Tuesday, October 02, 2007

"Tasbih" di Tangan Kanan, "Palu Arit" di Tangan Kiri

Bulan ramadlan yang menginjak minggu ketiga ini bertepatan dengan peringatan peristiwa bersejarah yang berdarah-darah “G/30/S/PKI”. Memandang komunisme sebagai bahaya laten bagi Islam nampaknya perlu ditafsir ulang. Sebab, tasbih sebagai simbol ibadah ritual, dan palu arit sebagai signal kesalehan sosial ternyata punya posisi penting di mata Sang Nabi.

Oleh Abdullah Ubaid Matraji


Mayoritas umat Islam dan masyarakat Indonesia masih memandang, komunisme adalah bahaya laten dan harus dibabat. Seakan-akan penganut faham ini tidak diizinkan menghirup udara segar di bumi merah putih. Mereka dicap sebagai pemberontak yang kejam, sadis, dan anti-agama. Apalagi sejak kecil, saat orba berkuasa, tiap tanggal 30 September kita seakan dihipnotis oleh film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer itu.

Adegan yang paling membakar darah umat Islam adalah adegan penyerangan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap umat Islam yang sedang bersembahyang di masjid. Mereka merobek dan menginjak-injak kitab suci al-Qur’an. Benarkah demikian faktanya? Wallahu a’lam.

Kala itu, pasca tragedi lubang buaya, umat Islam adalah barisan terdepan secara massif dan emosional untuk mengganyang antek-antek PKI. Sejak peristiwa itu hingga kini, umat Islam jengkelnya bukan main kalau mencium apapun yang berbau PKI. Ini tak lepas dari hasil propaganda atau konspirasi yang ingin menyingkirkan PKI dari pentas politik, budaya, dan ideologi masyarakat Indonesia. Akhirnya PKI secara resmi diborgol oleh Tap MPRS No. XXV/1966.

Perang dingin Islam dan komunisme masih berkecamuk di tanah air. Masih sering kita dengar dan baca informasi di televisi, surat kabar, milis, situs, dan blog yang memberitakan aksi kekerasan kelompok Islam terhadap PKI. Misalnya kelompok Islam tertentu membubarkan forum diskusi yang berbau komunisme, memprotes parpol yang mirip dengan jargon-jargon komunis, dan pembakaran buku-buku berirama sosialis.

Gaya dan reaksi umat Islam seperti itu tidak semua. Sebagian kelompok Islam ada yang sudah melek sejarah dan tidak membabi buta membenci komunisme. Bahkan mereka ini rela meluangkan waktunya untuk bergerak melakukan rekonsiliasi dan advokasi korban politik akibat peristiwa 30 September 1965. Kelompok umat Islam semacam ini masih terbilang minor. Masih banyak umat Islam yang masih dibutakan versi sejarah orde baru yang selalu menyalahkan PKI.

Padahal sejak dulu banyak orang Islam yang komunis atau komunis yang Islam, tapi fakta ini sengaja ditutup-tutupi. Sebut saja Haji Misbach, Hasan Raid, dan Haji Ahmadi Mustahal adalah deretan nama-nama muslim komunis. Selain itu, sejarah mencatat, Sarekat Islam (SI) adalah cikal bakal PKI (lihat, Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, 1999).


Sinergi Ritus Ubudiyah dan Gerak Sosial

Gerakan inilah yang menyokong gerakan perjuangan buruh dan rakyat miskin dari belenggu penindasan dan penjajahan di era pra-kemerdekaan. Kita masih ingat statemen tegas yang tertulis dalam Buku Putih G.30-S Pemberontakan PKI, (1994, h.11), “Nabi Muhammad saw. telah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx.” Itulah pernyataan tokoh SI, Haji Agus Salim, saat Kongres Nasional VI SI Oktober 1921 di Surabaya. Sosialisme adalah induk yang melahirkan komunisme ala marxisme-leninisme (pemikir praksis komunisme).

Prinsip-prinsip perjuangan kemanusiaan (antroposentris) yang dianut PKI inilah ternyata menyedot banyak simpatik umat Islam. Mereka lebih memilih PKI yang memperjuangkan rakyat miskin atau kelas bawah daripada partai-partai Islam yang tak begitu jelas pembelaannya kepada rakyat kecil. Ini tampak dalam diri Hasan Raid. Menurutnya, Partai Masyumi kurang bisa mengamalkan ajaran Islam untuk memihak kaum miskin, sementara PKI lebih pas untuk mengamalkan ajaran Islam, khususnya dalam menegakkan keadilan di Bumi Nusantara.

