Sunday, March 23, 2008

Rasyi, Murtasyi, Raaisy itu Sama Saja

Di tengah mulai menguatnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di Indonesia, tiba-tiba kasus suap di Kejaksaan Agung kembali mengguncang meja hijau. Ketua tim penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan menerima uang sebesar US$ 660 ribu (setara Rp 6,2 miliar). Diduga uang tersebut ada kaitannya dengan kasus BLBI yang dihentikan penyelidikannya oleh kejaksaan dua hari sebelum Urip tertangkap. Waw, jumlah yang fantastis. Kalau di hitung-hitung, uang sebesar itu, berapa kali lipat gaji seorang jaksa. Praktik ini sungguh menggiurkan.

Suap dalam Islam dikenal dengan istilah risywah. Yaitu pemberian yang lazimnya berbentuk uang atau materi, dengan maksud-maksud tertentu yang menguntungkan pihaknya. Misalnya untuk mendapatkan kemudahan atau merekayasa keputusan. Terkait dengan perkara ini, ada tiga komponen yang saling berhubungan: rasyi (orang yang menyuap), murtasyi (orang yang disuap), dan raisy (orang yang menjadi perantara). Tidak ada yang membedakan kedudukannya satu sama lain. Ketiga-tiganya, dalam pandangan Islam, berada pada jurang kenistaan yang sama. Dalam hadis disebutkan, “Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, dan perantara suap.” (HR. Ahmad).

Istilah suap (risywah) dalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya saja, ulama ahli tafsir menginterpretasikan beberapa ayat menjurus pada tindakan amoral ini. “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui,” firman Allah dalam al-Baqarah ayat 188.

Al-Haitsami dalam al-Zawahir dan al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah menafsirkan ayat tersebut secara spesifik ihwal suap-menyuap. Yaitu larangan mengulurkan pemberian kepada hakim dengan cara menyuap untuk memuluskan perkara dalam pengadilan. Penafsiran ini sejalan dengan ayat 22-23 surat Muhammad. Allah berfirman, “Maka apakah kamu kiranya jikakmau berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya pengelihatan mereka.”

Abu Aliyah menafsiri ayat tersebut dengan ungkapan, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.” (Al-Qurthubi dalam Ahkam al-Quran). Tipologi suap ini juga tergambar dalam firman Allah tatkala mensifati orang-orang Yahudi. “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, memakan makanan haram.” (QS. al-Ma'idah: 42). “Memakan makanan haram” dalam ayat tersebut dimaknai Hasan dan Said bin Jubair dengan sebutan memakan hasil uang suap. “Jika seorang hakim menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran,” tandasnya dalam tafsir al-Mughni.

Tak ada yang ganjil jika Hasan dan Said mengkaitkan tindakan ini dengan institusi peradilan. Memang pada kenyataannya, tindakan suap-menyuap jamaknya dilakukan di sekitar lingkungan pejabat pemutus perkara. Misalnya polisi, lembaga penyidik (seperti KPK dan BPK), jaksa, hakim, dan pengacara. Orang-orang itu bisanya dikelilingi banyak celah menganga yang bisa dimainkan untuk mempengaruhi sebuah keputusan, mulai dari penyidikan, persidangan, hingga vonis bebas atau penjara. Jika mereka tidak memegang teguh kode etik, maka praktik suap akan selalu mewarnai keputusan persidangan.

Kini, tidak hanya di sekitar pejabat pemutus perkara, suap-menyuap menerangsek di lingkungan pejabat publik lain. Bahkan, sudah “mentradisi” dengan pelbagai istilah yang telah disesuaikan dengan konteks dan modus. Ada uang pelicin, tanda terima kasih, bonus, parcel, hadiah, dan seterusnya. Ketika musim pendafataran CPNS, misalnya, banyak calo yang menjanjikan lulus dengan syarat bayar sekian ruapiah sebagai uang pelicin. Modus lain, ada yang mengirim parcel lebaran berupa kunci mobil kepada sejumlah pejabat kelas atas dengan tujuan agar kegiatan bisnisnya dipermudah dan dilindungi.

Lika-liku di atas adalah ragam modus dalam suap. Tradisi ini hampir merata pada jaringan birokrasi di Indonesia. Buktinya, sejak era keterbukaan bergulir, meski belum keseluruhan, satu demi satu dan perlahan-lahan banyak pejabat publik yang divonis penjara gara-gara suap dan korupsi. Kalau ditilik, modus suap yang terjadi di lingkungan pejabat publik dan birokrasi pada umumnya ini agak susah untuk diferivikasi, karena mirip dengan pemberian biasa tanpa tendensi. Satu misal, orang bawahan memberikan “hadiah” kepada atasan, apakah ini tidak boleh?

Secara normatif, Islam memperbolehkan hal itu. Sebab, memberikan hadiah adalah bagian dari anjuran Rasulullah saw. “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai,” sabdanya seperti diriwayatkan Imam Bukhari. Tapi, di sisi lain, siapa tahu kalau pemberian hadiah itu ada maksud-maksud tertentu, misalnya agar cepat naik jabatan? Pemberian yang berimplikasi inilah yang patut diwaspadai karena termasuk suap. Karena takut terjerumus dalam kubangan suap-menyuap, Rasulullah pernah mengintrogasi dan mengaudit uang salah seorang sahabat yang katanya diperoleh dari hadiah.

Alkisah dalam Shahih Bukhari disebutkan, Rasulullah saw. mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnu Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah mengaudit hasil zakat yang dikumpulkan.

Ibnu Lutbiah berkata,”Ini harta hasil zakat, dan ini hadiah untuk saya.” Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “Kalau engkau benar (itu memang hadiah untukmu), mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Singkat cerita, atas kejadian itu, Nabi kemudian berkhutbah sambil menyatakan, jika Ibnu Lutbiah benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Jangan-jangan hadiah itu diberikan tidak tulus dan ada maksud tertentu. “Demi Allah, tidak boleh salah seorang kalian mengambil hadiah itu tanpa hak…” sabda Nabi.

Statemen Rasulullah ini mempertegas, seandainya orang memberikan hadiah maka si penerima harus memperjelas, apakah hadiah itu benar-benar tanpa tendensi atau justru berimplikasi. Jika ada maksud untuk menyuap, maka tidak boleh mengambil hadiah tersebut, karena bukan termasuk haknya. Tindakan suap ini dilarang oleh agama karena berimplikasi pada hal-hal negatif. Pertama, lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparat penegak hukum. Praktik suap di lembaga peradilan dapat mencoreng institusi tersebut dan rakyat akan melakukan delegitimasi dan apatis terhadap penegakan hukum.

Kedua, garis demarkasi antara “yang hak” dengan “yang batil” menjadi kabur. Karena dalam tiap perkara selalu dimenangkan pihak yang berduit. Orang tidak lagi pusing dengan “pasal berapa” dalam KUHP yang akan dikenakan, yang penting “berapa harga per pasal”. Ketiga, kepentingan publik menjadi terbengkalai. Karena adanya sentralitas kekuasaan oleh orang-orang berduit, kepentingan rakyat pun terpinggirkan. Logikanya, siapapun bisa melakukan apapun, asal ada materi untuk memuluskan keinginan. Akhirnya, korupsi pun dilakukan bersama-sama sembari membungkam (menyuap) pihak-pihak yang bersuara.

Jika ini yang terjadi, betul apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam riwayat Thabrani, bahwa tidak ada tempat yang patut bagi mereka kecuali di neraka, sebab perbuatan itu senantiasa menodai hak rakyat dan mengambil alih kepentingan publik. []
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes