Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Kekerasan dalam kehidupan manusia memang tidak mudah untuk dihindari. Catatan Ivan S. Blonch menunjukkan, sejarah manusia adalah sejarah yang penuh dengan kekerasan, yaitu antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861 M—kurun waktu selama 3.357 tahun damai dan 3.310 tahun perang. Sedangkan bagi Noam Chomsky, bentuk kekerasan itu sangatlah beragam. Perang, tawuran, konflik, dan perpeloncoan adalah bagian dari kekerasan.
Dalam hal ini, penulis hanya akan menyoroti kekerasan jenis perpeloncoan—yang sekarang lagi marak—di kampus. Dalam kuliah umum mahasiswa baru di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (awal September 2003), Nur Kholis Madjid memaparkan, tradisi ini (perpeloncoan) adalah bermula dari Universitas Cambridge, Inggris. Mahasiswa di kampus ini mayoritas berasal dari anak bangsawan Inggris yang borjuis-borjuis. Karena berasal dari strata sosial yang tinggi dan terhormat, mereka terkenal liar, nakal, dan tidak mengindahkan segala bentuk peraturan.
Melihat kondisi seperti ini, pihak pengelola universitas mengadakan perombakan. Setiap mahasiswa yang masuk harus melewati fase perpeloncoan terlebih dahulu. Untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak bangsawan itu agar tidak nakal, ugal, sombong dan patuh pada peraturan. Menurut sebagian orang, dari sinilah awal mula tradisi perpeloncoan itu.
Lalu kapankan tradisi ini masuk ke Indonesia? Data yang valid memang tidak ada, tapi tradisi ini berkembang di kampus-kampus Indonesia sekitar tahun 1950-an. Ketika itu, sudah muncul berbagai protes menentang perpeloncoan yang tidak manusiawi. Misalnya, nama Hutajulu dan kawan-kawan mencuat di kalangan mahasiswa—kala itu—saat memimpin aksi menentang perpeloncoan di Kampus UGM Yogyakarta. Gejala ini menunjukkan bahwa tidak hanya sekarang saja terdapat perpeloncoan di kampus. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa masalah lama kok sampai sekarang tidak kunjung usai?
Padahal, berdasarkan SK Menteri P&K No. 043/1971 Mapram (nama Ospek tempo dulu) telah dihapus. Tepatnya pasca kasus penyiraman soda api terhadap 19 dari 424 mahasiswa baru di ITS Surabaya. Peristiwa ini justru menunjukkan “kelemahan intelektual” bagi pengelola pendidikan di Indonesia. Kenapa? Sebab, bagi Mahatma Gandhi kekerasan adalah senjata bagi orang-orang yang lemah.
***
Baru-baru ini, meninggalnya Wahyu Hidayat, mahasiswa STPDN, menjadi tamparan bagi kalangan akademisi kampus. Di mana selama ini mereka menggembar-gemborkan supremasi hukum, pembelaan HAM, menjunjung moralitas dan nilai-nilai humanisme. Kejadian ini memunculkan berbagai kritikan dari berbagai kalangan, antara lain: Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI 1974, Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat dan Alumnus APDN 1964, Irjen Pol. I. Lebang, Gubernur Akademi Polisi dan lain-lain. Pada intinya, mereka sepakat bahwa penggunaan kekerasan fisik tidak bisa digunakan dalih atau alasan penegakan kedisiplinan, sebab kekerasan sudah tidak zamannya lagi.
Kasus Wahyu Hidayat adalah salah satu kasus dari rentetan beberapa kasus yang sama, kekerasan mahasiswa di kampus. Berdasarkan data Litbang Kompas, terhitung mulai tahun 1990 sampai 2003, terdapat 9 mahasiswa yang jadi korban Ospek (4 orang dalam kondisi kritis dan 5 orang meninggal). Sampai kapankah ulah kebrutalan senior terus berlangsung? Dengan mengatasnamakan “pembinaan” merekan mengesahkan segala bentuk kekerasan, sungguh memalukan dalam tradisi intelektual di kampus.
Betapa tidak? Kampus yang diimpikan menjadi ajang pergulatan wacana ilmiah, orientasi intelektual, dan penggemblengan moral berubah menjadi ajang impulsi kekerasan. Orang bilang ini adalah gaya militeristik masuk kampus. Menurut penulis, kasus ini bukan lagi militeristik tapi lebih cenderung ke aksi-aksi premanisme (brutal dan tdak bertanggung jawab). Hal ini bisa dibuktikan tidak hanya di lingkungan kampus, gejala premanisme sudah menjamur dimana-mana. Aksi “premanisme pers” terasa masih segar di ingatan kita, sekarang muncul lagi “premanisme kampus”, begitu juga dengan maraknya tawuran antar pelajar juga penulis katakan sebagai “premanisme sekolah”.
Bias Ospek
Program orientasi studi dan pengenalan almamater sudah diterapkan di Indonesia sejak dulu. Apapun namanya, semuanya punya nilai kesamaan, yaitu program khusus bagi mahasiswa baru sebelum duduk di bangku kuliah. Dulu, program ini dikenal dengan berbagai istilah: Mapram (Masa Pra Mahasiswa), POS (Pekan Orientasi Studi), PROSa (Program Orientasi Studi Mahasiswa) entah apa lagi namanya. Sekarang, dikenal dengan nama Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus).
Dilihat dari namanya, program ini merupakan program yang sangat positif dan mempunyai nilai produktif bagi mahasiswa baru. Yaitu sebagai pijakan awal perkenalan almamater dan juga menjadi tumpuan paradigma berpikir mahasiswa dalam tradisi pengembangan intelektual di kampus. Tapi, nyatanya, dalam pelaksanaan di lapangan, banyak ditemukan ketimpangan dan penyelewengan dari tujuan dan orientasi program. Ospek yang awalnya berada di garis intelektual dan idealisme mahasiswa ternyata bias ke tindakan premanisme.
Sejarah berkali-kali membuktikan dan pemerintah juga berkali-kali memperingatkan, tapi yang namanya korban terus saja berjatuhan. Ada Yosep, mahasiswa Teknik Geologi ITB (1990), Amirullah, UI (1995), dan Zakki Tiffani Lazuardi, Mahasiswa jurusan fisika ITB (1996). Selang tiga tahun, korban mulai berjatuhan lagi: tahun 1999 menewaskan dua korban, Suryowati Hagus (ISTN Jakarta), dan Irene Fitriah Rouli (STHB Bandung). Di tahun 2000-an, STPDN Sumedang menelan dua korban tewas sia-sia di arena Ospek: Erie Rahman (2000) dan Wahyu Hidayat (2003).
Bisa dikatakan, ini merupakan kebiasaan buruk yang sulit untuk dihilangkan meski sejak 1974 sampai 2000 jajaran Depdiknas sudah mengeluarkan sekitar 10 peraturan tentang pelaksanaan orientasi pengenalan kampus. Antara lain: SK Mendikbud No. 28/1974, No. 0125/1979, SK Dirjen Perguruan Tinggi dan Depdikbud No. 1539/D/I/1999, dan SK Dirjen Perguruan Tinggi No. 38/Dikti/Kep/2000. Semua keputusan ini merupakan peringatan pemerintah kepada piahk-pihak yang melakukan tindak “penyelewengan” dalam Ospek.
Sedangkan tahun 2003, Depdiknas menyusun buku panduan Ospek dengan melibatkan unsur pimpinan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, dari Sabang sampai Merauke. Salah satu pointer yang ada di buku tersebut adalah materi orientasi. Meliputi: pertama, menghargai harkat dan martabat serta Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, memanfaatkan peluang dan potensi lokal seperti budaya, sumber daya, sarana-prasarana, dan obyek kegiatan. Ketiga, menyentuh permasalahan atau potensi lokal dan global, serta mengembangkan wawasan untuk mengawasi permasalahan tersebut. Akan tetapi, “buku panduan” itu tidak (juga) berpengaruh, dan nama Wahyu Hidayat tercatat sebagai korban Ospek tahun 2003.
Kalau begini, siapakah yang salah? Dan bagaimanakah seharusnya? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pihak pemerintah kah yang kurang tegas atau justru kesalahan mahasiswa sendiri?
Kalau dicermati, konsep Ospek yang ditawarkan oleh Depdiknas sudah bagus dan sistematis. Tapi, yang selama ini menjadi sumber problem adalah di tingkatan pelaksanaan. Banyak teradi bias-bias yang tidak diinginkan. Maka diperlukan mekanisme kontrol yang balance ketika menjalankan rutinitas Ospek. Yaitu dengan memanfaatkan semua institusi di kampus untuk bagi-bagi tugas sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Pada umumnya, tiap-tiap kampus mempunyai beberapa unsur, yang meliputi: Rektorat, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Dari beberapa unsur tersebut dapat dimanfaatkan sebagai berikut: pertama, Rektorat sebagai penanggung jawab program. Kedua, BEM dan UKM sebagai pelaksana Program. Dan ketiga, DPM sebagai lembaga legislatif mahasiswa bertugas sebagai pengawas program. Kalau sudah demikian, BEM atau UKM (selaku pelaksana) tidak bisa bertindak seenaknya sendiri kepada peserta Ospek karena di atas mereka terdapat lembaga pengawas atau pemantau Ospek (DPM). Walhasil, dengan mekanisme check dan balance seperti ini—penulis berharap—anarkhisme mahasiswa senior terhadap mahasisawa junior dapat terbendung.[]
Sumber: Pelita, 23 September 2003.
