Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Luar biasa. Bantuan asing terhadap Indoensia untuk korban bencana gempa dan tsunami menembus US$3,5 miliar (sekitar Rp32,2 triliun). Antara lain dari Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Badan Dunia untuk Program Pembangunan (UNDP), pemerintah Jerman, pemerintah Korea, serta bantuan bilateral (G to G).
Tulisan ini hanya menyoroti bantuan asing karena bantuan dalam negeri tidak begitu perlu dikhawatirkan. Untuk menanganinya, cukup dikoordinasikan dan diawasi bareng-bareng dengan melibatkan pihak pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kekhawatiran penulis justru terletak pada bantuan asing. Karena, bantuan jenis ini membawa implikasi serius terkait hubungan (ketergantungan) dengan luar negeri (negara-negara kreditor) dan reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
Penulis masih sangsi, apakah bantuan asing itu sungguh-sungguh bantuan (baca: hibah), bukan utang? Pasalnya, bahasa sangat menentukan konstruk opini publik. Kalau utang bilang utang, kalau bantuan bilang bantuan. Pemerintah harus terang-terangan mengenai soal ini. Dirjen Perbendaharaan Negara Mulia P. Nasution menegaskan, bantuan asing untuk penanganan bencana alam di Aceh dan Sumut ternyata sebagian besar berupa pinjaman alias utang dan hanya sebagian kecil yang berupa hibah (7/1/2005). Makanya, pemerintah harus tegas dalam menyikapi bantuan (utang) asing. Jika merugikan, kenapa harus diterima?
Utang luar negeri jelas-jelas membawa efek negatif bagi perekonomian Indonesia. Misalnya—yang marak saat ini—negara-negara kreditor (untuk tidak mengatakan rentenir) memperketat anggaran (APBN) dengan menghapuskan subsidi, serta mengurangi alokasi angggaran sosial. Kasus pengurangan subsidi BBM adalah bukti riil. Artinya, kalau perjanjian utang ini terjadi, maka pengendali subsidi bukan lagi oleh negara, tapi ada di tangan para kreditor.
Menolak Utang
Jika utang ditambah lagi, kapan Indonesia bebas dari utang (cengkraman kreditor)? Manakah bukti bahwa utang luar negeri hanya sekedar suplemen kecil yang diupayakan untuk membebaskan Indonesia dari utang? Yang terjadi justru Indonesia kecanduan utang. Ibarat kecanduan narkoba, Indonesia bisa ‘mati’ jika tidak utang. Karena itu, saat ini Indonesia harus tegas menolak utang luar negeri. Kenapa demikian?
Pertama, utang luar negeri adalah salah satu cara yang dilakukan negara-negara Barat (kapitalis) untuk menjajah pekonomian negara-negara penerima utang. Sebelum utang dicairkan, pihak kreditor pasti akan mengirimkan para pakarnya untuk mengetahui (memata-matai) isi kantong negara bersangkutan, dengan dalih untuk mengetahui kapabilitas dan kapasitas negara tersebut. Padahal, hakikatnya mereka dapat menyusun skenario proses pemiskinan dan ketergantungan yang amat canggih berdasarkan hasil mata-mata mereka.
Kedua, utang luar negeri merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik maupun ekonomi, bahkan sistem hukum, sosial, dan militer. Tujuan mereka memberikan utang tidak lain karena untuk menjaga keamanan dan eksistensi mereka, serta demi kelangsungan propaganda ideologi kapitalis.
Ketiga, utang sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam, terutama utang jangka pendek dengan bunga tinggi. Karena, utang yang dicairkan berbentuk mata uang asing (Dollar AS), dan harus dibayar dalam Dollar AS pula. Padahal, devisa negara peminjam amat rendah dibanding dengan mata uang asing tersebut. Akibatnya, mereka akan memborong Dollar yang jauh lebih mahal untuk membayar utang-utangnya.
Signifikansi Moratorium
Tawaran moratorium (penundaan pembayaran) juga merupakan bagian dari bantuan asing (Paris Club). Gordon Brown, Menteri Keuangan Inggris, menyebutkan: dengan adanya moratorium, negara-negara yang terkena musibah akan mendapat keuntungan sekitar US$3 miliar per tahun dari penundaan pembayaran cicilan. Benarkah demikian? Sejauh manakah signifikansi moratorium?
Hemat penulis, moratorium tidak begitu efektif. Sebab (1) menerima moratorium akan berisiko menurunkan peringkat utang Indonesia hingga menjadi default (gagal bayar. Akibatnya, Indonesia berpotensi untuk digolongkan menjadi negara yang “beresiko tinggi” terkait dengan kepercayaan dunia internasional.
(2) Indonesia dimungkinkan bisa kembali masuk program IMF—padahal sejak Desember 2003 sudah diputus—bila moratorium diberikan melalui forum Paris Club. Dampaknya adalah liberalisasi keuangan (pemerintah tidak lagi memegang sektor jasa keuangan), liberalisasi perdagangan (pemerintah sebagai “penonton” perdagangan bebas), dan privatisasi BUMN dan divestasi bank rekap (penjualan aset negara atau swastanisasi).
(3) Moratorium akan kontra produktif dengan pemulihan ekonomi. Dalam hal finansial, reputasi Indonesia akan merosot, sementara Indonesia saat ini sedang berjuang untuk mengembalikan reputasi yang hilang sejak dilanda krisis ekonomi 1997.
Dengan pertimbangan di atas, jelas sudah, bahwa moratorium tidak membawa perubahan yang signifikan dalam perekonomian Indonesia. Justru yang diperlukan saat ini adalah bukan sekedar moratorium, tapi penghapusan hutang (hapus utang lama, tolak utang baru).
Kita patut mengacungi jempol pada Menteri Luar Negeri Italia Gianfranco Fini yang secara tegas berkomitmen untuk menghapus utang Indonesia dan Srilanka senilai US$ 38 juta (sekitar Rp 348 miliar). Selain itu, dia juga mendorong negara-negara Eropa untuk melakukan hal yang sama. Langkah inilah yang penulis maksud dengan bantuan (penghapusan utang), bukan membantu tapi ujung-ujungnya nyekek dari belakang (moratorium).
Sekarang, sudah saatnya Indonesia berbenah diri, melepaskan diri dari ketergantungan asing. Ada lima cara. Pertama, memutuskan sama sekali utang luar negeri dengan negara-negara Barat.
Kedua, melakukan land reform dengan menghidupkan kembali tanah-tanah mati (ardlul mawat) untuk membangun sektor pertanian khususnya produk-produk pertanian. Seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Serta memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum. Seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, padang rumput, pertambangan emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dan lain-lain.
Ketiga, memutuskan import barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri. Agar ketergantungan pembayaran dalam bentuk mata uang asing diminimalisasi. Dan juga membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi.
Keempat, memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat.
Kelima, memfokuskan pembangunan industri dasar sebelum industri berat dan tidak memfokuskan pada industri ringan yang parsial dan konsumtif.
Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, Indonesia bebas dari utang adalah keniscayaan. Bukankah Indonesia telah merdeka sejak 1945? Tapi nyatanya, bangsa ini sampai sekarang masih di bawah ketiak asing, apakah ini yang dinamakan merdeka? Paparan di atas bukan merarti kita berprasangka buruk (su’udzan) kepada orang asing, tapi realitas di atas adalah hal yang maklum. Sebab, yang bermain dalam logika asing (negara-negara kreditor) adalah logika balas budi (nalar imperialisme), bukan tulus dan ikhlas. []
Sumber: Harian Jakarta, 1 Pebruari 2005.