“Aku tak memilih masuk partai Islam, seperti Masyumi karena partai tersebut sebagai organisasi didirikan di zaman Jepang dan menjadi partai politik pasca Maklumat November 1945 dari Wapres Mohammad Hatta. Banyak sedikitnya tentu ada bau Jepangnya,” tutur Hasan Raid dalam Pergulatan Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid (2001, h. 66).

Pada titik inilah Islam dan komunisme bisa bergandengan tangan dan tidak bermusuhan. Sebagai umat Islam semestinya sadar bahwa kewajiban kita tidak hanya kewajiban vertikal: beribadah kepada Tuhan, tapi juga kewajiban horisontal: berbuat baik dengan sesama makhluk.

“Tasbih” dan “palu arit” yang saya maksud adalah simbol keharmonisan orientasi ibadah duniawiyah (ritus ubudiyah) dan ukhrawiyah (gerak sosial) yang harus dijaga. Simbol itu bukan berarti mendorong umat Islam untuk masuk partai komunis, tapi sebagai otokritik atau introspeksi diri tentang kenyataan Islam yang masih berkutat pada nalar teologis (al-’aqlu al-aqa’idy). “Cirinya adalah pemusatan segala aktivitas dan persoalan apapun kepada Tuhan, tanpa menghiraukan harkat dan martabat manusia serta problem kemanusiaan,” papar Mohammad Arkoun dalam Al-Fikru al-Islamy: Naqdun wa Ijtihadun.

Untuk mensinerginakan dua perkara itu, maka bulan ini adalah momentum yang tepat. Bulan puasa tidak hanya dijadikan sebagai riyadhah ubudiyah, tapi juga mestinya menjadi latihan riyadhah insaniah, memperbanyak ibadah sosial. Karena memang puasa dapat menggugah kesadaran progresif, mengikis egoisme, dan menumbuhkan sikap kebersamaan.

Orang yang berpuasa tentu tak akan tega melihat tetangganya tidak makan. Inilah salah satu bentuk sekala kecil kesadaran sosial sebagai upaya pembebasan dari kemiskinan. (QS. 107:1-7). Dalam perspektif Islam, kebersamaan merupakan makna hidup yang sejati. Karena itu, setiap individu harus menjadikan orang lain tidak ubah dirinya sendiri. Artinya, jika orang lain merasa tidak betah hidup dalam penderitaan, setiap muslim seharusnya mampu berempati, dan mencari solusi untuk melepaskan mereka dari jerat penderitaan. (QS. 6:145).


Uswah dari Sang Nabi

Pemaknaan seperti ini sejalan dengan misi profetik Nabi Muhammad saw., yaitu pembebasan manusia dari segala bentuk kooptasi tirani dan ketertindasan. Dalam catatan kitab sirah al-nabawiyah, Rasulullah tidak pernah melakukan gerakan pembebasan atas pertimbangan agama atau suku. Nabi melakukan misi pembebasan atas dasar-dasar kemanusiaan.

Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum Rasulullah diutus, struktur masyarakat masyarakat Arab dikenal feodal, paternalistik, dan melahirkan penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi dalam dua kelas yang saling bertentangan, kelas terhormat yang menindas (the oppressor) dan kelas budak dan orang miskin yang tertindas (the oppressed). Sang Nabi hadir Pada waktu itu untuk merontokkan kesenjangan sosial dan memperjuangkan kesetaraan. (QS. 5:8).

Kedua, keadilan ekonomi dan anti kapitalisme. Sejak diturunkan pertama kali, al-Quran amat menekankan pemerataan dan keadilan semua, bukan untuk segelintir orang. Al-Qur’an amat menentang penimbunan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang miskin tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, Al-Quran menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS. 2:219).

Haji Misbach, seorang muslim komunis, dalam artikelnya yang berjudul Islamisme dan Komunisme, beranggapan bahwa kapitalisme adalah biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan dan merusak tatanan agama. Bahkan dia kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan dan menegakkan ajaran agama Islam.

Jadi, sudah semestinya pertentangan Islam dan komunisme kini dikubur. Toh tidak ada hal substansial yang bertengan antara komunisme dengan gerak sosial kemanusiaan dalam Islam. Kalau pun ada perbedaan tauhid, itu hal yang wajar seperti kelompok lain yang berbeda dengan Islam.

Namun sejatinya tidak ada yang aneh dengan komunisme, sebab komunisme bisa saja bersahabat dengan Islam, sebagaimana yang dilakoni oleh orang-orang muslim komunis. Berarti, tak selamanya komunis itu anti Tuhan. Mereka menggunakan senjata “tasbih” untuk beribadah secara vertikal kepada Tuhan dan senjata “palu arit” untuk beribadah secara horisontal kepada manusia dan lingkungan. []


| Sumber | buletin jum'at SHUHUF | Minggu I Oktober 2007 |
 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes