Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Menjelang Pemilu 2004, terutama saat kampanye, banyak kalangan yang menghawatirkan terjadinya aksi kekerasan di bumi Indonesia. Indikasi ini mulai tampak pada akhir Oktober 2003, drama kekerasan masa antarpartai dimulai. Dan Bali “terpilih” sebagai panggung kekerasan politik. Peristiwa bentrok antarmasa Partai Golkar dan PDI-P di Buleleng Bali telah menjadi babak pembuka.
Semoga saja itu adalah “kekerasan Pemilu” yang pertama dan yang terakhir. Kita tidak ingin kekerasan semacam itu berbuntut dan merembet ke daerah-daerah lain. Sebab daerah-daerah yang lain juga sangat rentan dengan gesekan politik, yang berbuntut bentrokan, tawuran, bahkan pembunuhan.
Sebut saja kota Jepara. Sudah beberapa kali kota Ukir ini mencatat “lembaran hitam” dalam kasus kekerasan menjelang Pemilu yang menelan korban jiwa. Kasus Dongos yang memakan korban 4 nyawa serta kebakaran rumah dan mobil menjelang kampanye Pemilu 1999. Peristiwa ini mencuat ke seluruh dunia karena mendapat liputan luas dari pers internasional. Menjelang Pemilu Juni 1999, di Desa Bandungharjo, Kecamatan Keling, juga pecah bentrokan antarkelompok yang minta korban lima nyawa.
Sesudah itu, secara sporadis muncul bentrokan antarkelompok dari wilayah terpisah yang membawa korban jiwa. Jepara kembali dibuat geger. Kiai Shodiq, pemimpin Pondok As-Salafiyah, Karetan, Dukuh Gendola, Desa Raguklampitan, Kecamatan Batealit, Jepara, tewas dengan luka senjata tajam dan luka bakar setelah diserbu massa bertopeng.
Jika ditilik lebih cermat, kekerasan di daerah-daerah (sebagaimana di Jepara) seakan bukan hal yang aneh lagi, apalagi menjelang Pemilu. Seolah-olah masyarakat Indonesia sudah “kedagingan” (meminjam Istilah Gus Mus) dengan kerusuhan dan kekerasan. Walau begitu, apapun alasannya kita tidak ingin bangsa ini selalu marak dengan “iring-iringan” kekerasan.
Kemungkinan Rusuh
Meski sudah diantisipasi, tidak menutup kemungkinan letupan-letupan kekerasan akan meluap. Dari peristiwa Buleleng, kita dapat membaca beberapa kemungkinan yang bakal terjadi saat kampanye nanti. Paling tidak ada dua problem serius yang dihadapi masyarakat Indonesia terkait dengan kemungkinan rusuh.
Pertama, problem pendidikan (politik). Secara akademis, pendidikan di Indonesia belum bisa merata. Pendidikan yang “layak” hanya bisa dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat. Jika dibandingkan, masyarakat yang terdidik akan lebih sedikit daripada yang tidak terdidik. Problem ini menampakkan realitas yang jomplang dalam dunia pendidikan. Jadi, masyarakat Indonesia masih lemah dalam hal pendidikan.
Akibatnya, kesadaran berpolitik dan berdemokrasi pun terasa timpal. Realitas di lapangan menyatakan, kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum melek politik. Mereka masih tergolong intelektual tradisionalis (istilah Gramsci). Yaitu masyarakat yang tidak peka terhadap kondisi bangsa, pro status-quo serta kehilangan kesadaran karena terbuai oleh rayuan kooptasi penguasa. Jadi, mereka tidak sadar kalau mereka hanya dibuat “mainan” oleh elit politik.
