Hidup secara damal bagi rakyat Palestina seakan menjadi cita-cita utopia belaka. Sejak tumbuhnya gerakan Zionis yang dipimpin Theodore Herzl (1860-1904) dengan seruannya kepada bangsaYahudi yang menusuk hati rakyat Palestina, “Kamu sekalian tidak akan menemukan kebahagiaan bila masih ada penduduk selain Yahudi di tanah Palestina. Konon, bangsa Yahudi sudah berperadaban sebelum berkembangnya peradaban Yunani, dimana para Nabi dan Rasul Tuhan diutus di sana. ”
Dalam cerita Nabi dan Rasul, bangsa Yahudi adalah keturunan dari bani Is¬rael yang sangat terkenal de¬ngan pembangkangan dan kegigihan ia memegang ajaran nenek moyang (Nabi Ishak) dan menentang otoritas kebenaran baru yang mengusik ke-establish-an bani Israel. Mereka tidak mau diintervensi oleh siapa-pun karena pemegang otoritas Tuhan adalah bangsa Israel.
Keyakinan mereka yang paling mendasar sampal kini adalah promised land (tanah air yang dijanjikan) sebagai bukti kemerdekaan kaum Yahudi dan kebebasan untuk mengartikulasi eksistensi Yahudi dalam percaturan politik internasional. Selama berabad-abad mereka berdiaspora (pengembaraan) dan menjadi kaum monoritas dari satu negara ke negara lain, mereka tempuh hanya untuk “tanah air”. Sampai pada tahun 1896 kaum Yahudi mendirikan gerakan Zionis yang dipelopori oleh Theodore Herzl, yang bercita-cita mendirikan kedaulatan negara Yahudi sebagai upaya untuk menyatukan seluruh kaum Yahudi yang tercerai-berai di selu¬ruh Dunia.
Gerakan ini berlanjut sampai turunnya rekomendasi dari Herzl pada kongres kedua (1906), untuk mendi¬rikan negara bagi rakyat Ya¬hudi di tanah Palestina, yang dianggap sebagai promised land. Bagaimanakah tanggapan pemerintah Palestina terhadap keputusan kongres gerakan Zionis? Dalam Dilema Israel (2002) Musthofa Abd. Rahman menulis bahwa kelicikan gerakan Zionis dalam mengelabuhi Palestina dengan mengambil peluang pada Perang Dunia I (1914-1918), ternyata membuahkan hasil. Mereka main mata (bersekutu) dengan Inggris untuk menundukkan Jerman. Kompensasi yang dijanjikan Inggris ketika itu adalah se-buah negara di tanah Pales¬tina bagi gerakan Zionis.
Dari situ, terjadilah semacam konspirasi internasional yang membentangkan jalan bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina. Memang sejak dari awal, Inggris terlibat dalam pembentukan negara Israel di Palestina. Namun disamping itu, ada dua hal yang sangat determinan dalam pemben-tukan negara Israel. Pertama, Perjanjian Sykes-Picot (1916) antara Inggris dan Perancis, yang membagi peninggalan dinasti Ottoman (Khalifah Utsmaniyah) di wilayah Arab. Di antaranya, Palestina dijadikan status wilayah internasional. Kedua, Deklarasi Balfour (1917) yang menjanjikan sebuah negara Yahudi di ta-nah Paleetina pada gerakan Zionis.
Sampai pada akhirnya terwujudlah impian bangsa Yahudi melalui Majelis Umum (MU) PBB dengan mengeluarkan resolusi No 181 pada 29 November 1947 yang menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi Yahudi dan Arab. Dengan legitimasi resolusi PBB, maka Davin Ben Gourin memproklamirkan keberadaan negara Israel di tanah Pa¬lestina. Bagaimanakah sikap politis bangsa Arab terhadap kebijakan PBB melalui re¬solusi 181?
Ternyata Arab menolak dan memilih berperang dari pada berdamai dengan Is¬rael. Maka meletuslah berbagai peperangan yang berkepanjangan antara Arab (pro-Palestina) dan Israel yaitu dimulai pada tahun 1948, perang Suez (1956), perang Arab-Israel (1967 dan 1973), dan perang Leba¬non (1982). Ini merupakan realitas sejarah krisis politik dan perdamaian antara Is¬rael dan Palestina. Dalam peperangan Arab-Israel (1967) PBB merekomen-dasikan genjatan senjata de¬ngan mengeluarkan resolusi PBB No 242. Atas resolusi tersebut, pemerintah Israel menanggapi dengan ucapan, “Resolusi PBB nomor 242 merugikan Israel secara po¬litis namun melindungi kepentingan dasar kita.”
