan zaman dan tak menjanjikan. Hal ini berdampak pada banyaknya lahan pertanian di desa-desa yang kian tak terurus, bahkan dikonversi menjadi lahan nonpertanian. Kondisi ini tentu saja tak boleh dibiarkan mengingat peran pertanian yang begitu sentral dalam pengembangan ekonomi bangsa. Di antaranya mencakup aspek produksi atau ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani atau pengentasan kemiskinan, dan yang tak kalah pentingnya adalah peran pertanian dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Itulah yang sering kali disebut sebagai multifungsi pertanian.

Untuk melestarikan multifungsi tersebut, salah satu strateginya adalah membuka lahan pertanian abadi yang berasal dari tanah wakaf. Langkah ini merupakan jalan keluar yang sinergi dengan masalah di lapangan.

Pembukaan lahan baru adalah solusi sempitnya lahan pertanian. Lahan pertanian abadi dimaksudkan mencegah konversi lahan untuk kepentingan nonpertanian.

Mengapa tanah wakaf dijadikan sebagai salah satu jalan alternatif? Pertama, karena sifatnya yang abadi berguna untuk menghindari konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Kedua, potensi tanah wakaf yang besar akan sangat bermanfaat jika diproduktifkan menjadi lahan pertanian.

Berdasarkan data Departemen Agama RI, hingga Oktober 2007 tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 meter persegi atau 268.653,67 ha yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Namun, selama ini potensi tersebut belum digali dan dimanfaatkan secara optimal.

Tanah-tanah wakaf itu sebagian besar dimanfaatkan untuk sarana ibadah, kuburan, panti asuhan, dan sarana pendidikan, yang jumlahnya mencapai 23 persen. Sisa tanah wakaf yang 77 persen belum diapa-apakan atau masih diam. (Penelitian PBB UIN Jakarta, 2006). Apa pasal?

Terbengkalainya tanah wakaf ini tak lepas dari pemahaman pengelola wakaf (nazhir) dan masyarakat umum tentang pengelolaan harta benda wakaf. Selama ini mereka masih banyak yang beranggapan bahwa tanah wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah. Misalnya, pembangunan masjid, kompleks kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Akibatnya, tanah wakaf masih dikelola secara konsumtif.

Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja di atas lahan wakaf dibangun pusat bisnis, ruko, hotel, atau dijadikan lahan pertanian. Kemudian, hasil pengelolaan tersebut digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti beasiswa, pelayanan kesehatan, bantuan modal usaha, dan lain-lain.

Itulah yang disebut sebagai pengelolaan tanah wakaf ke arah produktif. Adapun berbagai model pengelolaan tanah wakaf secara produktif ini masih belum banyak dikenal oleh khalayak. Salah satunya dengan mengelola tanah wakaf menjadi lahan pertanian.

Saat ini pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian bisa dibilang jarang. Padahal, kalau menilik sejarah, Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan tentang pentingnya wakaf adalah untuk tujuan produktif. Salah satunya berupa lahan pertanian.

Pekerjaan seperti itu dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap sebidang tanah yang terletak di Khaibar. Kemudian, hasil pengelolaannya untuk kesejahteraan masyarakat, disedekahkan kepada fakir miskin, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu. (Fiqh al-Sunnah, jilid III: 381; Subul al-salam: 87).

Memproduktifkan untuk kesejahteraan


Kesejahteraan sosial yang menjadi pesan perenial ajaran wakaf sesungguhnya berjalan linear dengan multifungsi pertanian seperti dituturkan di atas. Karena itu, tak hanya memperluas lahan pertanian dan mencegah konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, tanah pertanian abadi yang berasal dari tanah wakaf juga mampu menjebol gap untuk menyinergikan produktivitas pertanaman dengan potensinya, serta memperkuat kelembagaan pertanian. Bagaimana bisa?

Tentu saja bisa. Optimisme ini setidaknya didukung oleh dua pilar. Pertama, dukungan pemerintah dalam pengelolaan tanah wakaf ke arah produktif. Salah satunya adalah sektor pertanian.

Dukungan ini diwujudkan dengan lahirnya UU No 41 tentang Wakaf dan PP No 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Dalam hal ini, pemerintah yang berwenang adalah Departemen Agama RI dan Badan Wakaf Indonesia (lembaga independen yang bertugas untuk memajukan perwakafan di Indonesia, yang berdiri berdasarkan amanat UU No 41/2004).

Kedua, adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang siap membantu dan bekerja sama dalam mengelola tanah wakaf ke arah produktif, salah satunya adalah sektor pertanian. Peran LKS ini sudah paten sebab sudah diamanahkan dalam UU No 21/2004, bahwa Menteri Agama berdasarkan saran dan pertimbangan BWI menunjuk nama-nama LKS untuk bekerja sama dalam mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia.

Kini ada lima LKS yang sudah ditunjuk Menag dan siap bekerja sama, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. (Keputusan Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008). Dengan adanya dua pilar penopang ini, jurang pemisah antara sinergi produktivitas dan potensi serta lemahnya kelembagaan pertanian di pedesaan, tak lagi jadi masalah. Ini karena Depag RI dan BWI punya kewajiban mendampingi pengelola lahan pertanian abadi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya pengelola dengan berbagai macam pelatihan dan keahlian untuk menunjang profesionalitas kerja. Juga menyediakan bantuan berbagai fasilitas untuk peningkatan produktivitas pertanian.

Jika pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian abadi tersebut telah dikelola secara produktif, maka hasilnya harus dibagi, 10 persen untuk pengelola, sedangkan sisanya 90 persen digunakan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Ketentuan ini sudah baku seperti tecermin dalam Pasal 12, UU No 21 tahun 2004.

Bentuk kesejahteraan masyarakat yang dananya dialokasikan dari hasil pengelolaan aset wakaf ini meliputi tiga ruang lingkup: sarana dan prasarana ibadah, bantuan kegiatan sosial-kemasyarakatan dan pendidikan, serta peningkatan peradaban bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah nilai plus dari pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian abadi. Selain melestarikan multifungsi pertanian, hasil pengelolaannya pun tidak mutlak milik pengelola, tapi ada porsi besar untuk kesejahteraan masyarakat. []


Sumber: Republika, 20 Oktober 2008.

Monday, August 25, 2008

Rocky, Reecho, and I (2)

Rocky’s action that smuggled the wood is caught by the apparatus. Then, the police sends memorandum to admonish his action. But, Rocky omits it and tears the letter. He feels not safe since police interference in this business. He thinks how to keep away the police. He incites his staff by saying that police will close the firm in woolly consideration. The staffs are angry and come to police office to make a deal. But the police reject them.

They pelt police office with stone and brake fragile goods inside. On abusive Rocky’s action, Reecho thinks that Rockies action resemble a big criminal in the movie. He wants to remind his friend but he is indecisive to do that. Finally, Rocky is caught. He stands off what was accused by the police. Then, the police cites his fault by points out several prove. Since that, Rocky acknowledges the corn and accepts the real fact. On top of that, for me, a crime will be detected. So never procrastinate to prevent a crime and revive a person for doing well.

Sunday, August 10, 2008

‘Reinventing’ Kitab Kuning dalam Tradisi Pesantren

Pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab buah pemikiran para ulama salaf yang dimulai sekitar abad ke-9 itu. Boleh dibilang, tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tak absah disebut pesantren. Begitulah fakta yang mengemuka di lapangan. Abdurrahman Wahid dalam konteks ini meneguhkan dengan menyatakan, kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren.[1]

Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi nomor wahid dan merupakan ciri khas pembelajaran di pesantren. Kitab kuning tidak hanya menjadi pusat orientasi, tetapi telah mendominasi studi keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam.

Saking lengketnya, dengan kitab kuning, kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan menjawab hampir seluruh persoalan yang muncul dan berkembang di masyarakat. Bahkan jika kita tengok halaqah bahtsul masa`il para santri di pesantren, maka seakan-seakan seluruh persoalan hidup ini sudah termaktub dan telah dijawab oleh kitab kuning. Tak hanya persoalan masa lalu, isu-isu terkini pun pembahasannya sudah ada, atau minimal diasumsikan ada. Sebut saja misalnya, persoalan polgami, dari mulai yang ekstrim pro-poligami dan yang ekstrim kontra-poligami, semua terpapar dalam kitab kuning. Pun persoalan formalisasi syariah, perdebatan pornoaksi-pornografi, persoalan sikap terhadap agama lain, dan lain sebagainya juga tersurat dalam kitab kuning. Ibarat lautan, semua jenis ikan dapat ditemukan di sana.

Satu hal lagi, terasa ada yang mengganjal kalau berbicara kitab kuning kok tidak menyebut Nahdlatul Ulama (NU). Kaitan kitab kuning dengan ormas Islam terbesar di Indonesia ini pun tak terpisahkan. Warga nahdliyyin menempatkan kitab kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut masalah hukum ibadah atau ritual, akhlak atau perilaku, dan mu'amalah atau hubungan sosial.[2] Perilaku warga NU itu tercermin dari cara mereka bersikap. Ketika warga menemui persoalan, rujukannya adalah bertanya ke kiai. Lalu, kiai menjelaskan berdasarkan keterangan dari kitab kuning. Mayoritas dalam soal fikih, mereka bermahdzab syafi`i, meski Anggaran Dasar NU mengakui keberadaan mazhab fiqh yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali.

Karena itu, kitab kuning yang dikaji di pesantren, kebanyakan kitab-kitab karya para ulama Syafi'iyah. Mulai dari kitab fikih tingkat dasar, seperti Safinatun Naja, Taqrib, Kifayatul Ahyar; menengah seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, Fathul Mu'in, I'anatuth Thalibin, Hasyiyah Bajuri, Muhazzab; hingga tingkat tinggi seperti Nihayatul Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, Al-Muharrar, Majmu Syarh Muhazzab. Semuanya merupakan susunan para ulama mazhab Syafi'i.

Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil ijtihad Imam Syafi'i, yang kemudian diuraikan lagi oleh para ulama pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikoiran ijtihad Imam Syafi'i sendiri, didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang menyusunnya lagi menjadi kitab Al-Umm (Induk). Dari Al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama mazhab Syafi'i, baik yang ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli, atau Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi. Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil ijtihad para ulama mazhab (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri mazhab yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq), yang menggali langsung dari Alquran dan sunnah Rasulullah saw. Yang mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam Alquran dan Hadis. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam Alquran dan Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad.

Jika kitab kuning bagi kalangan pesantren dan NU adalah referensi yang begitu akrab dan familiar, lain halnya bagi khalayak di luar dua ruang lingkup tersebut. Kitab kuning bahkan tak pernah terlihat, apalagi menyentuh dan membacanya. Maka jangan heran kalau tak sedikit kalangan yang mencibir dan menanyakan otentisitas kitab kuning dalam tradisi intelektual Islam, khususnya dalam pemecahan masalah umat terkait hukum Islam. Bukankah referensi penggalian hukum itu, kalau tidak Alquran ya Hadis? Bahkan saking tidak tahunya ada yang bertanya, kitab kuning itu apa?
Ada banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di pesantren ini. Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja, istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning.[3] Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini tak lagi digunakan. Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).[4]

‘Rethinking’ Kitab Kuning


Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menja¬di referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.[5]

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).

Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matn (teks asal) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara sharh, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid scperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kilab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai. [6]

Selain itu, yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal balnva ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning di hadapan kiai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi iki iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.

Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi partisipatoris) dan halaqah (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kiai atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.[7]

Itu adalah bagian dari potret kehidupan dunia pesanten dan kitab kuning yang begitu lengket. Meski menjadi fakta sejarah dan begitu dekat dengan masyarakat, asal-usul keberadaan kitab kuning masih belum ada kata sepakat. Para ahli punya versi yang berbeda-beda. Mulanya memang tidak ada yang mengetahui secara pasti, tapi sejauh bukti-bukti yang ada maka sangatlah mungkin untuk mengatakan, kitab kuning menjadi buku teks, referensi, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru dimulai pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran kitab kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di Makkah. [8]

Perkiraan di atas tidak berarti bahwa kitab kuning, sebagai produk intelektual, belum ada dalam masa-masa awal perkembangan keilmuan di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa sekurang-kurangnya sejak abad ke-16 M, sejumlah kitab kuning, baik dengan menggunakan bahasa Arab, bahasa Melayu, maupun bahasa jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian mengenai Islam di Nusantara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan corak keilmuan yang dicerminkan kitab kuning, betapapun juga, tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang, kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan kitab kuning di pesantren-pesantren.

Memang, sejarah kitab kuning merupakan bagian dari sejarah intelektual Islam Indonesia. Meski begitu, genuine kitab kuning tidak bisa semata-mata diklaim sebagai tradisi khas Nusantara, sebab kitab kuning sendiri sejatinya berakar dari khazanah intelektual di Timur Tengah, khususnya di Mekkah. Maka tak heran jika Martin van Bruinessen mempertanyakan asal-usul tradisi intelektual kitab kuning di Nusantara. “Benar-benar tradisi Indonesia atau asing?” [9] pertanyaan itulah yang mengemuka.

Kalau ditelisik, tradisi kitab kuning jelas bukan berasal dari Nusantara. Sebagian besar kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan ditulis sebelum Nusantara terislamisasi. Demikian juga banyak syarah bukan berasal dari Indonesia, meskipun jumlah syarah yang ditulis ulama Nusantara makin banyak. Bahkan pergeseran perhatian ulama dalam tradisi itu mengikuti pergeseran serupa di sebagian besar dunia Islam. Sementara sejumlah kitab kuning yang ditulis pasca Islamisasi Nusantara, juga sebagian besar tak berasal dari Indonesia, tapi dari Makkah atau Madinah meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia.[10]

Sejarah permulaan dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang menekuninya. Selain Martin van Brunessen, [11] mereka adalah Abdurrahman Wahid, [12] Taufik Abdullah, [13] Kuntowijoyo, [14] dan Azyumardi Azra [15]. Dalam berbagai karyanya, masing-masing inlelektual itu memberikan analisis dan penilaian atas masalah ini.

Walaupun berbeda rumusan karena perbedaan pendekatan yang digunakan, hasil kajian mereka agaknya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor penting. Pertama, kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah seba¬gai bagian dari proses internasionalisasi Islam. Kedua, interaksi budaya Islam dengan budaya lokal sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua aktor ini berperan dalam membentuk dan mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara seperti tercermin dalam tradisi pesantren.

‘Posisioning’ Kitab Kuning

Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna penting kitab kuning di kalangan pesantren, setidaknya ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati. Pertama, cara pandang masyarakat terhadap pesantren. Pesantren jamaknya dipandang sebagai sebuah ‘subkultur’ yang mengembangkan pola kehidupan yang tidak seperti biasa atau katakanlah unik. Di samping faktor kepemimpinan kiai-ulama, kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik subkultur itu. Kitab kuning seakan menjadi kitab pusaka yang mandraguna. Kitab yang terus ‘diwariskan’ turun temurun dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas. Dengan begitu, ini merupakan bagian dari sebuah proses berlangsungnya pembentukan dan pemeliharaan subkultur yang unik tersebut.

Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai ‘referensi’ nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat. Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering mendengar sebuah hadist yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “Al-ulama warosatul anbiya”, ulama adalah pewaris para Nabi.

“Apapun masalahnya, jawabnya adalah kitab kuning.” Itulah ungkapan mudah untuk menggambarkan betapa luasnya khazanah dalam kitab kuning seperti dipahami kalangan pesantren, sehingga semua masalah dapat terselesaikan olehnya. Ini dimantapkan dengan beberapa cerita tentang keampuhan kitab kuning dalam menyelesaikan personalan kebangsaan. Misalnya, cerita peran kitab kuning di zaman trikora, tahun 1961. [16] Alkisah, Kiai Wahab Hasbullah pernah melakukan kontekstualisasi kitab kuning yang berjudul Fathul Qorib yang kemudian oleh Bung Karno dijadikan sebagai dasar penyelesaian konflik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Pemerintah kerajaan Belanda secara resmi pernah berjanji kepada pemerintahan RI, bahwa Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia pada tahun 1948. ternyata sampai tahun 1951 Belanda masih belum menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat.

Setelah beberapa kali diadakan perundingan untuk menyelesaikan Irian Barat dan selalu gagal. Bung Karno kemudian menghubungi Kiai Wahab Hasbullah di Jombang. Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat?

“Hukumnya sama dengan orang yang ghosob,” kata Kiai Wahab.
“Apa artinya ghosob itu pak kiai?” tanya Bung Karno.
“Ghosob itu istihqoqu malil ghoir bighoiri idznihi, menguasai hak milik orang lain tanpa izin,” jawab Kiai Wahab.
“Lalu bagaimana solusinya untuk menghadapi orang yang ghosob?”
“Adakan perdamaian,” jawab Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno bertanya lagi, “Menurut insting pak Kiai apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?”
“Tidak,” jawab Kiai Wahab.
“Lalu kenapa kita tidak potong kompas aja pak Kiai?” Kata Bung Karno.
“Tidak boleh potong kompas menurut syari’ah,” jawab kiai Wahab.

Selanjutnya, sesuai anjuran Kiai Wahab untuk berunding dengan Belanda, Bung Karno mengutus Subandrio untuk mengadakan perundingan konflik Irian Barat dengan Belanda. Perundingan inipun akhirnya gagal. Kegagalan inipun disampaikan oleh Bung Karno kepada Kiai Wahab. Lalu Bung Karno bertanya lagi, pak Kiai apa solusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik Irian Barat. Kiai Wahab menjawab, “akhodzahu qohrun”, ambil atau kuasai dengan paksa. Bung Karno bertanya lagi, “Apa rujukan pak Kiai dalam memutuskan masalah ini?” “Saya mengambil literatur kitab Fathul Qorib dan syarahnya, al-Baijuri,” tegas kiai Wahab. Setelah Bung Karno mantap dengan pendapat Kiai Wahab yang mengkontekstualisasi literatur kitab Fathul Qorib agar Irian Barat dikuasai atau direbut dengan paksa, kemudian Bung Karno membentuk Trikora (tiga komando rakyat).

Ketiga, segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning. Kalau ditelisik, ternyata segi dinamisnya adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi-ektrem dan fikih-ekstrem. Pesantren yang akrab dengan khazanah klasik kitab kuning inilah yang membedakan dengan pesantren-pesantren lain yang lebih cenderung pada adopsi terhadap keilmuan Barat. Melalui ini pula, pesantren melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i'tidal (adil). Dengan begitu, sulit diramalkan akan terjadinya sikap ekstrem atau radikal yang saat ini tengah menjadi hantu menakutkan bagi dunia.

Keempat, pemilihan kitab kuning sebagai referensi utama di pesantren, tentu terkait dengan perkembangan tradisi intelektual Is¬lam Nusantara. Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses internasionalisasi, yang berarti Arabisasi, dokumentasi tentang ajaran-ajaran Islam selalu ditulis dalam bahasa Arab, sekurang-kurangnya dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti ini tidak lain menempatkan keislaman di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses seperti ini terus berlanjut sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara, dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren berada dalam tekanan kekualan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah kitab kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka.

Terkait dengan hal ini, Abdurrahman Wahid justru menyoroti segi dinamis dari perkembangannya di pesantren. Menurutnya, kitab kuning merupakan faktor penting dalam pembentukan tradisi keilmuan yang fiqih-sulistik, yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab)-nya. Tanpa kitab kuning dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi-ekstrem dan fiqih-ekstrem. Apa yang dicapai oleh Kiai Ihsan Jampes melalui karya-karyanya, Siraj al-Thalibin dan Manahij al-Imdad, yang masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al-Abidin dan Irsyad al-Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan kitab kuning. Dalam Manahij al-Imdad ini, sekali lagi, telah membuktikan kepiawaian ulama pesantren dalam mengkombinasikan kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas dan mengamalkan tasawuf secara tuntas pula. [17]

Keempat abstraksi di atas paling tidak memberikan gambaran luas bagaimana sesungguhnya pergumulan kitab kuning di kalangan pesantren. Dengan begitu, usai mencermati beberapa gambaran di atas, jika disederhanakan, setidaknya ada dua poin penting yang dapat menjelaskan posisi dan signifikansi kitab kuning di pesantren.

Poin pertama, otentisitas kitab kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa kitab kuning yang ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa kitab tersebut sudah teruji kebenarannya dalam sejarah. Kitab kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh para ulama dengan bersandar pada Alquran dan Hadis Nabi. Menjadikan kitab kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan Alquran-Hadis, melainkan justru pada hakikatnya mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan pengertian bahwa Alquran dan Hadis Nabi tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara paling aman untuk memahami kedua sumber utama itu agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri adalah mempelajari dan mengembangkan khazanah kitab kuning. Sebab, kandungan kitab kuning merupakan penjelasan dan pengejawantahan yang siap pakai dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.

Poin kedua, kitab kuning sangatlah penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, Alquran, dan Hadis Nabi. Kitab kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, pemeliharaan dan bahkan pengayaan kitab kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan ini adalah penanganan kitab ku¬ning dalam bidang dan masa luas, termasuk yang lahir belakangan, yakni al-kutub al-`ashriyyah. Hanya dengan penguasaan kitab kuning seperti inilah kreasi dan dinamika pemikiran Islam yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.

Dari Kitab Kuning ke ‘Kitab Putih’

Jadi, kitab kuning di kalangan pesantren sejatinya tak sekedar literatur yang dikutip sana-sani. Kitab ini “seakan-akan” menambah, melengkapi, dan menjelaskan dua kitab pedoman yang sudah diwariskan oleh nabi Muhammad saw, Alquran dan Hadis. Jika ada ungkapan, sebagian besar isi Hadis adalah menjelaskan lebih detil dan rinci dari kandungan Alquran, maka kitab kuning berfungsi untuk menerangkan lebih terang dan menjelaskan lebih jelas kandungan dalam Alquran dan Hadis. Begitulah sentralitas kitab kuning di kalangan pesantren. Hingga kini, tradisi ini terus terjaga, setidaknya terlihat dari tradisi bahtsul masail di kalangan pesantren dan komunitas Nahdliyyin atau warga NU. Mereka tetap konsisten dengan kitab kuning sebagai acuan utama dalam pemecahan masalah. Meski masih terjaga, aset kekayaan khazanah intelektual umat Islam Indonesia ini kini menjadi keprihatinan banyak kalangan, terutama kalangan NU dan pesantren itu sendiri. Apa pasal?

Tradisi penggalian dan pengembangan intelektual via kitab kuning di pesantren kian hari kian surut. Hanya beberapa pesantren saja yang masih ajeg menjaga dan melestarikan tradisi ini. Menjaga dan melestarikan dalam konteks ini adalah menjadikan kitab kuning sebagai literatur utama yang wajib dipelajari santri dan menjadi bahan pertimbangan utama kelulusan atau keberhasilan santri. Kalau dulu, seorang santri berangkat mondok di pesantren niatnya adalah belajar agama dengan berguru kepada kiai dan mendalami kitab kuning. Materi pelajaran yang disampaikan sebagian besar adalah menggunakan bahasa Arab. Karena itu, secara otomatis santri juga diajari ilmu alat (nahwu-sharaf) atau yang biasa disebut gramatikal bahasa Arab, yang bertujuan untuk mempermudah santri dalam memahami, mendalami, dan mengembangkan kandungan kitab kuning.