Kedua, problem kultural. Mengenai hal ini, Kuntowijoyo (Esai-esai Budaya dan Politik: 2002) bertutur, masyarakat Indonesia masih terjerat kultur “mitologisasi”. Masyarkat belum bisa melepaskan mitos-mitos yang terekam dalam backmind mereka. Misalnya, presiden ke-1, Soekarno, masyhur dengan Ratu Adil yang mempu membawa rakyat Indonesia dari krisis dan ketertindasan menuju gerbang kemerdekaan. Soeharto, sosok yang dikenal dan dikagumi sebagai Bapak Pembangunan (father of development) yang berkuasa selama 32 tahun. Serta mitos teknokrat pada B.J Habibie, mitos Pemersatu Nasional pada Gus Dur, mitos Sang Korban pada Megawati, bahkan disintegrasi bangsa disebabkan oleh mitos; Cargo Cult (pemujaan kapal muatan), yang merangsang munculnya gerakan separatisme di Aceh, Papua, dan Riau.
Kultur mitologisasi inilah yang turut memperlemah budaya kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Tak lain, disebabkan oleh faktor mitos yang sudah mendarah daging. Kalau sudah demikian, maka “fanatisme” adalah sebuah jawaban. Jika massa pendukung partai mengedepankan fanatisme, maka arogansi massa tidak bisa dikendalikan.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan massa partai ibarat “bara dalam sekam”. Sedikit tersenggol langsung terbakar. Jika memang demikian adanya, maka tidak menutup kemungkinan hari-hari kampanye akan diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan.
Kampanye Dialogis-Argumentatif
Kita tahu, titik tolak pergantian tonggak kepemimpinan Bangsa ini adalah lewat Pemilu. Tentunya, kita tidak ingin mengotorinya dengan bau anyir darah. Penulis berharap, pada Pemilu nanti, elit-elit partai harus dapat merubah strategi kampanye mereka.
Menarik simpati massa dengan hasutan dan provokasi hendaknya diubah dengan model kampanye dialogis-argumentatif. Yaitu dengan mengedepankan proses dialogis (bukan sekedar pengerahan massa) dan memberikan argumen yang logis (bukan persuasif) kepada massa. Lalu pertanyaannya adalah kenapa harus dialogis-argumentatif?
Pertama, model ini merupakan tandingan dari model persuasif (bujukan) dan—sekedar—pengerahan massa. Cara-cara seperti ini (persuasif) akan gampang menanamkan fanatisme buta serta mengobarkan api permusuhan yang berbuntut kerusuhan dan aksi kekerasan. Dan jika ada gesekan antarmassa sedikit saja, maka api permusuhan langsung menyala.
Jadi, saat kampanye massa harus diberikan argumentatif yang logis, dan jangan sampai ada penggiringan massa ke realitas-persuasif. Kampanye model dialogis-argumentatif diharapkan akan mengikis klaim superioritas dan anggapan paling benar atas partai tertentu.
Kedua, kampanye model ini akan lebih memerioritaskan pada sosialisasi program partai dengan tanpa “menyentil” sentimen massa (misalnya dengan mengangkat sentimen perbedaan suku, ideologi, atau manipulasi simbol-simbol agama).
Sebab, yang sering menyulut permusuhan dan pertikaian adalah memanas-manasi massa dengan menggunakan berbagai sentimen. Akibatnya, kampanye bukan melakuakan sosialisasi program partai, tapi malah “mengangkangi” agama, misalnya, sebagai dasar legitimasi partai, dan memanipulasi tafsir (baca: bias tafsir).
Untuk Pemilu mendatang, kita tidak ingin insiden-insiden buruk terjadi lagi. Bangsa ini sudah “gerah” dengan keterpurukan, mari kita bangun bangsa ini dengan tanpa kekerasan. Demi “perubahan” Indonesia dan optimisme Pemilu 2004, maka segala bentuk konflik kepentingan elit politik yang berimbas pada tindakan kekerasan terhadap publik harus dapat dicegah, atau paling tidak diminimalisir. Karena itu, dibutuhkan partisipasi publik sebagai penjaga “komitmen perdamaian” untuk tidak melegalkan praktek-praktek kekerasan dengan mengatasnamakan siapapun dan apapun. []
Sumber: Duta Masyarakat, 10 Maret 2004.