Rasulullah Muhammad pernah bersabda, ”Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Nabi tidak menyebutkan Islam secara spesifik, tapi menyuratkan misi kemanusiaan yang universal. Mengapa Sang Nabi begitu peduli pada akhlak atau moralitas? Tentu, ungkapan ini tidak berdiri pada ruang kosong. Kala itu, kondisi masyarakat Arab menganut sistem kapitalistik-eksploitatif. Menurut Muhammad, sistem ini tidak bermoral sebab yang kuat akan menguasai segala aspek kehidupan ekonomi-sosial-politik, sementara yang lemah terus menjadi kuli. Pada posisi ini, Muhammad diutus untuk membangun dimensidimensi revolusioner bagi pembebasan dan mentransformasi kondisi sosial yang tribal. Maka,jangan heran jika kehadiran Islam membuat kebakaran jenggot para penggede Mekkah saat itu. Mengapa?
Buku Warna Islam Indonesia ini menjelaskan bahwa kalangan kepala suku, bangsawan, dan konglomerat Mekkah sejatinya tidak mempersoalkan agama yang dibawa Muhammad. Mereka bukanlah penyembah berhala yang taat beribadah (hal. 14). Sebaliknya, mereka menentang dan tidak mengakui Muhammad karena dua sebab. Pertama, implikasi ajaran yang dibawa Muhammad menyerang sistem sosial ekonomi yang tribal dan eksploitatif, yaitu menghalalkan penindasan orang kaya kepada orang miskin, yang kuat kepada yang lemah, serta menghalalkan praktik riba.
Sementara Nabi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan ekonomi. Sebagaimana termaktub dalam Alquran,Islam amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua golongan, bukan untuk segelintir orang. Kedua, mengakui kehadiran Muhammad berarti melegitimasi pengakuan politik terhadap Muhammad sebagai penguasa politik baru.Hal ini tampak dalam tradisi berdagang masyarakat Mekkah.
Mereka tidak pernah membiarkan seseorang untuk menguasai segala aset ekonomi-sosialpolitik. Karena itu, di Mekkah tidak dikenal istilah raja. Sebagai gantinya mereka membentuk mala’a, lembaga senat yang terdiri atas perwakilan masing-masing suku. Dengan lembaga ini, semua suku memperoleh kesempatan politik yang sama (hal.14).
Konteks historis di atas menjelaskan, kehadiran Muhammad di tengah masyarakat bukan sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang diembannya, melainkan lebih dari itu. Beliau memobilisasi dan memimpin gerakan sosial untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan. Kalau begitu, bagaimana dengan keberagamaan kita? Abdullah Ubaid Mathraji, penulis buku ini, seakan membelalakkan mata kita.
Di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa ini ternyata banyak terjadi ketimpangan dalam beragama. Agama benarbenar terpukul dan bahkan terpelanting oleh berbagai problematika yang muncul silih berganti tanpa solusi. Raison d’etre diturunkannya agama yang berguna untuk menciptakan perdamaian, keharmonisan, dan ketertiban peradaban umat manusia,seakanmenghilangbegitu saja.
Agama menjadi ironi dan paradoks.Pesan-pesan perenial dan misi kemanusiaan yang dibawanya berbalik arah menjadi triggering factor bagi lahirnya keculasan dan kekacauan. Belakangan ini kasus yang acap mengemuka adalah tuduhan sesat. Stigma sesat ini, bahkan lebih dari sekadar tuduhan, tapi sudah difatwakan.
Fatwa sesat ini menimpa beberapa kelompok seperti Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal, Syiah,dan beberapa golongan yang mem-promote pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Mereka dianggap telah keluar dari pakem agama Islam. Ironisnya, atas dasar fatwa tersebut, beberapa organisasi yang mengatasnamakan pembela Islam, melakukan aksi main hakim sendiri.
