Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Pasca lengsernya Soeharto, rakyat (baca: rakyat kecil) belum bisa merasakan ‘hidup harmonis’ layaknya era Orba (rezim militer). Hal ini terlihat dengan fenomena instabilitas ekonomi, politik, dan sosial yang berlarut-larut. Rupiah anjlok, tatanan politik yang morat-marit, serta kondisi sosial yang riuh dengan konflik dan kerusuhan. Dengan kondisi semacam ini, rakyat berkesimpulan bahwa rezim sipil tidak mampu membawa ‘perubahan’.
Maka, jangan heran jika rakyat merindukan kepemimpinan militer. Kerinduan rakyat dengan figur militer ini terbukti saat pemilihan presiden putaran pertama. Di mana suara terbanyak diraih oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), sementara pasangan Wiranto-Wahid, yang juga dari kalangan militer, masih agak mendingan berada pada urutan ketiga.
Kenapa yang unggul bukan Megawati, Amien Rais, atau Hamzah Haz? Rakyat menilai bahwa kepemimpinan sipil ternyata tidak bisa memberikan nilai plus, yaitu keluar dari krisis. Figur sipil tidak mampu menangani problematika sosial-kemasyarakatan dengan cepat dan efisien. Terbukti dengan menumpuknya kasus yang belum terselesaikan, sehingga terkesan pemerintah (sipil) tidak mampu. Habibie, Gus Dur, dan Megawati —yang dianggap representasi sipil— tidak mampu berbuat apa-apa dalam stabilitas politik dan keamanan. Akibatnya, jargon “sudah terbukti, sudah teruji” yang dipakai Megawati saat pemilihan presiden putaran pertama kurang menarik simpati rakyat untuk mendulang suara. Karena rakyat tahu bahwa Megawati memang sudah terbukti dan teruji “tidak berhasil”, kenapa harus dipilih lagi?
Saat ini, rakyat butuh ketenangan, keamanan, dan bebas dari ketakutan (teror). Menurut persepsi rakyat, yang mampu mengatasi masalah ini adalah militer, bukan sipil. Sebagaimana saat Orba, mereka merasa ‘tentram’. Tak bisa dipungkiri, rakyat Indonesia masih gandrung dengan hal-hal yang instan, meski hakikatnya adalah bak candu. Ketika ada masalah, maka harus diselesaikan secara cepat (instan). Rakyat terbiasa dengan berfikir jangka pendek, mereka belum mampu berfikir dengan paradigma yang holistik dan berwawasan ke depan.
***
“Apapun masalahnya, senjata solusinya.” Itulah adagium sekaligus stigma yang tersemat dalam diri militer. Apakah benar demikian? Terlepas dari benar atau salah, itulah yang digemari oleh rakyat, yaitu ketegasan—meski dengan senjata (baca: tidak harus dengan damai). Padahal, menurut penulis, sejatinya gejolak dan instabilitas bukanlah suatu problem, akan tetapi dialektika sosial yang tidak bisa ‘diharmoniskan’ secara instan. Jika dipaksa untuk cepat selesai, maka akan menuai keharmonisan yang sesaat, dan jangan heran jika akan bergejolak di kemudian hari.
Maklum, rakyat belum bisa menerima nalar seperti ini. Rakyat hanya bisa menilai dan melihat dari permukaan, sehingga konstruksi nalarnya terpancang pada hal-hal yang instan. Nalar yang digunakan adalah nalar “asal-asalan”; asal harga turun, asal gampang nyari kerja, asal tidak ada keributan, asal sembako murah dan seterusnya. Nalar seperti inilah yang belum mampu dijawab oleh pemerintah pasca Soeharto. Akibatnya, rakyat berkesimpulan bahwa pemerintahan sipil lemah dan rapuh, dan butuh pemimpim yang tegas dan tangguh. Maka wajar-wajar saja jika kepercayaan rakyat kepada sipil pun rontok, dan rindu dengan militer (lagi).
Bukti kerinduan rakyat dengan figur militer (Susilo Bambang Yudhoyono) ini diperkuat dengan hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang dipublikasikan ke media massa (27/7), dengan responden 1.190 orang, menyimpulkan bahwa SBY akan mendapat suara sekitar 68 persen pada pemilihan presiden putaran kedua. Dengan asumsi, secara kepribadian, seperti tegas, perhatian, dan berwawasan luas, SBY lebih unggul dibanding Megawati. Data ini juga diperkuat dengan hasil polling Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang berkesimpulan, kubu SBY memiliki modal awal perolehan suara relatif lebih besar daripada pasangan Megawati (Kompas, 28/7).
***
Lalu pertanyaannya kemudian, apakah hasil polling di atas bisa terbukti saat Pilpres putaran kedua, sipil kalah oleh militer?
Belum tentu, sebab hilangnya kepercayaan rakyat kepada sipil diakibatkan lemahnya pemerintahan sipil dalam menangani problematika yang dihadapi rakyat, yang tercermin dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak pro terhadap rakyat (kecil). Masih ada tenggang waktu yang lama (satu setengah bulan) untuk memperbaiki citra Megawati (sipil). Dan ini merupakan kesempatan “emas” bagi Megawati yang berkedudukan sebagai orang yang sedang berkuasa (incumbent) untuk menarik simpati rakyat.
Karena itu, pada Pilpres putaran kedua nanti, Mega punya peluang lebih besar untuk menarik simpati rakyat daripada SBY. Dengan posisi Mega yang sekarang ini, incumbente, maka bisa jadi masa kampanye putaran kedua bagi Mega adalah setiap hari, dan kesempatan ini tidak dimiliki oleh SBY. Karena itu, Mega bisa saja melenggang pada putaran kedua, jika: pertama, Mega mampu menarik simpati rakyat lewat pendekatan langsung, bukan hanya lewat koalisi elit. Sebab inilah yang menjadi catatan besar kekalahan pasangan Wiranto-Wahid (Golkar-PKB). Koalisi yang dibangun Wiranto hanya pada tingkatan elit, sementara akar rumput terlepas. Kejadian ini harus dijadikan pelajaran bagi Megawati.
Kedua, mampu memberikan kontribusi yang konkrit, berupa kebijakan yang ‘menyentuh’ rakyat. Dalam artian, kebijakan Mega harus terasa ‘manis’ di lidah rakyat. Misalnya dengan menangkap aktor kasus 27 Juli, mengadili para koruptor, menurunkan harga dan seterusnya. Mega harus mampu menutupi kelemahan pemerintahannya, dan membikin prestasi yang luar biasa di mata rakyat. Sebab, banyak kegelisahan rakyat yang belum terobati oleh Megawati, sehingga wajar jika rakyat (sipil) harus mencari ‘dokter’ lain dari luar golongan (militer).
Jelas, kerinduan rakyat akan militer bisa sirna dengan kebijakan Megawati yang pro rakyat. Berarti, sipil atau militer bukanlah hal yang signifikan dalam benak rakyat. Siapapun yang dapat membawa Indonesia dalam ranah yang lebih harmonis dan stabil, itulah yang diidolakan rakyat. Sebab, selama ini rakyat menginginkan “perubahan sosial”, bukan “perebutan kekuasaan”. Jika demokrasi yang dijalankan hanya berkisar pada “perebutan”, tanpa ada tanggung jawab untuk melakukan “perubahan”, maka jangan harap rakyat akan percaya dengan semuanya, sipil atau militer. []
Sumber: Duta Masyarakat, 10 Agustus 2004.