Historisitas pesantren sebagai lembaga yang konsisten di jalur pendidikan Islam yang merakyat, selalu dilingkupi dengan jejak keterpinggiran. Keberadan pesantren, pada era kolonial, dianggap ganjalan oleh Belanda lantaran sikapnya yang non koperatif dan konfrontatif. Pesantren pun akhirnya tak diberi ruang. Bahkan, spionase ditebar di mana-mana oleh pemerintah Belanda untuk mengawasi gerak-gerik gerakan pesantren. Tak hanya memantau rupanya, tahun 1932 sikap Belanda kian tegas. Pemerintah kolonial merilis aturan yang dapat memberangus dan menutup pesantren atau lembaga pendidikan lain yang tidak mengantongi izin, atau materi pelajaran yang diajarkan tidak sevisi dengan pemerintah.
Kebijakan ini jelas menunjukkan pemerintah kolonial tidak memberikan ruang sedikitpun atas pendidikan agama yang diselenggarakan oleh pesantren. Di mata kolonial, pesantren dengan pendidikan agamanya yang diajarkan oleh para kiai, bukan hanya sebagai ancaman terhadap kebijakan keamanan dan ketertiban (rust en orde), tapi juga mengusik masa depan kenyamanan pendudukan dan penjajahan mereka di bumi Nusantara. Langkah sebaliknya, untuk menghalau pendidikan pesantren, pada saat yang sama penguasaan ilmu-ilmu umum melalui sekolah digencarkan oleh Belanda untuk mendukung misinya. Untuk menghalau model pendidikan penguasaan ilmu agama di pesantren, mereka merintis sekolah-sekolah kolonial.
Di sekolah ini, siswa dibedakan menjadi dua golongan sesuai dengan watak politik kolonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah. Mereka diajari materi pelajaran umum yang berkembang di dunia Barat. Langkah ini ditempuh sesuai dengan gagasan pemikiran politik Snouck Hurgronje, yang meyakini model pendidikan Barat akan mengalahkan pengaruh Islam di Nusantara melalui pendidikan pesantren. Sebab, lulusannya nanti akan menjauh dari pengaruh Islam dan mempermudah mempertemukannya dengan cara pandang Barat atau pemerintahan Eropa.
Keberadaan sekolah kolonial, sama sekali tidak melemahkan pendidikan dan penguasaan ilmu-ilmu agama di pesantren. Justru menambah militansi dan kekuatan. Pesantren menjaga jarak dan membuat garis demarkasi yang tegas, bahkan menarik diri dari kekuasaan kolonial yang disokong kroni-kroni pribumi. Pesantren berkuasa penuh atas dirinya, tanpa ada negosiasi dengan pemerintah. Pendalaman materi dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman, yang kemudian disebut tafaqquh fid din, dapat seratus persen diterapkan oleh pesantren, tanpa ada intervensi dari siapapun. Untuk menghindari aksi represi oleh kolonial, karena adanya ordonasi guru dan ordonasi ‘sekolah liar’, banyak kiai yang turun di medan perang dan tak sedikit pula yang membangun basis di daerah terpencil dan pedalaman hutan supaya tetap bisa menyelenggarakan pendidikan dan konsentrasi dalam pendalaman agama.
Untuk menentang sekolah kolonial, kiai-kiai di pesantren mengeluarkan fatwa yang berbau perlawanan terhadap sekolah penjajah. Misalnya, “Barang siapa yang menyerahkan anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda, anak itu akan menjadi kafir.” Para kiai menganggap, sekolah kolonial adalah alat penetrasi kebudayaan Barat di tengah dominasi pendidikan Islam di pesantren-pesantren. Bermula dari sekolah-sekolah model kolonial inilah, awal cikal bakal wajah sekolah modern yang lebih mementingkan aspek keduniaan yang diukur dengan ijazah. Ini jelas bertentangan dengan sistem pendidikan Islam tradisional di pesantren yang berorientasi utama pada pendalaman dan penguasaan ilmu-ilmu agama. Dengan diakuinya sekolah kolonial ini oleh pemerintah Belanda, otomatis pendidikan pesantren menjadi ‘sekolah liar’ yang tak diakui, baik keberadaannya apalagi lulusannya.
Sekolah kolonial ini sejak awal didirikan berorientasi utama pada aspek duniawi. Penduduk pribumi yang sekolah di sini, diming-imingi sebagai kaum terpelajar yang berpakaian perlente ala penjajah dan bekerja sebagai abdi atau pegawai Belanda. Ada yang ditempatkan di pabrik, ada pula sebagai tenaga birokrat. Mereka menganggap kalangan yang terdidik di lingkungan tradisionalis seperti pesantren sebagai orang bodoh karena tidak bisa baca tulis huruf latin. Karena itu, pemerintah mengeluarkan edaran agar keterampilan baca tulis ini juga diajarkan di seluruh lembaga pendidikan, termasuk di pesantren yang tidak diakuinya itu. Lagi-lagi, motifnya adalah ketertundukan pada pemerintah kolonial. Mereka yang sudah melek huruf dipaksa untuk menyadari dan mentaati peraturan yang dibuat Belanda.
Bagaimana tanggapan pesantren? Pasti sudah bisa ditebak. Kebijakan ini ditanggapi dingin dan kecaman oleh ulama di pesantren. Tapi, tentu saja tidak semuanya. Ada beberapa kiai yang memandang bahwa pembelajaran baca-tulis latin di pesantren juga hal penting yang harus diketahui oleh santri. Misalnya, ini terjadi di pesantren Mambaul Ulum Surakarta. Menurut catatan Karel A. Steenbrink, pesantren yang berdiri tahun 1906 ini adalah termasuk pesantren generasi pertama yang menerapkan pelajaran baca-tulis latin dan berhitung ke dalam kurikulumnya.
Modernisasi Picu Degradasi
Respon yang sama juga dilakukan pesantren Tebuireng di Jombang. Lembaga ini mendirikan Madrasah Salafiyah tahun 1916. Tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern (sistem kelas dan jenjang pendidikan), pesantren Tebuireng juga memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan baca-tulis huruf latin. Tak lama kemudian, di lokasi yang tak jauh dari Tebuireng, tahun 1927 pesantren Rejoso juga mendirikan sebuah madrasah. Madrasah ini juga memasukkan beberapa mata pelajaran non-agama dalam kurikulumnya. Arus modernisasi yang dihembuskan Belanda dengan model pendidikan sekolah dan materi pelajaran umum perlahan-lahan dapat diterima oleh para kiai dan masuk dalam dunia pesantren. Langkah ini ditempuh dengan tujuan utama membekali santri dengan ilmu modern agar kelak mereka tidak gagap dengan perkembangan zaman.
Usai merdeka tahun 1945, gelombang modernisasi ini terus menggurita. Pemerintah terus mendorong pesantren agar tidak hanya fokus pada pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid din), tapi juga memasukkan mata pelajaran umum. Beberapa pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan tafaqquh fid din, terutama menyangkut disiplin akidah, syariah dan akhlak.
Intervensi negara terhadap madrasah di bawah pesantren kian nyata terjadi di era 1950-an. Pemerintah melancarkan pembaruan madrasah. Pemerintah melalui Kementerian Agama menggariskan kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar haruslah terdaftar pada Kementerian Agama. Sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan diri itu, madrasah itu harus mengajarkan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur di samping pelajaran umum. Aturan ini, perlahan tapi pasti, merontokkan mata pelajaran agama (yang berorientasi pada tafaqquh fid din), ke arah yang lebih pragmatis. Dengan begitu, negara akan mengakui lulusan madrasah dengan bukti adanya ijazah.
Kebijakan negara ini jelas terlihat dalam aturan pemerintah yang termaktub dalam Undang-undang No. 4 tahun 1950. Dan juga, diperkuat kembali di masa orde baru dalam SKB Tiga Menteri (Mendagri, Kemenag, dan kemendikbud) No. 6 tahun 1975. SKB ini dengan tegas menyuratkan, untak dapat mendapatkan ijazah yang setara dengan sekolah, pelajaran agama di madrasah kurang lebih 30%, dan sisanya untuk pelajaran umum. Padahal, sebelumnya, pelajaran agama di madrasah mencapai 70%. Mata pelajaran umum yang wajib masuk kuriklum saat itu adalah membaca-menulis (latin), berhitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi, dan olah raga. Kebijakan pemerintah ini tidak hanya berhenti di situ. Pemerintah melancarkan modernisasi sistem pendidikan Islam dengan cara merubah beberapa madrasah swasta di bawah pesantren menjadi madrasah negeri.
Dari sini, mulailah terlihat jelas benih-benih pengarus-utamaan pelajaran umum, dan marginalisasi pelajaran agama oleh negara. Meskipun pada masa-masa ini, ijazah-ijazah formal dari madrasah sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu tafaqquh fid din dan li wajhillah, ke arah pandangan modern yang bersifat duniawi yang menggiring anak didik pada lapangan kerja.
Tapi sayang, lama-kelamaan seiring berjalannya waktu, ternyata orientasi santri pun mengalami perubahan. Mereka lebih mementingkan penguasaan ilmu umum sebagai standar kelulusan ujian negara, daripada kepiawaian menguasai pelajaran agama. Proses pergeseran ini memakan waktu lama, seiring dengan perjalanan modernisasi itu sendiri. Orde Baru dengan ideologi developmentaslimenya punya andil besar dalam proses pergeseran cara pandang ini. Developmentalisme diarahkan pada pengembangan pemahaman yang selaras dengan arus modernisasi, serta penyelelarasan sistem pendidikan modern agar lebih responsif terhadap perkembangan zaman, atau dengan kata lain mendukung program pembangunan yang dilancarkan oleh orba. Karena itu, pesantren di desain sedemikian rupa supaya mendukung agenda orba yang disebut “pembangunan”, yang sangat materialistik itu. Misalnya, pelajaran teologi yang diajarkan di pesantren diarahkan menjadi teologi yang mendorong bagi tumbuhnya prakarsa, usaha, dan etos kerja.
Pesantren pada masa ini banyak melakukan pembaruan dengan memasukkan materi beberapa keterampilan. Jenis keterampilan yang banyak diadopsi pesantren adalah keterampilan bidang pertanian. Kurikulum pendidikan di pesantren tidak hanya mementingkan aspek pendidikan agama saja, tapi pesantren juga dituntut ahli dalam ranah sosial-ekonomi. Karena itu, banyak pesantren di pedesaan, seperti di Tebuireng dan Rejoso, mengarahkan santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vokasional dalam bidang pertanian, seperti penanam padi, kelapa, tembakau, kopi, dan lain-lain. Keterampilan itu tak hanya dipelajari di kelas, tapi juga dipraktikkan langsung di lahan pertanian milik pesantren. Hasil dari praktik itu selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pesantren. Pada waktu yang tak berbeda jauh, pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, Tegalrejo, lainnya, mulai mendirikan dan mengembangkan koperasi pesantren. Melalui institusi-institusi ini santri tidak hanya berkutat pada kitab kuning, tapi juga dikenalkan kitab-kitab putih yang membahas tentang kewirausahaan.
Selanjutnya, modernisasi pesantren tak hanya berhenti sampai di situ. Banyak juga pesantren yang juga membuka sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMA, atau universitas yang kurikulumnya menginduk ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di antara pesantren yang dianggap sebagai perintis dalam ekspansi sistem pendidikan ini adalah Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Pesantren ini mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar pada Departemen P dan K. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas, dan hanya 1 fakultas yang membuka disiplin kajian ilmu agama. Pesantren lain yaitu pesantren Miftahul Muallimin di Babakan Ciwaringin Cirebon, yang mendirikan Sekolah Teknik Mesin (STM). Perubahan ini kemudian mengilhami banyak pesantren untuk melakukan hal yang sama. Mereka berbondong-bondong untuk membuka sekolah formal, baik di bawah Depag ataupun Diknas.
Efek Degradasi: Krisis Regenerasi
Usai merdeka tahun 1945, gelombang modernisasi ini terus menggurita. Pemerintah terus mendorong pesantren agar tidak hanya fokus pada pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid din), tapi juga memasukkan mata pelajaran umum. Beberapa pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan tafaqquh fid din, terutama menyangkut disiplin akidah, syariah dan akhlak.
Intervensi negara terhadap madrasah di bawah pesantren kian nyata terjadi di era 1950-an. Pemerintah melancarkan pembaruan madrasah. Pemerintah melalui Kementerian Agama menggariskan kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar haruslah terdaftar pada Kementerian Agama. Sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan diri itu, madrasah itu harus mengajarkan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur di samping pelajaran umum. Aturan ini, perlahan tapi pasti, merontokkan mata pelajaran agama (yang berorientasi pada tafaqquh fid din), ke arah yang lebih pragmatis. Dengan begitu, negara akan mengakui lulusan madrasah dengan bukti adanya ijazah.