Kini tak lagi seperti itu. Ghalibnya santri belajar di pesantren berharap dapat ijazah formal (diakui pemerintah) plus pendidikan agama (sekolah diniyah). Mereka lebih getol mengejar target untuk memenuhi standar kelulusan sekolah (formal) saat Ujian Nasional ketimbang mendalami kitab kuning di sekolah diniyah yang ijazahnya tak laku di perguruan tinggi atau untuk melamar kerja. Karena itu, rata-rata kini pesantren menyelenggarakan dua model pendidikan, sekolah formal (kurikulum versi pemerintah) dan sekolah diniyah (kurikulum versi pesantren). Dengan adanya sistem ini, penguasaan kitab kuning menjadi tak utama, yang terpenting adalah kitab kuning masih diajarkan di tempat itu, sekedar untuk menjaga tradisi ‘ngaji kitab’, bukan menguasai apalagi memperdalam. Santri pun menganggap belajar kitab kuning sebagai sampingan atau pelengkap, sementara memahami dan memperdalam ‘kitab putih’ menjadi hal yang utama. Kitab putih di sini adalah buku ajar di sekolah, seperti Bahasa Indonesia, PPKN, IPA, Biologi, Fisika, dan lain-lain, atau bisa juga kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab.

Terkait dengan relasi pesantren dan kitab kuning dewasa ini setidaknya terdapat dua model pesantren. Model pertama, penulis sebut sebagai pesantren kitab kuning atau juga biasa dikenal orang sebagai pesantren murni salafi. Pesantren model ini adalah pesantren yang sejak berdirinya hingga kini tetap mempertahankan kitab kuning sebagai literatur utama dalam kurikulum pembelajaran. Kini, pesantren ini terhitung amat langka. Pesantren ini jamaknya tidak menyelenggarakan pendidikan formal, tapi hanya menyelenggarakan sekolah diniyah. Ukuran kelulusan dan keberhasilan seorang santri betul-betul ditentukan oleh kepiawaiannya dalam penguasaan kitab kuning. Penguasaan dalam hal ini adalah tak sekedar bisa membaca dengan benar, tapi juga memahami, mengungkapkan, mengembangkan, dan mengkontekstuualisasikan kandungannya. Kalau pun toh ditemukan ‘kitab putih’ (non kitab kuning) dalam kurikulum, itu pasti hanya bagian yang sangat kecil, dan sifatnya tak wajib atau hanya sekedar pengayaan. Di antara contoh pesantren ini adalah Pondok Pesantren Lirboyo, Ploso, Sidogiri, Kajen, dan Langitan. Keberadaan pesantren jenis ini kini sudah langka, karena mungkin sudah tergerus oleh perubahan zaman arus modernisani dan industrialisasi, yang mengutamakan ijazah formal dan persaingan pasar kerja.

Karena jumlahnya yang sangat minim, tentu ini harus menjadi perhatian pemerintah, khususnya Departemen Agama, yang juga turut bertanggung jawab dalam membangun dan mengembangkan pesantren. Jangan sampai aset bangsa yang luar biasa ini luntur begitu saja ditelan zaman. Pesanten kitab kuning, bagi penulis, adalah pesantren yang masih mewarisi genuine karakteristik khazanah Islam Indonesia, jadi sangan sampai pesantren jenis ini juga ikut-ikutan menyelenggarakan pendidikan formal seperti MI/SD-MTs/SMP-MA/SMA. Mengapa? Agar karakteristik dan tradisi keilmuannya tidak luntur dan tetap berperan besar sebagai pialang budaya sekaligus subkultur dari masyarakat.

Indigenous khazanah keilmuan kitab kuning dalam dunia pesanten seperti ini harus terus dilestarikan, dipupuk, dan dikembangkan. Hemat penulis, langkah Departemen Agama melalui program muadalah ijazah pesantren adalah langkah positif untuk mengembangkan jenis pesantren ini. [18] Program ini adalah proses penyetaraan antar-institusi pendidikan, baik pendidikan di dalam maupun di luar pesantren. Dengan begitu, ijazah sekolah diniyah di pesantren dapat disetarakan dengan ijazah Madrasah Aliyah di sekolah formal. Kalau sudah setara (mu’adalah) maka lulusan pesantren jenis ini dapat meneruskan kuliah di perguruan tinggi, layaknya alumni Madrasah Aliyah di sekolah formal. Dengan adanya sistem muadalah ini minimal ada dua manfaat yang dapat diraih: 1) tradisi kitab kuning yang akan terus terpelihara dan berkembang dengan baik, 2) kapasitas alumninya yang ‘jago’ kitab kuning itu dapat memberikan warna dalam diskursus studi keislaman di perguruan tinggi.

Namun, tak semua pesantren jenis ini dapat mengajukan muadalah dengan mudah, ada pernyaratan yang mesti dipenuhi. Di antara syarat-syarat itu adalah penyelenggara pendidikan harus berbentuk yayasan atau organisasi berbadan hukum, terdaftar di Departemen Agama, menggunakan kurikulum lokal kreasi sendiri (tidak menggunakan kurikulum Depag atau Diknas), serta tersedianya komponen penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada satuan pendidikan. Lebih jelasnya, di antara jenis jenjang pendidikan di pesantren yang lulusannya sapat disetarakan setingkat Madrasah Aliyah (MA) yaitu Madrasah Salafiyah Ulya (Aly atau Aliyah), Dirasat Muallimin Islamiyah (DMI), Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyah (TMI), dan madrasah diniyah Ulya atau setingkat takhassush yang sudah lulus jenjang Wustho dan Ula. Di antara ‘pesantren kitab kuning’ yang sudah mengikuti program muadalah ini adalah pondok pesantren Lirboyo, Sidogiri, dan Kajen.

Model Kedua, pesantren kolaboratif. Perpaduan antara sekolah formal dan sekolah diniyah, itulah yang dimaksud dengan kata kolaboratif dalam jenis pesantren ini. Mulanya pesantren ini hanya menyelenggarakan pendidikan diniyah dengan tanpa ijazah formal, tapi sesuai dengan perkembangan zaman, lembaga ini juga menyelenggarakan pendidikan formal. Jenis pesantren inilah yang kini merebak dan mendominasi karakter pesantren di berbagai penjuru. Biasanya, santri harus bersekolah dua kali dalam sehari, misalnya sekolah formal pada pagi hari dan sekolah diniyah pada malam hari. Inilah yang penulis sebut sebagai kolaborasi ‘kitab kuning’ dengan ‘kitab putih’. Porsi terbesar pembelajaran kitab kuning diberikan di sekolah diniyah, sedangkan kitab putih dipelajari di sekolah formal. Kitab putih di sini dipahami sebagai kitab yang tidak masuk definisi kitab kuning, seperti keterangan di atas. Berarti kitab putih bisa jadi kitab-kitab umum atau kitab-kitab pelajaran berbahasa arab kontemporer, baik karangan ulama Indonesia atau Timur Tengah.

Secara garis besar, pesantren kolaboratif ini sebenarnya ingin merespon modernisasi dalam aras pendidikan Islam di Indonesia. Mulanya memang bagus, ingin mengkolaborasikan antara tafaqquh fi al-din dan penguasaan ilmu pengetahuan umum. [19] Tapi sayang, lama-kelamaan seiring perkembangan lembaga pendidikan, ternyata kemajuan yang diraih tak berjalan seimbang. Santri lebih mementingkan penguasaan ilmu umum sebagai standar kelulusan ujian nasional daripada kepiawaian menguasai kitab kuning yang tak bisa menunjang diterimanya kuliah di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Ini adalah tamsil sederhana kenyataan modernisasi di pesantren. Jika kenyataannya seperti ini, maka sah-sah saja jika ada orang yang mengemukakan nomenklatur, bahwa modernisasi pesantren berarti pergeseran dari kitab kuning ke kitab putih. Pergeseran ini bukan berarti terjadi semudah membalik telapak tangan. Begitu sistem pendidikan modern masuk pesantren, saat itu pula kitab kuning tergeser. Tidak. Proses pergeseran literatur ini memakan waktu lama, seiring dengan perjalanan modernisasi itu sendiri.

Karena itu, juga mesti dipahami bahwa modernisasi pesantren sebenarnya bukanlah hal baru. Ini sudah terjadi jauh-jauh hari sejak era pra Indonesia merdeka. Tahun 1906 pesantren Mambaul Ulum di Surakarta telah mengadopsi sistem pembelajaran modern seperti yang dilakukan orang-orang Belanda. Pada saat itu, pesantren yang didirikan Susuhunan Pakubuwono ini telah memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum pendidikan di pesantren. Di antarnya yaitu membaca dan menulis latin, Aljabar, serta berhitung. [20] Respon yang sama juga dilakukan pesantren Tebuireng di Jombang. Lembaga pendidikan Islam ini mendirikan Madrasah Salafiyah tahun 1916. Madrasah ini tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern (sistem kelas dan jenjang pendidikan), tapi juga memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan baca-tulis huruf latin. Tak lama kemudian, di lokasi yang tak Jauh dari Tebuireng, tahun 1927 pesantren Rejoso juga mendirikan sebuah madrasah. Madrasah ini juga memasukkan beberapa kurikulum non-agama dalam kurikulumnya. [21] Ini artinya persinggungan antara kitab kuning dengan kitab putih ini sejatinya sudah terjadi sejak dulu.

Usai Indonesia merdeka tahun 1945, modernisasi ini terus berjalan. Pada era ini pesantren memberikan respons terhadap ekspansi sistem pendidikan umum, melalui kebijakan pemerintah orde lama, dengan memperluas cakupan pendidikan. Paling tidak ada dua cara yang dilakukan kalangan pesantren: pertama, merevisi kurikulumnya yang hanya memperioritasnya tafaqquh fi al-din melalaui pembelajaran kitab kuning, dengan memasukkan mata pelajaran umum, bahkan keterampilan umum; kedua, membuka lembaga-lembaga baru dan fasilitas-fasilitas penunjang bagi kepentingan pendidikan umum.

Pada dekade 1950-an dan awal 1960-an pesantren banyak melakukan pembaruan dengan mamasukkan materi beberapa keterampilan. Ini terkait dengnan situasi nasional saat itu yang memang secara ekonomi Indonesia sedang dilanda krisis dan ketidaksetabilan. Keterampilan yang banyak diadopsi pesantren adalah keterampilan bidang pertanian. Kurikulum pendidikan di pesantren tidak hanya mementingkan aspek pendidikan agama saja, tapi pesantren juga dituntut untuk ‘self supporting’ dan ‘self financing’. Karena itu, banyak pesantren di pedesaan, seperti di Teuireng dan Rejoso, mengarahkan santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vokasional dalam bidang pertanian, seperti penanam padi, kelapa, tembakau, kopi, dan lain-lain. Keterampilan itu tak hanya dipelajari di kelas, tapi juga dipraktikkan langsung di lahan pertanian milik pesanten. Hasil dari praktik itu selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pesantren. Pada waktu yang tak berbeda jauh, pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, Tegalrejo, lainnya, mulai mendirikan dan mengembangkan koperasi pesantren. Melalui institusi-institusi ini santri tidak hanya berkutat pada kitab kuning, tapi juga dikenalkan kitab-kitab putih yang membahas tentang kewirausahaan. Dari sinilah semangat enterpreneurship santri tumbuh dan berkembang sebagai bekal keterampilan hidup dalam mencipta dan mengelola usaha-usaha ekonomi.