Kekerasan dalam kehidupan manusia memang tidak mudah untuk dihindari. Catatan Ivan S. Blonch menunjukkan, sejarah manusia adalah sejarah yang penuh dengan kekerasan, yaitu antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861 M—kurun waktu selama 3.357 tahun damai dan 3.310 tahun perang. Sedangkan bagi Noam Chomsky, bentuk kekerasan itu sangatlah beragam. Perang, tawuran, konflik, dan perpeloncoan adalah bagian dari kekerasan.
Dalam hal ini, penulis hanya akan menyoroti kekerasan jenis perpeloncoan—yang sekarang lagi marak—di kampus. Dalam kuliah umum mahasiswa baru di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (awal September 2003), Nur Kholis Madjid memaparkan, tradisi ini (perpeloncoan) adalah bermula dari Universitas Cambridge, Inggris. Mahasiswa di kampus ini mayoritas berasal dari anak bangsawan Inggris yang borjuis-borjuis. Karena berasal dari strata sosial yang tinggi dan terhormat, mereka terkenal liar, nakal, dan tidak mengindahkan segala bentuk peraturan.
Melihat kondisi seperti ini, pihak pengelola universitas mengadakan perombakan. Setiap mahasiswa yang masuk harus melewati fase perpeloncoan terlebih dahulu. Untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak bangsawan itu agar tidak nakal, ugal, sombong dan patuh pada peraturan. Menurut sebagian orang, dari sinilah awal mula tradisi perpeloncoan itu.
Lalu kapankan tradisi ini masuk ke Indonesia? Data yang valid memang tidak ada, tapi tradisi ini berkembang di kampus-kampus Indonesia sekitar tahun 1950-an. Ketika itu, sudah muncul berbagai protes menentang perpeloncoan yang tidak manusiawi. Misalnya, nama Hutajulu dan kawan-kawan mencuat di kalangan mahasiswa—kala itu—saat memimpin aksi menentang perpeloncoan di Kampus UGM Yogyakarta. Gejala ini menunjukkan bahwa tidak hanya sekarang saja terdapat perpeloncoan di kampus. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa masalah lama kok sampai sekarang tidak kunjung usai?
Padahal, berdasarkan SK Menteri P&K No. 043/1971 Mapram (nama Ospek tempo dulu) telah dihapus. Tepatnya pasca kasus penyiraman soda api terhadap 19 dari 424 mahasiswa baru di ITS Surabaya. Peristiwa ini justru menunjukkan “kelemahan intelektual” bagi pengelola pendidikan di Indonesia. Kenapa? Sebab, bagi Mahatma Gandhi kekerasan adalah senjata bagi orang-orang yang lemah.
***
Baru-baru ini, meninggalnya Wahyu Hidayat, mahasiswa STPDN, menjadi tamparan bagi kalangan akademisi kampus. Di mana selama ini mereka menggembar-gemborkan supremasi hukum, pembelaan HAM, menjunjung moralitas dan nilai-nilai humanisme. Kejadian ini memunculkan berbagai kritikan dari berbagai kalangan, antara lain: Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI 1974, Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat dan Alumnus APDN 1964, Irjen Pol. I. Lebang, Gubernur Akademi Polisi dan lain-lain. Pada intinya, mereka sepakat bahwa penggunaan kekerasan fisik tidak bisa digunakan dalih atau alasan penegakan kedisiplinan, sebab kekerasan sudah tidak zamannya lagi.
Kasus Wahyu Hidayat adalah salah satu kasus dari rentetan beberapa kasus yang sama, kekerasan mahasiswa di kampus. Berdasarkan data Litbang Kompas, terhitung mulai tahun 1990 sampai 2003, terdapat 9 mahasiswa yang jadi korban Ospek (4 orang dalam kondisi kritis dan 5 orang meninggal). Sampai kapankah ulah kebrutalan senior terus berlangsung? Dengan mengatasnamakan “pembinaan” merekan mengesahkan segala bentuk kekerasan, sungguh memalukan dalam tradisi intelektual di kampus.
Betapa tidak? Kampus yang diimpikan menjadi ajang pergulatan wacana ilmiah, orientasi intelektual, dan penggemblengan moral berubah menjadi ajang impulsi kekerasan. Orang bilang ini adalah gaya militeristik masuk kampus. Menurut penulis, kasus ini bukan lagi militeristik tapi lebih cenderung ke aksi-aksi premanisme (brutal dan tdak bertanggung jawab). Hal ini bisa dibuktikan tidak hanya di lingkungan kampus, gejala premanisme sudah menjamur dimana-mana. Aksi “premanisme pers” terasa masih segar di ingatan kita, sekarang muncul lagi “premanisme kampus”, begitu juga dengan maraknya tawuran antar pelajar juga penulis katakan sebagai “premanisme sekolah”.
