Jakarta--Selama ini penanganan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dinilai masih jauh panggang dari api. Antara lain kasus orang hilang, perlakuan mantan anggota Partai Komunis Indonesia, tragedi Trisaksi, Semanggi I dan II, kasus Munir, masih belum menemukan titik terang. Temasuk isu-isu yang menyangkut kekerasan atas nama agama.
Terkait dengan proses seleksi calon anggota HAM periode 2007-2012, redaksi Syirah berhasil menghimpun komentar dan pandangan beberapa orang dari 70-an nama calon anggota Komnas HAM yang dinyatakan lulus seleksi administratif. Mulai dari soal UU yang berbau diskriminatif hingga sumbangan nilai-nilai Islam dalam penegakan HAM di tanah air.
Yang pertama datang dari Ifdhal Kasim. Direktur bidang Hukum dan Legislasi Reform Institute ini menilai, kesulitan paling ruwet dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM terletak pada sistem hukum yang berlaku. “Harapan masyarakat dalam mencari keadilan terbentur instrumen hukum,” ujarnya ketika dihubungi Syirah sore ini.
Saat ini masih banyak peraturan yang dinilai Ifdhal diskriminatif. Misalnya, kebebasan berkeyakinan. Jaminan ini sudah jelas dalam UUD 1945, tapi mengapa tiba-tiba bisa tersandung delik agama dalam pasal 156 KUHP. Hukum yang ada itu harus memberikan keleluasaan individu untuk berbeda keyakinan. “Hukum harus memproteksi keyakinan atau pendapat yang berbeda, jangan malah mendiskriminasi,” tegasnya.
Karena itu, peran strategis yang ingin dijalankan, seandainya terpilih menjadi anggota Komnas HAM, ia akan menyelaraskan dan mengharmonisasi hukum nasional. Jangan sampai satu dengan yang lain bertentangan dengan prisip HAM.
Lain halnya dengan Ahmad Baso. Penulis buku NU Studies ini menganggap penting metode pendekatan masyarakat dalam penanganan kasus HAM. Calon anggota komnas yang direkomendasikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini berpandangan, selama ini pendekatan yang dilakukan Komnas HAM terbilang parsial, dan bisa juga disebut elitis.
Sebab, Komnas HAM masih sering menganggap masyarakat atau korban sebagai objek. Masyarakat dianggap sebagai orang yang tak kenal HAM, jadi harus dikasih penyuluhan dan pemberdayaan. “Pendekatan ini tidak efektif, karena masyarakat merasa tidak terlibat, hanya sebagai objek,” katanya.
Ini tampak dalam kasus penanganan pelanggaran HAM yang dialami komunitas pinggiran. Misalnya masyarakat adat dan orang-orang yang berbeda pemikirannya dengan kalangan mainstream. Bagi Baso, cara jitu dalam advokasi korban HAM semacam ini adalah dengan pendekatan kultural, secara holistik. “Memahami masyarakat sebagai subjek partisipan yang terlibat dalam kasus, bukan sekedar penonton yang jadi korban,” tukasnya.
Di hubungi secara terpisah Lily Zakiyah Munir yang juga masuk dalam daftar 70 nama itu punya cara lain menegakkan HAM di Indonesia. “Saya akan melakukan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui pemahaman Islam yang membebaskan,” tegas direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) ini.
Baginya, nilai-nilai Islam juga amat berpihak pada penegakan HAM. “Prinsip-prinsip dasar Islam itu akan membawa seseorang pada kemerdekaan, kesetaraan, dan keadilan. Islam tak mengenal mayoritas dan minoritas, yang adalah hanyalah kesetaraan”.
Dalam Islam Pondasi HAM terletak pada kulliyatul khamsah, yang tujuan akhirnya adalah kemaslahatan umum. Lima prinsip tersebut, kata Lily, sesuai dengan kovenan HAM internasional, yang dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, hak politik. Yaitu menjamin kreatifitas berpikir, kebebasan berekspresi, dan mengeluarkan pendapat (hifdz ‘aql), juga menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan (hifdz din).
Kedua, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Yaitu memelihara kelangsungan hidup (hifdz nafs), menjamin kelangsungan keturunan (hifdz nasl), serta melindungi kepemilikan harta benda (hifdz mal).
| www.syirah.com/28-2-2007 |