Masih pada era yang sama, Departemen Agama sejak 1950-an melancarkan pembaruan sistem pendidikan Islam melalui madrasah-madrasah yang dinaunginya, termasuk merubah beberapa madrasah swasta menjadi madrasah negeri. Realitas ini mendorong mayoritas pesantren untuk mendirikan sekolah formal berupa madrasah di lingkungannya masing-masing. Dengan adanya sekolah-sekolah formal ini, pesantren mempunyai dua fungsi yang tak bisa dipisah, tetap sebagai lembaga tafaqquh fi al-din melalui pembelajaran kitab kuning, dan juga berfungsi layaknya sekolah-sekolah umum yang ijazahnya diakui negara. Perubahan ini membawa keuntungan bagi alumninya, selain memiliki akses lebih luas dalam melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mereka juga terbuka peluang dalam lapangan kerja. Inilah salah satu faktor penyebab kurang digandrunginya kitab kuning di pesanten, sebab tak berpengaruh dalam keberhasilan menginjakkan jenjang pendidikan di perguruan tinggi dan juga tak punya peluang dalam dunia kerja. Kitab kuning sebagai referensi dalam ber-tafaqquh fi al-din mulai dijadikan sampingan, tak jadi prioritas lagi.

Selanjutnya, modernisasi pesantren tak hanya berhenti sampai di situ. Banyak juga pesantren yang tak hanya membuka madrasah di bawah naungan Departemen Agama, pesantren juga membuka sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMA, atau universitas yang kurikulumnya menginduk ke Departemen P dan K, kini Depdiknas. Di antara pesantren yang dianggap sebagai perintis dalam ekspansi sistem pendidikan ini adalah Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Tahun 1965 pesantren ini mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar pada Departemen P dan K. universitas ini terdiri dari 5 fakultas, dan hanya 1 fakultas yang membuka disiplin kajian ilmu agama. Pesantren lain yaitu pesantren Miftahul Muallimin di Babakan Ciwaringin Cirebon, yang mendirikan Sekolah Teknik Mesin (STM). Perubahan ini kemudian mengilhami benyak pesantren untuk melakukan hal yang sama. Mereka berbondong-bondong untuk membuka sekolah formal, baik di bawah Depag ataupun Diknas. Apalagi di era orde baru, tahun 1970-an sampai 1980-an ideologi developmentaslime menjadi corong utama orba.

Kaitannya dengan pesantran, developmentalisme di kalangan ini diarahkan pada pengembangan pemahaman yang selaras dengan arus modernisasi, serta penyelelarasan sistem pendidikan modern agar lebih responsif terhadap perkembangan zaman atau dengan kata lain mendukung program pembangunan yang dilancarkan oleh orba. Pada titik ini, sebetulnya kita bisa menggerayangi bagaimanakah nasib kitab kuning di pesantren? Nampaknya eksistensi kitab kuning sama sekali tak didukung oleh perkembangan zaman. Arus perkembangan dunia modern seakan kian menjauhkan kalangan pesantren dengan khazanah kitab kuning. Inilah yang berpengaruh besar dalam pergeseran kurikulum literatur di pesantren, seperti yang penulis sebut di atas, dari kitab kuning ke kitab putih.

Pada dasarnya, kitab kuning di jenis ‘pesantren kolaboratif’ ini tidak hilang, hingga kini pun masih diajarkan. Tapi yang jadi masalah adalah wujuduhu ka adamihi. Keberadaannya hanya berperan sebagai referensi yang dianggap tak penting bahkan tak diperhitungkan oleh para santri. Ini bisa dilihat dari kualitas santri jebolan pesantren kolaboratif, rata-rata mereka akan ter-gagap-gagap tatakala disuruh membaca kitab kuning yang gundul (tanpa tanda baca) itu. Bagi mereka, membaca saja susah apalagi memahami kandungan bahkan mengkontekstualisasikan. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, padahala jenis pesantren model ini adalah rata-rata pesantren yang ada di Indonesia. Hanya sedikit sekali pesantren yang masih memperioritaskan kitab kuning dalam kurikulum pembelajarannya, apalagi menjadi tolak ukur kelulusan. Kitab kuning yang selama ini dielu-elukan banyak kalangan sebagai bagian dari buah asimilasi dan kreasi intelektual keislaman yang mengandung ciri khas corak pemikirann Islam Indonesia (indigenous), bisa jadi akan luntur ditelan zaman jika keberadaanya tak lagi diminati.

Upaya Mengembalikan ‘Yang Hilang’

Melihat kenyataan di atas, sekali lagi ditegaskan, kitab kuning sejatinya tak hilang, tapi hanya keberadaannya saja yang sekadar artifisial. Di tengah-tengah kelesuhan belajar kitab kuning itu, ternyata ada beberapa upaya yang dilakukan berbagai kalangan untuk menghidupkan kembali khazanah keilmuan dalam kitab kuning. Pertama, muncul gagasan untuk mempermudah mempelajari kitab kuning dengan menerbitkan kitab kuning dengan dilengkapi makna bahasa Jawa. Kalangan santri salaf menyebutnya dengan Kitab bima`na Petuk lantaran kitab kuning bermakna ini dipopulerkan oleh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab di Dusun Petuk, Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.[22]

Sudah kurang lebih 15 tahun ini ponpes yang berada di kaki Gunung Wilis itu mampu menyita perhatian publik salaf karena gagasannya mencetak kitab kuning dengan dilengkapi makna Bahasa Jawa itu telah memberikan kemudahan bagi santri salaf. Kitab bima`na Petuk itu tidak hanya dijual di Pulau Jawa saja. Tapi juga telah memenuhi permintaan sejumlah pondok pesantren di Lampung, Palembang, Pontianak, bahkan sampai Mataram. Mulanya, mencetak kitab bermakna itu iseng belaka. Kitab kuning milik beberapa orang santri yang sudah penuh makna hasil pengajian selama bertahun-tahun tersebut diperbanyak di sebuah perusahaan percetakan di Mojokerto. Kemudian kitab kuning cetakan bermakna itu dijual di kalangan santri Ponpes Hidayatut Thullab. Perlahan tapi pasti, Kitab bima`na Petuk itu mendapat perhatian dari kalangan santri salaf di berbagai daerah. Kendati sudah ada maknanya, tapi bukan berarti orang awam akan dengan mudah bisa membacanya, orang yang membacanya tetap harus paham ilmu Tata Bahasa Arab, karena tulisan yang tertera di bawah tulisan Arab hanya berupa simbol dan arti kata yang jarang didengar.

Kedua, penerbitan kitab kuning digital. Kitab kuning yang berupa Software ini bernama "Al-Maktabah al-Syamilah", yang terdiri dari 1800 kitab yang dikelompokkan dalam 29 bidang. Software ini diterbitkan oleh jaringan Da'wah Islamiyah al-Misykat. [23] Kitab yang selama ini mungkin hanya dinikmati melalui tulisan di kertas, baik di kertas kuning (sehinggah disebut kitab kuning) maupun di kertas putih, memerlukan usaha tersendiri untuk memilikinya, harganya yang cukup mahal, tempatnya yang harus disediakan khusus, perawatannya agar tidak dirusak oleh serangga, jamur, udara lembab, dan lain-lain. Dengan menginstall software ini, diharapkan masalah tersebut bisa teratasi.

Kitab berupa Program komputer ini gratis, tidak perlu membelinya, tidak perlu menyediakan ruangan besar untuk menampung ribuan kitab yang masing-masing bisa jadi terdiri dari puluhan juz. Kitab model ini tidak akan rusak oleh gangguan di atas, bahkan bila rusak komputernya atau rusak programnya pun, maka cukup dicopykan ulang saja dari program aslinya, tentu saja akan bisa dinikmati kembali dengan mudah.Software ini berisi kitab turath Islami yang sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jamaah dalam berbagai versi. Pesantren Virtual [24] telah mendapatkan izin langsung dari Jaringan al-Misykat untuk ikut mendistribusikan software tersebut kepada kaum muslimin, pesantren-pesantren, madrasah dan lembaga-lembaga Islam yang memerlukan software tersebut secara gratis. Software ini memuat berbagai kitab dalam berbagai bidang.

Di bidang tafsir (52 kitab) meliputi Tafsir Thabari, Ibnu Katsir, Al-Baghawi, Al-Alusi, Al-Bahr, Fathul Qadir, Ad-Durrul Mantsur, Jalalain, Al-Khazin, Az-Zamakhsyari, Ibnu Abdis Salam, Sayyid Thanthawi, Adh-Dhilal, Al-Qusyairi, dll. Sedangkan dalam bidang Ulumul Qur'an (43 kitab), meliputi I'rabul Qur'an, Asbabu Nuzulil Qur'an, Al-Itqan, Misykatul anwar, Fadlailul Qur'an, Majazul Qur'an, Lubabun Nuzul, At-Tibyan, Asbabun Nuzul, Ahkamul Qur'an lisy Sayfi'iy, Ahkamul Qur'an li Ibni Arabiy, dll . Dalam bidang Fiqih, kitab di lingkungan 4 madzhab diletakkan terpisah. Untuk Madzhab Imam Syafi'y, 19 kitab yang tersedia adalah Al-Umm, I'anatuh Thalibin, Fathul Wahhab, Fathul Mu'in, Asnal Mathalib, Al-Majmu', Raudlatuth Thalibin, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Mughnil Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, Hasyiah Bujairimi alal Khatib, Hasyiah Bujairimi alal Minhaj, dll.

Dalam madzhab Imam Maliki (14 kitab), Asy-Syarhul Kabir, Bidayatul Mujtahid, Mukhtashar Khalil, At-Taju wal Iklil, Mawahibul Jalil, Hasyiyah Ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir, dll. Dalam Madzhab Imam Hanafi terdapat 17 kitab, dan Madzhab Imam Maliki terdapat 14 kitab. Sementara dalam bidang Tasawuf, / Akhlak terdapat Ihya Ulumiddin, Riyadlush Shalihin, Al-Kabair, Al-Futuhatul Makiyyah, Qutul Qulub, Al-Risalatul Qusyairiyyah, Al-Adzkar, dll.

Klasifikasi umum memuat kitab Tafsirul Ahlam, Ta'tirul Anam fi Tafsiril Ahlam, Mausu'ah Tafsiril Ahlam, Mafahimul Islamiyyah, Al-Jam'iyyatul Khairiyyah li Tahfidhil Qur'anil Karim, Jam'ul Qur'anil Karim fi 'Ahdi Khulafair Rasyidin, dll. Software ini juga memuat kitab-kitab Ushul Fiqh, Mushtalah Hadits, dan berbagai bidang lainnya hingga 29 kelompok dengan total 1800 kitab. Semua kitab tersebut sudah lengkap dimuat dalam software ini, oleh karena itu ukurannya sangat besar, Hard Disk yang dibutuhkan minimal 4,2 Giga Byte.

Ketiga, muncul metode Amtsilati. Ini adalah metode alternatif untuk mempercepat dan memudahkan santri dalam membaca kitab kuning. Metode ini tercetus tahun 2001 oleh Taufiqul Halim, kiai asal jepara jebolan pesantren Mathali’ul Falah Kajen Pati, Jawa Tengah. Awalnya Tufiqul menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua nadzam atau syair dalam kitab Alfiyah yang disebut-sebut sebagai babonnya gramatikal arab itu tidak semuanya digunakan dalam praktek membaca kitab kuning. Dia menyimpulkan bahwa dari 1000 nazham Alfiyah, yang terpenting hanya berjumlah sekitar 100 sampai 200 bait, sementara nazham lainnya sekedar penyempurna. Dengan bekal hafalan dan pemahamannya terhadap kitab Alfiyah, dia mulai menyusun metode Amtsilati. Penyusunan tersebut dia mulai dari peletakan dasar-dasarnya kemudian terus berkembang sesuai kebutuhan. [25]

Metode Amtsilati ini memberi rumusan berpikir untuk memahami bahasa Arab. Di sana ada rumusan sistematis untuk mengetahui bentuk atau posisi satu kata tertentu. Hal ini dapat dilihat pada rumus utama isim dan fi’il atau tabel. Lalu juga ada rumus bayangan dhamir untuk mengetahui jenis atau kata tertentu; penyaringan melalui dzauq (sensitivitas) dan siyaqul kalım (konteks kalimat). Sebelum memasuki praktek, Amtsilati telah memberi rambu-rambu mengenai kata-kata yang serupa tapi tak sama (homonimi, homografi, homofoni). Kata-kata yang serupa ini bisa terjadi dari beberapa kemungkinan: isim, fi’il mıdhi, fi’il mudhari’, fi’il amar, isim fi’il, huruf, dhamir, dan lainnya.[26]

Kelebihan Amtsilati adalah peletakan rumus secara sitematis, dan penyelesaian masalah gramatikal Bahasa Arab melalui penyaringan dan pentarjihan. Selain itu, rumus yang pernah dipelajari diikat dengan hafalan yang terangkum dalam dua buku khusus, yaitu "Rumus Qaidati" dan "Khulashah Alfiyah". Diharapkan, para pemula tidak perlu bersusah-susah mempelajari bahasa Arab selama 3 sampai 9 tahun; dengan metode ini kitab kuning dapat dikuasai cukup 3 sampai 6 bulan saja.

Keempat, penyelenggaraan Musabaqah Qiraatul Kutub, disingkat MQK. Selama ini orang hanya mengenal MTQ atau Musabaqah Qiraatul Quran. Kini sejak tahun 2004 Departemen Agama juga menggelar MQK saban dua tahun sekali untuk menggenjot semangat pengkajian kitab kuning di lingkungan pesantren. Untuk mengikuti kegiatan ini, setiap peserta dari pesantren harus mengikuti seleksi dan berkompetisi di level propinsi masing-masing, lalu para jagoan di propinsi itulah yang akan berlaga di MQK tingkat nasional. Secara luas, tujuan kegiatan ini adalah 1) menjalin ukhuwah yang mempersatukan santri dari berbagai kalangan dan penjuru nusantara. 2) mendorong dan meningkatkan kecintaan para santri terhadap kitab-kitab kuning, mengingat belakangan ini para santri (di)sibuk(kan) bahkan terlena dengan buku-buku putih di sekolah. 3) menanamkan paradigma “dari mengaji menjadi mengkai” di kalangan para santri.

Tentu saja mengaji dan mengkaji adalah dua hal yang berbeda. Kalau mengaji hanya sekadar membunyikan atau membaca, sementara mengkaji mensyaratkan kemampuann logika (mantiq), rasionalitas, serta perspektif kritis dalam memahami teks dan meneliti suatu masalah. Kitab-kitab yang diujikan adalah kitab standar yang menjadi rujukan utama kajian-kajian keagamaan di pesantren, antara lain Tafsir Jalalain dan al-Maraghi (tafsir), Fathul Qarib dan Fathul Mu’in (fikih), Bulughul Maram dan Fathul Bari (hadis), serta Imrithi dan Alfiyah Ibn Malik (lughah). [27] Dalam ajang perlombaan ini, para santri tidak hanya dituntut mahir dalam membaca kitab gundul, tapi mereka juga harus piawai dalam memahami makna serta menginterpretasikannya dalam konteks kekinian. Dengan demikian, maka perlombaan ini tak sekedar artifisial, tapi benar-benar menggali khazanah keilmuan Islam melalui kitab-kitab kuning yang belakangan ini sangat terpinggirkan.

Penulis berharap dengan adanya MQK ini gairah intelektual dunia pesantren dalam tradisi pengkajian kitab kuning kembali membuncah, dan juga pesantren-pesantren tersebut tak hanya mampu menciptakan lulusan yang mantap dalam ilmu umum, tapi juga mumpuni dan memiliki kedalaman ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Ini juga sangat berguna dalam membendung arus purifikasi dan ekskluusifisme Islam yang dekade terakhir ini membanjir pada kalangan intelektual muda di kampus, khususnya di perguruan tinggi umum. Semoga saja usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai kalangan itu dapat membangkitkan kembali gairah untuk mempelajari dan mengembangkan kitab kuning.

Ke depan, MQK yang dirintis oleh Depag ini mudah-mudahan mampu mendorong semangat para santri dan kalangan pesantren secara luas, untuk tidak hanya mampu membaca dan memahami kitab kuning, tapi juga mengkontekstualisasikan dalam konteks kekinian. Ini adalah kebutuhan mendesak yang mesti dilakukan. Sebab, kajian kontekstual [28] terhadap kitab kuning telah dinilai sebagai suatu metode pemahaman yang tepat untuk mengetahui pesan-pesan substantif isi kitab tersebut sesuai dengan maqashid mu`allif-nya. Penilaian ini diberikan karena disadari bahwa suatu kitab ditulis atau dicetak bukan dalam ruang hampa. Kitab kuning, yang umumnya merupakan penjabaran dan pemahaman dari ajaran-ajaran Alquran dan Hadis, adalah hasil refleksi atas banyak hal yang melingkupi diri mu`allif, di antaranya kondisi sosio-kultural, sosio-politik, kecenderungan pemikiran, dan motif-motif lain yang terkait. Bahasa atau simbol tulisan disadari tidak mampu memfasilitasi seluruh kehendak mu`allif berikut dimensi yang mengitari tersebut. Pemikiran-pemikiran di dalam kitab kuning, dengan demikian, hadir bersamaan dengan dan menurut dhuruf-nya sendiri.

Kontekstualisasi yang dimaksud dalam konteks ini adalah; pertama, suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan syakhshiyyah maupun ijtima’iyyah yang melatarbelakangi kehadirannya; kedua, upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, tetapi mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya; ketiga, proses belajar dan mengajar kitab kuning yang mengacu kepada kegunaan praktis dalam kehidupan masyarakat. [29] Dengan begitu, kontekstualisasi akan melahirkan tajdid fahm al-syari’ah, yaitu suatu upaya menjabarkan ajaran Islam, sesuai dengan tuntutan kondisi yang terus berubah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat dengan malalui al-kutub al-mu’tabarah.

Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa syari’at Islam sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dan dapat mengatasi segala dhuruf, sementara pemikiran manusia sebagai penjabaran pelaksanaannya terikat oleh suatu dhuruf. Maka fungsi kitab kuning dalam konteks ini seharusnya adalah menjadi suatu wacana yang mampu membuktikan kedudukan al-Qur`an sebagai tibyanan li kulli syai` dalam kehidupan manusia yang selalu berubah. Itsbât al-tsawâbit wa taghyiyr al-mutaghayyirât dengan demikian harus diterapkan; artinya ajaran Islam yang bersifat qath’iy akan tetap, tidak mengalami perubahan, sementara ajaran Islam yang merupakan produk ijtihad selalu dimungkinkan untuk mengalami perubahan. []

Footnote

[1]. Abdurrahman Wahid, Nilai-Nilai Kaum Santri dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
[2]. Ini erat kaitannya dengan disiplin ilmu fikih, tentang boleh atau tidaknya melakukan suatu tindakan. Karena itu, meski khazanah kitab kuning yang dikembangkan di pesantren begitu luas (seperti fikih, tasawuf, tafsir, hadis, tatabahasa, astronomi, dst.), warga NU kebanyakan menggunakannya dalam konteks pemecahan soal-soal fiqhiyyah untuk suatu kebijakan atau sekedar menjalankan aktifitas ibadah dan muamalah harian.
[3]. Ali Yafi, Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam, dalam Pesantren, VI/I, 1988, h. 3. Lihat juga makalalhnya, Prespektif Kitab Kuning dan Kriteria Pengkajiannya secara Efektif dan Efisien, pada seminar sehari “Kitab Kuning di Kampus Modern”, Senat Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Jakarta, 6 April 1988, h. 2.
[4]. Simposium Nasional I, Kitab Kuning dan Lektur Islam, Cisarua Bogor, 1994. Pada saat simposium digelar KH. Masyhuri Syahid mengusulakan agar forum ini dapat membuat rekomendasi untuk mengganti istilah kitab kuning dengan istilah yang jauh lebih baik.
[5]. Masdar F. Masudi, Pandangan Hidup Ulama Indonesia dalam Literatur Kitab Kuning, makalah pada Seminar Nasional tentang Pandangan dan Sikap Hidup Ulama Indonesia, Jakarta: LIPI, 1998, h. 1.
[6]. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milleau, h. 234-235.
[7]. Metode jalsah dan halaqah ini diintensifkan oleh kalangan ulama-ulama muda pesantren. Kebanyakan mereka adalah kalangan pesantren yang sudah bersentuhan dengan dunia pendidikan modern seperti perguruan tinggi atau unversitas. Masalah yang dibahas antara lain: lingkungan hidup, pertanahan, lembaga perwakilan, kepemimpinan nasional dan konsep-konsep politik modern. Semua masalah itu dibahas dengan menggunakan perspektif pesantren atau perspektif kitab kuning.
[8]. Sejumlah nama yang berperan dalam membakukan kitab kuning dalam periode ini antara lain: Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdul Shamad Palembang, Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, dan Kiai Rifangi Kaliwungu. Keberangkatan dan pendidikan mereka ke Timur Tengah dimungkinkan karena meningkatnya peradaban masyarakat pada masa itu sebagai akibat dari dibukanya perkebunan-perkebunan tebu, kopi, tembakau, dan juga pabrik-pabrik. Selain itu, keberangkatan mereka juga dipermudah oleh pelayaran dengan kapal motor secara teratur sejak dibukanya terusan Suez. Lihat, Abdurrahman Wahid, Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, Jurnal Pesantren, No Perdana (1984), h. 8.
[9]. Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning; Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren, Ulumul Quran III (4), 1992, h. 75.
[10]. Ibid.
[11]. Martin van Bruinessen, Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of A Tradition of Religious Learning, Bandung: Mizan, 1992, h. 27-47.
[12]. Abdurrahman Wahid, Asal-Usul…, h. 4-11.
[13]. Taufik Abdullah, Pemikiran Islam di Nusantara dalam Perspektif Sejarah: Sebuah Sketsa, Prisma, III, 1991, h. 16-27.
[14]. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of knowledge), Kunto mengajukan Teori Tiga Tahap Perkembangan Keilmuan di Indonesia: Mitologi, Ideologi, dan rasional. Lihat, Prisma, edisi ekstra, 1994, h. 45-47.
[15]. Azyumardi Azra, Pemikiran Sosio-Politik Islam dalam Kitab Melayu/Jawa Klasik, makalah pada Simposium Nasional I Kitab Kuning dan Lektur Islam, Bogor: ICMI, 1994.
[16]. Cerita ini dirilis di situs Keluarga Muslim Delft Netherland, www.muslimdelft.nl, berdasarkan cerita dari KH. Dimyati, Kendal, yang disampaikan kepada Ustadz Khariri Makmun saat ia mengunjungi Kyai Dimyati. Khariri Makmun adalah Rois Syuriah Komunitas Muda Nahdatul Ulama Jepang (KMNU-Nihon) periode 2004-2005.
[17]. Abdurrahman Wahid, Asal-usul…, h. 11.
[18]. Muhammad M. Basyuni, Revitalisasi Spirit pesantren; Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesanten Dirjen Pendis Depag RI, 2006, h. 123.
[19]. Penyebutan ilmu pengetahuan umum oleh penulis di sini semata-mata hanya untuk mempermudah pemahaman, dan tidak sama sekali bermaksud terjebak pada perdebatan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum dalam pendidikan Islam.
[20]. Ini berdasarkan laporan inspeksi pendidikan Belanda, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Mdernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999, h. 100.
[21]. Ibid.
[22]. http://www.antara.co.id/23 September 2007.
[23]. http://www.almeshkat.com/
[24]. http://www.pesantrenvirtual.com/
[25]. http://www.dutamasyarakat.com/08 Juni 2007.
[26]. Rumus selengkapnya terangkum dalam Taufiqul Halim, Tatimmah: Praktek Penerapan Rumus 1-2, hal. 3-7, 10, 12, 15-34.
[27]. Muhammad M. Basyuni, Ibid., h. 211-212.
[28]. Secara dikotomik memang selalu dibedakan dua kajian atau pendekatan yang berbeda: tekstual dan kontekstual, terutama dalam memahami nash-nash keagamaan. Istilah “tekstual” sendiri sebetulnya diambil dari kata “teks” yang berarti “kata-kata asli”. Kemudian istilah ini dipahami sebagai “pemahaman arti teks secara harfiyah, sebagaimana bunyi teks itu sendiri”. Sedangkan istilah “kontekstual” berasal dari kata “konteks”, yang mempunyai dua arti: [1] bahagian dari suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, atau [2] situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Jadi kajian kontekstual dipahami sebagai suatu pemahaman terhadap teks yang melibatkan situasi yang terkait guna mendapatkan kejelasan makna yang sebenarnya. Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 458.
[29]. Lihat, Keputusan Munâdharah “Pengembangan al-Ulum al-Diniyyah Melalui Telaah Kitab Secara Kontekstual (Siyaqi)” di PP. Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988.

Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid, Nilai-Nilai Kaum Santri dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
_______, Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, Jurnal Pesantren, No Perdana, 1984.
Ali Yafi, Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam, dalam Pesantren, VI/I, 1988.
_______, Prespektif Kitab Kuning dan Kriteria Pengkajiannya secara Efektif dan Efisien, pada seminar sehari “Kitab Kuning di Kampus Modern”, Senat Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Jakarta, 6 April 1988.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Mdernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.
_______, Pemikiran Sosio-Politik Islam dalam Kitab Melayu/Jawa Klasik, makalah pada Simposium Nasional I Kitab Kuning dan Lektur Islam, Bogor: ICMI, 1994.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Keputusan Munadharah Pengembangan al-Ulum al-Diniyyah Melalui Telaah Kitab Secara Kontekstual (Siyaqi), di PP. Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988.
Masdar F. Masudi, Pandangan Hidup Ulama Indonesia dalam Literatur Kitab Kuning, makalah pada Seminar Nasional tentang Pandangan dan Sikap Hidup Ulama Indonesia, Jakarta: LIPI, 1998.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milleau, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146, 1990.
_______, Pesantren dan Kitab Kuning; Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren, Ulumul Quran III (4), 1992.
_______, Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of A Tradition of Religious Learning, Bandung: Mizan, 1992.
Muhammad M. Basyuni, Revitalisasi Spirit pesantren; Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesanten Dirjen Pendis Depag RI, 2006.
Taufik Abdullah, Pemikiran Islam di Nusantara dalam Perspektif Sejarah: Sebuah Sketsa, Prisma, III, 1991.
Situs-situs:
http://www.antara.co.id/23 September 2007.
http://www.almeshkat.com/.
http://www.dutamasyarakat.com/08 Juni 2007.
http://www.muslimdelft.nl/.
http://www.pesantrenvirtual.com/.

Sumber: Jurnal al-Mighrab, Pekapontren Depag RI, Agustus 2008.

Thursday, July 03, 2008

Rocky, Reecho, and I (1)

Rocky is a successful man. When He was a teenager, he had a dream, “Someday, I want to be a rich man,” he said. He didn’t care about his study; all of the priority is working to get lots of money. He’ll do everything to attain what he wants. Nowadays, he has a big company that focuses on furniture. The company is very famous in Blitar east java and he is called as the luckiest man. Reecho, his close friend, stays not far from Rockies’ company. He feels surprise because of his friend’s achievement. But what he feels is contradictory with the society’s opinion. The society disagrees with the Rockies’ way. Why? 

According to one of the society’s statement, Rocky has done an illegal logging. He has smuggled the wood from Indonesia’s forest to abroad. He gets much many because of that business. Ironically, he did it not only by himself but also cooperates with a policeman.

In the beginning, Reecho didn’t know what Rocky actually did, but as the time goes on, he understood Rockies’ act. He regrets because Rockies’ way is really spotting Indonesian nation, and he also disappoints with a police’s way as jurisdictional enforcer. “If I became a policeman, I would be an upright person when I uphold the truth,” he muttered.

Regarding to that case, in my opinion, Rocky basically didn’t aware of the effect from what he has done. He uses all tricks to get what he dreamed. That wrong act will cause landslide because it would be leafless forest. And then a river will be jammed and when rainy season comes the flood will automatically be happened because a river is shallow. We can’t enjoy our life if the disaster really happens. So, we have to stick together to stop all of nature destruction. Just the blunt men or stuffs like that aren’t wanting to save the world from any disaster. [ubaid]

Tuesday, June 24, 2008

Hari Gini Ngomongin Shalat, Apa Perlu?

Mensana In Corpore Sano. "Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat," itulah makna bahasa latin tersebut. Meski banyak orang yang suka terbolak-balik dalam mengartikan, ini bukanlah hal baru, sejak kecil di bangku TK kita sudah hafal di luar kepala dengan petuah tersebut. Secara sederhana kesimpulannya begini, kesehatan jiwa itu sangat tergantung pada kondisi tubuh yang sehat. Karena itu, ada anjuran untuk mengkonsumsi menu ‘empat sehat lima sempurna’. Untuk apa? Menyehatkan badan terlebih dahulu, baru muncullah yang disebut kesehatan jiwa. Apa iya?

Belakangan, berbagai ktitik pun muncul. “Apa betul, pertumbuhan jiwa itu tergantung kesehatan jasmani. Bukannya terbalik?” Pertanyaan ini dipicu adanya fakta yang menunjukkan bahwa banyak orang yang tubuhnya sehat tapi jiwanya bermasalah. Tubuh sehat itu bisa ditakar dengan tinggi dan berat badan proporsional, tidak sedang menderita sakit, makan makanan bergizi, dan seterusnya. Sedang kondisi jiwa yang tidak sehat itu terlihat dari tingkah laku individu, misalnya suka marah tanpa sebab, setres, selalu tergesa-gesa, lepas kendali alias tidak bisa memenej diri sendiri, dan lain-lain.

Berangkat dari pola tersebut, kita sering menemukan seseorang yang secara jasmani sehat, tapi ia kerap mengalami setres dan tekanan batin dalam menghadapi tugas dan masalah keseharian, baik di rumah maupun di tempat kerja. Apakah ini yang dikehendaki petuah ‘mensana in corpora sano’ di atas? Tentu saja tidak, tapi petuah itu mestinya dilanjutkan dan dilengkapi dengan ungkapan, bahwa di dalam jiwa yang sehat ‘automatically’ terdapat tubuh yang sehat pula.

Dengan begitu, tubuh sehat dan jiwa sehat itu saling terkait, dan tidak terlalu perlu mencari mana yang lebih penting, sehat jasmani atau rohani. Menjadi tak pernting, karena pembahasan ini bisa terjebak pada soal klasik, mana yang lebih dulu: telor atau ayam? Yang jelas, keseimbangan jasmani-rohani itu penting sebagai ritme harmonis dalam mengarungi kehidupan yang tak terlepas dari segitiga pengabdian sebagai abdi: beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama, dan melestarikan lingkungan.

Untuk bisa menyeimbangkan hal itu, maka kuncinya terletak pada adalah ibadah shalat. Mana mungkin, apa hubungnannya, kok bisa begitu? Kesehatan jasmani dan rohani hanya didukung dengan konsep makanan empat sehat lima sempurnan yang merupakan turunan petuah di atas, tidaklah cukup. Karena itu, mesti dilengkapi dengan shalat sebagai faktor penentu kesehatan jiwa seseorang, yang juga akan mamancarkan energi positif untuk kesehatan jasmnani. (hlm. 48).

Adalah sangat wajar sekali dan tidak aneh lagi, jika dewasa ini ada orang yang mengalami guncangan atau kegelisahan jiwa, lalu menggunakan cara alternatif penyembuhan terapi psikologi melalui media shalat. Konsep itulah yang ingin dikembangkan Psikolog dari Mesir Muhammad Bahnasi dalam buku al-Shalat Hayat (2004), yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Shalat sebagai Terapi Psikologi (2007).

Buku ini, tidak menjelaskan rasionalisasi ajaran shalat, seperti yang dikehendaki oleh kalangan Islam rasional atau liberal, tapi lebih menyibak mutiara dan hikmah di balik ajaran shalat yang masih jarang dipahami. Terlepas dari teori psikologi yang ‘njlimet’ dan ruwet, Muhammad Bahnasi seakan menggiring pembaca pada satu pertanyaan, “Apa manfaat shalat bagiku?”

Orang akan menjawab dengan beragam: agar masuk surga, menggugurkan kewajiban, terbebas dari siksa akhirat, mendapatkan pahala, atau ada anak yang menjalankannya agar diberi uang jajan oleh orang tuanya. Jarang sekali ada yang menyadari dan dapat mengkorelasikan manfaat dengan kehidupan real di dunia. Allah berfirman, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.”

Tapi, apa nyatanya? Bisa dipastikan sebagian besar orang Islam di Indonesia menjalankan ibadah wajib ini, tapi mengapa sebagian dari mereka masih saja tidak bisa melepas kebiasaan keji dan munkar? Shalat tak pernah telat tapi korupsi, manipulasi, inkar janji, main hakim sendiri, menipu, maksiat, dan tindakan munkar lainnya terus saja dijalani. Apa yang salah, shalatnya kah atau orangnya? Bahkan ada statemen nakal mengatakan, “Buat apa shalat kalau tetap berbuat tidak baik, mending tidak shalat sekalian!”

Kesimpang-siuran itu dijelaskan dalam al-Quran, “Maka celaka bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. 107: 4-5). Ayat lain juga memberikan petunjuk, “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. 4: 103).

Jadi, apa kesimpulannya? Ingat Tuhan itu tak cukup di kala sedang menjalankan shalat saja, apalagi melamun saat shalat. ‘Komunikasi’ dengan Tuhan saat shalat itu sejatinya harus dilanjutkan dalam kondisi apapun: berdiri, duduk, diam, sendiri, maupaun ramai-ramai. Ingat kepada Allah membawa konsekuensi logis pada konsistensi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jika seseorang hanya melakukan ritual shalat: berdiri-rukuk-sujud-duduk, tanpa mengingat-Nya tentu saja shalat tidak akan membawa manfaat apapun kecuali kepuasan semu akan janji-janji surga yang diidam-idamkan itu. (hlm. 217).

Misal sederhana, bagaimana mungkin akan tega melakukan korupsi, jika kita ingat bahwa Allah selalu mengawasi, dan memahami bahwa barang yang diperoleh secara tidak halal itu haram digunakan. Kalau pelaku sadar dengan hal itu, apa mungkin ia melakukannya? Tentu tidak. Karena itu, integrasi ajaran shalat dengan realitas kehidupan itu mesti berkorelasi. Jangan sampai ada anggapan, shalat adalah urusan akhirat yang sama sekali terputus atau tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara di dunia. Sungguh bukan begitu.

Menenangkan Jiwa, Menyegarkan Tubuh

Di samping sikap mawas diri dan introspeksi, shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menenangkan jiwa dan menyegarkan jasmani. Soal ketenangan jiwa ini merupakan janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang menjalankan shalat. Ada jaminan pasti bahwa orang yang sungguh-sungguh dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan. Allah berfirman, “Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. 20: 14). “Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (Qs. 13: 28).

