Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Dulu, waktu kecil, kita pernah belajar mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)—sekarang PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Hal ini menunjukkan, sejak dini kita sudah dikenalkan dengan moral. Di dalamnya dipelajari makna pedoman dan penghayatan Pancasila yang merupakan cerminan berbangsa dan bernegara, bahkan kita sampai hafal di luar kepala.
Di antaranya, ada yang berbunyi: kemanusiaan yang adil dan beradab. Sungguh, betapa pentingnya peranan moral. Bagaimankah peranan pemerintah dalam pembangunan moral suatu bangsa? Disetujui atau tidak, dalam pemerintahan Orde Baru (Orba) terjadi kesalahan dalam menerapkan pendidikan moral. Dengan maksud yang terselubung, Pancasila dijadikan sebagai kedok moralitas pemerintah ketika itu. Dengan dalih Pancasila, yang tidak sependapat dengan pemerintah akan tersingkir dan tersungkur.
Moral seperti inikah yang akan dijadikan sebagai juru penyelamat bangsa? Atau kita memang belum mengerti (sok tahu) tentang moral, walaupun sudah bertahun-tahun belajar?
Immanuel Kant berpendapat, moralitas adalah keyakinan dan sikap batin. Bukan hanya penyesuaian dengan aturan dari luar yang berupa norma, hukum atau istiadat, namun lebih pada cerminan pribadi yang bersumber dari hati nurani manusia, yang disadari sebagai kewajiban mutlak. Konsep moral Kant tersebut dikritisi oleh Hegel dengan menyatakan bahwa moral perspektif Kant adalah bersifat abstrak, sehingga sulit untuk direfleksikan. Menurutnya, moralitas itu tidak tergantung pada otonomi individu yang berdasarkan hari nurani, namun meliputi tiga lembaga yang saling dialektis: (a) hukum, (b) moralitas dan (c) tatanan sosial (sittlichkei). Perbedaan antara Kant dan Hegel tidaklah jauh, peranan Hegel bisa dikatakan sebagai penjelas dari pemikiran Kant.
Jadi, kesadaran bermoral harus melibatkan banyak elemen, sebagaimana di atas. Bukan hanya menguntungakan satu pihak saja, sedang yang lain dirugikan. Mungkin kita bisa membenarkan kata Muchtar Lubis dalam ceramahnya, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban di Taman Ismail Maszuki. Ciri manusia Indonesia adalah hipokrit (suka berpura-pura), yang cenderung akan melakukan apapun asal menguntungkan bagi dia, walaupun harus bertentangan dengan pemikiran dan hari nurani, karena yang menjadi tujuan inti adalah super Ego “Aku”. Moral dan mental seperti inilah yang menjadikan bangsa Indonesia semakin botol (bodoh dan tolol).
Lalu, apa peranan pemerintah dalam mencerdaskan moral manusia Indonesia selama ini? Ada apa dengan moralitas kaum terdidik atau terpelajar? Moralitas yang bagaimankah yang dijadikan kiblat atau acuan masyarakat Indonesia? Siapakah yang bertanggung jawab terhadap masalah ini? Inilah beberapa pertanyaan akan memberikan setetes diskripsi moralitas bangsa Indonesia.
Potret Moralitas Kaum Terdidik
Berikut ini akan disoroti beberapa potret moral yang dilakukan kaum terdidik—karena dianggap representasi dari masyarakat bermoral—yang menarik untuk dikritisi. Pertama, politisi. Fenomena yang sudah menjadi rahasia umum, money politik tidak dapat dihindari dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Hanya untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan, cara-cara yang amoral pun ditempuh. Apalagi menjelang pemilu, kampanye partai-partai politik bak cawan dimusim hujan. Even seperti ini banyak dimanfaatkan oleh politikus Indonesia untuk mencari keuntungan (uang basah) dengan mengumbar janji yang sok aspiratif, penyambung lidah rakyat, demokrtis, anti KKN dan sebagainya. Namun apa yang terjadi, janji tinggallah janji, yang tertinggal hanyalah penderitaan, kemiskinan, dan penindasan yang tetap dirasakan oleh rakyat.
Sementara itu, para politisi enak-enakan nongkrong dikursi dewan. Mereka datang, duduk dan diam, kalau ngantuk ya tidur, tanpa ada beban apapun. Dalam benaknya yang ada hanyalah harta dan tahta, menang atau kalah, menggulingkan atau digulingkan, tiada hari tanpa sikut-sikutan dan rebutan. Lalu, apa makna janji politik yang pernah digembor-gemborkan dulu? Tanpa dijawab kita sudah tahu, itu hanyalah retorika belaka. Ternyata, perkataan Yues Michaud (1976) terjadi di Indonesia, yaitu “politik porno” (segala bentuk kekerasan dan kecurangan politik untuk tujuan tertentu). Bentuk politik porno antara lain: demontrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan oleh kelompok tertentu dan lain-lain. Berarti kesimpulannya, politikus Indonesia menggunakan sistem “politik porno”.
Jika demikian, apa perbedaannya dengan pelacur? Menurut Gunawan Mohammad, pelacur melacur dengan (maaf) ‘anu’nya, sedangkan politikus melacur dengan intelektualnya. Seharusnya politikus itu sadar, bahwa uang yang ia makan setiap hari adalah hasil keringat rakyat, tapi mereka tanpa ampun membunuh rakyat yang tidak satu persepsi. Sungguh tak bermoral, manakah letak keberpihakan mereka kepada rakyat?
Kedua, kaum akademisi. Gejala yang paling membumi di kalangan ini adalah plagiasi karya ilmiah. Misalnya, beberapa tahun lalu muncul berita heboh dari kampus Universitas Gajah Mada (UGM), penjiplakan tesis oleh dosen (mahasiswa progam magister) dari universitas swasta. Di Indonesia, jiplak-menjiplak dalam dunia akademisi merupakan hal biasa. Apakah ini mencerminkan sikap yang bermoral? Tidak kalah menariknya adalah jual beli di kalangan akademisi, bisa gelar, ijazah dan lainnya, demi untuk melanjutkan kuliah atau melamar pekerjaan, dikarenakan—bisa jadi—dulu tidak lulus atau di-drop out. Selain itu, naskah soal-soal ujian juga sering kecolongan atau kebocoran. Hal ini disebabkan adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang hanya memikirkan perut walau harus menelantarkan moral. Ini terbukti ketika Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ujian Akhir Sekolah), bocoran soal ujian acap kali ditemukan. Dari dulu sering terjadi, hanya sekaang saja mulai ada buka-bukaan tentang masalah ini.
Ketiga, kaum birokrat. Lembaga Tranparancy Internasional (TI), melakukan penelitian di berbagai belahan dunia berkesimpulan, bahwa Indonesia terpilih sebagai kategori negara terkorup nomer tiga (1999), tahun 2000 menyabet rangking empat, ironisnya, tahun 2001 Indonesia menggondol juara kedua (Metro TV). Mengenaskan sekali, negara yang berketuhanan, berkeadilan, dan beradab, tapi birokrasinya benar-benar bejat. Bukan hanya itu, sebagaimana dipaparkan Kompas (8/11/2001), dilema KKN juga melanda institusi pendidikan (18%), kesehatan (21,2%), bahkan lembaga agama tidak mau ketinggalan juga (27,1%). Katanya bergama dan bermoral?
Keempat, kaum yudikatif. Mereka akan kebingungan jika ditanya, (misalnya) pernahkah ada penangan kasus yang dilakukan oleh institusi keadilan secara tuntas? Semakin jubel dan bertambahnya kasus—tanpa penyelesaian—malah membuat santai peradilan, dan masyarakat mengerti bahwa peradilan can’t do it (baca: impoten). Tanggung jawab yang tergadaikan akibat ketidakmampuan institusi pengadilan menyebabkan hukum di Indonesia terlantar dan kehilangan prestise dan prestasi. Berbagai kasus itu antara lain: pemberantasan KKN, kasus HAM di Aceh, Semanggi 27 Juli, Tanjung Priok dan lain-lain. Itu semua ‘PR’ lembaga peradilan yang tak terselesaikan. Belum lagi suap-menyuap, ini semua adalah tanggung jawab institusi peradilan. Pertanyaannya, mengapa Bob Hasan bisa masuk Nusa Kambangan, sedangkan Suharto tidak? Ini adalah masalah kewibawaan hukum yang erat kaitannya dengan moralitas para penegak hukum.
Cermin dari wajah-wajah moralitas kaum terdidik tak dapat ditutup-tutupi lagi. Kebobrokan di sana-sini susah untuk diperbaiki. Benar kata Ronggowarsito, “Zamannya zaman edan, nggak edan nggak makan, ikut-ikutan edan nggak kebagian”. Realitas semacam ini seakan-akan mengatakan, Indonesia kian terpuruk dan sudah tidak bisa dijadikan tauladan lagi. Gara-gara apakah gerangan? Krisis moral kah atau ada hal lain?
Krisis Moral dan Kultural
Faktor determinan yang terkait dalam masalah ini adalah globalisasi, yang merembet pada style, human interest, tren, citra, dan krisis. Masyarakat Indonesia (pedesaan dan perkotaan) lagi demam dengan yang namanya bola mania, kafe, gaya hidup firtual, globe trotting, budaya instan dan lain sebaginya. Sikap-sikap yang cenderung suka menonjolkan gaya asing (sok keren, gaul, macho) dan mengesampingkan identitas yang bersumber dari akar budaya dan adat istiadat adalah sikap manusia yang sedang mengalami “krisis identitas”.
Bayangkan, orang Madura bergaya ala orang Amerika, makan Humberger, minum Coca-cola, celana Levi’s, kepalanya diikat dengan bendera Amerika. Pantaskah? Yang terbesit di hati mereka adalah gaya, keren, dan gaul. Gejala ini sudah mendunia, bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi mengapa Indonesia ikut-ikutan juga? Ini akibat dari arus informasi yang tidak terbendung. Jika orang Indonesia mengidentitaskan dirinya sebagai orang Ameika, sesuaikah dengan moralitas bangsa? Sebenarnya boleh-boleh saja asalkan tidak sampai lupa pada jati diri kita sendiri.
Jangan sampai kita lupa dengan eksistensi diri kita, kegemaran kita hanya bisa meniru fotokopi style orang lain. Tak ubahnya seperti burung beo yang cuma bisa menirukan orang lain, tanpa ada upaya filterisasi. Berarti kita boleh ikut tapi tidak boleh ikut-ikutan. Dengan kata lain “berfikir global, bertindak lokal” (untuk memakai kata AB Susanto).
Seiring dengan itu, budaya instan juga turut meramaikan globalisasi. Yaitu keinginan yang serba cepat dan tidak memakan banyak waktu. Semua pekerjaan bisa terselesaikan dengan cepat. Budaya inilah yang lagi digandrungi masyarakat Indonesia. Disadari atau tidak, kita takkan bisa mencegahnya, karena dunia semakin menggelobal dan sesak. Di sisi lain, manusia dituntut untuk bekerja optimal dengan efisiensi dan efektifitas dalam peningkatan produktifitas. Produktifitas merupakan password kemajuan dunia yang akan melahirkan budaya instan.
Sejalan dengan krisis indentitas dan budaya, seseorang akan mengelami kekeringan moral dalam hidupnya. Budaya yang begitu melekat sebagai jati diri, akan sirna dan hampa. Dari sinilah diperlukan integrasi antara modernitas dengan kebudayaan, saling mengisi kekurangan antara satu dengan yang lain. Menciptakan kebudayaan baru yang lebih berperadaban. Manusia tetaplah manusia, manusia bukanlah robot yang dimotori oleh modernitas, akan tetapi bertindak sebagai pengendali laju roda modernitas.
Kesadaran teknokratis, meminjam istilah Jurgen Habermas, harus diwaspadai. Sebab, dapat menyusutkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, semuanya hanya dipandang dari sudut teknis. Manusia akan menjadi—kata Herbert Marcuse—manusia satu dimensi (one dimensional man). Kesadaran ini sudah menggejala pada masyarakat Indonesia, ini dibuktikan dengan kepekaan terhadap masalah kesenjangan sosial, korupsi, HAM (Hak Asasi Manusia), dan demokratisasi. Mengapa? Ternyata menurut hemat penulis, lagi-lagi kesalahan terlatak pada sistem pendidikan nasional yang selalu mencerminkan (bahkan mendukung) kesadaran teknokratis.
Pendidikan di persimpangan jalan
Apresiasi yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sangatlah beragam. Perbedaan ini menimbulkan keberagaman sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Pertanyaan yang belum terpecahkan adalah metode apakah yang pas untuk membentuk moralitas masyarakat Indonesia yang berkepribadian dan mempunyai nilai moralitas yang tinggi?
Bagi penulis, faktor yang paling determinan dalam pembentukan moral adalah aspek pendidikan. Titik pangkal ini akan menjadikan barometer dari keberhasilan suatu bangsa dalam membentuk moralitas dan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan hendaknya bernilai transformatif; mendewasakan masyarakat, serta mngembangkan kepribadian, intelektualitas, dan ketrampilan mereka secara utuh.
Selain itu, sistem pendidikan harus mampu membaca dengan tepat kondisi riil dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Agar benar-benar mampu memberdayakan mereka dalam kehidupan yang serba majemuk ini. Sekarang ini, masih banyak ditemukan beberapa metode pendidikan dan pengajaran yang masih berkutat pada teacher oriented, bukan student oriented.
Maksudnya, murid harus menuruti kata guru. Tanpa ada proses dialog, diskusi atau tukar pikiran antara murid dengan guru. Sehingga, yang terjadi adalah murid tidak mempunyai kemandirian berfikir dan kemampuan intelektual yang lemah, karena mereka selalu diajari ketergantungan terhadap orang lain. Makanya, sikap kritis yang diharapkan tidak tercapai. Sebab, sistem pendidikanlah yang mengkooptasi dan mengebiri daya kritis murid. Mereka cenderung beranggapan, apa yang dikatakan guru adalah sebuah kebenaran. Akibatnya, siswa lebih mempunyai daya hafal yang tinggi dan daya nalar yang rendah.
Celakanya, sikap guru yang seperti ini diimbangi dengan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak pernah jelas. Dengan adanya berbagai metode yang diterapkan, dari CBSA (Cara Belajar Sisiwa Aktif) sampai pendidikan dasar sembilan tahun. Apa yang dapat kita rasakan dari sisitem pendidikan di Indonesia? Moralitas tetap bejat. Pemerintah sengaja menciptakan sistem pendidikan semacam itu untuk melanggengkan kekuasaan dengan hegemoni yang dilakukan dengan memasukkan ideologi-ideologi palsu yang dipoles seindah mungkin. Misalnya, setiap siswa baru harus mengikuti penataran P4. Tak ayal lagi, strategi ini merupakan upaya pemerintah untuk mematikan nalar kritis siswa terhadap negara.
Terpuruknya moral dan amburadulnya sistem pendidikan Indonesia diakibatkan oleh ulah pemerintah yang anti moral. Sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi serius yang harus dipecahkan. Sebagaimana dijelaskan Rektor UNIKA Manado, Yong Ohoitimur: pertama, kualitas nilai dalam buku rapor dan ijazah tidak menceminkan sumber daya manusia. Kedua, sistem pendidikan yang buruk mengakibatkan tidak maksimalnya peserta didik untuk mendapatkan pengajaran yang penuh dan berkualitas. Ketiga, buruknya moral dalam dunia pendidikan turut andil menggagalkan proses pendidikan sebagai proses pendewasaan para peserta didik sebagai manusia. Dari kenyataan pendidikan ini, tak usah heran jika medengar berita atau membaca buku yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup dengan kualitas pendidikan yang relatif rendah dan tak kompetitif.
Pendidikan yang Membebaskan
Paulo Freire, pendidik dan teolog humanis dari Amerika Latin, berupaya untuk mendobrak proses pendidikan tradisional “sistem bank”. Di mana guru mentransfer pengetahuan kepada murid, atau dengan kata lain guru berposisi sebagai subyek, sedang murid sebagai obyek. Jelas, sistem ini tidak terjadi komunikasi antara guru dengan murid.
Praktek pendidikan semacam ini terefleksikan dalam masyarakat yang tertindas dan sekaligus memperkuat struktur yang menindas. Ini adalah bagian dari strategi hegemoni penguasa untuk menguasai wacana masyarakat. Karena itu, tidak adanya kritik terhadap sistem pendidikan—dari bawah—menandakan bahwa sistem pendidikan kita cenderung sentralistik dan tidak mempunyai orientasi pembentukan moral.
Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menghapus hegemoni penguasa dalam pendidikan. Agar tercipta pendidikan yang membebaskan masyarakat dan mempunyai orientasi pembentukan moralitas berbangsa dan bernegara di Indonesia. Karenanya, diperlukan metode pendidikan kritis-dialogis. Mengapa? Karena, dalam dunia pendidikan, “mengetahui” adalah sebuah proses bukan tujuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, dialektika dalam pendidikan akan terus berlangsung sampai pada taraf pendewasaan dan pematangan diri.
Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang harus mempu merubah (membawa perubahan). Dari tidak tahu menjadi mengerti, dari bodoh menjadi pintar, dari terjajah menjadi merdeka dan seterusnya. Inilah yang biasa disebut sebagai pendidikan transformatif. Pendidikan semacam ini merupakan gerakan penyadaran yang mempunyai nilai urgensi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu upaya pembentukan moralitas dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. Ingat, maksud pendidikan di sini tidak hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan (sekolah) an sich, tapi kesatuan elemen bangsa (non-sekolah) secara menyeluruh: ormas, orsospol, LSM dan lain sebagainya. Jika demikian, maka terciptanya sistem pendidikan nasional yang transformatif dan kompetitif adalah keniscayaan. []
Sumber: Pelita, 13 Mei 2003.