Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Sudah sekian lama bangsa ini mengalami lika-liku derita dan durjana yang tak kunjung usai. Mulai dari krisis ekonomi, politik, kepercayaan (trus) sampai dengan stabilitas keamanan. Apalagi, sekarang ini kondisi perpolitikan Indonesia kian memanas, sebab banyak kepentingan yang gentayangan menjelang pemilu 2004. Pada pemilu mendatang, sebagian kalangan ada yang mencurigai kembalinya peran politik militer. Tapi, apakah hal itu benar-benar terbukti?
Bangsa ini sudah mengalami trauma yang berkepanjangan (baca: dilema) dengan peran militer di era orde baru. Dengan dwi fungsi (dual function) ABRI-nya, militer tidak hanya bertanggung jawab dalam masalah pertahanan keamanan negara tetapi juga peran politik praktis. Dengan kata lain, militer punya hak untuk melegitimasi atau mendelegitimasi penguasa. Akibatnya, segala permasalahan bangsa yang bergejolak acap diselesaikan dengan cara-cara militeristik (kekerasan).
Seharusnya militer, dalam hal ini TNI, mampu mengartikulasikan dan mangaplikasikan amanat salah satu pendiri TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang menegaskan, tentara adalah alat negara bukan alat penguasa. Lebih jauh, amanat ini merujuk kepada keharusan TNI untuk tetap setia kepada seluruh rakyat dan bukan kepada kepentingan segelintir orang.
Tampaknya, TNI sekarang sudah mulai sadar dan mengenali jati dirinya. Hal ini tercermin dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto saat peringatan HUT ke-58 TNI (5/10/2003). Dia menandaskan, peringatan ini akan digunakan sebagai momentum “reinkarnasi” jati diri TNI dalam sistem politik nasional. Pernyataan tersebut mendapat banyak komentar dari berbagai kalangan. Sebab, pernyataan TNI akan menarik diri dari kancah politik praktis, menjaga jarak dengan seluruh kekuatan politik, serta tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang, bukanlah hal yang baru. Meski demikian, pernyataan itu merupakan angin segar di tengah situasi politik yang kian memanas menjelang digelarnya pesta rakyat, bulan depan.
Sejak pasca gerakan reformasi 1998, konsep dwi fungsi ABRI—yang awalnya digagas untuk mengatasi kurangnya tenaga sipil yang layak untuk mengisi jabatan pemerintahan itu—mulai digugat. Mulai banyak suara protes yang mempertanyakan konsep yang digagas oleh Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal (Besar) Abdul Haris Nasution itu.
Saat itu, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, pun tampaknya tanggap dengan tuntutan tersebut. Wiranto (saat itu Menhankam) segera menyusun blue print kembalinya ABRI (TNI) ke barak, dengan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (kini Jendral Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu konseptornya. Namun, usaha kembali ke jati diri itu pun bukan perkara yang mudah. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah niat TNI itu tulus, atau hanya usaha untuk mengurangi hujatan yang banyak diarahkan kepada institusi yang bermarkas di Cilangkap itu.
Tekad TNI ini membutuhkan sokongan dari berbagai pihak, agar tidak ada yang coba-coba menarik TNI (lagi) untuk kepentingan sesaat. Sebagaimana—contoh kasus—saat legitimasi presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sontak menurun, menjelang kejatuhannya pertengahan 2001, Gus Dur berusaha menarik TNI (fraksi TNI/Polri) untuk mendukungnya. Namun, TNI yang saat itu sudah dipimpin Jenderal Endriartono Sutarto, memilih bersikap netral dan hanya mengawal proses politik yang terjadi. Sejak itu, berkali-kali Endriartono menyatakan TNI tidak akan kembali menjadi pemain di lapangan (politik) dan hanya akan melakukan tugas pokoknya saja.
Kita patut mengacungi jempol dan mendukung bulat tekad TNI untuk kembali ke barak dan ogah lagi main politik praktis. Di samping itu, kita juga harus tetap waspada dan kritis terhadap langkah TNI. Sebab, ada yang memprediksi, kemungkinan terjadinya chaos pada pemilu 2004 adalah potensi besar kembalinya militer menjadi penguasa di Indonesia. Artinya, ketika sipil tidak tidak bisa menunjukkan kemampuannya membawa negara ini ke arah yang lebih baik, bahkan terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, maka jangan salahkan jika militer mengambil alih kekuasaan negara.
Ternyata, masih banyak kemugkinan yang bakal terjadi saat pemilu nanti, terutama peran serta militer, apakah ia benar-benar pulang dan tak kembali atau hanya berbasa-basi? Makanya, April nanti merupakan “ujian” bagi TNI, apakah ia benar-benar konsekwen dengan komitmen untuk tidak berpolitik (lagi). Begitu pula di parlemen kelak, fraksi TNI/Polri sudah dipastikan tidak ada lagi. Ketegasan Panglima TNI dalam memberikan “fatwa” politik begitu mencengangkan warga sipil. Betapa tidak, TNI yang dulu menjadi kaki tangan elit politik yang berkuasa, sekarang justru malah ke barak.
Perlu diingat, bahwa fatwa tersebut hanya berlaku bagi kalangan militer yang masih aktif. Sedang pensiunan tentara (purnawirawan), ia tetap mempunyai hak yang sama dengan warga sipil, dipilih dan memilih. Di titik inilah yang menarik untuk ditilik. Secara langsung, TNI memang tidak berpolitik, tapi bagaimana dengan menjamurnya purnawirawan di partai-partai politik? Lalu, adakah indikasi yang mengarah ke perluasan “jaringan militer” di parlemen lewat partai politik, karena TNI tidak dapat jatah kursi lagi di parlemen? Gejala inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan sekaligus kekhawatiran sebagian kalangan terkait dengan motif kembalinya peran politik militer—secara tidak langsung—saat pemilu 2004. Benarkah? Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Nalar Edisi 2/Th.III/2004.