Kebijakan negara ini jelas terlihat dalam aturan pemerintah yang termaktub dalam Undang-undang No. 4 tahun 1950. Dan juga, diperkuat kembali di masa orde baru dalam SKB Tiga Menteri (Mendagri, Kemenag, dan kemendikbud) No. 6 tahun 1975. SKB ini dengan tegas menyuratkan, untak dapat mendapatkan ijazah yang setara dengan sekolah, pelajaran agama di madrasah kurang lebih 30%, dan sisanya untuk pelajaran umum. Padahal, sebelumnya, pelajaran agama di madrasah mencapai 70%. Mata pelajaran umum yang wajib masuk kuriklum saat itu adalah membaca-menulis (latin), berhitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi, dan olah raga. Kebijakan pemerintah ini tidak hanya berhenti di situ. Pemerintah melancarkan modernisasi sistem pendidikan Islam dengan cara merubah beberapa madrasah swasta di bawah pesantren menjadi madrasah negeri.
Dari sini, mulailah terlihat jelas benih-benih pengarus-utamaan pelajaran umum, dan marginalisasi pelajaran agama oleh negara. Meskipun pada masa-masa ini, ijazah-ijazah formal dari madrasah sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu tafaqquh fid din dan li wajhillah, ke arah pandangan modern yang bersifat duniawi yang menggiring anak didik pada lapangan kerja.
Tapi sayang, lama-kelamaan seiring berjalannya waktu, ternyata orientasi santri pun mengalami perubahan. Mereka lebih mementingkan penguasaan ilmu umum sebagai standar kelulusan ujian negara, daripada kepiawaian menguasai pelajaran agama. Proses pergeseran ini memakan waktu lama, seiring dengan perjalanan modernisasi itu sendiri. Orde Baru dengan ideologi developmentaslimenya punya andil besar dalam proses pergeseran cara pandang ini. Developmentalisme diarahkan pada pengembangan pemahaman yang selaras dengan arus modernisasi, serta penyelelarasan sistem pendidikan modern agar lebih responsif terhadap perkembangan zaman, atau dengan kata lain mendukung program pembangunan yang dilancarkan oleh orba. Karena itu, pesantren di desain sedemikian rupa supaya mendukung agenda orba yang disebut “pembangunan”, yang sangat materialistik itu. Misalnya, pelajaran teologi yang diajarkan di pesantren diarahkan menjadi teologi yang mendorong bagi tumbuhnya prakarsa, usaha, dan etos kerja.
Pesantren pada masa ini banyak melakukan pembaruan dengan memasukkan materi beberapa keterampilan. Jenis keterampilan yang banyak diadopsi pesantren adalah keterampilan bidang pertanian. Kurikulum pendidikan di pesantren tidak hanya mementingkan aspek pendidikan agama saja, tapi pesantren juga dituntut ahli dalam ranah sosial-ekonomi. Karena itu, banyak pesantren di pedesaan, seperti di Tebuireng dan Rejoso, mengarahkan santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vokasional dalam bidang pertanian, seperti penanam padi, kelapa, tembakau, kopi, dan lain-lain. Keterampilan itu tak hanya dipelajari di kelas, tapi juga dipraktikkan langsung di lahan pertanian milik pesantren. Hasil dari praktik itu selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pesantren. Pada waktu yang tak berbeda jauh, pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, Tegalrejo, lainnya, mulai mendirikan dan mengembangkan koperasi pesantren. Melalui institusi-institusi ini santri tidak hanya berkutat pada kitab kuning, tapi juga dikenalkan kitab-kitab putih yang membahas tentang kewirausahaan.
Selanjutnya, modernisasi pesantren tak hanya berhenti sampai di situ. Banyak juga pesantren yang juga membuka sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMA, atau universitas yang kurikulumnya menginduk ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di antara pesantren yang dianggap sebagai perintis dalam ekspansi sistem pendidikan ini adalah Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Pesantren ini mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar pada Departemen P dan K. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas, dan hanya 1 fakultas yang membuka disiplin kajian ilmu agama. Pesantren lain yaitu pesantren Miftahul Muallimin di Babakan Ciwaringin Cirebon, yang mendirikan Sekolah Teknik Mesin (STM). Perubahan ini kemudian mengilhami banyak pesantren untuk melakukan hal yang sama. Mereka berbondong-bondong untuk membuka sekolah formal, baik di bawah Depag ataupun Diknas.
Efek Degradasi: Krisis Regenerasi
Sekilas hal tersebut tampak kemajuan bagi pesantren. Tapi, bagaimana dengan nasib pembelajaran penguasaan agama yang bertujuan pada tafaqquh fid din? Nampaknya, pembelajaran agama di pesantren belakangan ini sudah tampak mengalami degradasi. Porsi pelajaran agama jelas sangat minim dibanding dengan pelajaran umum di sekolah.
Pada kondisi seperti ini, pesantren dan juga madrasah berhadapan dengan ‘krisis identitas,’ yang memang sejak semula sudah dikhawatirkan mereka yang menentang kebijakan modernisasi ini. Bahwa, muatan pelajaran umum yang begitu besar, pada gilirannya dapat menghilangkan misi, substansi, dan karakter pesantren. Pergulatan identitas ini masih terus berlanjut sampai sekarang ini. Dan belakangan ini, dominasi pelajaran umum menemukan puncaknya, sementara pembelajaran agama mengalami degradasi yang berakibat pada krisis regenerasi ulama dari rahim pesantren.
Sistem pendidikan Islam, termasuk pesantren, umumnya sering sekali masih bergulat di antara ekspektasi akademik (harapan untuk keunggulan akademis dan mutu pendidikan sebagai lembaga pendidikan), dengan ekspektasi sosial (harapan sosial umat Islam bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam memikul tugas pembinaan anak-anak umat) sebagai lembaga dakwah yang melahirkan kader-kader ulama yang handal. Nampaknya, hari-hari ini ekspektasi akademik yang dibuktikan dengan ijazah formal jauh lebih dijadikan prioritas. Karena itu, santri lebih akrab dengan kitab putih (pelajaran umum), daripada kitab kuning.
Tradisi penggalian dan pengembangan intelektual via kitab kuning di pesantren kian hari pun kian surut. Hanya beberapa pesantren saja yang masih ajeg menjaga dan melestarikan tradisi ini. Menjaga dan melestarikan dalam konteks ini adalah menjadikan kitab kuning sebagai literatur utama yang wajib dipelajari santri dan menjadi bahan pertimbangan utama kelulusan atau keberhasilan santri. Kalau dulu, seorang santri berangkat mondok di pesantren niatnya adalah belajar agama dengan berguru kepada kiai dan mendalami kitab kuning. Materi pelajaran yang disampaikan sebagian besar adalah menggunakan bahasa Arab. Karena itu, secara otomatis santri juga diajari ilmu alat (nahwu-sharaf) atau yang biasa disebut gramatikal bahasa Arab, yang bertujuan untuk mempermudah santri dalam memahami, mendalami, dan mengembangkan kandungan kitab kuning.
Kini tak lagi seperti itu. Ghalibnya santri belajar di pesantren berharap dapat ijazah formal (diakui pemerintah) plus pendidikan agama (sekolah diniyah). Mereka lebih getol mengejar target untuk memenuhi standar kelulusan sekolah saat Ujian Nasional, ketimbang mendalami kitab kuning yang ijazahnya tak laku di perguruan tinggi atau untuk melamar kerja. Karena itu, rata-rata kini pesantren menyelenggarakan dua model pendidikan, sekolah formal (kurikulum versi pemerintah) dan sekolah diniyah (kurikulum versi pesantren). Dengan adanya sistem ini, penguasaan kitab kuning menjadi tak utama, yang terpenting adalah kitab kuning masih diajarkan di tempat itu, sekedar untuk menjaga tradisi ‘ngaji kitab’, bukan menguasai apalagi memperdalam. Santri pun menganggap belajar kitab kuning sebagai sampingan atau pelengkap, sementara memahami dan memperdalam ‘kitab putih’ menjadi hal yang utama.
Keprihatinan ini sudah mengemuka di era orde baru. Pemerintahan tahun 1987, pernah bereksperimentasi dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Madrasah ini diharapkan menjadi lembaga pencetak calon ulama yang mengerti agama dengan baik juga pengetahuan umum, utamanya bahasa Arab dan Inggris. Tapi, hasilnya? Program ini layu di tengah jalan seiring dengan bergantinya rezim kekuasaan.
Kenyataan ini membuat pesantren kian menanggung beban berat, ihwal stagnasi kaderisasi ulama. Sebab kondisi pesantren kini sudah mengalami pergeseran dari fungsi-fungsi tradisionalnya. Pertama, pendalaman ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam. Ketiga, regenerasi ulama. Dari ketiga fungsi itu, yang masih tersisa adalah fungsi kedua. Sementara fungsi pertama dan ketiga sedang dipertanyakan banyak kalangan.
