Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Dibanding tahun lalu lebaran tahun ini terasa lebih khidmat. Meski ada perbedaan penetapan tanggal satu Syawal 1428 H, namun tak menyebabkan konflik horisontal. Kelompok Islam al-Nadzir misalnya, melaksanakan shalat hari raya lebih cepat dua hari dari penentuan Muhammadiyah, sementara warga Nahdliyyin merayakan Idul Fitri, tanggal 13 Oktober, selang sehari paska Muhammadiyah. Berbeda itu sah-sah saja asal ada pengertian satu sama lain. Perbedaan dalam terminologi agama adalah rahmat, bukan adzab.
Karena itu, tak perlu risau dengan perbedaan. Nabi pernah bersabda, “Ikhtilafu ummati rahmatun,” perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat. Mungkin sudah berulangkali kita dengar sabda itu, tapi kenapa permusuhan karena perbedaan masih sering meletup. Keberadaan rahmat itu harus disyukuri, bukan malah dibenci atau dicurigai yang nanti berujung pada permusuhan, konflik, dan peperangan.
Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan, yaitu berlomba-lomba untuk menolong kaun dhuafa, menyantuni anak yatim, membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan seterusnya. Tuhan juga berfirman, “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikan-Nya satu umat saja, tapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan,” firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 48.
Suasana ini berbeda dibanding lebaran tahun kemarin. Hari raya yang suci itu dilumuri darah kebencian. Pembunuhan mengerikan terjadi selang dua hari setelah hari Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 24 Oktober 2006. Modusnya adalah tuduhan “sesat”. Entah dari mana mulanya tuduhan itu, tiba-tiba saja menyeruak di kalangan warga. Kala itu menimpa jamaah Yayasan Kharisma Usada (Yaskum) di Bobojong, Darmaga, Bogor. Korbannya adalah pimpinan jamaah, ustad Alih.
Selang tiga hari usai kejadian di Bobojong, tuduhan sesat yang berujung aksi anarkisme kembali terjadi di desa Laladon Kedoya, Ciomas, Bogor. Kelompok yang menjadi sasaran adalah jamaah tariqat Haqmaliyah. Tariqat ini merayakan hari raya Idul Fitri lebih cepat tiga hari, 21 Oktober 2006, daripada umat Islam Indonesia pada umumnya. Aksi ini menyebabkan rumah pimpinan tarikat dan musholla tempat jamaah berkumpul rata dengan tanah.
Titik Balik Perbaikan Moral
Kejadian di atas patut dijadikan pengalaman berharga untuk perbaikan di masa kini dan mendatang. Saat ini adalah momentum yang fitri untuk berbenah diri. Setelah orang-orang yang tinggal di kota-kota besar mudik ke kampung halaman untuk menebus kesalahan dengan bermaaf-maafan, kini mereka balik berbondong-bondong ke kota kembali beraktifitas.
Keberhasilan menciptakan suasana harmonis dan toleran saat Idul Fitri di kampung halaman ini harus tetap dijaga. Begitu pula saat arus balik yang kini terjadi, spirit kerukunan dan perdamaian yang dibawa dari kampung itu harus tetap dipertahankan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di tempat mereka bekerja dan hidup bermasyarakat. Hidup di kota besar tentu akan bergumul dengan orang-orang yang beragam latar belakang: agama, etnis, kelompok, dan lain-lain. Karena itu, permusuhan dan konflik sangat gampang tersulut, bahkan sewaktu-waktu bisa terjadi di mana saja.
Ini adalah tugas berat yang harus ditanggung umat beragama di Indonesia, khususnya umat Islam selaku pemeluk agama mayoritas di negeri ini. Lebih-lebih ini masih momentum Idul Fitri, di mana manusia harus melepaskan segala macam ego untuk berjabat tangan sebagai tanda persahabatan dan kasih sayang. Jangan sampai kondisi ini hanya berlangsung di bulan Syawal, tapi juga berimplikasi pada bulan-bulan yang lain.
Kalau kita perhatikan, kerukunan antarumat beragama sepanjang tahun 2007 masih jauh dari harapan. Konflik berbasis agama masih marak. Misal, kasus tuduhan sesat Jamaah Islam Sejati di Lebak Banten; pembubaran diskusi lintas agama di Surakarta; konflik antara Muslim dan Kristiani di Lembah Karmel Cianjur. Bahkan pengerusakan tempat ibadah juga masih banyak terjadi, antara lain pengerusakan masjid Jamaah Ahmadiyah di Bandung, Tasikmalaya, Riau; Gereja Immanuel sukapura, Cilincing, Jakarta Utara dan GKI Jatibening Indah Bekasi.
Ini menunjukkan bahwa tindakan diskriminasi, intoleran, dan kekerasan antarumat beragama terjadi hampir merata di nusantara. Kini, umat Islam saatnya berbenah. Sebagai golongan mayoritas seyogyanya bisa memberikan tauladan yang baik kepada umat lain, bukan malah semena-mena menjadi “polisi agama” yang sok bermoral lalu mensahkan tindakan kekerasan atas nama agama. Oleh sebab itu, momentum arus balik di hari yang fitri saat ini harus diniati sebagai titik baik perbaikan moral.
Umat Islam meyakini, Idul Fitri adalah hari di mana manusia seperti dilahirkan kembali atau terbebas dari dosa, bak kertas putih yang belum terdapat coretan tinta. Ini tercermin dari arti kosa katanya, id artinya kembali dan fitri artinya suci. Kondisi yang fitri ini merupakan momentum tepat untuk memantapkan inti misi kenabian Muhammad saw., yaitu memperbaiki akhlak. “Saya diutus di dunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,” sabda Nabi. Nabi secara spesifik tidak menyebutkan akan mengislam orang kafir, memerangi orang selain Islam, mengeroyok aliran sesat, atau sentimen atas nama agama yang lain, tapi Nabi bertugas untuk meletakkan pondasi moralitas dalam sendi-sendi kehidupan umat beragama.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjabarkan bahwa akhlak yang dimaksud Nabi itu meliputi empat tindakan. Pertama, al-hikmah atau bersikap bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Kedua, al-adalah atau adil dalam bertindak dan memutuskan perkara. Ketiga, al-syaja`ah atau berani mengatakan yang benar. Keempat, al-iffah atau pantang melakukan hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan kemaslahatan. Prinsip ini kedengarannya mudah tapi tak segampang dalam pelaksanaan. Perbaikan akhlak ini, dalam misi kemanusiaan, adalah sarana menuju pembentukan insan kamil.
Titik Balik Menjadi Insan Kamil
Jika akhlak mulia telah terbentuk dalam diri seseorang maka lahirlah insan kamil, manusia sempurna. Maksudnya bukan berarti manusia sempurna itu manusia tanpa salah, tapi manusia seperti dipostulatkan Tuhan dalam al-Quran dengan sebutan al-insan.
Manusia secara individu dalam al-Quran disebutkan dengan dua istilah basyar dan insan. Secara leksikal keduanya bermakna manusia, tapi masing-masing ada spesifikasinya. Pertama, basyar biasa disebut human being, man usia yang sekedar ada. Dalam bahasa arab, manusia yang diistilahkan dengan kata ini berarti manusia biasa, tidak memiliki “kesaktian” apapun. Ia cenderung diam dan menerima apa adanya. Kehadirannya tidak membawa angin perubahan apapun.
Ia bukan tipe ideal, sebab tidak mampu membawa manfaat bagi orang lain. Wujuduhu ka adamihi, keberadaannya tidak berefek. Kata ini dalam al-Quran digunakan untuk menceritakan sesuatu yang datar dan biasa-biasa saja. “Qul innama ana basyarun..”, ungkapan ini menyiratkan bahwa Nabi adalah manusia biasa. Bedanya hanya ia diberikan wahyu. Kata ini lebih merujuk pada manusia biasa yang diliputi unsur-unsur hewani, semisal kenyang, lapar, dan tidur.
Kedua, insan adalah makhluk jadi yang selalu berproses atau human becoming. Jika basyar bersifat statis, insan memiliki karakter bergerak dinamis menuju arah kesempurnaan. Berarti, insan adalah menjadi bukan sekedar ada. Keberadaannya akan membawa manfaat bagi orang lain. Menjadi (becoming) adalah proses bergerak, maju, mencari kesempurnaan, dan merindukan keadilan. Tipe ini adalah tipe manusia ideal. Kata insan mengandung makna spirit ketuhanan, karana ia adalah manusia yang bercita-cita agung.
Kata ini disebut 65 kali dalam al-Quran dan seringkali berbarengan dengan kata nadzar yang berarti merenungkan, memikirkan, mengamati, dan menganalisa. Titik balik umat sebagai insan inilah yang dikehendaki dalam tulisan ini. Karena eksistensinya sebagai insan, maka manusia punya tugas untuk memikul amanah Tuhan di muka bumi. Amanah dalam konteks ini adalah menemukan hukum alam, menguasainya, kemudian memanfaatkannya berdasarkan moralitas insani untuk menciptakan tatanan dunia yang baik dengan keseimbangan ekosistem di dalamnya. Ini juga erat kaitannya dengan tugas manusia sebagai pemimpin yang bertugas untuk menata dan memakmurkan jagad raya.
Harapan arus balik sebagai spirit titik balik umat untuk perbaikan moral dan proses menuju insan kamil semoga saja menjadi tumpuan umat paska merayakan hari raya lebaran. Andai ritual arus balik ini hanya dijadikan momentum kembali ke kota untuk mencari harta semata, niscaya keberadaan kita sebagai umat beragama kian tercerabut. []
|Gang Koweng,20 agustus 2007,23.00|