Thursday, May 22, 2008
Menang dan Murah Meriah dalam Pemilihan
Persembahan untuk Bung Yon dan Mas Surya atas diterbitkannya buku ini oleh Pustaka Cendikia Muda (PCM), Paramuda Foundation. Dapat di pesan di Paramuda Book Store +6221-7499742
Tiap kali hajatan pemilu digelar, pertanyaan yang selalu bergelayutan dibenak masyarakat adalah siapakah yang akan jadi pemenang. Tak ada kandidat dalam pemilihan yang menginginkan kekalahan. Jujur harus dikatakan bahwa kemenangan adalah tujuan utama dalam sebuah “pertarungan”. Sebab, kemenangan adalah pintu masuk implementasi gagasan Sang Kandidat melalui kekuasaan negara.
Untuk bisa memenangkan perhelatan, tentu dibutuhkan taktik dan strategi. Jenderal Prusia yang terkenal, Carl von Clausewitz pernah berkata, taktik adalah seni menggunakan kekuatan bersenjata dalam pertempuran. Sedang strategi yaitu seni menggunakan pertempuran untuk memenangkan peperangan dan bertujuan mencapai perdamaian.
Dari ungkapan itu, dapat ditarik kesimpulan, strategi adalah rencana jangka panjang. Dan tujuan jangka pendeknya dicapai melalui taktik. Kalau begitu, tanpa strategi maka taktik takkan ada gunanya.
Rancangan strategi pemenangan pemilu itu tak bisa dilakukan oleh orang sembarangan, atau sekadar tim sukses. Harus lebih dari itu. Yon Hotman, satu dari segelintir orang Indonesia yang pernah belajar khusus soal manajer kampanye di Amerika, berbagi jurus jitu untuk meraih kemenangan. Menurut anggota American Association of Political Consultant (AAPC) di Washington DC ini, salah satu cara jitunya yaitu dengan menggaet konsultan kampanye.
“Berbeda dengan tim sukses, konsultan kampanye berkewajiban melakukan eksplorasi obyektif untuk memperoleh gambaran riil di lapangan,” katanya dalam buku yang ditulisnya bersama surya kusuma ini, (hlm. 9). Jadi, tugas utama konsultan kampanye adalah mengawal kandidat untuk menang dan hemat biaya.
Karena itu, konsultan kampanye adalah pihak pertama yang dibutuhkan sebelum seorang kandidat memutuskan untuk maju atau tidak dalam perhelatan pemilu. Banyak orang hanya menandalkan bisikan ‘angin surga’ dari orang-orang terdekatnya untuk memutuskan ikut dalam kontestasi pemilihan. Itu adalah pertimbangan konyol. Seharusnya keputusan itu keluar setelah ada masukan secara obyektif di lapangan. Bagaimanakah kondisi riil di medan pertempuran itu: seberapa jauh kandidat di kenal publik? Publik yang mana? Bagamaimana sosok itu di mata publik? Kelompok mana saja yang stuju dan tidak setuju? Apa kelemahan yang dimiliki sang kandidat? Dan seterusnya.
Kalau sudah terbaca dan terpetakan dengan jelas, baru seseorang harus bisa mengambil keputusan untuk maju atau mundur. Nah, tugas berat itulah yang harus diemban konsultan pemilu, memotret kondisi obyektif di lapangan. Untuk bisa melakukan pemetaan dengan tapat, penulis buku setebal 194 halaman ini menyarankan kandidat untuk melakukan survei bekerjasama dengan konsultan kampanye, (hlm. 91). Setidaknya ada tiga alasan mengapa survei, mau tak mau, harus dilakukan.
Pertama, efektif, murah, dan tepat sasaran. Buat apa mengeluarkan banyak amunisi, seperti spanduk, kaos, bendera, bahkan politik uang, kalau kandidat tidak mengetahui efektifitas dari cara-cara tersebut. Hal yang merugikan itu bisa dianulir dengan survei. Sebab, melalui survey strategi kampanye bisa dibuat lebih terukur dan efesien. Dengan dana yang tersedia, kandidat bisa menyusun srategi yang efektif dalam menjangkau sebanyak mungkin. Survei juga memberikan informasi mengenai isu apa yang dipandang penting, medium apa yang efektif, kelompok mana yang bisa didekati, dan lapisan pemilih mana yang bisa ditingkatkan suaranya.
Kedua, bermanfaat untuk mengukur opini masyarakat. Waktu kampanye adalah saat-saat yang genting dan selalu berubah-ubah. Untuk itu, kandidat harus bisa mengetahui prilaku pemilih atau arah opini masyarakat. Biasanya, pemilih selalu bimbang setelah mencermati banyaknya program kandidat yang bagus-bagus. Dalam kondisi pemilih yang seperti inilah, gambaran survei memudahkan tim sukses untuk menentukan langkah yang akan diambil kandidat.
Terakhir, ketiga, untuk memetakan kekuatan politik. Data yang disajikan hasil survei terbukti tingakat akurasinya lebih tinggi daripada data dari informal information, misalnya orang terdekat, anak buah, atau data kelompok sendiri. Terkadang kandidat terlalu PD bisa memenangkan pemilihan berdasarkan popularitas, padahal, menurut penulis buku ini, tidak cukup dengan itu. Artinya popularitas itu harus didukung dengan pemetaan kekuatan politik, baik diri sendiri atau rival politik. Dengan begitu, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bisa terbaca lebih awal.
Selain menggandeng konsultan kampnye dan melakukan survei untuk pemetaan, komponen penting dalam buku yang ditulis oleh mantan campaign partner professional pemenangan SBY-JK 2004 ini juga menyuguhkan strategi kampanye dengan pendekatan bisnis atau pemasaran politik, (hlm. 49). Sebab, aktifitas kampanye dengan promosi produk itu punya kesamaan, sama-sama memasarkan “barang” agar dikenal dan dibeli publik.
Jadi, esensi kampanye atau bisa juga disebut pemasaran politik adalah suatu upaya untuk mendorong para pemilih untuk menginvestasikan kepercayaan kepada kandidat tertentu. Dalam hal ini, para pemilih sebenarnya tak sekadar konsumen, tetapi juga “investor kolektif” yang menanamkan kepercayaan kepada kandidat, yang nantinya diharapkan akan memberi return berupa perwujudan kesejahteraan pemilih pada masa datang, dalam pengertian instrumental, fungsional, dan emosional. Ihwal cara jitu “memasarkan” kandidat ini, secara detil dan terperinci dibahas dalam bagian ketiga buku ini (hlm. 35-87)
Menariknya, buku ini juga mengajarkan rambu-rambu berpolitik secara santun dalam suatu pertarungan politik, misalnya soal black campaign, etika berbicara juru kampanye, debat kandidat yang konstruktif, dan lain sebagainya. Yang tak kalah pentingnya yaitu soal strategi kampanye damai. Ada tiga hal yang perlu diwaspadai agar kekerasan tidak terjadi pada pra atau paska pemilihan. Pertama, pluralisme identitas dan beragamnya kepentingan politik serta sumber daya politik yang terbatas. Kedua, pergeseran patronase politik di tingkat lokal menyebabkan terjadinya persaingan politik antar elit lokal dalam mengisi jabatan-jabatan kekuasaan. Ketiga, transisi politik dan intervensi elit nasional yang bisa membuka pertarungan elit menjadi pertarungan terbuka.
Tiga hal itulah yang harus dipahami secara seksama dan ditanggapi dengan hati dan pikiran yang dingin. Meski secara garis besar buku yang diterbitkan untuk menyambut pemilu 2009 ini menginginkan Sang Kandidat sukses menjadi pemenang, buku ini juga memberikan pengertian kepada kandidat untuk bisa menerima kekalahan sebagai pelajaran. []
Judul: Panduan Sukses Kampanye Pemilu 2009. Penulis: Yon Hotman dan Surya Kusuma. Penerbit: Pustaka Cendekia Muda. Cetakan: Pertama, Maret 2008. Tebal buku: ix + 194 halaman.