Oleh Abdullah Ubaid Matraji
PEMILU 2004 seolah-olah sudah di depan mata. Bagaimana tidak, perbincangan seputar Pemilu sering dijumpai di berbagai media. Sementara itu, dari sekarang para politisi bersiaga penuh (anstisipasi) dengan memasang ‘kuda-kuda’. Tinggal menunggu lonceng berdering, mereka akan siap bertanding di atas ‘ring demokrasi’.
Momentum pemilu bagi para pejabat, politisi, dan birokrat adalah ajang desakralisasi ‘suara tuhan’ (voks populi voks die, suara rakyat adalah suara Tuhan), dan sakralisasi kepentingan. Benarkan demikian? Moralitas bangsa digadaikan hanya dengan kepentingan taktis. Padahal, kejujuran dan keutuhan suara dalam pemilu sangat diharapkan, tapi kenapa malah dinodai dengan vote buying (pembelian suara) ataupun dengan modus-modus lain? Kita tidak ingin ada ‘uang’ dibalik ‘palu’ (meja hijau) begitu pula ada ‘kepentingan’ (taktis) di balik ‘pemilu’.
Kenyataannya, Panwaslu sebagai badan resmi yang dibentuk pemerintah—dari pusat hingga Kecamatan—untuk mengawasi Pemilu (psl. 24 UU No.3 1999) belum bisa maksimal dalam menjalankan tugas. Masih banyak kecurangan ditemukan disan-sini. Akibatnya, hasil pemilu pun tidak seratus persen ‘memuaskan’, justru dinilai kontroversial. Sebagaimana gugatan yang pernah di ajukan ke MI (Mahkama Internasional), IPU (Inter Parlemen Dunia), dan juga ke Komisi Tinggi HAM PBB. Gugatan ini diadukan oleh 30 Parpol, yang dipelopori oleh lima pimpinan Parpol. Yaitu Ketua Umum Partai Rakyat Indonesia (PARI) yang telah berganti nama menjadi Partai Persatuan Indonesia (PPI) Agus Miftach, Partai Ketua Umum Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) Sri Bintang Pamungkas, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (PND) Edwin Hemawan Sukowati, Ketua Umum Partai Masyumi Baru Ridwan Saidi dan sekjen Partai Buruh Nasional (PBN) Beni Akbar Fatah.
Fokus gugatan tersebut adalah tentang pelanggaran-pelangaran selama pemilu yang tidak ditanggapi serius oleh institusi peradilan dalam negeri. Selain itu, juga diakibatkan oleh adanya kontroversi keabsahan pemilu 1999. Karena—waktu itu—KPU baru menghitung 60 persen suara, tetapi sudah dikeluarkan Kepres No.92/1999 tentang hasil pemilu 1999.
Saat itu KPU memang baru menyelesaikan perhitungan suara sebanyak 65 juta suara, namun atas saran tiga anggota KPU, yaitu Adnan Buyung Nasition, Oka Mahendra dan Jakob Tobing, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No.92/1999. Padahal, semestinya hasil pemilu disetujui oleh minimal 2/3 anggota KPU. Jumlah anggota KPU yang menandatangani hasil pemilu 1999 sebanyak 18 partai sehingga tidak tercapai 2/3 anggota KPU. Dengan demikian, hasil pemilu 1999 dianggap tidak sah. Karena itu, bagaimana rakyat bisa percaya kalau Panwaslu tidak punya track record?
***
Kita tidak bisa menutup mata dan dapat dipastikan, di manapun ada pemilu di situ ada kecurangan dan manipulasi. Baik di negara otoriter maupun negara demokratis. Di negara-negara komunis misalnya, Pemilu tetap diselenggarakan, tapi dengan menggunakan ‘kontestan tunggal’, yaitu partai komunis. Jadi, apapun pilihannya partai komunis tetap menang. Karena memang pilihannya hanya satu, perebutan pun terjadi antar tokoh-tokoh partai—di wilayah atau distrik—yang ingin duduk di parlemen. Pada titik inilah letak kerawanan kecurangan Pemilu di negara-negara komunis.
Sedang di negara-negara penganut demokrasi liberal, sebuah pemilihan umum selalu riuh, penuh hiruk pikuk, layaknya pasar. Berbagai kelompok dan kalangan berlomba-lomba merebut perhatian massa selagi kampanye. Mereka tidak segan-segan saling menjelek-jelekkan dan menjatuhkan lawan politiknya, nuansa pertarungan juga sering diliciki dengan vote buying (pembelian suara).
Lebih ramai lagi, justru terjadi di negara-negara dunia ketiga yang gayanya sok demokratis seperti Indonesia. Orang-orang sibuk membikin partai, kampanye, mengobral janji, layaknya orang jualan tempe di pasar. Di saat kondisi bangsa seperti ini, konflik, perebutan kekuasaan, sentimentil, dan fanatisme, kalau tidak dikendalikan justru akan membikin runyam nasib demokratisasi di Indonesia.
***
Di Indonesia, Panwaslu memiliki otoritas dan wewenang, tapi apakah ia mampu menjalankan sesuai dengan undang-undang? Tentu saja ini merupakan ‘PR’ besar yang harus diselesaikan. Kasus pengaduan 30 parpol ke MI—sebagaimana di atas—sebelumnya sudah pernah terjadi pada pemilu 1972, dilakukan Subhan ZE, selaku ketua PBNU, mengadukan kecurangan Pemilu kepada MI, walaupun gugatan itu tidak berlanjut karena dia meninggal di Arab Saudi. Tapi, mengapa kesalahan sejarah itu meski terulang kembali? Bukankah bangsa yang besar akan selalu belajar dari sejarahnya?
Semakin jelas, bahwa fokus pengawasan Pemilu sebenarnya pada pelanggaran atau kecurangan yang terjadi saat Pemilu. Dan kecuranga ini telah diantisipasi oleh undang-undang, baik UU Parpol maupun UU Pemilu. Misalnya, pelarangan suap-menyuap (money politic) agar tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilihnya kepada calon tertentu. Pelanggarang atas ketetentuan ini akan diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga tahun, yang berlaku bagi pihak yang memberi maupun yang menerima (UU Pemilu, pasal 73 ayat 3). Ada juga aturan tentang pelarangan terhadap partai politik untuk menerima sumbangan atau bantuan dari pihak luar negeri, baik pemerintah maupun badan usaha (UU Parpol, pasal 12 ayat 4 dan pasal 16 ayat b). Ini menunjukkan, secara teknis dan prosedural memang sudah sistematis, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih perlu dipertanyakan.
Memang, keseriusan Paswaslu harus dinomorsatukan. Pernahkah Panwaslu menyelesaikan kasus ‘operasi fajar’, misalnya, atau kasus-kasus lain? Ini menunjukkan bahwa Panwaslu tidak memiliki paradigma kerakyatan yang benar-benar otonom dan independen membela kepentingan rakyat. Ketidakseriusan Panwaslu menunjukkan ketidakpeduliannya atas kemurnian “suara tuhan”.
Padahal dalam kerjanya, Panwaslu didampingi oleh pemantau independen. Seperti Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Komite Pengamat Pemilu Nasional (KPPN) dan lain-lain, yang sama-sama bertugas mengawasi atau memantau Pemilu. Tapi apa kenyataannya? Ternyata, antara yang satu dengan yang lain tidak ada keharmonisan, saling tuduh dan lempar batu sembunyi tangan. Seharusnya mereka saling bekerja sama dengan membangun koordinasi dan komunikasi yang seimbang dengan harapan agar kecurangan dalam Pemilu 2004 dapat diminimalisir.
***
Di samping itu, sangsi tegas atas pelanggaran Pemilu akan semakin ligitimate dengan adanya rencana pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini diamanatkan oleh ketentuan Pasal III aturan peralihan UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR pada 10 Agustus 2002. Dengan demikian, pembentukan lembaga ini adalah keniscayaan.
Tapi, kendalanya justru terletak pada landasan konstitusional. Seharusnya, batas waktu yang ditentukan adalah 17 Agustus 2003, namun hingga kini pembahasannya pun belum jelas. Sehingga hampir dapat dipastikan, MK akan mengalami kemoloran waktu. Walau demikian, kita tetap berharap agar sebelum Pemilu nanti sudah terbentuk MK dengan landasan konstitusional dan kelembagaan yang kokoh.
Berdasarkan ketentuan pasal 24 UUD 1945, MK memiliki wewenang yang luar biasa, yaitu memutus konflik dan pembubaran partai politik dan juga mampu memberikan keputusan jika terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu. Ini diharapkan dapat mempertegas sanksi hukum pelanggaran dan kecurangan waktu Pemilu.
Selain itu, MK juga berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam pengujian UU terhadap UUD, serta memberikan keputusan atas pendapat DPR mengenahi dugaan pelanggaran oleh Presiden menurut UUD. Singkatnya, hampir semua otoritas yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah itu berhubunhgan langsung dengan kepentingan parpol dan berperan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution).
Jelas, keberadaan MK—paling tidak—dapat mencegah ketelantaran hukum di Republik ini, tidak terkecuali beberapa kasus kecurangan Pemilu yang tidak pernah mendapat tanggapan serius dari lembaga hukum. Jadi, jangan sampai terjadi lagi tindakan pengaduan kecurangan Pemilu ke MI. Mari bersama-sama kita buktikan bahwa bangsa Indonesia sekarang menjadi bangsa yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan. []
Sumber: Pelita, 8 Juli 2003.