Mensana In Corpore Sano. "Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat," itulah makna bahasa latin tersebut. Meski banyak orang yang suka terbolak-balik dalam mengartikan, ini bukanlah hal baru, sejak kecil di bangku TK kita sudah hafal di luar kepala dengan petuah tersebut. Secara sederhana kesimpulannya begini, kesehatan jiwa itu sangat tergantung pada kondisi tubuh yang sehat. Karena itu, ada anjuran untuk mengkonsumsi menu ‘empat sehat lima sempurna’. Untuk apa? Menyehatkan badan terlebih dahulu, baru muncullah yang disebut kesehatan jiwa. Apa iya?
Belakangan, berbagai ktitik pun muncul. “Apa betul, pertumbuhan jiwa itu tergantung kesehatan jasmani. Bukannya terbalik?” Pertanyaan ini dipicu adanya fakta yang menunjukkan bahwa banyak orang yang tubuhnya sehat tapi jiwanya bermasalah. Tubuh sehat itu bisa ditakar dengan tinggi dan berat badan proporsional, tidak sedang menderita sakit, makan makanan bergizi, dan seterusnya. Sedang kondisi jiwa yang tidak sehat itu terlihat dari tingkah laku individu, misalnya suka marah tanpa sebab, setres, selalu tergesa-gesa, lepas kendali alias tidak bisa memenej diri sendiri, dan lain-lain.
Berangkat dari pola tersebut, kita sering menemukan seseorang yang secara jasmani sehat, tapi ia kerap mengalami setres dan tekanan batin dalam menghadapi tugas dan masalah keseharian, baik di rumah maupun di tempat kerja. Apakah ini yang dikehendaki petuah ‘mensana in corpora sano’ di atas? Tentu saja tidak, tapi petuah itu mestinya dilanjutkan dan dilengkapi dengan ungkapan, bahwa di dalam jiwa yang sehat ‘automatically’ terdapat tubuh yang sehat pula.
Dengan begitu, tubuh sehat dan jiwa sehat itu saling terkait, dan tidak terlalu perlu mencari mana yang lebih penting, sehat jasmani atau rohani. Menjadi tak pernting, karena pembahasan ini bisa terjebak pada soal klasik, mana yang lebih dulu: telor atau ayam? Yang jelas, keseimbangan jasmani-rohani itu penting sebagai ritme harmonis dalam mengarungi kehidupan yang tak terlepas dari segitiga pengabdian sebagai abdi: beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama, dan melestarikan lingkungan.
Untuk bisa menyeimbangkan hal itu, maka kuncinya terletak pada adalah ibadah shalat. Mana mungkin, apa hubungnannya, kok bisa begitu? Kesehatan jasmani dan rohani hanya didukung dengan konsep makanan empat sehat lima sempurnan yang merupakan turunan petuah di atas, tidaklah cukup. Karena itu, mesti dilengkapi dengan shalat sebagai faktor penentu kesehatan jiwa seseorang, yang juga akan mamancarkan energi positif untuk kesehatan jasmnani. (hlm. 48).
Adalah sangat wajar sekali dan tidak aneh lagi, jika dewasa ini ada orang yang mengalami guncangan atau kegelisahan jiwa, lalu menggunakan cara alternatif penyembuhan terapi psikologi melalui media shalat. Konsep itulah yang ingin dikembangkan Psikolog dari Mesir Muhammad Bahnasi dalam buku al-Shalat Hayat (2004), yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Shalat sebagai Terapi Psikologi (2007).
Buku ini, tidak menjelaskan rasionalisasi ajaran shalat, seperti yang dikehendaki oleh kalangan Islam rasional atau liberal, tapi lebih menyibak mutiara dan hikmah di balik ajaran shalat yang masih jarang dipahami. Terlepas dari teori psikologi yang ‘njlimet’ dan ruwet, Muhammad Bahnasi seakan menggiring pembaca pada satu pertanyaan, “Apa manfaat shalat bagiku?”