Pergumulan sejarah masa lalu yang begitu melekat dan kental antara dua kebudayaan atau tradisi (Yahudi dan Islam) memicu terjadinya krisis berkepanjangan dl tanah Palestina mulai dari tahun 1947 sampai sekarang, masalah bertambah ruwet dan tak kunjung selesai. Berbagai upaya sudah dilakukan demi menegakkan perdamaian namun semuanya itu hanyalah upaya menegakkan benang basah. Misalnya dengan kesepakatan Oslo tahun 1993 antara Israel dan Palestina, dengan niat menabur perdamaian, namun yang dipetik dari kesepakatan itu adalah tewasnya PM Yitzhak Rabin di ta¬nah ekstrimis Yahudi de¬ngan mengatasnamakan perintah dari Tuhan.
Kalau dicermati, gejala fundamentalisme Ya¬hudi kian hari memang kian menguat. Seiring dengan naiknya orang-orang fundamentalis dalam kancah perpolitikan Israel, maka semakin tipis pula upaya untuk menuai perdamaian di tanah Palestina. Ini menunjukkan bahwa gejala fundamentalisasi tidak hanya melanda pejuang Palestina—dengan gerakan-gerakan “kamikaze”-nya dan semangat “jihad” melawan Israel—tapi juga dikalangan bangsa Yahudi. Apalagi dengan gerakan new Zionism yang mencoba untuk mereinterpretasikan siapa yang dapat disebut sebagai Yahudi (Jew). Adajuga golongan pembaharu (Re¬forms) yang tidak mementingkan gen, namun lebih menekankan hubungan emosional keyahudian (Jewisness).
Dalam perpolitlkan Israel, kekalahan Ehud Barak (Partai Buruh) dari Ariel Sharon (Partai Likud) pada pemilu 2001, semakin memberikan kemapanan atas gerakan fundamentalisme Yahudi dan merupakan langkah mundur bagi pergerakan dan perjuangan rakyat Palestina yang mendambakan perdamaian. Yang, perlu dipertanyakan, mengapa Sharon bisa memenangkan pemilu di Israel saat proses perdamaian mencapai titik nadir? Naiknya Sharon merupakan mirnpi buruk bagi bangsa Arab (baca: Palestina). Tam-pak dari pernyataan Sharon; “Solusi terbaik penyelesaian konflik Arab-Israel adalah melalui jalur militer.” Ternyata, sampai detik ini, perebutan truth claim atas promised land antara Israel dan Palestina tetap berkecamuk yang suatu saat on dan off. [arsip, pelita, 2002]
Dalam cerita Nabi dan Rasul, bangsa Yahudi adalah keturunan dari bani Is¬rael yang sangat terkenal de¬ngan pembangkangan dan kegigihan ia memegang ajaran nenek moyang (Nabi Ishak) dan menentang otoritas kebenaran baru yang mengusik ke-establish-an bani Israel. Mereka tidak mau diintervensi oleh siapa-pun karena pemegang otoritas Tuhan adalah bangsa Israel.
Keyakinan mereka yang paling mendasar sampal kini adalah promised land (tanah air yang dijanjikan) sebagai bukti kemerdekaan kaum Yahudi dan kebebasan untuk mengartikulasi eksistensi Yahudi dalam percaturan politik internasional. Selama berabad-abad mereka berdiaspora (pengembaraan) dan menjadi kaum monoritas dari satu negara ke negara lain, mereka tempuh hanya untuk “tanah air”. Sampai pada tahun 1896 kaum Yahudi mendirikan gerakan Zionis yang dipelopori oleh Theodore Herzl, yang bercita-cita mendirikan kedaulatan negara Yahudi sebagai upaya untuk menyatukan seluruh kaum Yahudi yang tercerai-berai di selu¬ruh Dunia.
Gerakan ini berlanjut sampai turunnya rekomendasi dari Herzl pada kongres kedua (1906), untuk mendi¬rikan negara bagi rakyat Ya¬hudi di tanah Palestina, yang dianggap sebagai promised land. Bagaimanakah tanggapan pemerintah Palestina terhadap keputusan kongres gerakan Zionis? Dalam Dilema Israel (2002) Musthofa Abd. Rahman menulis bahwa kelicikan gerakan Zionis dalam mengelabuhi Palestina dengan mengambil peluang pada Perang Dunia I (1914-1918), ternyata membuahkan hasil. Mereka main mata (bersekutu) dengan Inggris untuk menundukkan Jerman. Kompensasi yang dijanjikan Inggris ketika itu adalah se-buah negara di tanah Pales¬tina bagi gerakan Zionis.
