Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Sayang sekali, jika Idul Adha hanya difahami sebatas ritus menyembelih hewan kurban dan nyate (makan sate) rame-rame. Tindakan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, kemudian dibarter Tuhan dengan kambing adalah bentuk metafor-simbolik tradisi kurban. Napak tilas tradisi ini berarti belajar untuk bisa menyeimbangkan dua dimensi ibadah. Dimensi pertama, membuktikan kepatuhan dan ‘dialog ketauhidan’ kepada Tuhannya. Bagaimana pertarungan dalam diri Ibrahim, antara nurani kemanusiaan (sebagai Bapak) dan kepatuhan menjalankan perintah-Nya (hamba Tuhan).
Ketauhidan yang diperankan Ibrahim sebagai bapak monoteisme agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) adalah cermin bahwa Allah merupakan sentral dan titik tuju dari seluruh aktivitas kemanuisaan. Sekaligus menggambarkan, bahwa egosentrisme, hawa nafsu, dan hasrat kepentingan sesaat harus ditanggalkan dalam rangka menghampiri Tuhan. Bagi Ali Syari’ati, tauhid mengimpulsikan menusia untuk memotret segalanya sebagai suatu kesatuan (unity), yaitu kesatuan universal. Kesatuan antara tiga elemen: Allah, manusia, dan alam. Dalam artian, ketiganya tidak terpisahkan dan terasingkan satu dengan lainnya, juga tidak saling bertentangan serta tidak terceraikan oleh bentuk-bentuk segregasi.
Dimensi kedua, menjunjung ‘etos kemanusiaan’ melampaui kepentingan dan syahwat duniawi. Artinya, manusia tidak diperbolehkan untuk mengorbankan (melecehkan) dirinya, membunuh manusia dengan ngumpet dibalik simbol-simbol Tuhan. Pasalnya, manusia terlahir dalam keadaan fitrah dengan kehormatan yang harus dijunjung tinggi serta perlindungan atas hak-haknya. Ini adalah bagian dari sisi kemanusiaan agama, yaitu sejauh mana agama mampu membela manusia, bukan sebaliknya.
Ibarat Yesus bagi umat Kristiani, menurut penulis, Ismail adalah kurban keselamatan, kurban yang membebaskan manusia dari segala bentuk pelecehan atas harkat dan martabat manusia, serta menjadi petunjuk manusia dari kegelapan (kanibalisme) menuju terangnya kehidupan (sacrificial atonement). Makanya, terkait dengan momentum hari raya kurban, kita patut mengevaluasi. Sejauh mana tingkat keseriusan pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan (baca: HAM)? Dari sini bisa diukur, berapa kadar keseriusan pemerintah dalam rangka membela dan melindungi hak-hak rakyatnya.
Selain itu, kita juga bisa tilik perjuangan Rasulullah Muhammad dalam penegakan prinsip hak-hak asasi manusia. Salah satunya adalah tercermin saat khotbah Haji Wada’. Prinsip yang diusung Muhammad adalah humanitarianisme, egalitarianisme, keadilan sosial dan ekonomi, kebajikan, serta solidaritas sosial. (Fazlur Rahman, 1979: 25). Jelas, misi kemanusiaan yang di usung oleh agama harus mampu mengilhami bangsa ini untuk semakin getol dalam melindungi hak-hak rakyatnya dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bukankah negara ini adalah negara yang berketuhanan, dan bukankah agama-agama mengajarkan prinsip yang sama tentang kemanusian?
Menurut Abu A’Ala Al-Maududi, ada dua konsep hak dalam Islam. Pertama, hak manusia (haq al-ihsan atau huquq al-ihsan al-dharuriyyah). Kedua hak Allah (huquq Allah). Hak yang pertama inilah yang tersohor dengan sebutan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam dunia Islam, penegakan HAM adalah upaya menempatkan manusia sebagai makhluk yang terhormat dan mulia, sehingga merupakan tuntutan ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia, tanpa terkecuali.
Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Hal ini tercermin melalui tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan Deklarasi Cairo (Cairo Declaration). Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama kali didirikan oleh Muhammad sebagai pedoman perilaku sosial-kemasyarakatan, keagamaan, serta perlindungan semua anggota masyarakat yang hidup berdampingan. Meski banyak menuai kritik, fenomena ini menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah. Dia menyatakan, kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.
Selain Piagam Madinah, terdapat deklarasi Cairo yang memuat beberapa ketentuan HAM. Antara lain: pertama, hak persamaan dan kebebasan (QS. 17:70, 4:58, 105, 107, 135, 60:8). Hak hidup (QS. 5:45, 17:33). Hak perlindungan diri (QS. 90:12-17, 9:6). Kedua, hak kehormatan pribadi (QS. 9:6). Hak keluarga (QS. 2:221, 30:21, 4:1, 66:6). Hak keseteraan wanita dan pria (QS. 2:228, 49:13). Hak anak dari arang tua (QS. 2:233, 17:23-24). Ketiga, hak mendapatkan pendidikan (QS. 9:122, 97:1-5). Hak kebebasan beragama (QS. 109:1-6, 2:136, 18:29). Hak kebebasan mencari suaka (QS. 4:97). Hak memperoleh pekerjaan (QS. 9:105, 2:286, 67:15). Keempat, hak memperoleh perlakuan yang sama (QS. 2:275-278, 4:161, 3:130). Hak kepemilikan (QS. 2:29, 4: 29).
Sebegitu mendalam konsep HAM perspektif Islam. Tapi, mengapa pada tataran implementasi masih tergolong rendah? Buktinya, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masih banyak ditemukan kasus-kasus pelanggaran HAM. Siapakah yang salah? Menurut penulis, faktor utama adalah human error (kesalahan pada manusianya). Dari sudut kaca mata agama—dengan pertimbangan berbagai kasus—kita melihat bahwa masyarakat Indonesia kurang mampu memahami agama secara holistik. Pemahaman mereka sebatas keharusan untuk menjalankan ritual-ritual simbolik (seperti sholat, puasa, hari raya, haji, dll), tanpa dibarengi dengan pemahaman yang tersirat dibalik ritual-ritual tersebut.
Karena itu, membumikan nilai-nilai dan pesan perenial ajaran agama adalah keharusan. Yaitu dengan mengedepankan horizon kemanusiaan agama-agama. Dengan sisi kemanusiaan, kita tidak lagi tega untuk memperkosa agama untuk sebuah kepentingan, legitimasi kebohongan, manipulasi tafsir, dan sebagianya. Tapi, agama justru akan memberikan ruh atas kehidupan masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi pada penghormatan hak-hak asasi manusia. []
Sumber: Penulislepas.com, 22 Januari 2005.