Mereka menghancurkan tempat ibadah, meneror jamaah, dan mengusir secara paksa. Buku ini menyajikan dinamika dua kutub yang berseteru secara berimbang, sekaligus suara si korban. Tak hanya itu, buku ini juga menyajikan data empiris kasuskasus serupa.Kejadian seperti ini, menurut Ubaid, mencoreng sejarah kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E.
Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No 39 pada 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyuratkan kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap,sesuai hati nuraninya. Misi Rasulullah yang mengajarkan ”akhlak mulia”lagi-lagi dikebiri oleh pengikutnya.
Pengertian akhlak mulia dicitrakan hanya melalui penampakan kegiatan- kegiatan atau perayaan keagamaan yang bisa dipertontonkan. Misalnya,pergi haji,perayaan Maulid Nabi, Idul Kurban, membangun masjid mewah, dan seterusnya. Tindakan ini bukan berarti tidak baik,tapi ini menjadi buruk jika tidak diimbangi dengan ibadah yang berorientasi horizontal, habl min al-nas.
Bagaimana tidak, korupsi di Indonesia masih saja menggurita, satu per satu pelaku ditahan,masih saja belum bisa memberi efek jera kepada yang lain.Wajar saja jika Indonesia hingga tahun ini masih tergolong negara terkorup di Asia versi lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Belum lagi kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan data Forest Wacth Indonesia (FWI), laju deforestasi di Indonesia salah satu yang terparah di dunia. Sedikitnya 1,9 juta hektare hutan dirusak setiap tahun selama lima tahun terakhir, atau setara dengan luas enam lapangan sepak bola per menit.
Saat ini Indonesia telah kehilangan lebih dari 72% dari wilayah alam utuhnya, dan 40% hutannya telah hancur sama sekali (hal.255). Ini artinya apa? Jelas bahwa praktik beragama di Indonesia masih sebatas ibadah ritual secara vertikal, kebanyakan umat belum mengamalkan ibadah yang berorientasi pada horizontal, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Buku ini menunjukkan berbagai paradoks beragama di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa.(*)
Peresensi,
Ahmad Sulaiman Abduh
adalah alumnus Universitas al- Azhar Mesir,
mahasiswa Kajian Timur Tengah,dan
Islam Pascasarjana Universitas Indonesia
sumber: koran seputar indonesia
Buku Warna Islam Indonesia ini menjelaskan bahwa kalangan kepala suku, bangsawan, dan konglomerat Mekkah sejatinya tidak mempersoalkan agama yang dibawa Muhammad. Mereka bukanlah penyembah berhala yang taat beribadah (hal. 14). Sebaliknya, mereka menentang dan tidak mengakui Muhammad karena dua sebab. Pertama, implikasi ajaran yang dibawa Muhammad menyerang sistem sosial ekonomi yang tribal dan eksploitatif, yaitu menghalalkan penindasan orang kaya kepada orang miskin, yang kuat kepada yang lemah, serta menghalalkan praktik riba.
Sementara Nabi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan ekonomi. Sebagaimana termaktub dalam Alquran,Islam amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua golongan, bukan untuk segelintir orang. Kedua, mengakui kehadiran Muhammad berarti melegitimasi pengakuan politik terhadap Muhammad sebagai penguasa politik baru.Hal ini tampak dalam tradisi berdagang masyarakat Mekkah.
Mereka tidak pernah membiarkan seseorang untuk menguasai segala aset ekonomi-sosialpolitik. Karena itu, di Mekkah tidak dikenal istilah raja. Sebagai gantinya mereka membentuk mala’a, lembaga senat yang terdiri atas perwakilan masing-masing suku. Dengan lembaga ini, semua suku memperoleh kesempatan politik yang sama (hal.14).
Konteks historis di atas menjelaskan, kehadiran Muhammad di tengah masyarakat bukan sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang diembannya, melainkan lebih dari itu. Beliau memobilisasi dan memimpin gerakan sosial untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan. Kalau begitu, bagaimana dengan keberagamaan kita? Abdullah Ubaid Mathraji, penulis buku ini, seakan membelalakkan mata kita.
Di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa ini ternyata banyak terjadi ketimpangan dalam beragama. Agama benarbenar terpukul dan bahkan terpelanting oleh berbagai problematika yang muncul silih berganti tanpa solusi. Raison d’etre diturunkannya agama yang berguna untuk menciptakan perdamaian, keharmonisan, dan ketertiban peradaban umat manusia,seakanmenghilangbegitu saja.
Agama menjadi ironi dan paradoks.Pesan-pesan perenial dan misi kemanusiaan yang dibawanya berbalik arah menjadi triggering factor bagi lahirnya keculasan dan kekacauan. Belakangan ini kasus yang acap mengemuka adalah tuduhan sesat. Stigma sesat ini, bahkan lebih dari sekadar tuduhan, tapi sudah difatwakan.
Fatwa sesat ini menimpa beberapa kelompok seperti Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal, Syiah,dan beberapa golongan yang mem-promote pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Mereka dianggap telah keluar dari pakem agama Islam. Ironisnya, atas dasar fatwa tersebut, beberapa organisasi yang mengatasnamakan pembela Islam, melakukan aksi main hakim sendiri.
Mereka menghancurkan tempat ibadah, meneror jamaah, dan mengusir secara paksa. Buku ini menyajikan dinamika dua kutub yang berseteru secara berimbang, sekaligus suara si korban. Tak hanya itu, buku ini juga menyajikan data empiris kasuskasus serupa.Kejadian seperti ini, menurut Ubaid, mencoreng sejarah kebebasan beragama di Indonesia, seperti dijamin dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat 2 dan 28E.
Jaminan itu juga tertera dalam Pasal 22 dan 8 No 39 pada 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal itu dengan jelas menyuratkan kebebasan warga negara untuk meyakini agama dan kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap,sesuai hati nuraninya. Misi Rasulullah yang mengajarkan ”akhlak mulia”lagi-lagi dikebiri oleh pengikutnya.
Pengertian akhlak mulia dicitrakan hanya melalui penampakan kegiatan- kegiatan atau perayaan keagamaan yang bisa dipertontonkan. Misalnya,pergi haji,perayaan Maulid Nabi, Idul Kurban, membangun masjid mewah, dan seterusnya. Tindakan ini bukan berarti tidak baik,tapi ini menjadi buruk jika tidak diimbangi dengan ibadah yang berorientasi horizontal, habl min al-nas.
Bagaimana tidak, korupsi di Indonesia masih saja menggurita, satu per satu pelaku ditahan,masih saja belum bisa memberi efek jera kepada yang lain.Wajar saja jika Indonesia hingga tahun ini masih tergolong negara terkorup di Asia versi lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Belum lagi kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan data Forest Wacth Indonesia (FWI), laju deforestasi di Indonesia salah satu yang terparah di dunia. Sedikitnya 1,9 juta hektare hutan dirusak setiap tahun selama lima tahun terakhir, atau setara dengan luas enam lapangan sepak bola per menit.
Saat ini Indonesia telah kehilangan lebih dari 72% dari wilayah alam utuhnya, dan 40% hutannya telah hancur sama sekali (hal.255). Ini artinya apa? Jelas bahwa praktik beragama di Indonesia masih sebatas ibadah ritual secara vertikal, kebanyakan umat belum mengamalkan ibadah yang berorientasi pada horizontal, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Buku ini menunjukkan berbagai paradoks beragama di negeri yang berketuhanan Yang Maha Esa.(*)
Peresensi,
Ahmad Sulaiman Abduh
adalah alumnus Universitas al- Azhar Mesir,
mahasiswa Kajian Timur Tengah,dan
Islam Pascasarjana Universitas Indonesia
sumber: koran seputar indonesia