Dari situ, terjadilah semacam konspirasi internasional yang membentangkan jalan bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina. Memang sejak dari awal, Inggris terlibat dalam pembentukan negara Israel di Palestina. Namun disamping itu, ada dua hal yang sangat determinan dalam pemben-tukan negara Israel. Pertama, Perjanjian Sykes-Picot (1916) antara Inggris dan Perancis, yang membagi peninggalan dinasti Ottoman (Khalifah Utsmaniyah) di wilayah Arab. Di antaranya, Palestina dijadikan status wilayah internasional. Kedua, Deklarasi Balfour (1917) yang menjanjikan sebuah negara Yahudi di ta-nah Paleetina pada gerakan Zionis.
Sampai pada akhirnya terwujudlah impian bangsa Yahudi melalui Majelis Umum (MU) PBB dengan mengeluarkan resolusi No 181 pada 29 November 1947 yang menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi Yahudi dan Arab. Dengan legitimasi resolusi PBB, maka Davin Ben Gourin memproklamirkan keberadaan negara Israel di tanah Pa¬lestina. Bagaimanakah sikap politis bangsa Arab terhadap kebijakan PBB melalui re¬solusi 181?
Ternyata Arab menolak dan memilih berperang dari pada berdamai dengan Is¬rael. Maka meletuslah berbagai peperangan yang berkepanjangan antara Arab (pro-Palestina) dan Israel yaitu dimulai pada tahun 1948, perang Suez (1956), perang Arab-Israel (1967 dan 1973), dan perang Leba¬non (1982). Ini merupakan realitas sejarah krisis politik dan perdamaian antara Is¬rael dan Palestina. Dalam peperangan Arab-Israel (1967) PBB merekomen-dasikan genjatan senjata de¬ngan mengeluarkan resolusi PBB No 242. Atas resolusi tersebut, pemerintah Israel menanggapi dengan ucapan, “Resolusi PBB nomor 242 merugikan Israel secara po¬litis namun melindungi kepentingan dasar kita.”
Pergumulan sejarah masa lalu yang begitu melekat dan kental antara dua kebudayaan atau tradisi (Yahudi dan Islam) memicu terjadinya krisis berkepanjangan dl tanah Palestina mulai dari tahun 1947 sampai sekarang, masalah bertambah ruwet dan tak kunjung selesai. Berbagai upaya sudah dilakukan demi menegakkan perdamaian namun semuanya itu hanyalah upaya menegakkan benang basah. Misalnya dengan kesepakatan Oslo tahun 1993 antara Israel dan Palestina, dengan niat menabur perdamaian, namun yang dipetik dari kesepakatan itu adalah tewasnya PM Yitzhak Rabin di ta¬nah ekstrimis Yahudi de¬ngan mengatasnamakan perintah dari Tuhan.
Kalau dicermati, gejala fundamentalisme Ya¬hudi kian hari memang kian menguat. Seiring dengan naiknya orang-orang fundamentalis dalam kancah perpolitikan Israel, maka semakin tipis pula upaya untuk menuai perdamaian di tanah Palestina. Ini menunjukkan bahwa gejala fundamentalisasi tidak hanya melanda pejuang Palestina—dengan gerakan-gerakan “kamikaze”-nya dan semangat “jihad” melawan Israel—tapi juga dikalangan bangsa Yahudi. Apalagi dengan gerakan new Zionism yang mencoba untuk mereinterpretasikan siapa yang dapat disebut sebagai Yahudi (Jew). Adajuga golongan pembaharu (Re¬forms) yang tidak mementingkan gen, namun lebih menekankan hubungan emosional keyahudian (Jewisness).
Dalam perpolitlkan Israel, kekalahan Ehud Barak (Partai Buruh) dari Ariel Sharon (Partai Likud) pada pemilu 2001, semakin memberikan kemapanan atas gerakan fundamentalisme Yahudi dan merupakan langkah mundur bagi pergerakan dan perjuangan rakyat Palestina yang mendambakan perdamaian. Yang, perlu dipertanyakan, mengapa Sharon bisa memenangkan pemilu di Israel saat proses perdamaian mencapai titik nadir? Naiknya Sharon merupakan mirnpi buruk bagi bangsa Arab (baca: Palestina). Tam-pak dari pernyataan Sharon; “Solusi terbaik penyelesaian konflik Arab-Israel adalah melalui jalur militer.” Ternyata, sampai detik ini, perebutan truth claim atas promised land antara Israel dan Palestina tetap berkecamuk yang suatu saat on dan off. [arsip, pelita, 2002]