Orang akan menjawab dengan beragam: agar masuk surga, menggugurkan kewajiban, terbebas dari siksa akhirat, mendapatkan pahala, atau ada anak yang menjalankannya agar diberi uang jajan oleh orang tuanya. Jarang sekali ada yang menyadari dan dapat mengkorelasikan manfaat dengan kehidupan real di dunia. Allah berfirman, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Tapi, apa nyatanya? Bisa dipastikan sebagian besar orang Islam di Indonesia menjalankan ibadah wajib ini, tapi mengapa sebagian dari mereka masih saja tidak bisa melepas kebiasaan keji dan munkar? Shalat tak pernah telat tapi korupsi, manipulasi, inkar janji, main hakim sendiri, menipu, maksiat, dan tindakan munkar lainnya terus saja dijalani. Apa yang salah, shalatnya kah atau orangnya? Bahkan ada statemen nakal mengatakan, “Buat apa shalat kalau tetap berbuat tidak baik, mending tidak shalat sekalian!”
Kesimpang-siuran itu dijelaskan dalam al-Quran, “Maka celaka bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. 107: 4-5). Ayat lain juga memberikan petunjuk, “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. 4: 103).
Jadi, apa kesimpulannya? Ingat Tuhan itu tak cukup di kala sedang menjalankan shalat saja, apalagi melamun saat shalat. ‘Komunikasi’ dengan Tuhan saat shalat itu sejatinya harus dilanjutkan dalam kondisi apapun: berdiri, duduk, diam, sendiri, maupaun ramai-ramai. Ingat kepada Allah membawa konsekuensi logis pada konsistensi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jika seseorang hanya melakukan ritual shalat: berdiri-rukuk-sujud-duduk, tanpa mengingat-Nya tentu saja shalat tidak akan membawa manfaat apapun kecuali kepuasan semu akan janji-janji surga yang diidam-idamkan itu. (hlm. 217).
Misal sederhana, bagaimana mungkin akan tega melakukan korupsi, jika kita ingat bahwa Allah selalu mengawasi, dan memahami bahwa barang yang diperoleh secara tidak halal itu haram digunakan. Kalau pelaku sadar dengan hal itu, apa mungkin ia melakukannya? Tentu tidak. Karena itu, integrasi ajaran shalat dengan realitas kehidupan itu mesti berkorelasi. Jangan sampai ada anggapan, shalat adalah urusan akhirat yang sama sekali terputus atau tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara di dunia. Sungguh bukan begitu.
Menenangkan Jiwa, Menyegarkan Tubuh
Di samping sikap mawas diri dan introspeksi, shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menenangkan jiwa dan menyegarkan jasmani. Soal ketenangan jiwa ini merupakan janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang menjalankan shalat. Ada jaminan pasti bahwa orang yang sungguh-sungguh dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan. Allah berfirman, “Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. 20: 14). “Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (Qs. 13: 28).
Kedua ayat di atas duduk pada tataran doktrin religious yang termaktub dalam al-Quran. Pada aras yang lebih realistis dan empiris, mari mencermati ritme kehidupan manusia dalam putaran sehari semalam. Biasanya, siklus kehidupan harian seseorang dihitung mulai matahari terbit. Pagi hari, bangun tidur lalu berangkat kerja. Siang hari, istirahat dan makan siang. Sore, pulang dan santai di rumah. Malam, istirahat tidur. Kelihatannya memang simpel dan tak terkesan rumit. Tapi bagi orang yang menjalaninya, tak jarang mereka banyak merasa tersiksa bahkan merasa seakan dikejar-kejar oleh waktu. Bagaimana jiwa bisa tenang, kalau hidup selalu dikejar-kejar ‘deadline’ pekerjaan dan tak kuasa mengatur waktu. Apa jadinya kalau begini?
Potret kehidupan orang tersebut kurang lebih seperti ini. Contoh tipe pertama. Pagi hari bangun tidur, lalu melihat jam dan ternyara waktunya ‘mepet’ atau agak kesiangan. Dengan buru-buru ia harus berangkat ke kantor. Di jalan ia dipusingkan dengan kondisi lalu lintas yang padat. Ia ingin tiba dengan cepat, tapi jalanan lambat. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana kesalnya. Begitu tiba di kantor, ada pekerjaan numpuk yang harus diselesaikan. Ia pun bergegas untuk menyelesaikannya. Jam istirahat siang tiba. Setelah itu, ia kembali ke meja bergelut dengan tugas hingga akhirnya jam kantor berakhir. Pekerjaan tak semuanya rampung, sebagian belum selesai.
