Tuesday, November 18, 2003

Menaruh Harapan di Atas Dilema

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Peringatan ulang tahun tragedi Semanggi I baru digelar kemarin (13/11/2003). Berbagai elemen mahasiswa menggelar rangkaian kegiatan, mulai iring-iringan, tahlilan, sampai tabur bunga. Aksi tersebut bertujuan untuk mengenang tewasnya lima mahasiswa dan tiga warga dalam tragedi lima tahun lalu. Mereka juga menuntut penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) melalui pengadilan hak asasi manusia ad hoc.

Kalau diibaratkan anak kecil, umur lima tahun bukan lagi merupakan fase merangkak atau belajar berjalan, tapi sudah waktunya berlari dan melompat-lompat sebagai bentuk luapan kegembiraan serta ekspresi kebebasan. Namun, dalam kasus TSS, alih-alih hal itu diperhatikan dan ditangani serius—melalui pengadilan HAM. Kondisinya justru terkatung-katung dan masih tertatih-tatih. Penegakan hukum yang digembar-gemborkan pemerintah hanya menjadi “buih” di lautan. Ia akan terbang tak tentu arah begitu diterpa angin dan gelombang. Dari tahun ke tahun, peringatan tersebut hanya melintas begitu saja. Protes dan gugatan yang diteriakkan mahasiswa di jalan-jalan pun tidak membawa perubahan signifikan.

Bahkan, dalam kasus tersebut, sebagian mahasiswa ada yang terjebak dalam “hedonisme patriotis”. Mereka merasa dirinya telah berkorban demi terciptanya demokratisasi di Indonesia. Tapi, mereka tidak sadar bahwa perjuangan yang dilakukannya itu telah dijadikan “kuda tunggangan” oleh politisi yang sekarang duduk di kursi “empuk”. Buktinya, setelah beberapa terdakwa kasus Trisakti melakukan naik banding, sampai sekarang kasus tersebut masih terhenti di pengadilan militer. Sedangkan kasus Semanggi I dan II masih perawan, belum terjamah hukum. Kalau terus-menerus dibiarkan seperti itu, kasus TSS akan bernasib sama dengan beberapa pelanggaran HAM yang lain. Misalnya, kasus Tanjung Priok, kasus 27 Juli, Banyuwangi, serta Aceh.

Yang patut dipertanyakan dalam kasus tersebut, mengapa ada perbedaan penilaian antara Komisi Nasional (Komnas) HAM dan DPR? Komnas HAM menilai bahwa kasus TSS merupakan pelanggaran berat HAM. Berdasarkan ketentuan UU No 6/2000 tentang Pengadilan HAM, kasus TSS harus dituntaskan lewat pengadilan HAM ad hoc. Namun, sebelum Komnas HAM menyerahkan berkas penyelidikannya ke Kejaksaan Agung, DPR mementahkan kasus tersebut lewat rapat paripurna (19/07/2001) yang memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus TSS.

Perseteruan tersebut tak kunjung selesai. Beberapa hari lalu (27/10/2003), saat menerima delegasi dari Komnas HAM, Ketua DPR Akbar Tandjung menegaskan bahwa DPR tidak menutup kemungkinan akan meninjau ulang keputusan tentang ada tidaknya pelanggaran berat HAM dalam kasus itu. Ternyata, embusan angin segar dari ketua DPR tersebut belum juga menyelesaikan masalah. Sebab, pihak Kejaksaan Agung masih mengacu pada keputusan DPR yang dulu.

Akankah mahasiswa selalu dijadikan “tumbal” sebuah rezim? Mungkin yang dikatakan Fadjroul Rachman, ketua Lembaga Pengkajian dan Lembaga Kesejahteraan ada benarnya. Yakni, mahasiswa adalah korban yang dikorbankan. Artinya, pemerintah (baca: penguasa) tidak pernah memerintahkan untuk membunuh para demonstran, tapi menyuruh mengamankan dan menertibkan demi stabilitas nasional. Dalih “picik” itulah yang digunakan pemerintah sebagai tedeng aling-aling terhadap segala bentuk protes serta gugatan balik.

Dilema (Seakan) tanpa Tepi

Dalam kodisi negara yang acak-acakan seperti ini, mahasiswa harus terus mengawal proses transisi bangsa menuju masa depan demokrasi yang sejati. Karena itu, mahasiswa harus menarik garis demarkasi yang jelas antara dunia akademisi (ilmiah) dan dunia kepentingan (politik praktis).

Apalagi, menjelang pemilu mendatang, jika tidak dibarengi semangat patriotisme dan kejujuran, bangsa ini akan mudah terjungkir. Pancasila akan berubah menjadi pancasial; Ketuhanan Yang Mahaesa bisa saja berubah menjadi keuangan yang mahakuasa, dan seterusnya.

Jika diamati lebih cermat, kasus TSS akhir-akhir ini mulai kehilangan taring dan vitalitasnya. Kita merasakan, dua momentum penting pada bulan ini (10 dan 13 November) terlewatkan begitu saja, tak mampu memberikan kesan-kesan heroik dan menggugah semangat patriotisme jiwa kita.

Liputan media massa berkaitan dengan tragedi tersebut pun hanya sehari, tidak lebih dari memberikan informasi tentang penyelenggaraan ritual serta seremonial. Besoknya, media-media tersebut larut (lagi) dengan info seputar euforia perebutan kekuasaan menjelang Pemilu 2004 dan-juga tak ketinggalan-gosip artis. Kalau sudah demikian, siapakah yang akan peduli dan menggugah bangsa ini jika bukan diri kita sendiri?

Dilema tersebut juga tidak bisa lepas dari kondisi masyarakat modern yang cenderung lebih acuh dan tidak mengerti dirinya sendiri. Bahkan, menurut Adorno, kontributor Sekolah Frankfurt, Jerman, gejala budaya massa seperti itu bukan lahir dari massa sebagai pemberontakan melawan kemapanan, melainkan lebih sebagai instrumen indoktrinasi serta kontrol sosial demi pemenangan kepentingan kelas yang berkuasa. Kecemasan semacam itu menjadi kekecewaan masyhur di kalangan pemikir mazhab Frankfurt. []


Sumber: Jawa Pos, 18 Nov 2003. 
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes