Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Penggunaan SMS (Short Message Services) dalam polling memang menyulut pro dan kontra dari berbagai kalangan. Yang menjadi titik permasalahan adalah tentang akurasi dari hasil yang diperoleh, apalagi penggunaan metode ini dipraktikkan oleh media elektronik (baca: televisi) untuk memilih presiden.
Persoalan ini menjadi ”sensitif” karena dari hasil polling tersebut akan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap publik, berkaitan dengan penentuan capres manakah yang ”laku” dan ”tidak laku”. Psikologis massa akan merasa down saat capres yang dijagokan ternyata mendapat nomor urut buncit, begitu pula sebaliknya. Bagi masyarakat yang belum mengerti manakah capres yang paling ideal, dengan melihat hasil polling via SMS di televisi bisa jadi ia dengan mudah secara spekulatif akan mengambil kesimpulan, bahwa capres ideal adalah yang mendapat suara terbanyak.
Metode ini memang banyak mengandung kelemahan jika dibandingkan dengan metode polling yang lain. Jika dihitung, berapa persenkah masyarakat Indonesia yang mempunyai hand phone (HP)? Menurut data Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, masyarakat yang memiliki HP hanyalah 10 persen dan hanya 20 persen darinya yang aktif menggunakan HP untuk mengisi polling. Kalau memang demikian, akuratkah hasil polling via SMS?
Polling yang awalnya digunakan untuk mengetahui-atau paling tidak mendekati-fakta, tapi dengan adanya metode SMS justru malah menjauhkan masyarakat dari realitas yang sesungguhnya. Begitu pula dengan presiden yang terpilih, ia pun hanya akan menjabat sebagai presiden di layar televisi.
Dalam hal ini, yang mempunyai andil dalam mempengaruhi publik adalah media. Lewat polling via SMS—secara tidak langsung—media akan dijadikan sebagai ajang kampanye terselubung oleh kandidat presiden. Melihat kenyataan yang seperti ini, bisa jadi, fungsionaris partai berlomba-lomba untuk mengerahkan massanya untuk melakukan serangan SMS ketika ada polling di televisi.
Pihak yang diuntungkan adalah partai-partai politik yang basis pendukungnya berada di strata ekonomi menengah ke atas dan berada di perkotaan. Kenyataan ini tidak bakalan terjadi pada masyarakat yang ekonominya lemah, khususnya di pelosok pedesaan. Boro-boro mereka mau ikut polling lewat SMS, lha wong HP saja tidak punya, seandainya punya pun tidak dapat digunakan, karena tidak ada sinyal. Melihat kondisi yang seperti ini sungguh naif sekali, kalau polling lewat SMS dikatakan akurat dan representatif.
Belum lagi dimungkinkan ada kongkalikong dengan media terkait, hal semacam ini memang patut dicurigai. Jika memang demikian, maka kaburlah garis demarkasi antara media (milik publik) dan politik (milik golongan). Tak lain, ini merupakan salah satu bentuk penjajahan nalar politik yang terselubung lewat media.
Penulis tidak menginginkan, media yang dijadikan pusat informasi dan pendidikan politik publik justru berbelok arah menjadi ”agen” dari sebuah ”kepentingan”. Kalau tidak segera ditindak, hal ini akan berakibat pada hilangnya hak publik untuk mengakses informasi yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi.
Netralitas media sangat ditekankan dalam masalah ini, sebab posisi media dijadikan sebagai ”taruhan demokrasi”. Satu sisi, media sebagai pengawal demokrasi yang akan mendobrak bias-bias informasi, dan juga sebagai salah satu alat kontrol terhadap pemerintah. Namun, pada sisi lain, media juga punya peluang besar untuk melakukan manipulasi informasi (baca: pembohongan publik).
Secara tegas, penulis tidak setuju dengan polling capres via SMS. Karena banyaknya sinyalemen yang lebih mengarah pada pembohongan publik—lewat media—daripada pendidikan politik. Buktinya, saat ada tayangan iklan rokok pemerintah selalu memberikan disclaimer (misalnya, ”merokok dapat menyebabkan kangker”), tapi mengapa pemerintah tidak memberikan disclaimer saat ada polling via SMS di televisi (misalnya, ”jangan percaya seratus persen pada polling”, atau dengan ungkapan lain)? Apa bedanya iklan rokok dengan polling via SMS, kedua-duanya mempunyai dampak negatif terhadap masyarakat. Rokok akan merusak kesehatan, sedangkan polling SMS jelas-jelas hanya akan menyesaatkan publik.
Penjajahan Nalar
Jelas, fenomena ini merupakan salah satu bentuk penjajahan nalar politik lewat hegemoni media. Menurut Eko Prasojo, Manager Pelaksana Selo Sumardjan Research Centre FISIP-UI, kasus ini merupakan bagian dari kampanye melalui strategi komunikasi di media. Cara ini juga akan merangsang timbulnya beberapa masalah, pertama, terjadinya overlaping peran antara kepentingan politik dan idealisme media. Media jangan sampai dijadikan ajang permainan politik di belakang layar, yaitu antara media dengan partai tertentu.
Kedua, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mengatur kampanye di media, maka dikhawatirkan adanya penguasaan media oleh partai tertentu. Dan tidak menutup kemungkinan, mereka juga akan melakukan promosi dan obral janji lewat media, entah itu bentuknya talk show, debat, polling via SMS dan lain-lain.
Pada titik ini, teori ”hegemoni” Antonio Gramsci layak untuk dikedepankan. Bagaimana polling via SMS di televisi dijadikan ajang rebutan antar pendukung partai untuk mengunggulkan capresnya dan merendahkan capres yang lain? Kalau memang persaingannya itu seimbang (semua rakyat bisa terlibat) tidak jadi masalah, tapi bagaimana kalau tidak seimbang?
Dengan melihat kenyataan seperti ini, bagi Gramsci, media bukan berarti ”jahat”, tetapi bagaimana kita mampu mengetahui bahwa ada muatan-muatan politis yang terselubung-di media-yang tidak disadari oleh masyarakat bawah. Lain halnya dengan intimidasi dan doktrinasi, hegemoni lebih terkesan ”halus”, sehingga orang akan menerimanya sebagai suatu kewajaran (padahal tidak wajar).
Dari pemahaman ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa masyarakat harus memahami tentang relasi penjajahan nalar politik dan hegemoni media. Sebab kalau tidak, media justru akan keluar dari frame ”budaya komunikasi” masyarakat (demokratis), dan berbelok arah menjadi agent of imperialism.
Karena itu, kalau memang perintah tidak memberikan disclaimer saat acara polling berlangsung, maka—paling tidak—teori ”hegemoni” Gramsci akan menolong kita untuk memahami proses politik dibalik polling capres via SMS. []
Sumber: Sinar Harapan, 21 Januari 2004.
Penggunaan SMS (Short Message Services) dalam polling memang menyulut pro dan kontra dari berbagai kalangan. Yang menjadi titik permasalahan adalah tentang akurasi dari hasil yang diperoleh, apalagi penggunaan metode ini dipraktikkan oleh media elektronik (baca: televisi) untuk memilih presiden.
Persoalan ini menjadi ”sensitif” karena dari hasil polling tersebut akan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap publik, berkaitan dengan penentuan capres manakah yang ”laku” dan ”tidak laku”. Psikologis massa akan merasa down saat capres yang dijagokan ternyata mendapat nomor urut buncit, begitu pula sebaliknya. Bagi masyarakat yang belum mengerti manakah capres yang paling ideal, dengan melihat hasil polling via SMS di televisi bisa jadi ia dengan mudah secara spekulatif akan mengambil kesimpulan, bahwa capres ideal adalah yang mendapat suara terbanyak.
Metode ini memang banyak mengandung kelemahan jika dibandingkan dengan metode polling yang lain. Jika dihitung, berapa persenkah masyarakat Indonesia yang mempunyai hand phone (HP)? Menurut data Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, masyarakat yang memiliki HP hanyalah 10 persen dan hanya 20 persen darinya yang aktif menggunakan HP untuk mengisi polling. Kalau memang demikian, akuratkah hasil polling via SMS?
Polling yang awalnya digunakan untuk mengetahui-atau paling tidak mendekati-fakta, tapi dengan adanya metode SMS justru malah menjauhkan masyarakat dari realitas yang sesungguhnya. Begitu pula dengan presiden yang terpilih, ia pun hanya akan menjabat sebagai presiden di layar televisi.
Dalam hal ini, yang mempunyai andil dalam mempengaruhi publik adalah media. Lewat polling via SMS—secara tidak langsung—media akan dijadikan sebagai ajang kampanye terselubung oleh kandidat presiden. Melihat kenyataan yang seperti ini, bisa jadi, fungsionaris partai berlomba-lomba untuk mengerahkan massanya untuk melakukan serangan SMS ketika ada polling di televisi.
Pihak yang diuntungkan adalah partai-partai politik yang basis pendukungnya berada di strata ekonomi menengah ke atas dan berada di perkotaan. Kenyataan ini tidak bakalan terjadi pada masyarakat yang ekonominya lemah, khususnya di pelosok pedesaan. Boro-boro mereka mau ikut polling lewat SMS, lha wong HP saja tidak punya, seandainya punya pun tidak dapat digunakan, karena tidak ada sinyal. Melihat kondisi yang seperti ini sungguh naif sekali, kalau polling lewat SMS dikatakan akurat dan representatif.
Belum lagi dimungkinkan ada kongkalikong dengan media terkait, hal semacam ini memang patut dicurigai. Jika memang demikian, maka kaburlah garis demarkasi antara media (milik publik) dan politik (milik golongan). Tak lain, ini merupakan salah satu bentuk penjajahan nalar politik yang terselubung lewat media.
Penulis tidak menginginkan, media yang dijadikan pusat informasi dan pendidikan politik publik justru berbelok arah menjadi ”agen” dari sebuah ”kepentingan”. Kalau tidak segera ditindak, hal ini akan berakibat pada hilangnya hak publik untuk mengakses informasi yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi.
Netralitas media sangat ditekankan dalam masalah ini, sebab posisi media dijadikan sebagai ”taruhan demokrasi”. Satu sisi, media sebagai pengawal demokrasi yang akan mendobrak bias-bias informasi, dan juga sebagai salah satu alat kontrol terhadap pemerintah. Namun, pada sisi lain, media juga punya peluang besar untuk melakukan manipulasi informasi (baca: pembohongan publik).
Secara tegas, penulis tidak setuju dengan polling capres via SMS. Karena banyaknya sinyalemen yang lebih mengarah pada pembohongan publik—lewat media—daripada pendidikan politik. Buktinya, saat ada tayangan iklan rokok pemerintah selalu memberikan disclaimer (misalnya, ”merokok dapat menyebabkan kangker”), tapi mengapa pemerintah tidak memberikan disclaimer saat ada polling via SMS di televisi (misalnya, ”jangan percaya seratus persen pada polling”, atau dengan ungkapan lain)? Apa bedanya iklan rokok dengan polling via SMS, kedua-duanya mempunyai dampak negatif terhadap masyarakat. Rokok akan merusak kesehatan, sedangkan polling SMS jelas-jelas hanya akan menyesaatkan publik.
Penjajahan Nalar
Jelas, fenomena ini merupakan salah satu bentuk penjajahan nalar politik lewat hegemoni media. Menurut Eko Prasojo, Manager Pelaksana Selo Sumardjan Research Centre FISIP-UI, kasus ini merupakan bagian dari kampanye melalui strategi komunikasi di media. Cara ini juga akan merangsang timbulnya beberapa masalah, pertama, terjadinya overlaping peran antara kepentingan politik dan idealisme media. Media jangan sampai dijadikan ajang permainan politik di belakang layar, yaitu antara media dengan partai tertentu.
Kedua, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mengatur kampanye di media, maka dikhawatirkan adanya penguasaan media oleh partai tertentu. Dan tidak menutup kemungkinan, mereka juga akan melakukan promosi dan obral janji lewat media, entah itu bentuknya talk show, debat, polling via SMS dan lain-lain.
Pada titik ini, teori ”hegemoni” Antonio Gramsci layak untuk dikedepankan. Bagaimana polling via SMS di televisi dijadikan ajang rebutan antar pendukung partai untuk mengunggulkan capresnya dan merendahkan capres yang lain? Kalau memang persaingannya itu seimbang (semua rakyat bisa terlibat) tidak jadi masalah, tapi bagaimana kalau tidak seimbang?
Dengan melihat kenyataan seperti ini, bagi Gramsci, media bukan berarti ”jahat”, tetapi bagaimana kita mampu mengetahui bahwa ada muatan-muatan politis yang terselubung-di media-yang tidak disadari oleh masyarakat bawah. Lain halnya dengan intimidasi dan doktrinasi, hegemoni lebih terkesan ”halus”, sehingga orang akan menerimanya sebagai suatu kewajaran (padahal tidak wajar).
Dari pemahaman ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa masyarakat harus memahami tentang relasi penjajahan nalar politik dan hegemoni media. Sebab kalau tidak, media justru akan keluar dari frame ”budaya komunikasi” masyarakat (demokratis), dan berbelok arah menjadi agent of imperialism.
Karena itu, kalau memang perintah tidak memberikan disclaimer saat acara polling berlangsung, maka—paling tidak—teori ”hegemoni” Gramsci akan menolong kita untuk memahami proses politik dibalik polling capres via SMS. []
Sumber: Sinar Harapan, 21 Januari 2004.