Sunday, May 17, 2009

Menuju Era Wakaf Produktif

Wakaf sejatinya mempunyai kedudukan penting di mata umat Islam. Meski begitu, tak banyak umat Islam Indonesia yang menyadari hal ini. Jika disejajarkan dengan instrumen filantropi lain dalam Islam, masyarakat Indonesia lebih mengenal dan familiar dengan Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS), dibanding wakaf. Padahal, pada dasarnya, instrument wakaf tak kalah strategis untuk pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi bangsa, dan kesejahteraan sosial.

Letak strategis itu terlihat, misalnya jika dibanding zakat, salah satu ciri pembeda adalah tugas pengelola. Amil zakat berkewajiban untuk mendistribusikan “seluruh” harta zakat yang terkumpul kepada 8 golongan (mustahiq). Sedang pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap “utuh” dan mengelolanya, yang dapat didistribusikan kepada masyarakat adalah manfaat atau hasil pengelolaan dari harta yang diwakafkan (mauquf).

Nilai stategis wakaf juga dapat ditilik dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada “8 golongan”, maka wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan, untuk kesejahteraan sosial, pemberdayaan, dan membangun peradaban umat. Karena itu, keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh atau kekal, dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir abadi. Karena itu, pahala wakaf tidak akan terputus meski wakif (orang yang berwakaf) sudah tutup usia.

Berdasarkan ijma ulama, inilah yang dimaksud Rasulullah saw. dengan “shadaqah jariyah”, seperti tercermin dalam sabdanya, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim mempertegas, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf. Hakikat wakaf, menurutnya, adalah menahan harta (nilai pokok) dan membagikan hasil pengelolaannya.

Dengan demikian, wakaf mempunyai dua dimensi manfaat yang tak bisa dipisahkan, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan pendistribusian hasil pengelolaan dan mengunduh hasil investasi pahala yang ditanam di dunia untuk dipetik di akhirat kelak. Karenanya, wakaf juga disebut sebagai ibadah sosial. Ini adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Pada titik inilah yang menjadikan pahala wakaf terus mengalir.

Melongok Perwakafan di Tanah Air

Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan di bumi pertiwi ini bukanlah sesuatu yang muhal. Di Indonesia aset wakaf terbilang besar. Sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di negeri ini sebanyak 366.595 lokasi, dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal dalam mensejahterakan rakyat dan memperkuat perekonomian bangsa Idnonesia.

Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).

Hasil penelitian di atas, kalau dicermati, ternyata berbanding lurus. Para nazhir perseorangan yang tradisional (tidak profesional) dan tidak terfokus, yang jumlahnya besar itu, tentu saja tidak mampu mengelola wakaf dengan baik. Akhirnya, mereka belum mampu mengelola aset wakaf ke arah produktif. Mayoritas harta wakaf masih dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif seperti masjid dan kuburan. Dengan begitu, perwakafan di Indonesia masih jauh dari kategori produktif. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan bangsa ini. Di antara masalah-masalah perwakafan yang timbul di lapangan adalah sebagai berikut.

Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud apa adanya seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal diperbolehkannya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi. Seharusnya ini tak terjadi lagi, sebab mekanismenya sudah dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 UU No. 41 tahun 2004 dan PP No. 42 tahun 2006 pasal 49-51.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah. Jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya, bahkan rawan konflik.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan tanah wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid an sich. Padahal, masjid sebenarnya juga bisa diproduktifkan dan menghasilkan ekonomi dengan mendirikan lembaga-lembaga perekonomian Islam di dalamnya, seperti BMT, lembaga zakat, wakaf, mini market, dan sebagainya.

Saatnya Era Wakaf produktif

Melihat kenyataan di atas, kita patut mengelus dada. Di negeri yang berpenduduk Islam terbesar di dunia ini, ternyata wakaf masih belum mampu memberikan dampak sosial yang signifikan. Padahal, di seluruh belahan dunia, “wakaf produktif” sudah jadi paradigma utama dalam mengelola aset. Tak heran, jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif.

Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank wakaf. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (Warees). Warees merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, Warees mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Menarik bukan? Kalau mereka bisa, mengapa negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Mestinya, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika benar-benar serius menangani soal ini. Apalagi, pengembangan wakaf di Indonesia kini sudah menemukan titik cerahnya, sejak disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan.

Wakaf Uang, Inovasi Finansial

Salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah diperbolehkannya wakaf berupa benda bergerak, berupa uang. Tak kalah dengan wakaf tanah, perkiraan potensi wakaf uang di Indonesia juga besar. Bayangkan, dengan logika tamsil yang sederhana, jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan, dan Rp 1,2 trilyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).

Bahkan, menurut asumsi perhitungan Mustafa Edwin Nasution, jika katakanlah jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan antara 500 ribu sampai 10 juta, maka dapat menjaring wakaf uang sekitar 3 Triliyun per tahun. (Mustafa Edwin Nasution, 2005: 43-44).

Wakaf uang, dalam tataran praktis memang lebih mudah dibanding wakaf tanah. Pertama, untuk mendapatkan wakaf uang bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus menunggu jadi tuan tanah yang kaya. Kedua, jaringan atau konter wakaf uang sangat luas. Karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja untuk menyetorkannya. Berdasarkan UU no. 41/2004, wakaf uang disetorkan melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Saat ini menteri agama telah menunjuk 5 LKS sebagai penerima wakaf uang, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah Indonesia.

Keuntungan ketiga, harta yang diwakafkan tidak akan berkurang sedikitpun. Sebab, dana yang diwakafkan, akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertangung jawab, profesional dan transparan. Selain itu, ciri utama wakaf yaitu nilainya tidak boleh berkurang, harus dijaga agar tetap utuh, bahkan nazhir berkewajiban untuk memproduktifkannya.

Wakaf Uang ini didukung secara adminstratif oleh instrumen yang dinamakan Sertifat Wakaf Uang (SWU). Orang yang melakukan wakaf uang, ia akan mendapat SWU. Ini merupakan inovasi baru dalam perbankan syariah di Indonesia. Di antara manfaat dari instrument SWU ini antara lain, pertama, untuk pembiayaan pengembangan wakaf tanah yang dinilai strategis untuk tujuan produktif dan bernilai ekonomis. Ini bisa dilakukan dengan cara menjual SWU untuk penggalangan dana proyek.

Kedua, investasi strategis untuk menghapus kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan SWU, seorang wakif telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasionalisasi social capital market, tapi juga di bidang investasi sosial permanen. Sebab, deposit wakaf uang hanya dilakukan sekali saja, maka nazhir atau bank dapat menginvestasikannya dalam berbagai bentuk investasi, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Berbagai kegiatan investasi inilah yang nantinya akan menciptakan lahan kerja baru, dan berpeluang untuk memberikan kontribusi bagi penguatan ekonomi bangsa.

Jadi, kalau disadari, ternyata banyak hal yang dapat kita manfaatkan sebagai sarana menuju kesejahteraan dan mengikis kemiskinan di negeri ini, yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam. Kalau instrumen zakat sekarang ini sudah berjalan, tentunya potensi wakaf di Indonesia juga harus dikembangkan dan diproduktifkan, agar bisa berjalan seirama dan saling melengkapi demi terciptanya rakyat Indonesia makmur, adil, dan sejahtera. []
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes