Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Tempat mirip padepokan yang lazim terkesan adem ayem itu tiba-tiba dituding sebagai sarang teroris yang mensahkan aksi kekerasan atas nama agama. Penghuninya dicap ekslusif, jumud, kaku, dan tidak toleran. Ya, pesantren, nama tempat itu. Syak wasangka ini marak sejak tertangkapnya Imam Samudra dan Amrozi cs, empat tahun silam, sebagai pelaku peledakan bom. Ironisnya, mereka ternyata jebolan pesantren. Wajar saja jika tudingan dialamatkan ke institusi ini.
Sebelum “penghakiman” terhadap pesantren, kala itu, maksud Imam Samudra dan kelompoknya tergurat jelas melalui statemennya. Bahwa aksi peledakan itu tak lain untuk menghabisi orang-orang Barat yang dianggap kafir, musuh Islam. Karena itu sah-sah saja bahkan mendapat pahala berlimpah jika mampu membunuhnya. Sejak peristiwa itu, Islamphobia merebak menghantui orang-orang Barat di Indonesia, khususnya ketakutan terhadap alumnus pesantren.
Untuk menyidik duduk perkara yang masih rabun itu, International Center for Islamic and Pluralism (ICIP) yang bermarkas di Jakarta, belum lama ini, mengadakan penelitian untuk menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan? Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI). Tema-tema yang diteliti seputar wacana multikulturalisme, semisal toleransi, demokrasi, gender, dan syariat Islam.
Hasil penelitian menunjukkan, pemahaman sejumlah kalangan pesantren di Jawa Barat, belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan multikulturalisme. Hal ini diungkap tim peneliti ICIP dalam seminar dan workshop bertajuk “Persepsi Komunitas Pesantren di Jawa Barat terhadap Isu-isu Keagamaan dan Multikulturalisme”, di kawasan Depok, Jawa Barat.
Kalau begitu, betul bahwa kalangan pesantren anti keragaman dan tidak toleran? Jangan bergegas ambil kesimpulan. Tim peneliti ICIP justru menemukan hal lain yang menarik. Ketika ditanya seputar etika pergaulan dengan non muslim, merespon perbedaan, dan doktrin kekerasan, rata-rata mereka menjawab dengan sikap toleran, santun, dan damai. Mereka akur dan akrab dengan perbedaan dan tidak setuju dengan aksi kekerasan atas nama apapun. Tapi di sisi lain, mereka tidak setuju dengan multikulturalisme. Apa pasal? Ternyata kalangan pesantren belum familiar atau masih gagap dengan istilah multikulturalisme. Jadi penolakan tersebut disebabkan adanya salah persepsi.
Kata multikulturalisme memang asing ditelinga warga Indonesia, khususnya kalangan pesantren yang tak pernah diajarkan kitab berbahasa Inggris. Karena istilah ini merupakan perkembangan dari pemikiran post modernisme di Barat, yang disebut kalangan sosiolog Barat sebagai teori multikultural (Mary Rogers, Multikultural Experiences, Multicultural Theories, 1996). Teori ini bercirikan inklusif, memberdayakan pihak lemah (tidak bebas nilai), serta menggugah ranah sosial dan intelektual untuk lebih terbuka dan beragam.
Webster’s New World College Dictionary mengartikan, multikulturalisme adalah sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, gender, agama ataupun yang lain. Konsep ini tidak hanya mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama (giving equel attention) di ruang publik.
Kaitannya dengan pesantren, multikulturalisme adalah spirit alamiah yang telah tumbuh berkembang sebelum istilah ini dikenal. Ditilik dari segi namanya saja, pesantren terkesan unik. Nama lembaga yang menjadi lokus pendidikan Islam di Indonesia ini bersumber dari bahasa Sansekerta, “sastri” artinya orang yang mendalami kitab suci. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, 1994).
Pesantren, dalam konteks budaya Indonesia kuno, adalah tempat pemeluk agama Hindu dan Budha mempelajari dan mendalami kitab sucinya. Istilah ini kemudian diadopsi oleh Islam. Berarti, kalangan pesantren tak gamang bergaul dengan agama lain. Dalam sejarahnya memang begitu adanya. Hal ini diamini Fuad Al-Anshori, pengurus Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, saat diskusi di public corner Metro TV. Ia merasakan hal serupa di pesantennya yang terletak di Parung Bogor itu.
Fuad bahkan sering melihat kalangan non-muslim bertamu ke pesantren yang diasuh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar ini. Tamu-tamu itu diterima dengan lapang dada. Mengapa? Fuad menjelaskan sembari menyitir sabda Nabi, “ihtarim al-dhuyûf walau kâna kâfiron,” hormatilah tamu walapun itu seorang kafir.
Ia lalu berkisah. Pesantren Nurul Iman pernah didatangi delapan orang pendeta utusan Yeni Zannuba Wahid, putri Gus Dur. Mereka ingin mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya. Ia menginap selama tiga hari. Setelah bergaul di pesantren yang jumlah santrinya tak kurang dari 9000 itu, mereka baru sadar, ternyata Islam adalah agama penuh toleransi dan damai.
Pada sisi lain, pesantren yang disebut antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz sebagai komunitas “Islam santri” itu juga tidak sungkan-sungkan berpelukan dengan kalangan “Islam abangan”, kalangan yang mengaku Islam tapi jarang melakukan syariat dan cenderung kejawen.
Ini pernah dipraktikkan Pesantren Tegalrejo. Tahun 1986, saat acara kataman, pesantren yang tergolong salafi (tradisional) ini mengadakan pesta seni dan dakwah. Perbagai kesenian rakyat diberi panggung dan dipersilahkan unjuk kebolehan. Mulai dari jatilan, wayang, ketoprak, reog, orkes dangdut sampai dengan hadrah dan samroh.
Kataman adalah pesta perpisahan para santri yang sudah lulus dan akan menduduki posisi kiai di desa masing-masing, dan juga bagi santri yang naik kelas. Acara yang dinilai nyeleneh itu mengundang tanya masyarakat, “Pesantren kok mengundang orang-orang yang biasa maksiat, nggak pernah salat?” Mendengar desas-desus itu, Muhammad, salah satu pengasuh, akhirnya menjelaskan di sebuah forum pengajian.
Menurutnya, kesombongan atau takabbur adalah sifat yang buruk. “... janganlah sekali-kali meyakini, hanya kita yang sekarang menjalankan salat lima waktu dalam sehari ditakdirkan masuk surga. Mereka yang sekarang sedang bermain jatilan mungkin saja ditakdirkan masuk surga, dan kita mungkin dilemparkan dalam neraka karena penuh kesombongan...” katanya seperti ditulis Bambang Pranowo dalam Islam Faktual, antara Tradisi dan Relasi Kuasa (1998). Sikap Muhammad itu menunjukkan cara pandang yang egaliter, mensejajarkan antara kalangan santri dan kalangan abangan. Ia tidak merasa lebih benar dari yang lain, apalagi sampai menyalahkan.
Abdurrahman Wahid dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (2001) menyebut realitas pesantren seperti tergambar di atas dengan istilah “subkultur”. Maksudnya, keberadaan pesantren selalu berada dalam lingkup budaya tertentu.
Karena itu, fenomena multikulturalisme di dunia pesantren adalah hal yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkan pun tidak satu mahdzab. Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi adalah menu sehari-hari santri saat kegiatan musyawarah atau bahtsul masail. Menariknya, dinamika perbedaan pendapat itu berjalan sesuai dengan logika dan koridor perdebatan masing-masing, tanpa menyalahkan satu sama lain.
Bahkan, di kalangan pesantren dikenal kaidah fiqh, al-ijtihâd lâ yunqaddu bi al-ijtihâd, ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad. Misal, dalam satu masalah, ada perbedaan pendapat. Maka, bukan berarti pendapat yang satu lebih benar dari yang lain karena lebih akhir ijtihadnya atau alasan lain. Santri diberikan keleluasaan untuk memilah dan memilih manakah yang sesuai untuk dijalankan.
Perselisihan pendapat pernah terjadi antara keluarga besar Pesantren Tebuireng Jombang dan keluarga Pesantren Maskumambang Dukun Gresik. Kiai-kiai dari Pesantren Tebuireng berpendapat bahwa untuk menandakan waktu shalat, masjid-masjid di kawasan Jomabng harus menggunakan bedug. Pendapat ini ditentang kiai Amar Faqih dari pesantren Maskumambang. Menurutnya, penanda salat cukup dengan kentongan. Karena perbedaan ini, jika keluarga besar Pesantren Tebuireng berkunjung ke Pesantren Maskumambang, maka kiai Amar melarang santrinya untuk membunyikan kentongan. Pun sebaliknya, saat keluarga besar Pesantren Maskumambang berkunjung ke Pesantren Tebuireng, maka santri Tebuireng tidak membunyikan bedug saat waktu shalat tiba.
Ya, begitulah dinamika multikulturalisme di kalangan pesantren. Hal ini senada dengan falsafah lima tiang penyanggah pesantren, yaitu tawâsuth (berada di tengah atau moderasi), tawâzun (seimbang menjaga keseimbangan), tasâmuh (toleransi), `adâlah (keadilan), dan terakhir tasyâwur (musyawarah). []