Pulang kantor di sambut dengan kondisi lalu lintas yang macet. Pusing, ingin hati cepat sampai di rumah, tapi tak mungkin. Sesampainya di rumah, kepala masih pening karena pekerjaan belum selesai dan efek dari kekesalan saat macet di jalan. Lalu, istirahat sambil nonton televisi sembari tidur-tiduran. Tak lama kemudian, tidur beneran. Bangun tidur, ia pun merasa pusing, karena dua hal: pertama, tidurnya tadi tidak dibarengi dengan niat tidur; kedua, secara fisik memang tidur, tapi pikirannya masih memikirkan ‘deadline’ pekerjaan kantor. Inilah yang menyebabkan kualitas tidurnya tidak baik. Dengan begitu, secara psikologis orang tersebut jiwanya tak tenang, lalu berimbas pada kondisi tubuh yang tidak fit.
Bandingkan dengan orang yang punya kebiasaan menjalankan shalat secara konsekwen atau bahasa agamanya, istiqamah. Misalnya, hanya shalat 5 waktu saja, tak perlu shalat sunnat dulu. Niscaya ia lebih tenang, terarah, taratur, dan dapat memenej waktu dengan baik. Bisa dibayangkan bagaimana indahnya menjalani hidup dan menghadapi masalah sehari-hari sembari dibarengi menjalankan shalat.
Contoh tipe kedua. Bangun pada dini hari. Ketika bangun, suasana lingkungan masih tenang. Terdengar suara adzan di masjid dan mushalla dekat rumah. Mandi dengan segar lalu shalat subuh. Usai shalat, membaca al-Quran lalu olah raga. Usai olah raga, mandi lagi dan siap-siap mau berangkat kerja. Di jalan macet itu sudah biasa dan tak akan membuat pusing, sebab ia sudah memperkirakan waktu dengan tepat. Ia sudah siap menghadapi macet. Sampai kantor, ia mengerjakan tugas seperti biasa hingga siang hari, waktu shalat dhuhur tiba. Layaknya manusia biasa, ia pun agak pening karena dari pagi menyelesaikan tugas kantor. Shalat dhuhur adalah jeda yang baik untuk me-refresh pikiran dan disambung dengan makan siang. Begitu istirahat siang usai, ia pun sudah siap bekerja lagi dengan tenaga penuh (power full): pikiran dan jiwa di-refresh dengan shalat, serta tubuh diisi dengan makanan bergizi.
Ritme kerja pun dimulai kembali. Sibuk dengan urusan ini dan itu, masalah di sini dan di sana. Hingga sore hari, kira-kira pukul 16.30 WIB waktu pulang kerja. Ia pun tak langsung pulang. Shalat ashar di kantor. Ini untuk mengendapkan kondisi otak yang telah bekerja seharian dan menenangkan jiwa sebelum pulang, yang lagi-lagi harus berhadapan dengan lalu lintas yang bergerak menyemut. Usai shalat, dengan kondisi yang tenang, ia melangkah untuk pulang. Macet pun tak akan membuatnya risau. Begitu sampai di rumah, istirahat sejenak lalu mandi. Maghrib tiba, waktunya shalat. Ini adalah masa pergantian siang dan malam. Waktu ini ia jadikan sebagai pengendapan pikiran, membaca al-Quran, lalu santai dengan keluarga, atau membaca buku.
Ini berlangsung hingga jam 20.00-21.00 WIB. Setelah itu, siap-siap untuk tidur. Sebelum tidur, ia shalat isya’ terlebih dahulu. Memanjatkan doa kepada Allah dan bersyukur atas nikmat yang diberikan. Waktu ini juga digunakan untuk refleksi dan merenung, apa sajakah yang telah dilakukan selama sehari ini? Sekaligus ia akan membuat rencana yang harus dikerjakan keesokan harinya. Setelah semuanya sudah diperhitungkan dan direncanakan, ia pun bersiap untuk tidur. Ia tidur begitu nyenyak. Apa pasal? Karena ia siap untuk tidur dan siap untuk menjalani aktifitas esok hari. Tak ada kata dikejar-kejar deadline, karena semua sudah dievaluasi dan direncanakan dengan baik. Bangun tidur, ia merasa lega dan siap beraktifitas lagi.