Kalau sudah begini, lalu berharap pada siapa? Bisa jadi harapan itu kita tumpahkan kepada pesantren salaf murni, yang tidak mengadopsi pelajaran umum. Kalau pun ada, porsinya sangat minim sekali. Pesanten salaf ini adalah pesantren yang masih mewarisi genuine karakteristik khazanah Islam Indonesia, dengan tiga fungsi tradisionalnya yang amat sangat kuat. Indigenous khazanah keilmuan kitab kuning dalam dunia pesanten seperti ini harus terus dilestarikan, dipupuk, dan dikembangkan.
Langkah Kemenag, di era reformasi, untuk mengembalikan fungsi tradisional yang kental dengan tafaqquh fid din di pesantren harus didukung. Tapi, intervensi pemerintah ini tidak boleh terlalu jauh. Apalagi masuk pada ranah kurikulum. Berikan kebebasan kepada pesantren. Negara cukup memberikan stempel legitimasi. Cukup itu. Sebab, pengalaman yang lalu-lalu, kehadiran negara justeru membuat pesantren kehilangan kemandirian untuk menentukan dirinya sendiri, hingga berujung krisis identitas. Kemenag harusnya menyadari hal ini, dan tidak mengulang lagi.
Program muadalah ijazah pesantren dan pendirian Ma’had Aly adalah bagian dari langkah Kemenag dalam rangka revitalisasi pesantren sebagai pencetak kader ulama. Ini adalah langkah positif yang perlu didukung di tengah krisis kaderisasi ulama yang tengah melanda pesantren. Langkah mendukung ini bukan berarti dengan kaca mata kuda, tapi turut serta dan mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan.
Dalam kasus ini, kemenag punya tanggung jawab besar, sebab dialah yang ‘mengobok-obok’ pesantren dan madrasah selama ini. Wajah pesantren menjadi seperti ini, tentu tak lepas dari campur tangannya. Upaya Kemenag dalam modernisasi pesantren dan madrasah dengan cara memasukkan pelajaran umum dalam porsi jumbo, itu adalah kebijakan bumerang yang meremukkan pendalaman agama yang berakibat pada defisit ulama.
Nah, dengan program muadalah, ijazah sekolah diniyah di pesantren dapat disetarakan dengan ijazah Madrasah Aliyah di sekolah formal. Kalau sudah setara (mu’adalah), maka lulusan pesantren jenis ini dapat meneruskan kuliah di perguruan tinggi, layaknya alumni Madrasah Aliyah di sekolah formal. Dengan adanya sistem muadalah ini minimal ada dua manfaat yang dapat diraih: pertama, tradisi pendalaman agama melalui kitab kuning akan terus terpelihara dan berkembang dengan baik; kedua, kapasitas alumninya yang ‘jago’ kitab kuning itu dapat memberikan warna dalam diskursus studi keislaman di perguruan tinggi.
Begitu pula dengan adanya Ma’had Aly. Ini adalah wujud kongkrit dari sebuah komitmen untuk mengembangkan jenis pendidikan tinggi yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu agama, sekaligus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan kontemporer. Alumninya kelak diharapkan menjadi ulama yang mampu menjembatani kesenjangan antara keilmuan klasik dan keilmuan modern. Menjadi pula, seorang ulama yang ilmuan. Ia mempunyai karya intelektual yang sangat berharga dan dapat menyumbangkannya bagi peradaban dunia. Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Yasin al-Padangi, Syeikh Ihsan Jampes, dan Kiai Hasyim Asy’ari, adalah memberikan contoh ulama terbaik bagi kita semua. Mereka identik dengan seorang yang dekat dengan Allah. Tetapi, di samping itu, mereka juga seorang ilmuan yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan umatnya. Meski begitu, patut dipertanyakan lagi kepada Kemenag, sejauhmana keseriusannya? Jangan-jangan program ini akan berhenti seiring dengan pergantian menteri. Lalu, pesantren kembali diperalat negara untuk memuluskan kepentingan-kekuasaannya.