Bias Ospek
Program orientasi studi dan pengenalan almamater sudah diterapkan di Indonesia sejak dulu. Apapun namanya, semuanya punya nilai kesamaan, yaitu program khusus bagi mahasiswa baru sebelum duduk di bangku kuliah. Dulu, program ini dikenal dengan berbagai istilah: Mapram (Masa Pra Mahasiswa), POS (Pekan Orientasi Studi), PROSa (Program Orientasi Studi Mahasiswa) entah apa lagi namanya. Sekarang, dikenal dengan nama Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus).
Dilihat dari namanya, program ini merupakan program yang sangat positif dan mempunyai nilai produktif bagi mahasiswa baru. Yaitu sebagai pijakan awal perkenalan almamater dan juga menjadi tumpuan paradigma berpikir mahasiswa dalam tradisi pengembangan intelektual di kampus. Tapi, nyatanya, dalam pelaksanaan di lapangan, banyak ditemukan ketimpangan dan penyelewengan dari tujuan dan orientasi program. Ospek yang awalnya berada di garis intelektual dan idealisme mahasiswa ternyata bias ke tindakan premanisme.
Sejarah berkali-kali membuktikan dan pemerintah juga berkali-kali memperingatkan, tapi yang namanya korban terus saja berjatuhan. Ada Yosep, mahasiswa Teknik Geologi ITB (1990), Amirullah, UI (1995), dan Zakki Tiffani Lazuardi, Mahasiswa jurusan fisika ITB (1996). Selang tiga tahun, korban mulai berjatuhan lagi: tahun 1999 menewaskan dua korban, Suryowati Hagus (ISTN Jakarta), dan Irene Fitriah Rouli (STHB Bandung). Di tahun 2000-an, STPDN Sumedang menelan dua korban tewas sia-sia di arena Ospek: Erie Rahman (2000) dan Wahyu Hidayat (2003).
Bisa dikatakan, ini merupakan kebiasaan buruk yang sulit untuk dihilangkan meski sejak 1974 sampai 2000 jajaran Depdiknas sudah mengeluarkan sekitar 10 peraturan tentang pelaksanaan orientasi pengenalan kampus. Antara lain: SK Mendikbud No. 28/1974, No. 0125/1979, SK Dirjen Perguruan Tinggi dan Depdikbud No. 1539/D/I/1999, dan SK Dirjen Perguruan Tinggi No. 38/Dikti/Kep/2000. Semua keputusan ini merupakan peringatan pemerintah kepada piahk-pihak yang melakukan tindak “penyelewengan” dalam Ospek.
Sedangkan tahun 2003, Depdiknas menyusun buku panduan Ospek dengan melibatkan unsur pimpinan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, dari Sabang sampai Merauke. Salah satu pointer yang ada di buku tersebut adalah materi orientasi. Meliputi: pertama, menghargai harkat dan martabat serta Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, memanfaatkan peluang dan potensi lokal seperti budaya, sumber daya, sarana-prasarana, dan obyek kegiatan. Ketiga, menyentuh permasalahan atau potensi lokal dan global, serta mengembangkan wawasan untuk mengawasi permasalahan tersebut. Akan tetapi, “buku panduan” itu tidak (juga) berpengaruh, dan nama Wahyu Hidayat tercatat sebagai korban Ospek tahun 2003.
Kalau begini, siapakah yang salah? Dan bagaimanakah seharusnya? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pihak pemerintah kah yang kurang tegas atau justru kesalahan mahasiswa sendiri?
Kalau dicermati, konsep Ospek yang ditawarkan oleh Depdiknas sudah bagus dan sistematis. Tapi, yang selama ini menjadi sumber problem adalah di tingkatan pelaksanaan. Banyak teradi bias-bias yang tidak diinginkan. Maka diperlukan mekanisme kontrol yang balance ketika menjalankan rutinitas Ospek. Yaitu dengan memanfaatkan semua institusi di kampus untuk bagi-bagi tugas sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Pada umumnya, tiap-tiap kampus mempunyai beberapa unsur, yang meliputi: Rektorat, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Dari beberapa unsur tersebut dapat dimanfaatkan sebagai berikut: pertama, Rektorat sebagai penanggung jawab program. Kedua, BEM dan UKM sebagai pelaksana Program. Dan ketiga, DPM sebagai lembaga legislatif mahasiswa bertugas sebagai pengawas program. Kalau sudah demikian, BEM atau UKM (selaku pelaksana) tidak bisa bertindak seenaknya sendiri kepada peserta Ospek karena di atas mereka terdapat lembaga pengawas atau pemantau Ospek (DPM). Walhasil, dengan mekanisme check dan balance seperti ini—penulis berharap—anarkhisme mahasiswa senior terhadap mahasisawa junior dapat terbendung.[]
Sumber: Pelita, 23 September 2003.