Itulah gambaran dua tipe orang yang berbeda dalam menyikapi dan menjalani hidup. Bisakah menentukan, anda termasuk tipe yang mana? Bisa jadi, orang yang selalu shalat 5 waktu tapi merasa masih termasuk contoh orang tipe pertama. Mengapa? Sebab, ia belum mengerti hakikat dan manfaat shalat yang sebenarnya. Ia menjalankan shalat hanya takut siksa neraka dan menggugurkan kewajiban agama. Makanya, ketenangan jiwa dan kesegaran jasmani takkan ia dapat, meski ia selalu shalat. Orang seperti ini menurut Rasulullah saw. sama dengan menjalankan shalat tapa ada hasil. “Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja,” Sabda Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah.
Kualitas Shalat Topang Keberhasilan
Inilah yang mesti dihindari oleh umat Islam. Karena itu, penulis buku ini memberikan pelajaran yang menarik kepada pembaca untuk dapat mangatur waktu dan memanfaatkannya dengan baik melalui media shalat. (hlm. 210). Dengan harapan agar hidup kita lebih berkukalitas dan berprestasi. Sebab, kualitas shalat itu juga dapat menopang kesuksesan seseorang. Rasa percaya diri (self confidence) rupanya menjadi faktor penentu prestasi seseorang melalui media shalat.
Jika ditilik, ada tiga unsur pokok dalam shalat yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri.
Pertama, percaya kepada Allah swt. Kepercayaan merupakan perkara yang susah untuk diilustrasikan, tapi secara psikologis, ia dapat dirasakan dan dapat memberikan dorongan yang kuat kepada orang yang mempercayainya. Misalnya, kalau kita percaya bahwa bangunan rumah tua dipinggir jalan itu dihuni oleh hantu. Tentu saja, kita susah untuk melukiskan, tapi dapat merasakan betapa angkernya rumah itu sampai bulu kuduk kita berdiri tatkala lewat di depannya. Bahkan, kepercayaan tersebut dapat mendorong kita untuk selalu takut jika melihat rumah serupa.
Sama halnya dengan keyakinan percaya kepada Allah. Bedanya kalau percaya adanya hantu di rumah kosong di atas mendorong seseorang ke arah negative: takut, hawatir, cemas, dll, tapi kalau percaya kepada Allah akan membawa dampak positif. Dengan percaya kepada-Nya maka kita selalu berdoa dan bersyukur atas anugrah. Kita juga merasa dekat dengan-Nya dan energi positif terus mengalir deras menyemangati hidup seseorang. Maka tak salah, jika dalam buku ini dikatakan, “Hilangnya keyakinan kepada Allah membuat manusia kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.” (hlm. 52).
Kedua, memperhatikan penampilan (performance). Etika orang shalat seyogyanya harus selalu menjaga penampilan. Suci saja tidak cukup, sebaiknya juga harus rapi dan sopan. Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu ketika Rasulullah saw. didatangi laki-laki yang berpakain lusuh. Nabi bersabda, “Tidakkah dia menemukan sesuatu yang dapat mencuci bajunya?” (HR. Abu Dawud). Nabi juga selalu menganjurkan untuk memperindah penampilan. “Barang siapa yang memiliki rambut, hendaklah dia memuliakannya,” sabdanya. Jadi, penampilan seseorang itu sangat berpengaruh pada citra. Sementara citra seseorang juga turut mendukung laju karir dan keberhasilan usahanya.
Ketiga, membangun komunikasi dan mencegah keterasingan sosial. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya, kalau bisa, shalat dilakukan dengan berjamaah. Selain pahala 27 derajat dibanding shalat sendiri, ini juga bermanfaat sebagai forum silaturrahmi dan membangun komunitas di masyarakat. Menurut kaca mata ilmu psikologi, orang yang tidak bisa bergaul dan tidak mempunyai komunitas sangat rentan terhadap stres dan susah untuk berkembang. Karena itu, shalat juga bisa dijadikan sarana untuk mempererat silaturrahmi dan menjalin komunikasi dan relasi.
Jika tiga hal di atas dapat berjalan dengan baik, maka secara langsung atau tidak, ini akan menunjang keberhasilan dan kebahagiaan seseorang dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan lika-liku cobaan ini. Kini, dapatkah anda menjawab pertanyaan yang pernah diajukan di atas, “Apa manfaat shalat bagiku?” Buku ini membantu anda untuk menemukan hakikat shalat dan manfaat yang dapat diraih untuk menyelaraskan kesuksesan hidup di dunia dan kebahagiaan sejati di akhirat, serta mengajari anda untuk menyeimbangkan kesehatan jiwa dan kebugaran jasmani. []
Sumber: Jurnal Bimas, Juni 2008.
Belakangan, berbagai ktitik pun muncul. “Apa betul, pertumbuhan jiwa itu tergantung kesehatan jasmani. Bukannya terbalik?” Pertanyaan ini dipicu adanya fakta yang menunjukkan bahwa banyak orang yang tubuhnya sehat tapi jiwanya bermasalah. Tubuh sehat itu bisa ditakar dengan tinggi dan berat badan proporsional, tidak sedang menderita sakit, makan makanan bergizi, dan seterusnya. Sedang kondisi jiwa yang tidak sehat itu terlihat dari tingkah laku individu, misalnya suka marah tanpa sebab, setres, selalu tergesa-gesa, lepas kendali alias tidak bisa memenej diri sendiri, dan lain-lain.
Berangkat dari pola tersebut, kita sering menemukan seseorang yang secara jasmani sehat, tapi ia kerap mengalami setres dan tekanan batin dalam menghadapi tugas dan masalah keseharian, baik di rumah maupun di tempat kerja. Apakah ini yang dikehendaki petuah ‘mensana in corpora sano’ di atas? Tentu saja tidak, tapi petuah itu mestinya dilanjutkan dan dilengkapi dengan ungkapan, bahwa di dalam jiwa yang sehat ‘automatically’ terdapat tubuh yang sehat pula.
Dengan begitu, tubuh sehat dan jiwa sehat itu saling terkait, dan tidak terlalu perlu mencari mana yang lebih penting, sehat jasmani atau rohani. Menjadi tak pernting, karena pembahasan ini bisa terjebak pada soal klasik, mana yang lebih dulu: telor atau ayam? Yang jelas, keseimbangan jasmani-rohani itu penting sebagai ritme harmonis dalam mengarungi kehidupan yang tak terlepas dari segitiga pengabdian sebagai abdi: beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama, dan melestarikan lingkungan.
Untuk bisa menyeimbangkan hal itu, maka kuncinya terletak pada adalah ibadah shalat. Mana mungkin, apa hubungnannya, kok bisa begitu? Kesehatan jasmani dan rohani hanya didukung dengan konsep makanan empat sehat lima sempurnan yang merupakan turunan petuah di atas, tidaklah cukup. Karena itu, mesti dilengkapi dengan shalat sebagai faktor penentu kesehatan jiwa seseorang, yang juga akan mamancarkan energi positif untuk kesehatan jasmnani. (hlm. 48).
Adalah sangat wajar sekali dan tidak aneh lagi, jika dewasa ini ada orang yang mengalami guncangan atau kegelisahan jiwa, lalu menggunakan cara alternatif penyembuhan terapi psikologi melalui media shalat. Konsep itulah yang ingin dikembangkan Psikolog dari Mesir Muhammad Bahnasi dalam buku al-Shalat Hayat (2004), yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Shalat sebagai Terapi Psikologi (2007).
Buku ini, tidak menjelaskan rasionalisasi ajaran shalat, seperti yang dikehendaki oleh kalangan Islam rasional atau liberal, tapi lebih menyibak mutiara dan hikmah di balik ajaran shalat yang masih jarang dipahami. Terlepas dari teori psikologi yang ‘njlimet’ dan ruwet, Muhammad Bahnasi seakan menggiring pembaca pada satu pertanyaan, “Apa manfaat shalat bagiku?”
Orang akan menjawab dengan beragam: agar masuk surga, menggugurkan kewajiban, terbebas dari siksa akhirat, mendapatkan pahala, atau ada anak yang menjalankannya agar diberi uang jajan oleh orang tuanya. Jarang sekali ada yang menyadari dan dapat mengkorelasikan manfaat dengan kehidupan real di dunia. Allah berfirman, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Tapi, apa nyatanya? Bisa dipastikan sebagian besar orang Islam di Indonesia menjalankan ibadah wajib ini, tapi mengapa sebagian dari mereka masih saja tidak bisa melepas kebiasaan keji dan munkar? Shalat tak pernah telat tapi korupsi, manipulasi, inkar janji, main hakim sendiri, menipu, maksiat, dan tindakan munkar lainnya terus saja dijalani. Apa yang salah, shalatnya kah atau orangnya? Bahkan ada statemen nakal mengatakan, “Buat apa shalat kalau tetap berbuat tidak baik, mending tidak shalat sekalian!”
Kesimpang-siuran itu dijelaskan dalam al-Quran, “Maka celaka bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. 107: 4-5). Ayat lain juga memberikan petunjuk, “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. 4: 103).
Jadi, apa kesimpulannya? Ingat Tuhan itu tak cukup di kala sedang menjalankan shalat saja, apalagi melamun saat shalat. ‘Komunikasi’ dengan Tuhan saat shalat itu sejatinya harus dilanjutkan dalam kondisi apapun: berdiri, duduk, diam, sendiri, maupaun ramai-ramai. Ingat kepada Allah membawa konsekuensi logis pada konsistensi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jika seseorang hanya melakukan ritual shalat: berdiri-rukuk-sujud-duduk, tanpa mengingat-Nya tentu saja shalat tidak akan membawa manfaat apapun kecuali kepuasan semu akan janji-janji surga yang diidam-idamkan itu. (hlm. 217).
Misal sederhana, bagaimana mungkin akan tega melakukan korupsi, jika kita ingat bahwa Allah selalu mengawasi, dan memahami bahwa barang yang diperoleh secara tidak halal itu haram digunakan. Kalau pelaku sadar dengan hal itu, apa mungkin ia melakukannya? Tentu tidak. Karena itu, integrasi ajaran shalat dengan realitas kehidupan itu mesti berkorelasi. Jangan sampai ada anggapan, shalat adalah urusan akhirat yang sama sekali terputus atau tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara di dunia. Sungguh bukan begitu.
Menenangkan Jiwa, Menyegarkan Tubuh
Di samping sikap mawas diri dan introspeksi, shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menenangkan jiwa dan menyegarkan jasmani. Soal ketenangan jiwa ini merupakan janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang menjalankan shalat. Ada jaminan pasti bahwa orang yang sungguh-sungguh dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan. Allah berfirman, “Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. 20: 14). “Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (Qs. 13: 28).
Kedua ayat di atas duduk pada tataran doktrin religious yang termaktub dalam al-Quran. Pada aras yang lebih realistis dan empiris, mari mencermati ritme kehidupan manusia dalam putaran sehari semalam. Biasanya, siklus kehidupan harian seseorang dihitung mulai matahari terbit. Pagi hari, bangun tidur lalu berangkat kerja. Siang hari, istirahat dan makan siang. Sore, pulang dan santai di rumah. Malam, istirahat tidur. Kelihatannya memang simpel dan tak terkesan rumit. Tapi bagi orang yang menjalaninya, tak jarang mereka banyak merasa tersiksa bahkan merasa seakan dikejar-kejar oleh waktu. Bagaimana jiwa bisa tenang, kalau hidup selalu dikejar-kejar ‘deadline’ pekerjaan dan tak kuasa mengatur waktu. Apa jadinya kalau begini?
Potret kehidupan orang tersebut kurang lebih seperti ini. Contoh tipe pertama. Pagi hari bangun tidur, lalu melihat jam dan ternyara waktunya ‘mepet’ atau agak kesiangan. Dengan buru-buru ia harus berangkat ke kantor. Di jalan ia dipusingkan dengan kondisi lalu lintas yang padat. Ia ingin tiba dengan cepat, tapi jalanan lambat. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana kesalnya. Begitu tiba di kantor, ada pekerjaan numpuk yang harus diselesaikan. Ia pun bergegas untuk menyelesaikannya. Jam istirahat siang tiba. Setelah itu, ia kembali ke meja bergelut dengan tugas hingga akhirnya jam kantor berakhir. Pekerjaan tak semuanya rampung, sebagian belum selesai.
Pulang kantor di sambut dengan kondisi lalu lintas yang macet. Pusing, ingin hati cepat sampai di rumah, tapi tak mungkin. Sesampainya di rumah, kepala masih pening karena pekerjaan belum selesai dan efek dari kekesalan saat macet di jalan. Lalu, istirahat sambil nonton televisi sembari tidur-tiduran. Tak lama kemudian, tidur beneran. Bangun tidur, ia pun merasa pusing, karena dua hal: pertama, tidurnya tadi tidak dibarengi dengan niat tidur; kedua, secara fisik memang tidur, tapi pikirannya masih memikirkan ‘deadline’ pekerjaan kantor. Inilah yang menyebabkan kualitas tidurnya tidak baik. Dengan begitu, secara psikologis orang tersebut jiwanya tak tenang, lalu berimbas pada kondisi tubuh yang tidak fit.
Bandingkan dengan orang yang punya kebiasaan menjalankan shalat secara konsekwen atau bahasa agamanya, istiqamah. Misalnya, hanya shalat 5 waktu saja, tak perlu shalat sunnat dulu. Niscaya ia lebih tenang, terarah, taratur, dan dapat memenej waktu dengan baik. Bisa dibayangkan bagaimana indahnya menjalani hidup dan menghadapi masalah sehari-hari sembari dibarengi menjalankan shalat.
Contoh tipe kedua. Bangun pada dini hari. Ketika bangun, suasana lingkungan masih tenang. Terdengar suara adzan di masjid dan mushalla dekat rumah. Mandi dengan segar lalu shalat subuh. Usai shalat, membaca al-Quran lalu olah raga. Usai olah raga, mandi lagi dan siap-siap mau berangkat kerja. Di jalan macet itu sudah biasa dan tak akan membuat pusing, sebab ia sudah memperkirakan waktu dengan tepat. Ia sudah siap menghadapi macet. Sampai kantor, ia mengerjakan tugas seperti biasa hingga siang hari, waktu shalat dhuhur tiba. Layaknya manusia biasa, ia pun agak pening karena dari pagi menyelesaikan tugas kantor. Shalat dhuhur adalah jeda yang baik untuk me-refresh pikiran dan disambung dengan makan siang. Begitu istirahat siang usai, ia pun sudah siap bekerja lagi dengan tenaga penuh (power full): pikiran dan jiwa di-refresh dengan shalat, serta tubuh diisi dengan makanan bergizi.
Ritme kerja pun dimulai kembali. Sibuk dengan urusan ini dan itu, masalah di sini dan di sana. Hingga sore hari, kira-kira pukul 16.30 WIB waktu pulang kerja. Ia pun tak langsung pulang. Shalat ashar di kantor. Ini untuk mengendapkan kondisi otak yang telah bekerja seharian dan menenangkan jiwa sebelum pulang, yang lagi-lagi harus berhadapan dengan lalu lintas yang bergerak menyemut. Usai shalat, dengan kondisi yang tenang, ia melangkah untuk pulang. Macet pun tak akan membuatnya risau. Begitu sampai di rumah, istirahat sejenak lalu mandi. Maghrib tiba, waktunya shalat. Ini adalah masa pergantian siang dan malam. Waktu ini ia jadikan sebagai pengendapan pikiran, membaca al-Quran, lalu santai dengan keluarga, atau membaca buku.
Ini berlangsung hingga jam 20.00-21.00 WIB. Setelah itu, siap-siap untuk tidur. Sebelum tidur, ia shalat isya’ terlebih dahulu. Memanjatkan doa kepada Allah dan bersyukur atas nikmat yang diberikan. Waktu ini juga digunakan untuk refleksi dan merenung, apa sajakah yang telah dilakukan selama sehari ini? Sekaligus ia akan membuat rencana yang harus dikerjakan keesokan harinya. Setelah semuanya sudah diperhitungkan dan direncanakan, ia pun bersiap untuk tidur. Ia tidur begitu nyenyak. Apa pasal? Karena ia siap untuk tidur dan siap untuk menjalani aktifitas esok hari. Tak ada kata dikejar-kejar deadline, karena semua sudah dievaluasi dan direncanakan dengan baik. Bangun tidur, ia merasa lega dan siap beraktifitas lagi.
Itulah gambaran dua tipe orang yang berbeda dalam menyikapi dan menjalani hidup. Bisakah menentukan, anda termasuk tipe yang mana? Bisa jadi, orang yang selalu shalat 5 waktu tapi merasa masih termasuk contoh orang tipe pertama. Mengapa? Sebab, ia belum mengerti hakikat dan manfaat shalat yang sebenarnya. Ia menjalankan shalat hanya takut siksa neraka dan menggugurkan kewajiban agama. Makanya, ketenangan jiwa dan kesegaran jasmani takkan ia dapat, meski ia selalu shalat. Orang seperti ini menurut Rasulullah saw. sama dengan menjalankan shalat tapa ada hasil. “Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja,” Sabda Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah.
Kualitas Shalat Topang Keberhasilan
Inilah yang mesti dihindari oleh umat Islam. Karena itu, penulis buku ini memberikan pelajaran yang menarik kepada pembaca untuk dapat mangatur waktu dan memanfaatkannya dengan baik melalui media shalat. (hlm. 210). Dengan harapan agar hidup kita lebih berkukalitas dan berprestasi. Sebab, kualitas shalat itu juga dapat menopang kesuksesan seseorang. Rasa percaya diri (self confidence) rupanya menjadi faktor penentu prestasi seseorang melalui media shalat.
Jika ditilik, ada tiga unsur pokok dalam shalat yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri.
Pertama, percaya kepada Allah swt. Kepercayaan merupakan perkara yang susah untuk diilustrasikan, tapi secara psikologis, ia dapat dirasakan dan dapat memberikan dorongan yang kuat kepada orang yang mempercayainya. Misalnya, kalau kita percaya bahwa bangunan rumah tua dipinggir jalan itu dihuni oleh hantu. Tentu saja, kita susah untuk melukiskan, tapi dapat merasakan betapa angkernya rumah itu sampai bulu kuduk kita berdiri tatkala lewat di depannya. Bahkan, kepercayaan tersebut dapat mendorong kita untuk selalu takut jika melihat rumah serupa.
Sama halnya dengan keyakinan percaya kepada Allah. Bedanya kalau percaya adanya hantu di rumah kosong di atas mendorong seseorang ke arah negative: takut, hawatir, cemas, dll, tapi kalau percaya kepada Allah akan membawa dampak positif. Dengan percaya kepada-Nya maka kita selalu berdoa dan bersyukur atas anugrah. Kita juga merasa dekat dengan-Nya dan energi positif terus mengalir deras menyemangati hidup seseorang. Maka tak salah, jika dalam buku ini dikatakan, “Hilangnya keyakinan kepada Allah membuat manusia kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.” (hlm. 52).
Kedua, memperhatikan penampilan (performance). Etika orang shalat seyogyanya harus selalu menjaga penampilan. Suci saja tidak cukup, sebaiknya juga harus rapi dan sopan. Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu ketika Rasulullah saw. didatangi laki-laki yang berpakain lusuh. Nabi bersabda, “Tidakkah dia menemukan sesuatu yang dapat mencuci bajunya?” (HR. Abu Dawud). Nabi juga selalu menganjurkan untuk memperindah penampilan. “Barang siapa yang memiliki rambut, hendaklah dia memuliakannya,” sabdanya. Jadi, penampilan seseorang itu sangat berpengaruh pada citra. Sementara citra seseorang juga turut mendukung laju karir dan keberhasilan usahanya.
Ketiga, membangun komunikasi dan mencegah keterasingan sosial. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya, kalau bisa, shalat dilakukan dengan berjamaah. Selain pahala 27 derajat dibanding shalat sendiri, ini juga bermanfaat sebagai forum silaturrahmi dan membangun komunitas di masyarakat. Menurut kaca mata ilmu psikologi, orang yang tidak bisa bergaul dan tidak mempunyai komunitas sangat rentan terhadap stres dan susah untuk berkembang. Karena itu, shalat juga bisa dijadikan sarana untuk mempererat silaturrahmi dan menjalin komunikasi dan relasi.
Jika tiga hal di atas dapat berjalan dengan baik, maka secara langsung atau tidak, ini akan menunjang keberhasilan dan kebahagiaan seseorang dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan lika-liku cobaan ini. Kini, dapatkah anda menjawab pertanyaan yang pernah diajukan di atas, “Apa manfaat shalat bagiku?” Buku ini membantu anda untuk menemukan hakikat shalat dan manfaat yang dapat diraih untuk menyelaraskan kesuksesan hidup di dunia dan kebahagiaan sejati di akhirat, serta mengajari anda untuk menyeimbangkan kesehatan jiwa dan kebugaran jasmani. []
Sumber: Jurnal Bimas, Juni 2008.