Akhirnya, kata kunci dalam perkembangan pesantren adalah dinamika negara dan relasi kuasa. Bila intervensi negara (yang dimulai kolonial Belanda) ini tidak ada, wajah pesantren tentu tidak seperti ini: di mana sekolah model klasikal mempengaruhi pesantren yang tradisional. Tapi sebaliknya, pesantren lah yang akan menginisiasi dan menciptakan ruang-ruang baru dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Ini seperti halnya yang terjadi di dunia Barat, dimana hampir semua universitas terkenal, semacam Harvard, bermula dari perguruan-perguruan keagamaan seperti pesantren di Indonesia. []
Pada kondisi seperti ini, pesantren dan juga madrasah berhadapan dengan ‘krisis identitas,’ yang memang sejak semula sudah dikhawatirkan mereka yang menentang kebijakan modernisasi ini. Bahwa, muatan pelajaran umum yang begitu besar, pada gilirannya dapat menghilangkan misi, substansi, dan karakter pesantren. Pergulatan identitas ini masih terus berlanjut sampai sekarang ini. Dan belakangan ini, dominasi pelajaran umum menemukan puncaknya, sementara pembelajaran agama mengalami degradasi yang berakibat pada krisis regenerasi ulama dari rahim pesantren.
Sistem pendidikan Islam, termasuk pesantren, umumnya sering sekali masih bergulat di antara ekspektasi akademik (harapan untuk keunggulan akademis dan mutu pendidikan sebagai lembaga pendidikan), dengan ekspektasi sosial (harapan sosial umat Islam bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam memikul tugas pembinaan anak-anak umat) sebagai lembaga dakwah yang melahirkan kader-kader ulama yang handal. Nampaknya, hari-hari ini ekspektasi akademik yang dibuktikan dengan ijazah formal jauh lebih dijadikan prioritas. Karena itu, santri lebih akrab dengan kitab putih (pelajaran umum), daripada kitab kuning.
Tradisi penggalian dan pengembangan intelektual via kitab kuning di pesantren kian hari pun kian surut. Hanya beberapa pesantren saja yang masih ajeg menjaga dan melestarikan tradisi ini. Menjaga dan melestarikan dalam konteks ini adalah menjadikan kitab kuning sebagai literatur utama yang wajib dipelajari santri dan menjadi bahan pertimbangan utama kelulusan atau keberhasilan santri. Kalau dulu, seorang santri berangkat mondok di pesantren niatnya adalah belajar agama dengan berguru kepada kiai dan mendalami kitab kuning. Materi pelajaran yang disampaikan sebagian besar adalah menggunakan bahasa Arab. Karena itu, secara otomatis santri juga diajari ilmu alat (nahwu-sharaf) atau yang biasa disebut gramatikal bahasa Arab, yang bertujuan untuk mempermudah santri dalam memahami, mendalami, dan mengembangkan kandungan kitab kuning.
Kini tak lagi seperti itu. Ghalibnya santri belajar di pesantren berharap dapat ijazah formal (diakui pemerintah) plus pendidikan agama (sekolah diniyah). Mereka lebih getol mengejar target untuk memenuhi standar kelulusan sekolah saat Ujian Nasional, ketimbang mendalami kitab kuning yang ijazahnya tak laku di perguruan tinggi atau untuk melamar kerja. Karena itu, rata-rata kini pesantren menyelenggarakan dua model pendidikan, sekolah formal (kurikulum versi pemerintah) dan sekolah diniyah (kurikulum versi pesantren). Dengan adanya sistem ini, penguasaan kitab kuning menjadi tak utama, yang terpenting adalah kitab kuning masih diajarkan di tempat itu, sekedar untuk menjaga tradisi ‘ngaji kitab’, bukan menguasai apalagi memperdalam. Santri pun menganggap belajar kitab kuning sebagai sampingan atau pelengkap, sementara memahami dan memperdalam ‘kitab putih’ menjadi hal yang utama.
Keprihatinan ini sudah mengemuka di era orde baru. Pemerintahan tahun 1987, pernah bereksperimentasi dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Madrasah ini diharapkan menjadi lembaga pencetak calon ulama yang mengerti agama dengan baik juga pengetahuan umum, utamanya bahasa Arab dan Inggris. Tapi, hasilnya? Program ini layu di tengah jalan seiring dengan bergantinya rezim kekuasaan.
Kenyataan ini membuat pesantren kian menanggung beban berat, ihwal stagnasi kaderisasi ulama. Sebab kondisi pesantren kini sudah mengalami pergeseran dari fungsi-fungsi tradisionalnya. Pertama, pendalaman ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam. Ketiga, regenerasi ulama. Dari ketiga fungsi itu, yang masih tersisa adalah fungsi kedua. Sementara fungsi pertama dan ketiga sedang dipertanyakan banyak kalangan.
Kalau sudah begini, lalu berharap pada siapa? Bisa jadi harapan itu kita tumpahkan kepada pesantren salaf murni, yang tidak mengadopsi pelajaran umum. Kalau pun ada, porsinya sangat minim sekali. Pesanten salaf ini adalah pesantren yang masih mewarisi genuine karakteristik khazanah Islam Indonesia, dengan tiga fungsi tradisionalnya yang amat sangat kuat. Indigenous khazanah keilmuan kitab kuning dalam dunia pesanten seperti ini harus terus dilestarikan, dipupuk, dan dikembangkan.
Langkah Kemenag, di era reformasi, untuk mengembalikan fungsi tradisional yang kental dengan tafaqquh fid din di pesantren harus didukung. Tapi, intervensi pemerintah ini tidak boleh terlalu jauh. Apalagi masuk pada ranah kurikulum. Berikan kebebasan kepada pesantren. Negara cukup memberikan stempel legitimasi. Cukup itu. Sebab, pengalaman yang lalu-lalu, kehadiran negara justeru membuat pesantren kehilangan kemandirian untuk menentukan dirinya sendiri, hingga berujung krisis identitas. Kemenag harusnya menyadari hal ini, dan tidak mengulang lagi.
Program muadalah ijazah pesantren dan pendirian Ma’had Aly adalah bagian dari langkah Kemenag dalam rangka revitalisasi pesantren sebagai pencetak kader ulama. Ini adalah langkah positif yang perlu didukung di tengah krisis kaderisasi ulama yang tengah melanda pesantren. Langkah mendukung ini bukan berarti dengan kaca mata kuda, tapi turut serta dan mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan.
Dalam kasus ini, kemenag punya tanggung jawab besar, sebab dialah yang ‘mengobok-obok’ pesantren dan madrasah selama ini. Wajah pesantren menjadi seperti ini, tentu tak lepas dari campur tangannya. Upaya Kemenag dalam modernisasi pesantren dan madrasah dengan cara memasukkan pelajaran umum dalam porsi jumbo, itu adalah kebijakan bumerang yang meremukkan pendalaman agama yang berakibat pada defisit ulama.
Nah, dengan program muadalah, ijazah sekolah diniyah di pesantren dapat disetarakan dengan ijazah Madrasah Aliyah di sekolah formal. Kalau sudah setara (mu’adalah), maka lulusan pesantren jenis ini dapat meneruskan kuliah di perguruan tinggi, layaknya alumni Madrasah Aliyah di sekolah formal. Dengan adanya sistem muadalah ini minimal ada dua manfaat yang dapat diraih: pertama, tradisi pendalaman agama melalui kitab kuning akan terus terpelihara dan berkembang dengan baik; kedua, kapasitas alumninya yang ‘jago’ kitab kuning itu dapat memberikan warna dalam diskursus studi keislaman di perguruan tinggi.
Begitu pula dengan adanya Ma’had Aly. Ini adalah wujud kongkrit dari sebuah komitmen untuk mengembangkan jenis pendidikan tinggi yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu agama, sekaligus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan kontemporer. Alumninya kelak diharapkan menjadi ulama yang mampu menjembatani kesenjangan antara keilmuan klasik dan keilmuan modern. Menjadi pula, seorang ulama yang ilmuan. Ia mempunyai karya intelektual yang sangat berharga dan dapat menyumbangkannya bagi peradaban dunia. Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Yasin al-Padangi, Syeikh Ihsan Jampes, dan Kiai Hasyim Asy’ari, adalah memberikan contoh ulama terbaik bagi kita semua. Mereka identik dengan seorang yang dekat dengan Allah. Tetapi, di samping itu, mereka juga seorang ilmuan yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan umatnya. Meski begitu, patut dipertanyakan lagi kepada Kemenag, sejauhmana keseriusannya? Jangan-jangan program ini akan berhenti seiring dengan pergantian menteri. Lalu, pesantren kembali diperalat negara untuk memuluskan kepentingan-kekuasaannya.
Akhirnya, kata kunci dalam perkembangan pesantren adalah dinamika negara dan relasi kuasa. Bila intervensi negara (yang dimulai kolonial Belanda) ini tidak ada, wajah pesantren tentu tidak seperti ini: di mana sekolah model klasikal mempengaruhi pesantren yang tradisional. Tapi sebaliknya, pesantren lah yang akan menginisiasi dan menciptakan ruang-ruang baru dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Ini seperti halnya yang terjadi di dunia Barat, dimana hampir semua universitas terkenal, semacam Harvard, bermula dari perguruan-perguruan keagamaan seperti pesantren di Indonesia. []