Historisitas pesantren sebagai lembaga yang konsisten di jalur pendidikan Islam yang merakyat, selalu dilingkupi dengan jejak keterpinggiran. Keberadan pesantren, pada era kolonial, dianggap ganjalan oleh Belanda lantaran sikapnya yang non koperatif dan konfrontatif. Pesantren pun akhirnya tak diberi ruang. Bahkan, spionase ditebar di mana-mana oleh pemerintah Belanda untuk mengawasi gerak-gerik gerakan pesantren. Tak hanya memantau rupanya, tahun 1932 sikap Belanda kian tegas. Pemerintah kolonial merilis aturan yang dapat memberangus dan menutup pesantren atau lembaga pendidikan lain yang tidak mengantongi izin, atau materi pelajaran yang diajarkan tidak sevisi dengan pemerintah.
Kebijakan ini jelas menunjukkan pemerintah kolonial tidak memberikan ruang sedikitpun atas pendidikan agama yang diselenggarakan oleh pesantren. Di mata kolonial, pesantren dengan pendidikan agamanya yang diajarkan oleh para kiai, bukan hanya sebagai ancaman terhadap kebijakan keamanan dan ketertiban (rust en orde), tapi juga mengusik masa depan kenyamanan pendudukan dan penjajahan mereka di bumi Nusantara. Langkah sebaliknya, untuk menghalau pendidikan pesantren, pada saat yang sama penguasaan ilmu-ilmu umum melalui sekolah digencarkan oleh Belanda untuk mendukung misinya. Untuk menghalau model pendidikan penguasaan ilmu agama di pesantren, mereka merintis sekolah-sekolah kolonial.
Di sekolah ini, siswa dibedakan menjadi dua golongan sesuai dengan watak politik kolonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah. Mereka diajari materi pelajaran umum yang berkembang di dunia Barat. Langkah ini ditempuh sesuai dengan gagasan pemikiran politik Snouck Hurgronje, yang meyakini model pendidikan Barat akan mengalahkan pengaruh Islam di Nusantara melalui pendidikan pesantren. Sebab, lulusannya nanti akan menjauh dari pengaruh Islam dan mempermudah mempertemukannya dengan cara pandang Barat atau pemerintahan Eropa.