Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya, Natal tahun ini masih diwarnai ancaman kekerasan. Untuk antisipasi, pemerintah menghimbau agar masyarakat berhati-hati dan waspada. Tampaknya, ancaman kekerasan saat Natal ini serius, yaitu dengan ditemukannya bom rakitan di tempat-tempat umum. Apalagi, pemerintah AS dan Australia telah mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia, sekitar Natal dan Tahun Baru 2005.
Ironisnya, isu yang berkembang adalah kekerasan atas nama agama (lagi). Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam distigmakan bak sarang teroris. Islam dicitrakan seakan-akan tidak mengenal makna toleransi dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah benar demikian? Bukankah dalam Islam ada konsep ahl al-dzimmah, minoritas (non-Islam) yang harus dilindungi dan dijaga hak-haknya, bukan malah dilukai? (Syadzali, 1992:169).
Orang yang saleh beragama akan beranggapan, bahwa perbedaan dalam ritual adalah bagian dari pluralitas cara pemeluk agama dalam meniti jalan menuju Tuhan-nya. Dalam merespon keberagaman itu, Hazrat Inayat Khan mengkampanyekan gagasan “kesatuan ideal agama-agama”. Baginya, agama ibarat nada-nada. Agama yang satu dengan yang lain memainkan nada yang berbeda. Jika nada-nada tersebut bekerja sama maka terciptalah sebuah harmoni. Jika tidak, maka akan lahir musik yang sumbang (The Unity of Religious Ideals, 1949).
Ini adalah realitas yang menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama adalah keniscayaan atas agama-agama. Karena itu, menurut penulis, memusuhi agama lain bukanlah cermin dari kesalehan dalam beragama. Di samping itu, yang terpenting lagi adalah bagaimana kesalehan itu mampu beranjak dari masjid ke ranah sosial (baca: kesalehan sosial), yaitu bagaimana agama mampu menjadi “juru selamat” manusia, bukan malah menjadi “candu”.
Sikap merasa paling benar, eksklusif, fanatis, dan tidak toleran adalah sikap yang kontraproduktif dengan misi agama itu sendiri. Karena itu, tugas terberat “agamawan” saat ini adalah memberikan pemahaman dimensi kemanusiaan agama-agama, bukan malah—yang sering terjadi—mengajari fanatik terhadap satu agama atau aliran tertentu. Hal ini dikhawatirkan berakibat pada sinkretisasi terhadap agama lain. Bagaimanapun, sisi kemanusiaan harus menjadi pijakan bersama umat beragama. Sebab, pijakan inilah yang akan melahirkan benih-benih umat yang inklusif dan pluralis, bukan umat yang fanatis-parokial dan sok benar.
Dus, momentum Natal tahun ini harus mampu menegaskan bukti otentisitas toleransi antarumat beragama di Indonesia. Sikap arogan, anarkhis, dan fanatik buta dalam agama justru akan menjadikan agama sebagai “limbah sosial”. Realitas ini semakin menjauhkan dari pesan perenial agama, yaitu humanisme universal.
Agama turun bukan untuk diperebutkan kebenarannya (baca: dibela), tetapi untuk membela dan memuliakan manusia (QS. 17:70). Agama juga tidak pernah mengajarkan sikap merasa benar sendiri dan yang lain salah, tetapi bagaimana menghargai orang lain yang berbeda dengan kita (QS. 49:13, 4:1).
Menggugah Sense of Crisis
Kekerasan (agama) yang berulang-ulang setiap tahun seharusnya mendewasakan cara pandang kita dalam bermasyarakat dan beragama. Dengan kejernihan nalar, kita berusaha untuk memahami realitas sosial-beragama yang “ditunggangi”. Kita tidak bisa membiarkan bahwa agama distigmakan sebagai sumber malapetaka. Kita perlu berfikir ulang, sejauh mana agama melakukan pembelaan terhadap manusia dan penciptaan maslahah bagi manusia.