Kedua ayat di atas duduk pada tataran doktrin religious yang termaktub dalam al-Quran. Pada aras yang lebih realistis dan empiris, mari mencermati ritme kehidupan manusia dalam putaran sehari semalam. Biasanya, siklus kehidupan harian seseorang dihitung mulai matahari terbit. Pagi hari, bangun tidur lalu berangkat kerja. Siang hari, istirahat dan makan siang. Sore, pulang dan santai di rumah. Malam, istirahat tidur. Kelihatannya memang simpel dan tak terkesan rumit. Tapi bagi orang yang menjalaninya, tak jarang mereka banyak merasa tersiksa bahkan merasa seakan dikejar-kejar oleh waktu. Bagaimana jiwa bisa tenang, kalau hidup selalu dikejar-kejar ‘deadline’ pekerjaan dan tak kuasa mengatur waktu. Apa jadinya kalau begini?

Potret kehidupan orang tersebut kurang lebih seperti ini. Contoh tipe pertama. Pagi hari bangun tidur, lalu melihat jam dan ternyara waktunya ‘mepet’ atau agak kesiangan. Dengan buru-buru ia harus berangkat ke kantor. Di jalan ia dipusingkan dengan kondisi lalu lintas yang padat. Ia ingin tiba dengan cepat, tapi jalanan lambat. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana kesalnya. Begitu tiba di kantor, ada pekerjaan numpuk yang harus diselesaikan. Ia pun bergegas untuk menyelesaikannya. Jam istirahat siang tiba. Setelah itu, ia kembali ke meja bergelut dengan tugas hingga akhirnya jam kantor berakhir. Pekerjaan tak semuanya rampung, sebagian belum selesai.

Pulang kantor di sambut dengan kondisi lalu lintas yang macet. Pusing, ingin hati cepat sampai di rumah, tapi tak mungkin. Sesampainya di rumah, kepala masih pening karena pekerjaan belum selesai dan efek dari kekesalan saat macet di jalan. Lalu, istirahat sambil nonton televisi sembari tidur-tiduran. Tak lama kemudian, tidur beneran. Bangun tidur, ia pun merasa pusing, karena dua hal: pertama, tidurnya tadi tidak dibarengi dengan niat tidur; kedua, secara fisik memang tidur, tapi pikirannya masih memikirkan ‘deadline’ pekerjaan kantor. Inilah yang menyebabkan kualitas tidurnya tidak baik. Dengan begitu, secara psikologis orang tersebut jiwanya tak tenang, lalu berimbas pada kondisi tubuh yang tidak fit.

Bandingkan dengan orang yang punya kebiasaan menjalankan shalat secara konsekwen atau bahasa agamanya, istiqamah. Misalnya, hanya shalat 5 waktu saja, tak perlu shalat sunnat dulu. Niscaya ia lebih tenang, terarah, taratur, dan dapat memenej waktu dengan baik. Bisa dibayangkan bagaimana indahnya menjalani hidup dan menghadapi masalah sehari-hari sembari dibarengi menjalankan shalat.

Contoh tipe kedua. Bangun pada dini hari. Ketika bangun, suasana lingkungan masih tenang. Terdengar suara adzan di masjid dan mushalla dekat rumah. Mandi dengan segar lalu shalat subuh. Usai shalat, membaca al-Quran lalu olah raga. Usai olah raga, mandi lagi dan siap-siap mau berangkat kerja. Di jalan macet itu sudah biasa dan tak akan membuat pusing, sebab ia sudah memperkirakan waktu dengan tepat. Ia sudah siap menghadapi macet. Sampai kantor, ia mengerjakan tugas seperti biasa hingga siang hari, waktu shalat dhuhur tiba. Layaknya manusia biasa, ia pun agak pening karena dari pagi menyelesaikan tugas kantor. Shalat dhuhur adalah jeda yang baik untuk me-refresh pikiran dan disambung dengan makan siang. Begitu istirahat siang usai, ia pun sudah siap bekerja lagi dengan tenaga penuh (power full): pikiran dan jiwa di-refresh dengan shalat, serta tubuh diisi dengan makanan bergizi.

Ritme kerja pun dimulai kembali. Sibuk dengan urusan ini dan itu, masalah di sini dan di sana. Hingga sore hari, kira-kira pukul 16.30 WIB waktu pulang kerja. Ia pun tak langsung pulang. Shalat ashar di kantor. Ini untuk mengendapkan kondisi otak yang telah bekerja seharian dan menenangkan jiwa sebelum pulang, yang lagi-lagi harus berhadapan dengan lalu lintas yang bergerak menyemut. Usai shalat, dengan kondisi yang tenang, ia melangkah untuk pulang. Macet pun tak akan membuatnya risau. Begitu sampai di rumah, istirahat sejenak lalu mandi. Maghrib tiba, waktunya shalat. Ini adalah masa pergantian siang dan malam. Waktu ini ia jadikan sebagai pengendapan pikiran, membaca al-Quran, lalu santai dengan keluarga, atau membaca buku.

Ini berlangsung hingga jam 20.00-21.00 WIB. Setelah itu, siap-siap untuk tidur. Sebelum tidur, ia shalat isya’ terlebih dahulu. Memanjatkan doa kepada Allah dan bersyukur atas nikmat yang diberikan. Waktu ini juga digunakan untuk refleksi dan merenung, apa sajakah yang telah dilakukan selama sehari ini? Sekaligus ia akan membuat rencana yang harus dikerjakan keesokan harinya. Setelah semuanya sudah diperhitungkan dan direncanakan, ia pun bersiap untuk tidur. Ia tidur begitu nyenyak. Apa pasal? Karena ia siap untuk tidur dan siap untuk menjalani aktifitas esok hari. Tak ada kata dikejar-kejar deadline, karena semua sudah dievaluasi dan direncanakan dengan baik. Bangun tidur, ia merasa lega dan siap beraktifitas lagi.


Itulah gambaran dua tipe orang yang berbeda dalam menyikapi dan menjalani hidup. Bisakah menentukan, anda termasuk tipe yang mana? Bisa jadi, orang yang selalu shalat 5 waktu tapi merasa masih termasuk contoh orang tipe pertama. Mengapa? Sebab, ia belum mengerti hakikat dan manfaat shalat yang sebenarnya. Ia menjalankan shalat hanya takut siksa neraka dan menggugurkan kewajiban agama. Makanya, ketenangan jiwa dan kesegaran jasmani takkan ia dapat, meski ia selalu shalat. Orang seperti ini menurut Rasulullah saw. sama dengan menjalankan shalat tapa ada hasil. “Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja,” Sabda Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah.

Kualitas Shalat Topang Keberhasilan

Inilah yang mesti dihindari oleh umat Islam. Karena itu, penulis buku ini memberikan pelajaran yang menarik kepada pembaca untuk dapat mangatur waktu dan memanfaatkannya dengan baik melalui media shalat. (hlm. 210). Dengan harapan agar hidup kita lebih berkukalitas dan berprestasi. Sebab, kualitas shalat itu juga dapat menopang kesuksesan seseorang. Rasa percaya diri (self confidence) rupanya menjadi faktor penentu prestasi seseorang melalui media shalat.
Jika ditilik, ada tiga unsur pokok dalam shalat yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri.

Pertama, percaya kepada Allah swt. Kepercayaan merupakan perkara yang susah untuk diilustrasikan, tapi secara psikologis, ia dapat dirasakan dan dapat memberikan dorongan yang kuat kepada orang yang mempercayainya. Misalnya, kalau kita percaya bahwa bangunan rumah tua dipinggir jalan itu dihuni oleh hantu. Tentu saja, kita susah untuk melukiskan, tapi dapat merasakan betapa angkernya rumah itu sampai bulu kuduk kita berdiri tatkala lewat di depannya. Bahkan, kepercayaan tersebut dapat mendorong kita untuk selalu takut jika melihat rumah serupa.

Sama halnya dengan keyakinan percaya kepada Allah. Bedanya kalau percaya adanya hantu di rumah kosong di atas mendorong seseorang ke arah negative: takut, hawatir, cemas, dll, tapi kalau percaya kepada Allah akan membawa dampak positif. Dengan percaya kepada-Nya maka kita selalu berdoa dan bersyukur atas anugrah. Kita juga merasa dekat dengan-Nya dan energi positif terus mengalir deras menyemangati hidup seseorang. Maka tak salah, jika dalam buku ini dikatakan, “Hilangnya keyakinan kepada Allah membuat manusia kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.” (hlm. 52).

Kedua, memperhatikan penampilan (performance). Etika orang shalat seyogyanya harus selalu menjaga penampilan. Suci saja tidak cukup, sebaiknya juga harus rapi dan sopan. Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu ketika Rasulullah saw. didatangi laki-laki yang berpakain lusuh. Nabi bersabda, “Tidakkah dia menemukan sesuatu yang dapat mencuci bajunya?” (HR. Abu Dawud). Nabi juga selalu menganjurkan untuk memperindah penampilan. “Barang siapa yang memiliki rambut, hendaklah dia memuliakannya,” sabdanya. Jadi, penampilan seseorang itu sangat berpengaruh pada citra. Sementara citra seseorang juga turut mendukung laju karir dan keberhasilan usahanya.

Ketiga, membangun komunikasi dan mencegah keterasingan sosial. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya, kalau bisa, shalat dilakukan dengan berjamaah. Selain pahala 27 derajat dibanding shalat sendiri, ini juga bermanfaat sebagai forum silaturrahmi dan membangun komunitas di masyarakat. Menurut kaca mata ilmu psikologi, orang yang tidak bisa bergaul dan tidak mempunyai komunitas sangat rentan terhadap stres dan susah untuk berkembang. Karena itu, shalat juga bisa dijadikan sarana untuk mempererat silaturrahmi dan menjalin komunikasi dan relasi.

Jika tiga hal di atas dapat berjalan dengan baik, maka secara langsung atau tidak, ini akan menunjang keberhasilan dan kebahagiaan seseorang dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan lika-liku cobaan ini. Kini, dapatkah anda menjawab pertanyaan yang pernah diajukan di atas, “Apa manfaat shalat bagiku?” Buku ini membantu anda untuk menemukan hakikat shalat dan manfaat yang dapat diraih untuk menyelaraskan kesuksesan hidup di dunia dan kebahagiaan sejati di akhirat, serta mengajari anda untuk menyeimbangkan kesehatan jiwa dan kebugaran jasmani. []

Sumber: Jurnal Bimas, Juni 2008.

Thursday, May 22, 2008

Menang dan Murah Meriah dalam Pemilihan


Persembahan untuk Bung Yon dan Mas Surya atas diterbitkannya buku ini oleh Pustaka Cendikia Muda (PCM), Paramuda Foundation. Dapat di pesan di Paramuda Book Store +6221-7499742

Tiap kali hajatan pemilu digelar, pertanyaan yang selalu bergelayutan dibenak masyarakat adalah siapakah yang akan jadi pemenang. Tak ada kandidat dalam pemilihan yang menginginkan kekalahan. Jujur harus dikatakan bahwa kemenangan adalah tujuan utama dalam sebuah “pertarungan”. Sebab, kemenangan adalah pintu masuk implementasi gagasan Sang Kandidat melalui kekuasaan negara.

Untuk bisa memenangkan perhelatan, tentu dibutuhkan taktik dan strategi. Jenderal Prusia yang terkenal, Carl von Clausewitz pernah berkata, taktik adalah seni menggunakan kekuatan bersenjata dalam pertempuran. Sedang strategi yaitu seni menggunakan pertempuran untuk memenangkan peperangan dan bertujuan mencapai perdamaian.

Dari ungkapan itu, dapat ditarik kesimpulan, strategi adalah rencana jangka panjang. Dan tujuan jangka pendeknya dicapai melalui taktik. Kalau begitu, tanpa strategi maka taktik takkan ada gunanya.

Rancangan strategi pemenangan pemilu itu tak bisa dilakukan oleh orang sembarangan, atau sekadar tim sukses. Harus lebih dari itu. Yon Hotman, satu dari segelintir orang Indonesia yang pernah belajar khusus soal manajer kampanye di Amerika, berbagi jurus jitu untuk meraih kemenangan. Menurut anggota American Association of Political Consultant (AAPC) di Washington DC ini, salah satu cara jitunya yaitu dengan menggaet konsultan kampanye.