Agenda inilah yang belum membumi. Sehingga, salah satu penyebab krisis yang terjadi di negeri ini adalah pemahaman agama yang tidak berbasis kemanusiaan (teosentris an sich). Bayangkan, di negara yang berketuhanan ini, menurut data Lembaga Transparancy International (TI), orang-orangnya jago korupsi. Dari posisi keenam se-dunia di tahun 2003 menjadi rangking kelima di tahun 2004. Jika demikian, agama telah kehilangan peran sosial-kemanusiaan. Agama hanya mampu melaksanakan ritual-ritual simbolis.
Apalagi, sekarang ini, seringkali agama diseret ke wilayah konflik-sosial dan tindak kekerasan (teror). Sejak kapan agama berubah menjadi provokator kerusuhan dan peledakan bom? Ini merupakan bukti kegagalan terbesar umat beragama dalam merumuskan dan menangkap substansi agama yang selama ini diyakini mampu memberikan kesejukan, keadilan, dan kesejahteraan.
Karena itu, Natal kali ini harus mampu memberikan roh atas kehidupan masyarakat dengan menjunjung tinggi serta menghormati hak-hak asasi manusia. Corak keberagamaan para pemeluk agama juga harus dirubah, dari konflik menuju cara beragama yang lebih emansipatoris.
Selain itu, agama harus disegarkan (refresh), (1) agar menemukan elan vitalnya kembali sebagai pendobrak kejumudan dan “juru bebas” manusia, (2) agar agama tidak hanya respon atas persoalan-persoalan teologis, tetapi juga pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Berarti, agama harus mengalihkan perhatian, dari ‘persoalan langit’ menuju persoalan riil yang dihadapi manusia.
Dengan demikian, wilayah kerjanya adalah terletak pada tataran praksis. Yaitu agama tidak hanya dipahami sebagai ritual-simbolik melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan dan pembelaan atas hak asasi manusia (QS. 106:2-4).
Ingat, problem keberagamaan sekarang bukanlah problem doktrinal, melainkan problem yang bersifat praksis, yaitu problem kemanusiaan. Misalnya, konflik sosial, kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi dan lain-lain. Dalam kondisi seperti ini, agama bukan hanya untuk dijadikan ‘sesembahan’, melainkan untuk menyempurnakan moral dan mengangkat harkat mausia.
Karena itu, dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala bentuk eksploitasi serta hegemoni. Agama mesti dipaksa beranjak dan bertolak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, sehingga mampu memberikan dorongan moral untuk bebas dari segala bentuk belenggu yang menindas.
Dari Individu Menuju Kesalehan Sosial
Dalam konteks ini, ada dua hal yang dapat dijadikan tauladan saat Natal. Pertama, teologi kelahiran Isa al-Masih yang diyakini sebagai juru selamat, akan mengilhami umat beragama untuk menjadikan agama sebagai motor peruabahan sosial dan kontra ‘penindasan’. Hal tersebut senada dengan tesis Weber (1864–1920), bahwa agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia.
Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial di luarnya. Sejalan juga dengan misi profetik Nabi yang paling utama, misi pembebasan. Yaitu membebaskan umat manusia (bukan hanya Islam) dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Karena itu, Nabi dimata umatnya adalah Sang Pembebas. Proses pembebasan inilah yang akan menciptakan transformasi sosial, dari kondisi yang ‘terjajah’ menjadi ‘merdeka’.
Kedua, Perjuangan Isa yang bertubi-tubi dengan penuh kesabaran adalah cermin kekuatan (bukan fanatisme) iman dengan kesalehan sosial. Meski hidup dalam kondisi miskin, marjinal, dan penuh dengan konflik, dendam, dan permusuhan, Isa hadir dengan menebar benih-benih perdamaian.
Dengan semangat Natal, mari kita kikis konflik dan permusuhan. Niscaya hidup rukun dan damai akan terwujud. Jika demikian, maka agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam upaya kesalehan sosial ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). []
Sumber: Indo Pos, 26 Desember 2004.