“Berbeda dengan tim sukses, konsultan kampanye berkewajiban melakukan eksplorasi obyektif untuk memperoleh gambaran riil di lapangan,” katanya dalam buku yang ditulisnya bersama surya kusuma ini, (hlm. 9). Jadi, tugas utama konsultan kampanye adalah mengawal kandidat untuk menang dan hemat biaya.

Karena itu, konsultan kampanye adalah pihak pertama yang dibutuhkan sebelum seorang kandidat memutuskan untuk maju atau tidak dalam perhelatan pemilu. Banyak orang hanya menandalkan bisikan ‘angin surga’ dari orang-orang terdekatnya untuk memutuskan ikut dalam kontestasi pemilihan. Itu adalah pertimbangan konyol. Seharusnya keputusan itu keluar setelah ada masukan secara obyektif di lapangan. Bagaimanakah kondisi riil di medan pertempuran itu: seberapa jauh kandidat di kenal publik? Publik yang mana? Bagamaimana sosok itu di mata publik? Kelompok mana saja yang stuju dan tidak setuju? Apa kelemahan yang dimiliki sang kandidat? Dan seterusnya.

Kalau sudah terbaca dan terpetakan dengan jelas, baru seseorang harus bisa mengambil keputusan untuk maju atau mundur. Nah, tugas berat itulah yang harus diemban konsultan pemilu, memotret kondisi obyektif di lapangan. Untuk bisa melakukan pemetaan dengan tapat, penulis buku setebal 194 halaman ini menyarankan kandidat untuk melakukan survei bekerjasama dengan konsultan kampanye, (hlm. 91). Setidaknya ada tiga alasan mengapa survei, mau tak mau, harus dilakukan.

Pertama, efektif, murah, dan tepat sasaran. Buat apa mengeluarkan banyak amunisi, seperti spanduk, kaos, bendera, bahkan politik uang, kalau kandidat tidak mengetahui efektifitas dari cara-cara tersebut. Hal yang merugikan itu bisa dianulir dengan survei. Sebab, melalui survey strategi kampanye bisa dibuat lebih terukur dan efesien. Dengan dana yang tersedia, kandidat bisa menyusun srategi yang efektif dalam menjangkau sebanyak mungkin. Survei juga memberikan informasi mengenai isu apa yang dipandang penting, medium apa yang efektif, kelompok mana yang bisa didekati, dan lapisan pemilih mana yang bisa ditingkatkan suaranya.

Kedua, bermanfaat untuk mengukur opini masyarakat. Waktu kampanye adalah saat-saat yang genting dan selalu berubah-ubah. Untuk itu, kandidat harus bisa mengetahui prilaku pemilih atau arah opini masyarakat. Biasanya, pemilih selalu bimbang setelah mencermati banyaknya program kandidat yang bagus-bagus. Dalam kondisi pemilih yang seperti inilah, gambaran survei memudahkan tim sukses untuk menentukan langkah yang akan diambil kandidat.

Terakhir, ketiga, untuk memetakan kekuatan politik. Data yang disajikan hasil survei terbukti tingakat akurasinya lebih tinggi daripada data dari informal information, misalnya orang terdekat, anak buah, atau data kelompok sendiri. Terkadang kandidat terlalu PD bisa memenangkan pemilihan berdasarkan popularitas, padahal, menurut penulis buku ini, tidak cukup dengan itu. Artinya popularitas itu harus didukung dengan pemetaan kekuatan politik, baik diri sendiri atau rival politik. Dengan begitu, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bisa terbaca lebih awal.

Selain menggandeng konsultan kampnye dan melakukan survei untuk pemetaan, komponen penting dalam buku yang ditulis oleh mantan campaign partner professional pemenangan SBY-JK 2004 ini juga menyuguhkan strategi kampanye dengan pendekatan bisnis atau pemasaran politik, (hlm. 49). Sebab, aktifitas kampanye dengan promosi produk itu punya kesamaan, sama-sama memasarkan “barang” agar dikenal dan dibeli publik.

Jadi, esensi kampanye atau bisa juga disebut pemasaran politik adalah suatu upaya untuk mendorong para pemilih untuk menginvestasikan kepercayaan kepada kandidat tertentu. Dalam hal ini, para pemilih sebenarnya tak sekadar konsumen, tetapi juga “investor kolektif” yang menanamkan kepercayaan kepada kandidat, yang nantinya diharapkan akan memberi return berupa perwujudan kesejahteraan pemilih pada masa datang, dalam pengertian instrumental, fungsional, dan emosional. Ihwal cara jitu “memasarkan” kandidat ini, secara detil dan terperinci dibahas dalam bagian ketiga buku ini (hlm. 35-87)

Menariknya, buku ini juga mengajarkan rambu-rambu berpolitik secara santun dalam suatu pertarungan politik, misalnya soal black campaign, etika berbicara juru kampanye, debat kandidat yang konstruktif, dan lain sebagainya. Yang tak kalah pentingnya yaitu soal strategi kampanye damai. Ada tiga hal yang perlu diwaspadai agar kekerasan tidak terjadi pada pra atau paska pemilihan. Pertama, pluralisme identitas dan beragamnya kepentingan politik serta sumber daya politik yang terbatas. Kedua, pergeseran patronase politik di tingkat lokal menyebabkan terjadinya persaingan politik antar elit lokal dalam mengisi jabatan-jabatan kekuasaan. Ketiga, transisi politik dan intervensi elit nasional yang bisa membuka pertarungan elit menjadi pertarungan terbuka.

Tiga hal itulah yang harus dipahami secara seksama dan ditanggapi dengan hati dan pikiran yang dingin. Meski secara garis besar buku yang diterbitkan untuk menyambut pemilu 2009 ini menginginkan Sang Kandidat sukses menjadi pemenang, buku ini juga memberikan pengertian kepada kandidat untuk bisa menerima kekalahan sebagai pelajaran. []


Judul: Panduan Sukses Kampanye Pemilu 2009. Penulis: Yon Hotman dan Surya Kusuma. Penerbit: Pustaka Cendekia Muda. Cetakan: Pertama, Maret 2008. Tebal buku: ix + 194 halaman.

Monday, April 21, 2008

Membangkitkan Perwakafan di Indonesia

Aset wakaf di Indonesia terbilang besar. Menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI), sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di negeri ini sebanyak 366.595 lokasi, dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal. Maka, suatu langkah yang tepat, jika BWI tahun ini menitikberatkan pada pengelolaan aset-aset wakaf agar bernilai produktif. Ini tercermin dari pernyataan Ketua Badan Pelaksana BWI Thalhah Hasan usai bertemu Wapres Yusuf Kalla, sebagaimana dilansir Republika, (2/4). Ia mengatakan, BWI akan mengembangkan wakaf produktif yang hasilnya untuk kesejahteraan umat.

Gagasan ini bagi penulis sangat menarik, sebab selama ini pengembangan wakaf di Indonesia bisa dibilang mati suri. Jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam lain, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif. Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES). WAREES merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, WAREES mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Menarik bukan? Kalau mereka bisa, mengapa negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Penulis yakin, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika benar-benar serius menangani soal ini. Apalagi, pengembangan wakaf di Indonesia kini sudah menemukan titik cerahnya, sejak disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan. Kalau begitu, sekarang tinggal action saja, tak perlu banyak berwacana. Kalau dulu, banyak orang berdiskusi dan berharap adanya lembaga khusus yang menangani perwakafan di Indonesia, kini BWI sudah berdiri (sejak 2007). Tinggal bagaimana memaksimalkan lembaga independen amanat undang-undang itu. (Bab VI, pasal 7, UU No. 41 tahun 2004).

Menyegarkan Pemahaman Umat

Untuk bisa mengoptimalakan pengelolaan aset wakaf ke arah produktif, perlu adanya persamaan persepsi atau sudut pandang tentang apa dan bagaimana mengembang perwakafan di Indonesia. Sebab, selama ini pemahaman masyarakat masih berbeda-beda dalam perkara ini. Di samping itu, batu sandungan juga tak jarang melintang di tengah-tengah upaya untuk memajukan perwakafan di Indonesia.

Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi.

Memang secara fikih, ada perbedaan pendapat. Imam Syafii berpendapat bahwa tukar guling harta wakaf itu tidak boleh secara mutlak, apapun kondisinya. Sementara sebagian Ulama Syafiiyah (murid-murid imam Syafii) membolehkan, asal digunakan untuk tujuan produktif. Selain itu, Imam Hambali dan Hanafi juga memperbolehkan tukar guling dengan tujuan produktif. (Abu Zahrah, 1971: 163-172). Jadi, tukar guling itu hakikatnya diperbolehkan oleh para fuqaha asal untuk tujuan produktif. Apalagi, kini permasalahan ini sudah diatur secara gamblang dalam Bab VI, pasal 49-51, PP No. 42 tahun 2006.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf itu dipahami masyarakat sebagai ibadah yang pahalanya mengalir (shadaqah jariayah), cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah, jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat.

Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya. Belum lagi, banyak terjadi kasus penyerobotan tanah wakaf yang tak bersertifikat. Untuk itu, penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikat tanah wakaf perlu digalakkan.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan harta wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid dan kuburan. Secara benefit, apa yang bisa dihasilkan dari masjid dan kuburan? Bisa-bisa tidak dapat keuntungan malah tekor untuk biaya perawatan.

“Menyulap” Aset Wakaf Jadi Produktif

Karena itu, diperlukan strategi untuk “menyulap” aset wakaf agar bernilai produktif. Harta benda wakaf, dalam bahasan ini, penulis sederhanakan menjadi dua bagian: tanah (aset tidak bergerak) dan uang (aset bergerak).

Pertama, aset wakaf yang berupa tanah. Untuk memproduktifkan, lihat dulu lokasinya: stategis atau tidak. Jika tidak, maka lebih baik ditukargulingkan. Setelah dinilai strategis, tinggal melihat areanya di mana? Kalau tanah di pedesaan, jenis usaha produktif yang cocok antara lain perkebunan, pertanian, dan perikanan. Sedang tanah di perkotaan dapat dimanfaatkan dengan membangun pusat perbelanjaan, apartemen, rumah sakit, atau pom bensin. Kalau lokasinya di pantai? Bisa saja dikelola jadi obyek wisata, tambak ikan, atau bisa juga perkebunan di rawa bakau.

Kedua, berupa benda bergerak, uang. Ada baiknya, satu misal, Indonesia mencontoh pola di Bangladesh. Di sana, Social Investment Bank Ltd (SIBL) menintrodusir Sertifikat Wakaf Tunai. Ini, boleh dikatakan, suatu produk baru dalam sejarah perbankan sector voluntary. Di kota Dhaka, SIBL membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening deposito wakaf uang untuk berbagai macam tujuan produktif. Antara lain, perbankan berfungsi sebagai fasilitator sekaligus pengelola wakaf uang, membantu masyarakat untuk membuat tabungan wakaf, menjadikan tabungan masyarakat sebagai modal, dan menyalurkan keuntungan pengelolaan untuk kesejahteraan masyarakat.

Nah, dalam konteks Indonesia, Lembaga Keuangan Syariah idealnya harus mampu bermitra dengan para nazhir untuk mengembangkan wakaf uang di Indonesia ke arah yang lebih produktif. Apalagi, baru-baru ini DPR telah mensahkan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Artinya, instrument untuk mengembangkan produktifitas perwakafan di Indonesia kian terbuka lebar. Tinggal kita selaku umat Islam di Indonesia, bisa memanfaatkan peluang atau tidak. Dengan semangat kebangkitan nasional, yuk bersama kita bangkitkan perwakafan di Indonesia. []


Artikel ini telah dipublikasikan Padang Ekspres, 28 Mei 2008.

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes